Connect with us

Kesehatan

Musim Penghujan, Dinkes Imbau Warga Waspadai Malaria

Published

on

Plt. Kepala Dinkes Provinsi Gorontalo Misranda Nalole

GORONTALO-Memasuki musim penghujan, Dinas kesehatan Provinsi Gorontalo mengingatkan kepada warga untuk mewaspadai serangan penyakit malaria. Hal ini disampaikan Plt. Kepala Dinkes Provinsi Gorontalo Misranda Nalole, mengingat presentase kasus malaria di Gorontalo yang masih tinggi.

“Kiranya warga bisa mengedepankan pola hidup sehat untuk menghindari penyakit malaria dan bisa menjaga lingkungan tempat tinggal agar tetap bersih,” kata Misranda saat diwawancarai, Senin (9/3/2020).

Menurutnya, saat ini ada lima kabupaten di Gorontalo yang terbilang endemis malaria. Diantaranya Kabupataen Gorontalo yang meliputi desa Haya-haya, desa Ombulo, Daenaa, Hutabohu, Tunggulo, Tohupo, Kayu Bulan, dan Isimu Utara. Selanjutnya kabupaten Bone Bolango yakni desa Tulabolo dan Kabupaten Gorontalo Utara di antaranya desa Monano, Kota Jin serta desa Dambalo.

“Sedangkan di Pohuwato desa ada Teratai dan Huyula. Kemudian Boalemo terdapat di desa Bendungan, Buti, UPT SP2 dan Bukit Karya,” kata Misranda.

Dan untuk jumlah kasus malaria, Misranda menyebut dari periode 2018 sampai dengan 2019 terdapat 89 kasus. Jumlah ini kata dia tergolong masih tinggi.

Meski begitu, dinkes kata Misranda telah menargetkan bahwa pada tahun 2023 Gorontalo akan bebas dari malaria. Saat ini Gorontalo masih termasuk salah satu daerah yang masih berisiko malaria karena masih adanya desa-desa endemis malaria yang di tandai dengan beberapa kasus malaria Indegenous dan impor.

Dan untuk mencapai Gorontalo bebas malaria, peran masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan semua kasus tercatat dan di laporkan pada puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit.

“Peran masyarakat dan organisasi kemasyarakatan perlu di tingkatkan untuk menghalau penyakit tersebu,” tutupnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hiburan

Benarkah Kunang-Kunang Akan Segera Punah? Ini Kata Ahli.

Published

on

Sebuah pertanyaan yang mengusik hati belakangan ini ramai diperbincangkan di media sosial: benarkah kita adalah generasi terakhir yang berkesempatan menyaksikan keajaiban kunang-kunang di malam hari? Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, seiring dengan laporan yang menunjukkan penurunan drastis populasi serangga bercahaya ini di berbagai belahan dunia. Fenomena ini memicu pertanyaan mendalam tentang masa depan salah satu pesona alam ini.

Berbagai faktor menjadi biang keladi di balik surutnya populasi kunang-kunang. Para ahli menyoroti hilangnya habitat alami mereka akibat alih fungsi lahan, polusi cahaya yang mengganggu ritual kawin mereka, serta penggunaan pestisida yang membahayakan. “Para ahli memperingatkan bahwa persentase signifikan spesies kunang-kunang menghadapi ancaman kepunahan,” demikian disampaikan dalam laporan. Hal ini menjadi alarm serius bagi ekosistem global, mengingat peran penting kunang-kunang sebagai predator alami hama.

Meskipun ancaman kepunahan membayangi, harapan untuk menyelamatkan kunang-kunang masih ada. Artikel ini menggarisbawahi berbagai upaya konservasi yang bisa dilakukan. Mulai dari meminimalkan penggunaan insektisida, mencegah konversi lahan yang merusak ekosistem, hingga menjaga kelestarian lahan basah. “Mengatur polusi cahaya, dan mengedukasi publik untuk melindungi habitat kunang-kunang,” menjadi poin krusial yang juga ditekankan. Langkah-langkah ini menjadi kunci untuk memastikan generasi mendatang masih bisa menikmati kerlap-kerlip kunang-kunang.

Prediksi tentang menghilangnya kunang-kunang memang didasarkan pada tren saat ini. Namun, optimisme tetap menyala bahwa skenario terburuk dapat dihindari jika upaya konservasi segera dan konsisten diimplementasikan. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita bisa menjadi generasi yang menyelamatkan, bukan generasi terakhir yang melihat kunang-kunang. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk menjaga keseimbangan alam dan memastikan keberlangsungan hidup kunang-kunang.

Continue Reading

Kesehatan

Pelajaran Berharga dari Suku Māori: Autisme sebagai Keunikan Manusia

Published

on

Dalam diskursus global tentang autisme, narasi yang dominan seringkali berpusat pada defisit dan “gangguan.” Namun, di tengah perdebatan ini, muncul sebuah perspektif yang menyegarkan dari budaya Māori di Selandia Baru: takiwātanga. Kata ini, yang diterjemahkan secara puitis sebagai “dalam waktu dan ruang mereka sendiri,” menawarkan pemahaman yang jauh berbeda, menyoroti keunikan individu autistik alih-alih menganggapnya sebagai suatu kondisi yang harus diperbaiki.
Di dunia Barat, autisme umumnya dikategorikan sebagai “gangguan spektrum autisme” (GSA), sebuah terminologi yang secara inheren menyiratkan adanya “ketidakberesan” atau kondisi yang memerlukan intervensi medis. Pendekatan ini, meskipun didasari oleh niat baik untuk memahami dan mendukung, seringkali tanpa disadari menempatkan individu autistik dalam kerangka patologi. Akibatnya, fokus seringkali beralih pada “perbaikan” atau “penormalan” perilaku, yang dapat mengabaikan kekayaan pengalaman dan cara pandang yang berbeda. Sebaliknya, takiwātanga mencerminkan filosofi yang jauh lebih inklusif dan merayakan. Bagi suku Māori, penggunaan istilah ini menunjukkan penghormatan terhadap cara unik individu autistik berinteraksi dengan dunia, belajar, dan memproses informasi. Ini bukan sekadar perubahan kata, melainkan pergeseran paradigma yang mendalam, dari melihat autisme sebagai “kekurangan” menjadi “cara yang berbeda—dan sama validnya—untuk menjadi manusia.”
Konsep takiwātanga bukanlah sekadar metafora, melainkan sebuah refleksi dari upaya nyata dalam komunitas Māori untuk mengubah stigma seputar autisme. Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Autism and Developmental Disorders, penggunaan bahasa yang lebih positif dan inklusif memiliki dampak signifikan pada persepsi publik dan individu autistik terhadap diri mereka sendiri. Studi lain dari Autism New Zealand (organisasi nasional terkemuka yang mendukung individu autistik dan keluarga mereka di Selandia Baru) telah secara aktif mempromosikan penggunaan takiwātanga untuk mendorong penerimaan dan pemahaman yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa bahasa yang kita gunakan dapat membentuk sikap dan kebijakan, memengaruhi bagaimana masyarakat melihat neurodiversitas.
Pergeseran bahasa ini juga selaras dengan gerakan neurodiversitas global yang semakin berkembang. Gerakan ini berpendapat bahwa variasi neurologis, seperti autisme, ADHD, dan disleksia, adalah bagian alami dari keragaman manusia, bukan kekurangan yang perlu disembuhkan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli terkemuka di bidang neurodiversitas, Dr. Temple Grandin, “Dunia membutuhkan semua jenis pemikiran,” termasuk mereka yang berpikir secara berbeda.
Kekuatan bahasa dalam membentuk realitas sosial tidak bisa diremehkan. Ketika kita beralih dari kata “gangguan” ke frasa “dalam waktu dan ruang mereka sendiri,” kita tidak hanya mengubah label, tetapi juga mengubah bagaimana kita melihat individu autistik dan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Ini adalah undangan untuk merayakan keunikan, menghargai kontribusi yang beragam, dan membangun komunitas yang lebih inklusif.
Dengan mengadopsi perspektif seperti takiwātanga, masyarakat dapat bergeser dari upaya “memperbaiki” orang menjadi merayakan kekayaan luar biasa yang mereka bawa ke komunitas kita. Ini adalah langkah menuju masa depan di mana neurodiversitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang harus diatasi, melainkan sebagai sesuatu yang harus dirayakan.
Oleh : Ronald S. Bidjuni

Continue Reading

Kesehatan

COVID-19 Kembali Mengintai: Pemerintah Serukan Kesiapsiagaan

Published

on

Pada 31 Mei 2025, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) mengeluarkan peringatan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi lonjakan kasus COVID-19. Meskipun situasi nasional masih terkendali, langkah ini diambil sebagai respons terhadap tren peningkatan kasus di beberapa negara Asia Tenggara.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa sejak pertengahan Februari 2025, terjadi peningkatan kasus COVID-19 secara global, dengan tingkat kepositifan tes mencapai 11%, angka tertinggi sejak tahun sebelumnya. Khusus di kawasan Asia Tenggara, beberapa negara mengalami lonjakan kasus yang signifikan, mendorong WHO untuk mengeluarkan peringatan kepada negara-negara di wilayah tersebut.

Meskipun Indonesia belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus, Kemenkes menekankan pentingnya kesiapsiagaan. Masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, termasuk penggunaan masker di tempat umum, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan secara rutin. Selain itu, Kemenkes mendorong masyarakat untuk melengkapi vaksinasi COVID-19, termasuk dosis penguat, guna meningkatkan perlindungan terhadap varian baru yang mungkin muncul.

Meskipun situasi di Indonesia masih dalam batas aman, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa lonjakan kasus dapat terjadi dengan cepat jika kewaspadaan menurun. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tetap waspada dan mengikuti anjuran pemerintah serta otoritas kesehatan untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler