Connect with us

Ruang Literasi

Aku, Kamu, Dan Pancasila

Published

on

Oleh : Rifky Mohi

Pancasila bagiku bukan sebatas ideologi, bukan sebatas groundnorm, tetapi sebuah nilai, sebuah jati diri, Pancasila adalah aku, Pancasila adalah kamu, Pancasila adalah kita, iya kita, bangsa INDONESIA.

Pancasila dirumuskan dengan berbagai problema dan tantangan. Karena tidak mudah untuk merumuskan dasar sebuah negara. dan kekhususannya lagi, bahwa Pancasila direstui oleh para Ulama, khususnya dikalangan nahdliyin bahwa Pancasila sangat istimewa bahkan harus dipertahankan keberadaannya, dikarenakan restu yang diberikan oleh Rais Akbar Nadhlatul Ulama yaitu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Dalam perestuan Pancasila ini terlihat kesakralannya, dikarenakan Hadratussyaikh melakukan beberapa tirakat dahulu sebelum memutuskan bahwa menerima dan merestui Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di bagian tim penyusunan juga yang tergabung dalam tim ada putra beliau sekaligus ayah dari Gus Dur, yaitu KH. Wahid Hasyim yang ikut andil dalam bagian penyusunan Pancasila dengan para founding fathers.

Pancasila adalah nilai yang diambil oleh para founding fathers dari jati diri bangsa ini, maka Pancasila bukan saja sebuah teks yang memiliki 5 poin penting belaka, tapi Pancasila adalah sebuah nilai yang dituangkan kedalam 5 poin tersebut.

Sebuah augerah untuk bangsa ini, yang niscaya dapat menyatukan dan mensinergikan antara warga satu dan warga lainnya, bergerak dinamis dan harmonis dalam perbedaan yang dianugerahkan Tuhan untuk bangsa ini.

Tda perlu adanya banyak perdebatan lagi, karena Pancasila telah dibuktikan oleh waktu, bukan hanya sebuah angan-angan dan cita-cita lagi, tapi telah menjadi sebuah bukti yang bisa dilihat dikehidupan sehari-hari bangsa ini.

Apalagi harus membawa banyaknya dalil untuk membantah keshahihan Pancasila, Pancasila sudah direstui oleh beliau, yang keilmuannya tidak diragukan lagi. hafal kuttubus sittah dan ahli dalam berbagai cabang ilmu agama, tapi sekarang dibantah oleh yang hafal satu atau dua hadist saja, sungguh miris.

Membantah dan memperdebatkan diri sendiri itu layaknya orang gila, yang mempertanyakan dirinya sendiri padahal nilai itu diambil dari dirinya sendiri yang dirangkum dan dituliskan ke dalam 5 poin tersebut, tapi masih juga dipertanyakan.

Maka Aku, Dia, Kamu, Kita adalah Pancasila, Kita adalah bangsa yang diberi anugerah perbedaan, warna warni layaknya sebuah pelangi yang menciptakan kesatuan warna yang indah dalam kerukunan dan keharmonisan.

Selamat Hari Pancasila,

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler