Gorontalo-Guna meningkatkan sosialisasi dan program promosi GenRe, khususnya merespon permasalahan remaja saat ini, figur motivator dari kalangan remaja sangat diperlukan. Figur motivator inilah yang akan menjadi Duta GenRe (Generasi Berencana).
Di Provinsi Gorontalo, sosok Duta GenRe merupakan mahasiswi Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Fidya Felinda Ilahude. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris ini hadir sebagai figur ideal Duta Genre dengan program “Nugget Bandeng Benderang dan Masker MANGKAGE”.
Menariknya, Nugget Bandeng Benderang merupakan program inovasi yang dikelola para Ibu Rumah Tangga bersama karang taruna Desa Pelambane menjadi salah satu program yang ditujukan untuk penanganan kasus stunting di Desa Pelambane. Fidya memberikan ide kepada para Ibu Rumah Tangga untuk berinovasi dalam pengelolaan ikan bandeng. Kenapa nugget? karena Fidya ingin program ini tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa, anak kecil pun ikut merasakannya, sebagaimana kita semua tahu, nugget adalah makanan kesukaan semua kalangan usia. Bandeng memiliki gizi yag berlimpah, dan tentunya sehat untuk dikonsumsi. Selain itu juga dapat membantu perekonomian di desa tersebut.
Tak hanya itu, remaja putri ini juga hadir dengan program inovasi yaitu “Masker MANGKAGE”. Masa pandemi kali ini, banyak perubahan yag terjadi pada masyarakat. Misalnya penggunaan masker yang selalu digaungkan oleh berbagai pihak. Namun, bagi Fidya Felinda Ilahude, seorang remaja putri yang menjadi perwakilan provinsi Gorontalo diajang pemilihan Duta GenRe tingkat nasional ini, masker bukan hanya sebagai alat pelindung dikala pandemi Covid 19, tapi juga bisa sebagai media yang bisa memberi mereka wadah untuk berkreatifitas dan memberi pesan kepada para remaja melalui masker.
MANGKAGE (Masker Mari Torang Kanal GenRe) telah disosialisasikan kepada PIK Remaja Maleo dan PIK Remaja Desa Pangi, Duta GenRe Putri Provinsi Gorontalo tahun 2020 ini memiliki harapan yang sangat besar, semoga masker yang nantinya akan mereka buat bisa mengedukasi semua remaja untuk terus mengasah life skill mereka sekaligus terdapat berbagai pesan yang ditampilkan pada desain masker yang tentunya mengenai Program GenRe. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang kolaborasi antara peserta dengan pemerintah dalam menyelesaikan masalah – masalah yang ada di masyarakat dengan lebih efektif, efisien, dan inovatif.
Indonesia memiliki harga internet termahal di ASEAN dengan tarif US$ 0,41 atau setara Rp 6.809 per Mbps untuk layanan fixed broadband. Data ini berasal dari laporan Cable.co.uk dan We Are Social per Februari 2025.
Meski harganya tinggi, kecepatan internet Indonesia justru menempati urutan kedua paling lamban di kawasan, berdasarkan data Speedtest Global Index per Agustus 2025. Untuk fixed broadband, kecepatan hanya 39,88 Mbps, menempatkan Indonesia di peringkat ke-116 dunia. Sedangkan untuk mobile broadband, kecepatan mencapai 45,01 Mbps, berada di urutan ke-83 dunia.
Sebagai perbandingan, beberapa negara ASEAN memiliki harga internet jauh lebih rendah, seperti Filipina US$ 0,14, Malaysia US$ 0,09, Vietnam US$ 0,04, Singapura US$ 0,03, dan Thailand US$ 0,02 per Mbps.
Kecepatan internet mobile broadband di ASEAN juga bervariasi dengan Brunei Darussalam tercepat di 184,86 Mbps, dan Singapura menduduki posisi ke-12 dunia dengan 164,75 Mbps. Sedangkan untuk fixed broadband, Singapura menjadi yang tercepat di dunia dengan kecepatan 394,3 Mbps.
Mengutip laman Visual Capitalist, “Negara-negara Asia seperti Vietnam, Cina, dan Korea Selatan menyediakan internet cepat dengan harga terjangkau, beberapa di antaranya hanya US$ 0,05 per Mbps.”
Data Speedtest Global Index meneliti kecepatan internet di 103 negara untuk mobile broadband dan 154 negara untuk fixed broadband.
Dengan fakta tersebut, Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hal harga dan kecepatan internet dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya dan dunia.
Adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Halim Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri. Halim selaku Presiden Direktur PT BRN diduga berperan dalam penyalahgunaan wewenang pada proyek senilai lebih dari Rp 1,3 triliun ini, yang akhirnya mangkrak sejak 2016. Selain Halim Kalla, tersangka lain yang dijerat antara lain mantan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN inisial RR, serta Dirut PT Praba, HYL.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menegaskan, “Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ujarnya dalam konferensi pers. Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, juga menjelaskan, “Sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam lelang PLTU 1 Kalbar.” Proyek ini didanai kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA), namun pelaksanaan dan progresnya bermasalah hingga menyebabkan kerugian negara besar-besaran.
Tercatat nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun akibat proyek mangkrak dan upaya persekongkolan dalam lelang antara oknum PLN dan pihak swasta terkait. Sampai saat ini proses hukum masih berjalan dan tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru berdasarkan pengembangan penyidikan lebih lanjut.
Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo
Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.
Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.
Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.
Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?
Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.
Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.
Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.