Connect with us

Ruang Literasi

Penggunaan Istilah Asing dalam pusaran Covid-19

Published

on

Mario Nurkamiden : Covid-19 Crisis Center UNG

Bahasa yang tidak komunikatif bisa berdampak pada percepatn penyebaran Covid-19, sebab masyarakat awam yg kurang memahami bahasa dan istilah asing mengalami kebingungan dlm menangkap informasi. Jika pemerintah ingin menekan angka penyebaran Covid-19 di Indonesia, maka penggunaan bahasa pada beberapa istilah harus menggunakan bahasa yg komunikatif.

merujuk yang di ungkapkan oleh budayawan Ganjar Kurnia Rektor ke-10 Universitas Padjajaran, saat ini Indonesia sudah mengalami darurat bahasa. Tak hanya masyarakat dan instansi swasta, pemerintah, sekolah, dan perguruan tinggi lebih memilih menggunakan istilah asing. Begitu pula dengan pola pemerintahan saat ini dalam mensosialisasikan pencegahan virus Covid-19.

Berdasarkan informasi Gugus tugas Covid-19, sampai dengan saat ini, Kasus pasien positif virus Corona (COVID-19) di Indonesia (2/4/20), mencapai 10.843 kasus. Sedangkan pasien sembuh Corona berjumlah 1.665 orang dan meninggal 831 orang.

Memang, berita tentang virus corona bergerak begitu cepat. Hampir semua orang ingin terlibat dalam pembicaraan ini. Di sela-sela komunikasi ini sering terselip, terdengar atau begitu fasih mengucapkan kata-kata atau istilah baru yang kita belum tahu makna yang sebenarnya.

Namun, dalam aspek sosialisasi terkait penanganan di saat kondisi darurat pandemi seperti sekarang ini, penting untuk pengoptimalan sebuah bahasa sederhana/ringan untuk mentrasfer informasi detail terkait pandemi covid-19.

orang awam yang belum paham dengan istilah ini,harus dimaklumi, Indonesia itu luas, berpenduduk besar dengan berbagai ragam pendidikan dan pengetahuan.berbagai istilah itu bisa berasal dari bahasa Inggris, istilah Bahasa Indonesia tapi jarang terdengar atau istilah bahasa Indonesia tapi arti berbeda dalam konteks Covid-19.

Saya mencatat bahasa atau istilah yang kurang populis di kalangan menegah kebawah, Beberpa akronim yang saya catat yaitu ODP, PDP, ODP, APD dan PSBB.

Belum lagi penggunaan bahasa asing yang sering digunakan seperti Lockdown, Herd imunity, Local transmission, invorted case, suspect, droplet, scrannig,flatten the curve,socil social distancing dan physical Distancing.

Gak semua orang ngerti loh!

Apakah penggunaan bahasa dan istilah “akronim” berpengaruh terhadap penanganan Covid-19 ?

Ya, secara sosiologis, penggunaan bahasa dan istilah asing ini malah menimbulkan kesenjangan yang mendikotomi orang komplek dan orang kampung, lewat pemilihan bahasa atau istilah, pemerintah malah menyasar masyarakat terdidik. Padahal dalam kondisi darurat seperti, penggunaan kata dan kalimat yang komunikatif sangat penting untuk bersosialisasi. Penggunaan ‘Eufeminisme’ penghalusan kata beresiko membawa kesalapahaman atau bahkan mengurangi pemahaman.

Jangan jangan, penyebaran covid-19 bisa jadi dipercepat karena ketidakpahaman terhadap istilah-istilah tersebut sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam kondisi seperti, pemerintah seharusnya mengubah polarisasi dalam rangka mengampanyekan penyebaran Covid-19.

kemudian langkah yang harus di tempuh adalah?

Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi. Dalam case ini, seharusnya pemerintah menjadikan momentum ini sebagai panggung titik balik,mengangakat sebuah identitas wilayah tersebut, dengan membudayakan bahasa local.

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler