Connect with us

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Anak Pandai Besi Dan Anak Petani Buktikan Jadi Wisudawan Terbaik di UNG

Published

on

UNG – Rama Yudha Dumbela dan Riswanto Pakaya, Seorang Anak Pandai Besi, Dan Seorang Anak Petani yang menjadi wisudawan terbaik dan Cumlaude di Universitas Negeri Gorontalo, (30/6/2022).

Rama Yudha Dumbela adalah Anak dari pasangan Andi Bastian Dumbela dan Riyanti Nteseo, Sedangkan Riswanto Pakaya adalah anak dari Rusli Rajak Pakaya dan Momy Arbabu yang berhasil menamatkan kuliahnya dalam waktu 3 tahun 6 bulan.

Pria yang lahir pada 19 November 1999 dan 9 September 1999 lulus dengan predikat cumlaude dengan total IPK 3,89, dan 3,62 capaian nilai Rama Yudha Dumbela ini yang menempatkan dirinya berada di posisi ketiga wisudawan terbaik Universitas Negeri Gorontalo tahun 2022.

Dan terbaik pertama di Fakultas Ilmu Pendikan jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Nilai Capaian Riswanto Pakaya Juga Mengantarkannya Meraih Predikat Cumlaude/Pujian.

Hasil ini tidak diraih dengan mudah, Yudha Dan Riswanto harus berjuang dengan kuat agar bisa diterima di UNG, dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu, mereka harus bekerja keras membiayai hidupnya selama kuliah.

Keinginan untuk kuliah sangat besar, jadi sebelum lulus mereka sudah berusaha mendaftar di UNG lewat jalur prestasi dan jalur tes dan mereka diterima dan menjadi salah satu penerima beasiswa Bidik Misi, cerita Yudha Dan Riswanto usai pelaksanaan wisuda, Kamis (30/6/2022).

Perjalanan Yudha Dumbela Dan Riswanto Pakaya untuk mendapatkan pendidikan ternyata belum selesai sampai disitu, sebagai penerima beasiswa Bidik Misi, mereka dituntut harus lulus tepat waktu.

“Jadi nilai tidak boleh rendah, dan harus lulus tepat waktu, mau tidak mau mereka harus belajar lebih giat lagi,” kata Yudha Dumbela Dan Riswanto Pakaya.

Diawal-awal memang terasa mudah, namun karena tidak ingin membebani orang tua di kampung dan di kota, mereka juga harus memikirkan biaya hidup selama jauh dari orang tua maupun dekat dengan orang tua.

Mereka berharap hasil ini bisa membuat orang tua mereka bahagia, wisuda juga bukan akhir dari perjuangan mereka, semoga dengan bekal sarjana, mereka bisa lebih membahagiakan kedua orang tua mereka. Tutup Yudha Dumbela Dan Riswanto Pakaya.

Gorontalo

FOPI Gorontalo Siap Bersaing di Pentaque Tournament 2024 Gresik

Published

on

GORONTALO – FOPI Gorontalo, di bawah kepemimpinan Dr. dr. Cecy Wolok Karim, Sp. GK, siap menantang 122 peserta dalam Pentaque Tournament 2024 di Gresik. Mereka mengirimkan 12 tim, termasuk 7 tim double dan 5 tim triple, untuk bersaing dalam Kejuaraan Petanque Double Open & Triple Open New Kampret Tournament pada tanggal 26-28 April 2024.

Meskipun belum berhasil lolos ke PON XXI Aceh-Sumut, FOPI Gorontalo terus berkomitmen pada pembinaan dan partisipasi dalam berbagai event pentaque nasional, yang bertujuan untuk mendukung pembinaan prestasi pentaque di Gorontalo. Keikutsertaan mereka dalam event pentaque juga akan melibatkan atlet-atlet yang berhasil lolos PON XXI dari seluruh Indonesia.

Tournament ini, yang diikuti oleh 74 peserta tim double dan 48 tim triple, diharapkan akan meningkatkan jam terbang atlet-atlet pentaque Gorontalo. Arif Rahman Hakim Abdul, ketua rombongan, menyatakan bahwa salah satu evaluasi dari kualifikasi PON tahun sebelumnya adalah kurangnya jam terbang atlet dalam mengikuti event pentaque, baik regional maupun nasional.

FOPI Gorontalo akan bertanding dalam dua nomor perlombaan, double open dan triple open. Mereka berharap para atlet seperti Dr. Safriyanto Dako, Edy Dharma Putra Duhe, dan lainnya dapat meraih hasil yang memuaskan di turnamen ini, yang kabarnya akan diikuti oleh atlet-atlet PON dari berbagai Provinsi di Indonesia.

Arif berharap agar mereka dapat kembali dengan hasil yang memuaskan, terutama mengingat banyaknya atlet yang akan berlaga di PON XXI Aceh-Sumut. Sementara itu, Edy Dharma Putra Duhe, yang juga wakil Dekan FOK UNG, menyatakan bahwa turnamen ini akan menjadi ajang untuk mengasah kemampuan dan mengevaluasi pembinaan atlet selama ini. Mereka berharap event ini juga akan meningkatkan pengalaman dan jam terbang atlet dalam berbagai event pentaque nasional.

Continue Reading

Advertorial

Respon Fakultas Hukum UNG terhadap Dugaan Penganiayaan oleh Oknum Dosen

Published

on

UNG – Perkembangan dugaan kasus penganiayaan yang melibatkan salah satu Dosen Hukum di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mendapat tanggapan cepat dari Fakultas Hukum UNG.

Dalam konferensi pers yang digelar oleh Fakultas Hukum pada Kamis, (25/04/2024), di Gedung Pancasila Fakultas Hukum, dekan Fakultas Hukum UNG, Dr. Weny Almoravid Dungga, SH., MH, menjelaskan bahwa ini merupakan pertemuan pertama kali antara Fakultas Hukum dan media untuk membahas isu yang telah mencoreng nama baik lembaga dan universitas.

Dr. Weny menegaskan bahwa kejadian penganiayaan tersebut tidak terjadi di lingkungan Fakultas Hukum atau Universitas Negeri Gorontalo. Dia menambahkan bahwa oknum dosen yang diduga terlibat sedang mengikuti pelatihan di luar daerah, sehingga lembaga masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kasus ini.

Dalam hal ini, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Suwitno Yutye Imran, S.H., M.H., menyampaikan bahwa Fakultas Hukum mengapresiasi dan percaya pada proses hukum yang sedang berjalan di kepolisian. Dia berharap agar proses ini dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.

Dekan Fakultas Hukum UNG menegaskan komitmennya untuk mendukung proses hukum dan menjaga integritas lembaga serta memastikan lingkungan akademik yang aman dan nyaman bagi seluruh mahasiswa dan dosen. Mereka juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga etika dan moralitas dalam lingkungan akademik.

Continue Reading

Gorontalo

Ramadan, Matinya Politik Gorontalo dan Politik Emansipasi

Published

on

Dr. Funco Tanipu., ST., M.A, Founder The Gorontalo Institute

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Founder The Gorontalo Institute, Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo)

Wajah politik Gorontalo akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan perubahan ke arah situasi yang didalamnya aspek-aspek politik yang bersifat “low politics” dirayakan secara semarak. Arena politik dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tepuk tangan, tayangan, dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah dan tak substantif. Sisi lain mempertontonkan cakar-cakaran, saling bunuh, dan meniadakan. Yang lebih gawat adalah maraknya fenomena transaksional “ada uang ada suara”.

Politik dianggap sebagai arena untuk kegiatan yang bersifat “low”, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, memobilisir massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan (Yasraf Amir Piliang, 2008) . Makanya tak heran banyak kita dapati iklan politik mengotori ruas jalan kita. Gorontalo tak ubahnya seperti Balihopolitan (Kota Baliho). Politik semata-mata ditujukan untuk merayakan hasrat yang tak terbatas (desire/nafs), namun rendah.

Belum lagi jika kita mengamati maraknya fenomena “koprol” yang telah menjadi bagian dari politik keseharian kita. Sungguh kita memasuki sebuah era yang dinamakan matinya politik. Foucault menyebut “matinya politik” bukan nanti tidak ada lagi politik, melainkan bahwa akan hilang konsep politik sebagai suatu arena dan kategori istimewa dalam pemikiran kita untuk membebaskan masyarakat dari tirani negatif.

Kini, kita hidup di sebuah era yang bisa disebut sebagai “era matinya politik”, era matinya segala sesuatu. Politik kehilangan peran sentralnya dalam peradaban, politik hanya menjadi instrumen teknis untuk merayakan segala sesuatu yang privat, kepentingan pribadi dan kelompok.

PERAYAAN HASRAT, PENDANGKALAN POLITIK

Kecenderungan politik lokal Gorontalo yang mengarah pada pendangkalan dan kerendahan di dalam budaya politik terlihat pada banalitas politik, misalnya iklan politik tak bisa dibedakan lagi dengan iklan sabun mandi; lembaga politik tidak dapat dibedakan lagi dari travel perjalanan atau event organizer; kampanye politik tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik dangdut.

Perspektif kedangkalannya itulah yang menyebabkan aktifitas politik lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu pola memanipulasi emosi publik, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa dalam melihat idolanya (Baudrillard, 2005). Politis menjadi idola jika melakukan “bagi-bagi doi”, “ba siram”, “kuti-kuti” dan ragam definisi soal kebaikan. Sehingga realitas hanya bisa disaksikan oleh mata, bukan lagi oleh nurani, lalu wajar kemudian jika banyak dari idola-idola tersebut walau pernah tersangkut kasus hukum namun tetap ditangisi dan diidolakan.

Politik Gorontalo didefinisikan sebagai aktifitas yang menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan, mendapat ruang ruang yang mewah dan istimewa di dalam arena politik kita. Sebaliknya yang berkaitan dengan pembangunan peradaban, pendidikan karakter, perayaan gagasan dan pembelaan hak rakyat justru tidak mendapatkan ruang yang hidup dan aktif.

Kecenderungan yang ada saat ini, politik adalah instrumen untuk memuaskan hasrat diri meskipun kepuasan itu tak pernah terpenuhi. Lihat saja kediaman politisi kita seperti galeri mobil, bangunan megah bak istana dan perternakan properti yang tak ada habisnya. Pada taraf itu, hasrat terus-menerus mencari pemuas melebihi batas yang diperbolehkan, sehingga hal-hal yang amoral dan anti sosial terlampaui oleh hasrat itu sendiri.

Agama pun lebih banyak dijadikan alat legitimasi politik. Jubah hanya sekedar menjadi fashion politik semata. Jilbab adalah instrumen kampanye untuk dibagi-bagi agar bisa menambah pemilih. Program yang bertema spiritual hanya menjadi kedok bagi mobilisasi suara dan pengalihan opini publik agar citra menjadi positif.

Rumi, seorang sufi klasik ternama, mengatakan bahwa dunia adalah penjara hasrat yang tinggi, tetapi kuburan bagi hasrat yang rendah. Hasrat yang tinggi adalah hasrat pengabdian untuk kemanusiaan yang semata-mata ditujukan sebagai persembahan pada Pencipta, arenanya menembus batas-batas ruang dan waktu. Berbeda dengan hasrat rendah yang hanya diabdikan dan dikelola di seputar dunia dan dibawah langit.

RAMADAN, ARENA KEBANGKITAN POLITIK EMANSIPASI

Politik pada akhirnya kehilangan pola kepemimpinan yang hakiki, yang ada tinggal idola-idola yang bekerja untuk kepentingan personal dan kelompok ketimbang kepentingan publik. Politik seperti menjadi pasar, dimana orang lalu-lalang sambil memperdagangkan jualannya, ada lapak-lapak, ada pembeli, semuanya serba transaksional. Pada ujungnya hanya dimaksudkan pada pencarian laba yang bersifat eksploitatif.

Dalam meneropong arah politik dimasa depan, harus ada upaya-upaya untuk mengendalikan hasrat, banalitas, dan popularisme politik.

Salah satu arena untuk memperbaikinya adalah menjadikan Ramadan sebagai arena untuk membangkitkan sisi humanis dari politik yang terkotori. Ramadan mesti dijadikan ruang untuk menggalang politik alternatif dalam rangka menciptakan wajah politik yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya warga tidak lagi menjadi pengikut, melainkan sebagai sesuatu yang aktif, yang mampu secara inovatif, dinamis dan kreatif membangun arena politiknya sendiri. Hal itu dinamakan politik emansipasi oleh Slavoj Zizek, filsuf politik asal Slovenia yang termasyhur abad ini.

Maka dengan itu, kedepan perlu penguatan politik yang lebih humanis, bermakna dan luhur dengan memperbanyak generasi ‘aktifis politik’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi tinggi, dan spiritualitas kuat, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat Gorontalo yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi tafsir politiknya secara terang (Piliang, 2008).

Karena itu, maka Ramadan mestinya bukan lagi momen untuk menahan lapar dan haus, karena jika yang dilakukan oleh kita semua, maka tentu tidak akan menghasilkan manusia-manusia politik yang memiliki keluhuran nurani. Sebagaimana disampaikan oleh A-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa puasa ada tiga tingkatan: (1) Puasa yang disebut shaum al-umum yakni menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat seperti makan dan minum. (2). Puasa yang disebut shaum al-khusus (puasa khusus) yaitu menjaga lisan, mata dan pendengaran dari kemaksiatan. (3). Puasa yang disebut shaumu khusus al-khusus yakni puasa menjaga hati dan pikiran dari prasangka tercela.

Di Gorontalo, sejak Islam masuk pada tahun 1200 an dan menjadi agama resmi kerajaan pada tahun 1525, berarti sudah 499 kali Ramadan dilaksanakan. Pertanyaannya, apakah selama 499 kali Ramadan tersebut, adakah peradaban Gorontalo sudah semakin baik dan tertata untuk kemaslahatan rakyat? Ataukah malah peradaban kita menuju keadaban, dalam hal ini politik, yang semakin menurun kualitasnya hingga rakyat kita berada di memori yang sama ; “mana-mana jo pa ngoni” atau dalam bahasa Gorontalo “bolo tonulala toli mongoli”. Pertanyaan lanjut, masih butuh berapa kali Ramadan lagi untuk memperbaiki kondisi politik Gorontalo kita?

Tentu, kita semua tahu, siapapun manusia (termasuk aktor politik) tak ada yang bisa mengklaim bahwa umurnya akan panjang, sehingga ada perspektif umum yang berkembang biarlah nanti ada waktunya untuk memperbaiki diri (dalam hal ini taubat), untuk masa sekarang “seperti apa yang ada”, atau “sementara bagitu dulu”. Jika perspektifnya seperti itu, maka ratusan kali Ramadan, tak akan bisa mengubah peradaban dan manusia yang ada didalamnya.

Semoga kita semua masih diberi kesempatan untuk bisa memperbaiki diri yang pada ujungnya adalah memperbaiki peradaban politik kita.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler