Connect with us

Kesehatan

Ingatan Hilang, Aktor Bruce Willis Jalani Perawatan Secara Terpisah Bersama Keluarga

Published

on

Aktor legendaris Hollywood, Bruce Willis, kini tinggal di sebuah rumah satu lantai yang telah disesuaikan untuk kebutuhan medisnya. Keputusan ini diambil oleh istrinya, Emma Heming Willis, setelah kondisi kesehatan sang aktor memburuk akibat frontotemporal dementia (FTD) yang didiagnosis pada Februari 2023.

Emma menegaskan bahwa meski fisik suaminya masih “sangat sehat dan mobile”, kemampuan bahasa serta daya ingat Willis mengalami penurunan drastis. Willis, yang awalnya diumumkan menderita afasia pada 2022, kini kesulitan berbicara dan berkomunikasi. Namun, keluarganya tetap menemukan cara untuk berkomunikasi dengannya, termasuk melalui bahasa tubuh, senyuman, hingga tawa khas yang kadang muncul sekejap.

Keputusan memindahkan sang aktor ke rumah khusus bukan tanpa alasan. Emma menjelaskan, hal ini dilakukan demi menjaga stabilitas kehidupan dua putri mereka, Mabel (13) dan Evelyn (11). Meski Bruce berada di tempat terpisah dengan tim perawatan medis 24 jam, Emma tetap rutin membawa kedua putrinya untuk makan bersama ayah mereka di pagi dan malam hari. “Kami masih menikmati momen sederhana, seperti menonton film dan tertawa bersama,” ujar Emma.

Dalam wawancara eksklusif bersama Diane Sawyer di ABC News, Emma mengaku bahwa awalnya ia merasa sangat terisolasi dan sendirian setelah mendengar diagnosa suaminya. Ia bahkan sempat menutup diri dari dunia luar, hingga akhirnya menyadari bahwa dirinya juga membutuhkan dukungan. Dukungan itu datang dari keluarga besar, termasuk Demi Moore—mantan istri Bruce—yang juga menyerukan pentingnya kesadaran publik mengenai FTD.

Selain berperan sebagai pengasuh utama, Emma kini menulis buku berjudul The Unexpected Journey: Finding Strength, Hope and Yourself on the Caregiving Path, yang akan terbit pada 9 September 2025. Buku ini berisi pengalaman pribadinya merawat Bruce sekaligus panduan bagi keluarga lain yang menghadapi situasi serupa.

Meski FTD belum memiliki obat, keluarga Willis berharap perhatian media terhadap kondisi Bruce bisa mendorong riset lebih lanjut dan meningkatkan kesadaran publik. “Momen-momen kecil seperti tawa atau kilau mata Bruce adalah hadiah berharga bagi kami,” tutup Emma.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Daerah

Tragis! Mahasiswa FIS UNG Meninggal Usai Diksar Mapala, begini kronologinya

Published

on

Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Muhammad Jeksen (MJ), meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Butaiyo Nusa, Senin (22/09/2025). MJ, mahasiswa semester 3 Jurusan Pendidikan Sejarah, berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Korban sempat mengeluhkan sakit dan meminta dilarikan ke rumah sakit, namun diduga panitia tak mengizinkan. MJ akhirnya dijemput dan dibawa ke RS Aloei Saboe oleh teman paguyubannya, tapi nyawa korban tak tertolong.

Menurut keterangan keluarga, MJ mengalami sakit dan pembengkakan di bagian leher usai diduga terkena benturan saat Diksar. Kakak korban, Hikayat, menjelaskan adiknya memiliki riwayat penyakit bawaan di leher yang akan kambuh apabila terkena benturan. “Saya lihat di foto mukanya sudah bengkak setelah penerimaan Diksar. Indikasinya dia sempat dipukul,” ungkap Hikayat. Sebelum meninggal, MJ sempat mengirim pesan meminta dijemput untuk dibawa ke rumah sakit. Proses penanganan jenazah MJ sampai sore masih terjadi tarik ulur terkait autopsi antara keluarga, pihak kampus, dan kepolisian.

Fakta lain yang terungkap, kegiatan Diksar Mapala FIS UNG ini tidak mengantongi izin resmi dari kampus maupun kepolisian, menimbulkan kritik terhadap pengawasan dan tanggung jawab penyelenggara kegiatan kemahasiswaan. Media nasional juga memberitakan bahwa jenazah korban ditemukan dengan kondisi lebam di bagian leher dan darah keluar dari mulut serta telinga, sehingga dugaan kekerasan semakin menguat. Proses hukum menunggu kepastian autopsi demi mengusut tuntas kasus kematian tragis ini.

Continue Reading

Kesehatan

BNN Siaga: Larangan Vape Masuk Agenda Kajian Serius

Published

on

Jakarta – Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini tengah mengevaluasi kemungkinan pelarangan rokok elektrik atau vape di Indonesia, menanggapi kebijakan larangan yang telah diterapkan di Singapura. Kepala BNN, Irjen Pol. Suyudi Ario Seto, menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap penelaahan mendalam dan belum menjadi keputusan final.

Dalam dialog dengan media, Suyudi menyampaikan ketegasannya bahwa keputusan seperti ini tidak bisa diambil secara tergesa-gesa. “Tentunya akan menjadi bagian dari pendalaman kita, tentunya kita perlu duduk bersama dulu dan kita akan lihat ke depan seperti apa,” ujarnya saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan pada Senin, 25 Agustus 2025.

Suyudi juga menyoroti bahwa vape kadang digunakan sebagai media peredaran narkotika, meski belum terbukti secara menyeluruh. Ia menegaskan pentingnya memiliki data akurat sebelum mengambil langkah hukum atau regulasi. “Kemungkinan itu pasti ada saja. Tapi kan kita harus lihat data yang sesungguhnya. Beri saya kesempatan untuk kita nanti mendalami hal ini,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menambahkan, “Yang jelas, narkoba harus kita tindak tegas. War on drugs for humanity, kita perang melawan narkoba untuk kemanusiaan,” sebagai bentuk komitmen penuh dalam pemberantasan narkotika di Indonesia.

Langkah ini muncul setelah Singapura melarang penggunaan vape dan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Di Negeri Singa, kepemilikan maupun penggunaan vape bisa dikenai denda hingga SGD 2.000 (sekitar Rp 25,1 juta), serta penambahan zat etomidate dalam daftar narkotika Kelas C—yang berarti pelaku bisa diwajibkan mengikuti rehabilitasi sama seperti kasus narkoba lainnya.

Continue Reading

Kesehatan

Ngeri! Tidur Kelamaan Ternyata Bisa Bikin Otak Lemot

Published

on

NEWS – Di balik kenyamanan kasur dan waktu istirahat yang panjang, ternyata ada bahaya tersembunyi bagi kesehatan otak. Sebuah studi terbaru dari University of Texas Health Science Center di San Antonio mengungkapkan bahwa tidur terlalu lama terutama lebih dari sembilan jam per malam berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif, seperti daya ingat, kemampuan visual spasial, hingga fungsi eksekutif.

Temuan ini bukan sekadar opini. Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Alzheimer’s & Dementia pada April 2025, dan dilaporkan oleh Neuroscience News, menganalisis data dari 1.853 orang dewasa bebas demensia dan stroke, yang merupakan bagian dari Framingham Heart Study sebuah studi jangka panjang yang kredibel di dunia medis. Usia rata-rata peserta adalah hampir 50 tahun, dan mereka dievaluasi secara menyeluruh untuk mengukur fungsi kognitifnya.

Vanessa Young, penulis utama penelitian tersebut, menjelaskan bahwa hubungan antara durasi tidur berlebih dan gangguan kognitif terlihat paling kuat pada individu yang mengalami gejala depresi. “Ini bukan hanya soal tidur lama, tapi bagaimana tidur yang berlebihan ditambah dengan depresi mempengaruhi kesehatan otak secara menyeluruh,” ungkap Young dalam wawancara yang dikutip Neuroscience News.

Menariknya, efek negatif tidur berlebihan tetap muncul, baik pada mereka yang menggunakan obat antidepresan maupun yang tidak. Artinya, masalah ini tidak bisa diatasi hanya dengan perawatan medis standar, tetapi perlu pendekatan yang lebih holistik terhadap pola tidur dan kesehatan mental.

Sudha Seshadri, direktur Glenn Biggs Institute for Alzheimer’s & Neurodegenerative Diseases sekaligus salah satu penulis senior dalam penelitian tersebut, menekankan pentingnya memahami bahwa pola tidur ekstrem baik terlalu sedikit maupun terlalu banyak merupakan indikator masalah yang lebih dalam. “Terlalu sering kita mengabaikan tidur panjang sebagai sesuatu yang wajar, padahal bisa jadi itu adalah gejala dari depresi atau masalah otak lainnya,” jelasnya.

Hasil studi ini sekaligus memperkuat panduan dari Global Council on Brain Health yang menyarankan durasi tidur ideal antara 7 hingga 8 jam per malam. Tidur lebih dari sembilan jam, terutama bila dilakukan secara rutin, bisa menjadi tanda peringatan bahwa fungsi otak mulai menurun.

Jadi, jika Anda sering merasa butuh tidur lama dan tetap merasa lelah terutama jika disertai dengan gejala depresi mungkin sudah waktunya untuk berkonsultasi dan meninjau kembali pola tidur Anda. Karena, seperti yang disimpulkan dalam laporan Neuroscience News, tidur bukan sekadar soal istirahat, tetapi cermin dari kesehatan mental dan kognitif Anda.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler