Ruang Literasi
Jumlah Spesies Burung di Indonesia Meningkat pada Tahun 2024
Published
2 years agoon
NEWS – Jumlah spesies burung di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun ini, menurut laporan yang dirilis hari ini. Penambahan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu perubahan taksonomi dan penemuan sebaran baru.
Menurut Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser dari Burung Indonesia, total spesies burung di Indonesia saat ini mencapai 1.836, meningkat 10 spesies dari tahun sebelumnya. Penambahan ini juga berdampak pada perubahan status keterancaman beberapa spesies burung di Indonesia.
“Kami melihat peningkatan jumlah spesies burung di Indonesia, termasuk penambahan satu spesies burung endemis,” ujarnya.
Ria menjelaskan bahwa sembilan spesies burung baru diidentifikasi sebagai hasil pemecahan taksonomi dari delapan spesies burung sebelumnya. Misalnya, burung kacamata morotai (Zosterops dehaani) yang sekarang diakui sebagai spesies terpisah dari kacamata halmahera (Zosterops atriceps) berdasarkan perbedaan morfologi, bioakustik, dan ekologi.
“Pada tahun ini, kami juga mencatat lima spesies burung yang sebelumnya tidak tercatat di Indonesia, termasuk beberapa spesies yang ditemukan melalui observasi lapangan oleh para pengamat burung,” jelasnya.
Ria menambahkan bahwa beberapa perubahan status keterancaman spesies burung juga terjadi pada tahun ini. Data evaluasi dari Daftar Merah IUCN oleh BirdLife International menunjukkan perubahan pada 62 spesies burung di Indonesia, termasuk 40 spesies yang mengalami penurunan status keterancaman.
“Dalam evaluasi ini, kami menetapkan status baru untuk 14 spesies, termasuk yang hasil pemecahan taksonomi dan yang status keterancamannya mengalami peningkatan,” tambahnya.
Informasi yang diungkapkan oleh Ria Saryanthi ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keragaman burung di Indonesia dan menggarisbawahi pentingnya perlindungan dan pelestarian habitat mereka di tengah perubahan lingkungan yang terus berlangsung.
You may like
Gorontalo
Dari Gunung ke Kampus: MAPALA_STA Genap 30 Tahun Membumikan Nilai Ekologis
Published
2 days agoon
01/11/2025
Tiga dekade perjalanan Mahasiswa Pencinta Alam Sultan Amai (MAPALA_STA) bukan sekadar deretan angka, melainkan cermin nilai, perjuangan, dan eksistensi. Organisasi ini lahir dari semangat petualangan yang berpadu dengan kesadaran ekologis serta tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.
Dalam peringatan 30 tahun MAPALA_STA, Rahmat Djaba — Ketua NGO Tomini Initiative Indonesia (To_Innesia) sekaligus senior Mapala_STA IAIN Sultan Amai Gorontalo — menyampaikan pesan reflektif bertajuk “Menuju Terbangunnya Nilai Hakiki Pelestari Bumi.” Ia menegaskan bahwa gerakan pencinta alam harus melampaui romantika petualangan menuju kesadaran ilmiah, sosial, dan spiritual.
MAPALA Sebagai Pengusung Nilai Hakiki
Rahmat menekankan, Mahasiswa Pencinta Alam harus menjadi pelopor perubahan paradigma dari antroposentrisme menuju ekosentrisme — pandangan yang menempatkan seluruh unsur alam sebagai entitas bernilai intrinsik yang wajib dihormati dan dilindungi.
Menurutnya, ada tiga nilai hakiki yang perlu dihidupkan dalam gerakan pencinta alam:
-
Kesadaran Ilmiah dan Kritis
Menjaga bumi bukan sekadar idealisme, melainkan keharusan ilmiah. Sejalan dengan laporan IPCC 2023, krisis iklim merupakan konsekuensi dari perilaku manusia yang tidak berkelanjutan. -
Kesadaran Sosial dan Humanistik
Kerusakan alam paling dirasakan oleh kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan komunitas adat. Karena itu, perjuangan ekologis harus berjalan seiring dengan perjuangan keadilan sosial. Paus Paulus VI (1971) menegaskan, “Ketidakadilan terhadap manusia adalah ketidakadilan terhadap ciptaan.” -
Kesadaran Spiritual Lintas Iman
Alam adalah kitab suci terbuka. Rahmat menegaskan pandangan lintas agama terkait pelestarian bumi:
-
QS. Al-A’raf :56 menyerukan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.
-
Kejadian 2:15 menyebut bahwa Tuhan menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan dan memeliharanya.
-
Prinsip Ahimsa dalam Hindu dan ajaran Metta Sutta dalam Buddhisme menegaskan kasih universal terhadap seluruh makhluk hidup.
Tiga Dekade Refleksi Gerakan MAPALA_STA
Selama 30 tahun, MAPALA_STA telah berevolusi dari komunitas petualang menjadi laboratorium etika ekologis. Namun, Rahmat mengajak seluruh anggota untuk merefleksikan arah gerakan:
“Apakah kegiatan kita masih sebatas mendaki dan berpetualang, atau sudah menjadi gerakan ilmiah yang melahirkan solusi konkret bagi keberlanjutan lingkungan?”
MAPALA_STA, lanjutnya, harus menjadi agen perubahan ekologis di kampus dan masyarakat dengan mengintegrasikan riset, advokasi, dan aksi nyata. Kegiatan pendakian sebaiknya menghasilkan data konservasi, ekspedisi melahirkan riset biodiversitas, dan aktivitas sosial menumbuhkan kemandirian ekologis masyarakat.
Di tingkat kampus, Rahmat menegaskan pentingnya mewujudkan konsep Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Ilmiah secara terintegrasi. Salah satu langkah nyata yang ia contohkan adalah penanaman multi-purpose tree species (MPTS) — pohon yang menghasilkan buah, sayur, dan obat-obatan sekaligus menjaga kesuburan tanah dan keseimbangan air.
Menjadi Sentrum Perubahan dan Pelestari Bumi
Menurut Rahmat, menjadi pelestari bumi berarti membangun etos ekologis berkelanjutan yang menyatukan pengetahuan, moral, dan spiritualitas. Ia mengutip pemikiran Seyyed Hossein Nasr (1996) dalam Religion and the Order of Nature, yang menyebut krisis ekologis modern lahir dari hilangnya kesadaran sakral terhadap alam.
“Tugas kita adalah mengembalikan kesakralan itu melalui ilmu, iman, dan tindakan. Mapala harus menjadi ekologi moral bangsa, penjaga nilai, dan penggerak kesadaran ekologis lintas generasi,” ujarnya.
Menutup pesannya, Rahmat Djaba mengutip sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR. Muslim)
“Tiga puluh tahun ini menjadi momentum reflektif bagi kita untuk menegaskan jati diri, bukan sebagai penakluk alam, tetapi penjaga keseimbangannya,” imbuhnya.
Ia menutup dengan ajakan penuh makna: “Mari kita jawab amanah itu bukan dengan wacana, tetapi dengan aksi nyata untuk bumi kita.”
Gorontalo – Malam itu, air di Danau Limboto meluap, orang-orang tak menyangka Danau yang sekian tahun tenang, kini menampakkan amarahnya. Air danau Limboto sangat cepat masuk ke rumah-rumah warga, bahkan menyentuh hingga seng pemukiman nelayan. Orang-orang saling bahu membahu menolong. Para Relawan disetiap lembaga kemanusiaan ikut merespon. Berita menyebar di mana-mana, banjir besar Danau Limboto menjadi pusat perhatian.
Aku yang tergabung dalam barisan lembaga kemanusiaan Rumah Zakat segera ikut merespon dengan kawan-kawan lainnya; meng-evakuasi, membagikan makanan siap saji, hingga keputusan membangun Dapur Umum untuk warga yang terdampak banjir Danau Limboto. Banjir itu berlangsung lama, kira-kira 3-4 bulan air tersebut barulah surut total.
Dapur Umum menjadi bab baru bagi setiap orang yang terlibat sebagai relawan di sana; ada masyarakat umum yang ikut membantu, lalu meramaikan dapur umum, ada relawan baru yang bergabung, ada relawan lama yang bertugas. Dapur umum bukan sekadar dapur, ia adalah kumpulan kontribusi, perkenalkan, cerita, serta doa-doa kecil yang selalu didengar oleh langit. Itulah awal mula aku pribadi mengenal sosok adik Cindrawati Rahman; relawan baru di dapur umum, yang begitu mendedikasikan tenaganya untuk menopang makanan agar terbagikan dalam waktu dan jumlah yang telah ditetapkan.
Keseharian adik Cindrawati Rahman, ia selalu bermain dengan kucing dan memakai headset khas miliknya berwarna pink. Keseharian teman-teman relawan saling mengajak dalam kebaikan, saat adzan berkumandang semua saling mengingatkan untuk salat, begitupun para akhwat, termasuk dik Cindrawati Rahman.
Sampai kabar itu pun tiba. Tadi malam, satu provinsi Gorontalo digegerkan oleh berita lakalantas yang menewaskan satu wanita bercadar di tempat dengan kondisi kepala yang memprihatinkan karena terlindas konteiner. Setelah ditelusuri ternyata wanita bercadar itu punya history sebagai Relawan Rumah Zakat Gorontalo, ia terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan.
Orang-orang akhirnya ramai memperdebatkan, kalaulah dia bercadar dan baik kenapa kematiannya begitu tragis. Padahal kematian itu rahasia Allah, Allah yang memiliki kendali dan kehendak atas umur dan bagaimana kita meninggal di akhir nanti. Orang-orang ramai membicarakan itu, sampai mereka lupa, bahwa adik Cindrawati Rahman meninggal dunia di malam Jum’at, Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah (azab) kubur.”
— HR. Ahmad (no. 6546), Tirmidzi (no. 1074)
Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
Syaikh Al-Albani juga mensahihkannya dalam Ahkamul Jana’iz (hal. 49).
Bukan hanya itu, Adik Cindrawati Rahman yang menggunakan cadar ini, saat pakaian di tubuh tersingkap, masyarakat berbondong-bondong dan bergegas memperbaiki pakaiannya tersebut. Beginilah cara Allah menjaga aurat wanita yang terbiasa menjaga auratnya.
Dan, entah apa amalan langit yang dilakukan oleh Adik Cindrawati Rahman ini, sampai-sampai wajahnya tak diizinkan untuk terlihat sedikitpun oleh laki-laki yang berkerumun di tempat itu, bahkan oleh laki-laki yang ada di tempatnya. Wajahnya disembunyikan oleh Allah hingga ia meninggal dunia.
Ingatlah, kematian itu rahasia Allah, ada orang yang meninggal dengan tubuh yang lengkap tetapi ia meninggal di tempat bermaksiat; club malam, tempat narkoba, dll. Jadi kejadian-kejadian menuju kematian itu sepenuhnya rahasia Allah. Dan kita doakan, semoga Adik Cindrawati Rahman dengan kebaikannya yang selalu membantu orang banyak, mendapat balasan yang indah di sisi Allah.
Ketika langit telah melamar seorang wanita, wajahnya pun disembunyikan hingga akhir hidupnya.
📝 Sandy Syafrudin Nina
Penulis Lepas, Yang Melepaskan Tulisan.
Ruang Literasi
Ketika Orang Tidak Kompeten Jadi Viral, Kaum Terpelajar Malah Diam
Published
5 days agoon
29/10/2025
Menggugat Kaum Terpelajar (Bagian II)
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
“Intelektual sejati bukan yang paling tahu, tapi yang paling berani menyampaikan kebenaran.”
— Edward Said
Kaum terpelajar di negeri ini sering kali terlalu sibuk mencari kebenaran, tapi lupa memperjuangkannya di ruang publik.
Mereka hadir di ruang riset, diskusi, dan seminar — namun jarang berdiri bersama rakyat ketika persoalan sosial muncul di depan mata. Saat kekisruhan sosial terjadi, mereka memilih diam: takut diserang, takut disalahpahami, takut kehilangan posisi.
Namun ketika orang-orang yang tidak kompeten berbicara lantang di publik — dengan analisis dangkal tapi retorika meyakinkan — kaum terpelajar justru mulai mengeluh soal “rendahnya kualitas wacana publik”. Padahal, orang-orang tidak kompeten itu jadi viral karena diamnya kaum terpelajar.
Lihat saja apa yang terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara belum lama ini.
Publik dikejutkan oleh dugaan pungutan liar dalam proses seleksi PPPK. Massa rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Di tengah aksi itu, seorang anggota DPRD malah tampak mencibir para demonstran — dan gestur itu langsung viral.
Alih-alih membahas akar masalah seperti praktik pungli atau sistem rekrutmen yang tidak adil, media sosial justru ramai memperdebatkan gestur dan ekspresi wajah.
Yang lebih ironis, percakapan publik kemudian dikuasai oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas di bidang hukum, tata kelola pemerintahan, maupun etika politik. Tapi karena mereka viral, suaranya dianggap paling benar.
Inilah akibat dari vakumnya suara kaum terpelajar.
Ketika para akademisi, peneliti, dan kaum intelektual tidak hadir memberi pencerahan, ruang itu diisi oleh siapa saja yang paling berani bicara — bukan yang paling paham persoalan.
Dan pada titik itu, kebenaran berubah menjadi tontonan.
Kaum terpelajar sebetulnya tidak kekurangan kapasitas.
Setiap tahun mereka menghasilkan ribuan penelitian, banyak di antaranya dibiayai negara.
Namun, publik jarang sekali bisa memahami isi riset-riset itu — bukan karena bodoh, tapi karena bahasanya tidak pernah disederhanakan.
Laporan akademik berakhir di rak kampus, sementara masyarakat tetap haus penjelasan.
Dalam pandangan Pierre Bourdieu, pengetahuan sering menjadi modal simbolik — alat mempertahankan gengsi, bukan memperjuangkan perubahan.
Ilmu berhenti sebagai tanda status sosial, bukan sebagai alat pencerahan.
Kita hidup di zaman ketika semua orang bisa menjadi “pakar instan”.
Internet memberi panggung pada siapa pun, tanpa verifikasi kemampuan.
Akibatnya, kebebasan bicara meluas, tapi kewenangan berbicara hilang.
China baru-baru ini mengeluarkan kebijakan kontroversial: hanya mereka yang memiliki kualifikasi profesional terverifikasi yang boleh membahas topik-topik serius seperti keuangan, pendidikan, hukum, dan kesehatan.
Bagi sebagian orang, kebijakan ini terdengar otoriter. Tapi kalau dipikir jernih, ada benarnya juga.
Karena di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia, kita kini menghadapi ancaman serupa:
bukan sensor negara, melainkan banjir opini tanpa kapasitas.
Masalahnya bukan kebebasan berbicara, tapi hilangnya tanggung jawab intelektual.
Dan di situlah seharusnya kaum terpelajar mengambil peran — bukan membungkam, tapi menyehatkan ruang publik dengan argumentasi yang jernih dan berbasis pengetahuan.
Tanggung Jawab Moral Kaum Terpelajar
Kaum terpelajar perlu belajar dari Antonio Gramsci, yang menyebut bahwa setiap zaman butuh intelektual organik — mereka yang tak hanya berpikir untuk rakyat, tapi berpikir bersama rakyat.
Bukan sekadar menulis jurnal, tapi menyederhanakan gagasan agar bisa dipahami tukang ojek, petani, guru, dan mahasiswa.
Karena ilmu yang tidak bisa diakses rakyat hanyalah kesombongan intelektual.
Dari Ejekan Jadi Kekerasan: Siswa SMP Diintimidasi dan Dipukul Kakak Kelas
Menyongsong Peran Saka 2025: Kwarnas Kukuhkan Sangker sebagai Garda Utama Kegiatan
Nyaman & Murah! Ini Daya Tarik wisata Botu Motolioluwo (sungai longalo) Gorontalo
Heboh! Pasutri ini Kembalikan Amplop Pernikahan di Acara Perceraian
Dari Gunung ke Kampus: MAPALA_STA Genap 30 Tahun Membumikan Nilai Ekologis
Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
Warga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
Dukung Palestina, Bandar Besar Ganja Maroko Boikot Pengedar Narkoba Israel
Kabar Baik ! TVRI Pegang Hak Siar Piala Dunia 2026, Nobar aman untuk Seluruh Masyarakat
Pembenahan di RSUD Aloei Saboe: Staf Bermasalah Dipindah Tugas Demi Perbaikan Pelayanan
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo1 month agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
News4 weeks agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Daerah3 months agoDPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
Gorontalo3 months agoDPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial3 months agoProf. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Gorontalo2 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Advertorial1 month agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
