News
Kisruh Biaya Kuliah
Published
12 months agoon

Penulis : Rierind Koniyo
barakati.id – Kisruh biaya kuliah di Indonesia mencerminkan krisis yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia, meningkatkan kemampuan, dan mengembangkan kepribadian. Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, data dari Dataindonesia.id dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA dan SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari sekitar 10,2 juta siswa yang lulus pada tahun 2023, hanya 7,8 juta yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Kesenjangan ini disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya. Bagi sebagian mahasiswa yang beruntung, biaya kuliah dapat ditanggung oleh orang tua atau melalui beasiswa KIP. Namun, ada banyak mahasiswa yang harus berjuang sendiri, mengatasi berbagai kesulitan keuangan demi meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bekerja sambilan, mengikat perut agar hemat, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa kuliah.
Pemerintah sering kali dianggap gagal memahami urgensi mahalnya biaya kuliah. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi sebagai kunci peradaban yang maju. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membentuk masyarakat yang lebih cerdas, inovatif, dan kompetitif di tingkat global.
Banyak warga negara yang ingin maju, menggantungkan mimpi dan cita-citanya pada pendidikan tinggi. Mereka rela berkorban demi masa depan yang lebih baik, meskipun harus menjalani kehidupan yang keras dan penuh perjuangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan yang ada, memastikan bahwa bantuan pendidikan dan beasiswa mencapai sasaran yang tepat. Harus ada mekanisme yang adil dan transparan untuk mendukung mereka yang benar-benar membutuhkan, agar semua warga negara, terutama yang miskin, memiliki harapan untuk memperbaiki kualitas hidup melalui pendidikan.
Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Dengan memberikan akses yang lebih luas dan terjangkau, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, berpengetahuan, dan mampu bersaing di tingkat internasional. Pemerintah harus berkomitmen untuk tidak hanya meningkatkan jumlah penerima beasiswa tetapi juga memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi penghalang bagi mereka yang memiliki semangat dan kemampuan untuk belajar. Dengan demikian, harapan untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua lapisan masyarakat dapat terwujud.
You may like
Kesehatan
Why Do Westerners Prefer Using Toilet Paper Over Water? Here’s the Reason
Published
9 hours agoon
12/05/2025
The practice of using toilet paper instead of water for personal hygiene after defecation is a common habit in many Western countries. This preference is influenced by a combination of historical, cultural, climatic, and practical factors that have shaped the hygiene practices in these regions.
The use of toilet paper in the West dates back to the 16th century. French writer François Rabelais was among the first to mention it, albeit with reservations about its effectiveness. Despite these early critiques, the practice became widespread. In contrast, many Eastern cultures have long traditions of using water for cleansing, influenced by religious practices and cultural norms.
The colder climates of many Western countries play a significant role in the preference for toilet paper. In these regions, the use of water for personal hygiene can be uncomfortable due to low temperatures. Toilet paper provides a convenient and warm alternative.
Dietary habits also influence hygiene practices. Western diets, which often include lower fiber intake, result in firmer stools that are easier to clean with toilet paper. In contrast, higher fiber diets common in many Eastern countries lead to softer stools, making water-based cleansing more effective and comfortable.
The widespread availability and affordability of toilet paper in Western countries make it a practical choice for personal hygiene. In contrast, the infrastructure for water-based cleansing methods, such as bidets or handheld sprayers, is less common in these regions, making the adoption of such practices less feasible.
While toilet paper is convenient, it has environmental implications. The production of toilet paper contributes to deforestation and water usage. Moreover, some studies suggest that water-based cleansing methods may be more hygienic and less irritating to the skin.
The preference for toilet paper in Western countries is the result of a complex interplay of historical developments, cultural norms, climatic conditions, dietary habits, and practical considerations. While this practice is deeply ingrained, there is a growing awareness of the environmental and hygienic benefits of alternative methods, such as water-based cleansing. As global perspectives on hygiene and sustainability evolve, these practices may continue to adapt and change.
News
Lima Nelayan Diselamatkan Setelah 55 Hari Terombang-ambing di Laut : Kisah Bertahan Hidup dan Ketahanan
Published
10 hours agoon
12/05/2025
Dalam sebuah kisah luar biasa tentang bertahan hidup, lima nelayan, tiga dari Peru dan dua dari Kolombia, diselamatkan setelah menghabiskan 55 hari yang penuh tantangan terombang-ambing di laut. Kisah perjuangan dan daya tahan mereka menarik perhatian dunia setelah mereka ditemukan pada 7 Mei 2025 oleh kapal tuna asal Ekuador, Aldo, sekitar 1.200 kilometer dari titik keberangkatan mereka di Teluk Pucusana, Peru. Para nelayan ini telah hilang sejak pertengahan Maret, dan keberhasilan mereka bertahan hidup menjadi bukti ketahanan manusia dalam menghadapi kesulitan ekstrem.
Perjalanan para nelayan dimulai seperti kebanyakan perjalanan nelayan lainnya, dengan sebuah trip memancing di lepas pantai Peru. Namun, perjalanan ini berubah menjadi bencana ketika alternator kapal mereka rusak hanya dua hari setelah berangkat. Kerusakan tersebut menyebabkan sistem komunikasi dan navigasi kapal tidak berfungsi, meninggalkan para nelayan terombang-ambing di tengah laut tanpa kemampuan untuk meminta bantuan atau mengarahkan kapal.
Tanpa akses ke daya atau alat navigasi yang memadai, para nelayan tersebut terpaksa mengapung tanpa arah di Samudra Pasifik yang luas. Tanpa cara untuk meminta pertolongan dan tanpa kendali atas kapal mereka, mereka berada di tangan elemen alam. Para nelayan menghadapi tantangan untuk tetap hidup di tengah salah satu lautan terbesar dan terjauh di dunia.
Seiring berjalannya waktu, situasi para nelayan semakin putus asa. Tanpa air bersih dan persediaan makanan yang cukup, para nelayan tersebut terpaksa mengandalkan air hujan yang mereka kumpulkan, serta air laut yang asin. Mereka juga harus meminum air berkarat yang diambil dari mesin kapal. Ketidakadaan makanan menjadi masalah besar, namun para nelayan berhasil menangkap ikan yang lewat, yang mereka rebus untuk bertahan hidup selama perjalanan mereka.
Meskipun cara bertahan hidup mereka terdengar suram, ketangguhan para nelayan yang mampu bertahan selama hampir dua bulan ini sungguh luar biasa. Mereka hidup dalam keadaan ketidakpastian dan ketakutan yang konstan, tetapi tekad mereka untuk tetap hidup dan menemukan cara untuk kembali ke rumah adalah apa yang membuat mereka terus bertahan.
Para nelayan melaporkan bahwa semangat mereka terangkat dengan sesekali melihat ikan-ikan yang melewati mereka dan memberikan mereka asupan penting. Dalam lingkungan yang tak kenal ampun seperti itu, bahkan sumber daya terkecil pun menjadi sangat berharga.
Meskipun menghadapi masa sulit, para nelayan dilaporkan berada dalam kondisi stabil ketika mereka akhirnya diselamatkan. Meski mereka mengalami dehidrasi, malnutrisi, dan kelelahan setelah berbulan-bulan di laut, kelangsungan hidup mereka benar-benar luar biasa mengingat kondisi ekstrem yang mereka alami.
Pada 7 Mei 2025, keberuntungan para nelayan berubah ketika Aldo, kapal tuna asal Ekuador, menemukan mereka yang terombang-ambing di lautan terbuka. Kru kapal Aldo sedang melakukan operasi reguler di area tersebut ketika mereka melihat kapal para nelayan. Setelah melakukan penilaian cepat terhadap situasi, kru Aldo segera memulai operasi penyelamatan. Dalam beberapa jam, kelima nelayan tersebut berhasil naik ke kapal Aldo dan dalam perjalanan menuju Kepulauan Galápagos, di mana mereka diberikan perhatian medis dan dukungan.
Operasi penyelamatan ini menjadi harapan bagi keluarga para nelayan yang telah lama menunggu kabar tentang orang-orang tercinta mereka sejak pertengahan Maret. Otoritas Ekuador bekerja cepat untuk memastikan kepulangan para nelayan ini, berkoordinasi dengan pejabat Peru dan Kolombia untuk memfasilitasi perjalanan mereka pulang.
Kisah selamatnya para nelayan ini mendapat sambutan lega dan kagum, tidak hanya dari keluarga mereka tetapi juga dari masyarakat internasional. Cerita mereka menjadi simbol kekuatan manusia dan kehendak untuk bertahan hidup di hadapan kesulitan yang seolah mustahil.
Penyelamatan ini datang hanya beberapa bulan setelah kisah bertahan hidup yang luar biasa lainnya. Pada Maret 2025, nelayan Peru, Máximo Napa, yang berusia 61 tahun, berhasil bertahan hidup selama 95 hari sendirian di laut setelah kapalnya terdampar di lepas pantai Ekuador. Napa akhirnya diselamatkan oleh kapal Ekuador, seperti kelima nelayan ini, dan dibawa kembali ke Lima, Peru, di mana ia bersatu kembali dengan keluarganya. Kisah Napa, yang juga banyak diberitakan, mengingatkan kita akan banyaknya bahaya yang dihadapi oleh nelayan di perairan ini.
Kedua kasus ini, termasuk kisah kelima nelayan yang baru saja diselamatkan, menyoroti kondisi berbahaya yang dihadapi oleh nelayan di Samudra Pasifik. Luasnya lautan, cuaca yang tak terduga, dan kegagalan mekanis menciptakan kombinasi yang sangat berbahaya. Bagi mereka, kehendak untuk hidup dan kemampuan untuk beradaptasi serta memanfaatkan segala sumber daya yang ada adalah hal yang sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup mereka.
Kisah bertahan hidup para nelayan ini mengangkat pertanyaan penting mengenai keselamatan mereka yang bekerja di laut, terutama di daerah-daerah di mana infrastruktur dan sumber daya maritim mungkin terbatas. Perikanan adalah industri yang sangat penting bagi negara-negara seperti Peru dan Kolombia, dan banyak nelayan mengandalkan kapal-kapal mereka untuk mata pencaharian. Namun, insiden seperti ini menunjukkan pentingnya meningkatkan langkah-langkah keselamatan dan pelatihan yang lebih baik bagi nelayan, serta layanan penyelamatan dan darurat yang lebih tanggap.
Pihak berwenang di Ekuador dan Peru telah menyerukan peningkatan kerja sama antara kedua negara dalam hal keselamatan maritim dan operasi penyelamatan. Peristiwa-peristiwa ini juga menyoroti pentingnya investasi dalam pemeliharaan kapal-kapal perikanan, memastikan bahwa para nelayan dilengkapi dengan alat komunikasi dan navigasi yang andal, serta memberikan mereka lebih banyak dukungan dalam menghadapi keadaan darurat.
Perjalanan luar biasa kelima nelayan ini berakhir setelah lebih dari 50 hari terombang-ambing, namun kisah mereka akan terus menginspirasi banyak orang. Ini menjadi pengingat kuat tentang kekuatan semangat manusia dan kemampuan bertahan hidup di tengah kesulitan yang paling ekstrem. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam kondisi yang begitu sulit akan menginspirasi orang lain, baik dalam komunitas nelayan maupun di luar itu, untuk menghadapi tantangan dengan ketangguhan dan keberanian.
Ketika para nelayan ini pulih dan kembali ke keluarga mereka, kelangsungan hidup mereka yang ajaib tidak hanya akan dikenang sebagai kisah luar biasa tentang ketahanan manusia, tetapi juga sebagai panggilan untuk meningkatkan keselamatan nelayan dan mereka yang bekerja dalam kondisi berbahaya di laut.
Penyelamatan kelima nelayan setelah 55 hari terombang-ambing di laut adalah bukti ketangguhan mereka dan kemampuan semangat manusia untuk mengatasi tantangan paling ekstrem. Sementara kelangsungan hidup mereka luar biasa, kejadian ini juga membawa perhatian pada risiko yang dihadapi oleh nelayan di Pasifik dan perlunya langkah-langkah keselamatan yang lebih baik di industri maritim. Kisah mereka pasti akan menjadi sumber inspirasi, mengingatkan kita semua akan kekuatan luar biasa yang bisa digerakkan saat menghadapi rintangan yang tampaknya tak teratasi.
News
Pope Leo XIV Elected: A New Chapter for the Roman Catholic Church
Published
1 day agoon
11/05/2025
On May 8, 2025, a momentous event took place at the Vatican as Cardinal Robert Francis Prevost was elected as the new Pope, taking the name Pope Leo XIV. The election occurred during the papal conclave, which saw the participation of 133 cardinals from across the world. This election marked a new chapter for the Roman Catholic Church, with Pope Leo XIV becoming the first pope from the United States and also the first member of the Augustinian Order (OSA) to be elected to the papacy.
Pope Leo XIV chose his papal name in honor of Pope Leo XIII, who reigned in the late 19th century and is remembered for his significant contributions to Catholic social teachings. Pope Leo XIII advocated for the rights of workers and promoted justice for the marginalized. By adopting this name, Pope Leo XIV is signaling his commitment to social justice and his intention to carry forward these ideals in a modern context, addressing the challenges that the world faces today.
This decision to adopt the name Leo is not only a tribute to the past but also a clear indication of his desire to bring the Church into a new era, focused on compassion, inclusivity, and justice. Many are hopeful that his papacy will see the Church taking stronger stances on pressing global issues, such as economic inequality and environmental protection.
A Focus on Peace, Dialogue, and Social Justice
In his first address, Pope Leo XIV stressed the importance of peace and dialogue, particularly in a world that seems increasingly divided. He called for an emphasis on fostering understanding between different faiths and cultures, advocating for a peaceful coexistence. Pope Leo XIV also focused on the need for the Church to provide care and support for the poor and those on the margins of society, highlighting the ongoing struggle for economic equality.
Furthermore, the new Pope identified the rapid advancements in artificial intelligence (AI) as one of the greatest challenges humanity faces in the coming years. In his speech, he acknowledged the potential of AI to reshape many aspects of human life, from social relations to employment, and called for responsible development and ethical consideration in the implementation of new technologies.
This focus on both technological advancements and the traditional Church mission of aiding the vulnerable highlights the balance Pope Leo XIV intends to strike during his papacy. While embracing modernity, he aims to uphold the moral and social teachings that have defined the Church for centuries.
Pope Leo XIV’s official inauguration is scheduled to take place on May 18, 2025, at St. Peter’s Square in Vatican City. The ceremony will be a significant moment not only for the Catholic community but also for the world, as it will mark the beginning of a new era for the Vatican. With such a diverse background, Pope Leo XIV’s leadership promises to bring fresh perspectives to the ongoing efforts to address both traditional and contemporary issues within the Church.
During his inaugural Mass, many expect to hear further details about his plans for the Church’s future, particularly his strategies for engaging with issues such as climate change, global poverty, and the evolving role of the Church in the digital age. The presence of leaders from different faiths and political spheres at the inauguration will underline the global importance of the papacy and Pope Leo XIV’s potential role in fostering interfaith and international dialogue.
The Global Expectations for Pope Leo XIV
With the election of Pope Leo XIV, there are great expectations both within the Church and in the broader international community. As the first Pope from the United States, he brings a fresh perspective that is both modern and rooted in the Catholic tradition. His leadership is seen as a potential catalyst for the Church to expand its role on the world stage, tackling issues such as social inequality, human rights, and climate change. His leadership will likely be characterized by efforts to make the Church more accessible to the broader population, as well as an emphasis on modernizing Church operations and teachings to better address the needs of today’s society.
In particular, Pope Leo XIV’s background in the Augustinian Order may also lead to a renewed focus on education, intellectual engagement, and the fostering of community within the Church. The Augustinian tradition places a strong emphasis on learning, self-examination, and building relationships among the faithful, which could be a key feature of his papacy.
As the world waits for the inauguration ceremony and the subsequent direction Pope Leo XIV will take the Catholic Church, many remain hopeful that his leadership will usher in a time of growth, renewal, and greater unity within the Church and beyond.
The election of Pope Leo XIV marks a pivotal moment in the history of the Catholic Church. His leadership, marked by a commitment to peace, justice, and technological awareness, promises to address the challenges of the modern world while remaining rooted in the long-standing principles of the faith. As the Catholic Church enters this new era under his guidance, the faithful and the global community alike look forward to a renewed emphasis on compassion, dialogue, and social responsibility. With Pope Leo XIV’s inauguration on the horizon, the Vatican prepares to take the next steps into a future that is both promising and challenging.

Limonu Hippy : Digitalisasi dan harga Gabah yang stabil kunci Swasembada Pangan di Gorontalo

Why Do Westerners Prefer Using Toilet Paper Over Water? Here’s the Reason

Lima Nelayan Diselamatkan Setelah 55 Hari Terombang-ambing di Laut : Kisah Bertahan Hidup dan Ketahanan

Iqbal Al Idrus Desak Pemprov Gorontalo rampungkan kesiapan Lahan Sekolah Rakyat

Pope Leo XIV Elected: A New Chapter for the Roman Catholic Church

Sungai Bilungala Tak Kunjung Dinormalisasi, Warga Bonepantai Terus Diteror Banjir Bandang

Evakuasi Mahasiswa Terjebak: Lima Selamat, Tiga Dinyatakan Meninggal Dunia

Rektor EW : Terima Kasih Sudah Membantu Anak-anak Saya Saat Tragedi di Lokasi KKN Terjadi

Rektor UNG Eduart Wolok: Belasungkawa untuk Mahasiswa Geologi Korban Musibah di Bulawa

Tragis! 10 Mahasiswa KKN UNG Terseret Arus Sungai di Bulawa, 2 Meninggal Dunia, 1 Masih Hilang

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo2 months ago
Panpel CSP XVIII Gorontalo Resmi Launching Artwork Event
-
Gorontalo3 months ago
Sepasang Lansia Ditemukan Meninggal di Kebun Terpencil Setelah Hilang Tiga Hari
-
Gorontalo2 months ago
Diduga Ada Penggalian Lahan Tanpa Izin di Pohuwato, Pemilik Tanah Tuntut Ganti Rugi
-
Advertorial2 months ago
Soal Demo dan Kritik Mahasiswa, Iqbal Al Idrus: Itu Hak yang Dilindungi Undang-Undang
-
Gorontalo3 months ago
Tim SAR Gabungan Evakuasi Korban Terjepit di Mobil Pertamina Akibat Tertabrak Pohon
-
Gorontalo2 months ago
Peredaran Batu Hitam Ilegal di Bone Bolango Masih Berlangsung, Diduga Libatkan Aparat
-
Bone Bolango4 weeks ago
Sungai Bilungala Tak Kunjung Dinormalisasi, Warga Bonepantai Terus Diteror Banjir Bandang
-
Gorontalo1 month ago
Aktivitas PETI di Pohuwato Kembali Mencuat, Nama Yosar Ruiba Kembali Disebut