JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan evaluasi terkait trend penurunan skor rata-rata Monitoring Centre for Prevention (MCP) seluruh pemerintah daerah di Gorontalo.
Berdasarkan data 2018, KPK mencatat skor MCP rata-rata pemda di Gorontalo 78 persen, dan berturut-turut mengalami penurunan menjadi 73 persen dan 66 persen di tahun 2019 dan 2020.
Dalam catatan KPK penurunan skor ini tidak hanya sebagai dampak yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, tetapi juga kurangnya komitmen kepala daerah, khususnya yang berakhir masa jabatannya.
Sedangkan, capaian skor MCP Pemerintah Provinsi Gorontalo tahun 2020 adalah 82 persen. Dengan rincian, capaian untuk perencanaan dan penganggaran APBD 82 persen, pengadaan barang dan jasa 92,82 persen.
Pelayanan terpadu satu pintu 99,6 persen, penguatan aparatur pengawas intern pemerintah (APIP) 82,86 persen, manajemen ASN 97,38 persen, optimalisasi pendapatan daerah 48, 71 persen, dan manajeman aset 65,95 persen.
Lembaga KPK juga menyoroti terkait kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Berdasarkan data per 26 April 2021, dari tujuh Pemda terdiri atas Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, hanya Pemerintah Kabupaten Gorontalo yang belum 100 persen menyampaikan LHKPN.
Tercatat masih ada 3 wajib lapor LHKPN yang masih belum menyerahkan laporannya dari total 113 wajib lapor di lingkungan Pemkab Gorontalo. Sedangkan untuk DPRD, baik tingkat satu maupun dua telah 100 persen menyampaikan LHKPN.
Adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Halim Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri. Halim selaku Presiden Direktur PT BRN diduga berperan dalam penyalahgunaan wewenang pada proyek senilai lebih dari Rp 1,3 triliun ini, yang akhirnya mangkrak sejak 2016. Selain Halim Kalla, tersangka lain yang dijerat antara lain mantan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN inisial RR, serta Dirut PT Praba, HYL.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menegaskan, “Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ujarnya dalam konferensi pers. Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, juga menjelaskan, “Sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam lelang PLTU 1 Kalbar.” Proyek ini didanai kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA), namun pelaksanaan dan progresnya bermasalah hingga menyebabkan kerugian negara besar-besaran.
Tercatat nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun akibat proyek mangkrak dan upaya persekongkolan dalam lelang antara oknum PLN dan pihak swasta terkait. Sampai saat ini proses hukum masih berjalan dan tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru berdasarkan pengembangan penyidikan lebih lanjut.
Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo
Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.
Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.
Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.
Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?
Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.
Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.
Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.
Persoalan carut-marut pada pelaksanaan program nasional makan gizi gratis memicu gelombang protes dari Aliansi Pemantau Program Badan Gizi Nasional (BGN). Dalam video berdurasi 13 menit di kanal STAR 7 CHANNEL, mereka menyoroti banyak kejanggalan soal pengelolaan dapur gizi—mulai dari dugaan korupsi, kebijakan rollback status dapur gizi, hingga rendahnya penyerapan anggaran oleh BGN.
Aliansi menerima puluhan keluhan dan laporan dari calon mitra pelaksana dapur gizi, bahkan menemukan fakta bahwa 6.018 dapur gizi diturunkan statusnya dari dapur persiapan menjadi pengusulan kembali, dan akhirnya banyak yang tertolak. Menurut Ketua Umum Aliansi Pemantau Program Badan Gizi Nasional (BGN) Ahmad Yazdi, SH,
“Nama-nama disebut adalah benalu yang jelas dan nyata di BGN. Itu yang pertama.”
Aliansi telah melayangkan surat tuntutan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, yang salah satunya meminta pencopotan pejabat fungsional utama di BGN. Nama-nama yang diusulkan untuk dicopot di antaranya Dadan Hidayana, Tigor Pangaribuan, Ari Santoso, Nicola Fedri, Red Hendra Gunawan, dan Sony Sanjaya. Mereka dianggap memiliki andil dalam praktik-praktik tidak sehat di tubuh BGN.
Terkait dugaan korupsi, narasumber menegaskan:
“Bukan dugaan, Mbak. Itu fakta terjadi di lapangan. Jadi masyarakat dan mitra memang dimintain duit kok. Itu fakta, real. Coba kalau di sini ada pengusaha-pengusaha yang lagi datang di mitra, tanyain aja kalau dia pada mau jujur, berapa tuh bayar satu titik gitu. Fakta itu. Saya enggak bicara itu. Kalau dia bilang fitnah, laporkan saya.”
Keluhan semakin memuncak karena mitra-mitra yang telah membangun dapur gizi ada yang progresnya sudah 100% namun akhirnya tertolak; dana rakyat dipertaruhkan. Laporan pelanggaran ini pun telah dibuat dan dikirim ke KPK, BPK, dan Kejaksaan untuk pemeriksaan serta audit rekening pejabat terkait.
Aliansi juga menyoroti rendahnya penyerapan anggaran BGN. Narasumber mengutip pernyataan dari pejabat lain yang menyebut, “BGN adalah salah satu badan yang paling rendah penyerapan anggarannya. Artinya apa? Enggak bisa kerja ini orang-orang di sini, gitu.”
Aliansi merekomendasikan pengawasan program dapur gizi tetap ditingkatkan—bukan dihentikan. Mereka menyerukan agar verifikasi dapur persiapan dilakukan secara adil dan transparan, serta kebijakan rollback dihapuskan.