Connect with us

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Resmi Diluncurkan, Ini Penjelasan Makna Logo dan Tema Dies Natalis UNG ke-58

Published

on

UNG – Bentuk Logo ini merupakan gabungan beberapa unsur yang diambil dari logo Universitas Negeri Gorontalo yaitu:

– Kurva segi lima sama sisi adalah ornamen khas daerah Gorontalo melambangkan lima sila dari dasar Negara Pancasila yang menjadi azas UNG, serta lima sendi peradaban Gorontalo yang disebut (Payu Limo to Talu,Lipu Pei Hulalu).

– Sayap burung Maleo melambangkan semangat juang yang tinggi serta gerakan dinamis civitas akademika dalam mengembangkan UNG. Sayap burung Maleo juga mewakili pribadi-pribadi yang unggul, memiliki daya saing dan berinovasi, yaitu inovasi pengetahuan yang berjangkar padakemanusiaan.

– Sayap disini dibuat kecil di bawah kemudian bertumbuh menjadi semakin besar ke atas, sejalan dengan tema dies natalis tahun ini yaitu pembangunan berkelanjutan yang berpedoman pada konsep tata kelola perguruan tinggi good governance in higher education dan sustainable development yang bertujuan untuk menciptakan kemajuan bersama.

Selain hal di atas, pada logo ini juga terdapat unsur tambahan yang mendukung tema yang diangkat pada Dies Natalis tahun ini yaitu lintasan dan 3 lingkaran yang saling berkesinambungan.

– Angka 5 dan 8 yang saling terhubung membentuk sebuah lintasan memilikimakna perubahan yang tidak pernah berhenti.

– 3 lingkaran yang saling berkesinambugan mewakili kerangka perubahan yaitu hubungan antara humanisme, pengetahuan dan inovasi kebijakan yang harus berjalan berdampingan. Hal ini juga mewakili 3 nilai kemanusiaan yangbersifat universal, yakni kebaikan, keteguhan budi luhur, dan pengetahuan yang mengakar untuk kemaslahatan bersama.

1. WARNA

Warna yang digunakan pada logo ini adalah Merah, Kuning, Orange, Birudan Ungu.Makna dari warna tersebut adalah:

– Merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab

– Kuning emas melambangkan sikap setia dan kemuliaan

– Orange melambangkan kebahagiaan dan keseimbangan

– Biru melambangkan tenang, setia dan harapan

– Ungu lambang keanggunan dan wibawaSelain itu, warna yang digunakan pada logo ini adalah warna-warna gradasi yang sering digunakan di dunia teknologi sekarang, sejalan dengan Visi dan Misi yang mengedepankan digital based learning, teknologi terbarukan, inovasi, jejaring, serta sains dan teknologi menuju good university governance.

2. TIPOGRAFI

Font yang digunakan pada logo ini adalah huruf Sans Serif yang memiliki keterbacaan yang tinggi, sehingga dapat terbaca meskipun logo dalam ukuran besar ataupun kecil.

B. MAKNA TEMA

Dalam satu waktu, pada abad sebelum masehi, Aurelius, seorang filsuf  besar Yunani, pernah menyatakan sesuatu yang mencengangkan kepada seluruh masyarakat Athena. Di atas podium itu, Aurelius menyatakan dengan lantang bahwa “segala sesuatu ditakdirkan untuk berubah”. Kata-katanya bergema, bahkan merentang dan menembus batas waktu, memilin dan memintal peradaban zaman hingga saat ini. Aurelius mengunci premis dasar dari peradaban itu dengan kesimpulan utuh bahwa: “tidak ada yang berhenti di tempat”. Kita, generasi ribuan tahun setelah Aurelius alhasil merasakan itu. Kita sedang berada di tengah-tengah zaman dan kehidupan yang terus menerus “menjadi”. Dalam “kemenjadian” itu, ide-ide terus bergemuruh. Kita menjumpai berbagai perspektif dan ilmu pengetahuan. Perubahan adalah progres, dan progres merupakan inovasi, yang mau tidak mau menuntut kita untuk selalu berbenah.

Hal yang mendasari perubahan, tidak lain juga disebabkan oleh problem yang kita hadapi, juga berubah. Dahulu sekali, kita sangat mahfum bahwa informasi menjadi salah satu kendala yang menyebabkan kita gagal berkembang. Namun, saat ini, disrupsi informasi justru menjadi masalah akut dan bahkan menjadi alasan mengapa saat ini kita terfragmentasi, bahkan tidak bisa mengorganisir diri lebih baik. Hal ini menandakan sesuatu yang menakutkan, bahwa problem, pada basis ontologisnya, bisa lahir dari sesuatu yang sebenarnya kita harapkan. Kita sedang berada di tengah Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

VUCA merepresentasikan zaman yang sedang mengalami volatilitas, ketidakpastian, klompleksitas, dan ambiguitas. VUCA meniscayakan perubahan radikal dalam sistem pengetahuan yang tidak bisa lagi dipandang terkotak-kotak, melainkan saling bergantung dengan berbagai elemen lainnya. Secepatnya, proyek pengetahuan harus direkonseptualisasi kembali untuk menyelesaikan hal-hal dasar. Sebab setiap problem, ternyata, tidak pernah berdiri sendiri.

Di sini lain, perubahan dan kegagalan ini juga disebabkan karena kita tidak bisa menentukan basis; gagal menentukan tujuan. Jika tujuan adalah telos, maka basis adalah realitas. Realitas adalah tantangan masa kini, dan telos merupakan apa yang hendak dicapai. Basis dari perubahan adalah realitas yang terus berubah, dan tujuannya, tidak lain adalah untuk kemanusiaan. Kemanusiaan adalah mata yang menembus sisi terdalam manusia. Darinya, kita belajar bahwa kondisi sosial, politik, dan ekonomi bangsa ini sedang timpang. Sayangnya, gagasan ini selalu dipandang sebelah mata. Bahkan oleh para futuristik liberal, humanisme adalah argumentasi kebajikan yang kuno dan tradisional. Namun kita tidak bisa menampik bahwa untuk mencapai telos, yakni, kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat, humanisme, yang lahir dari realitas dan ketimpangan saat ini, adalah fakta yang meskipun selalu diinterpretasikan dalam berbagai varian, namun tidak bisa dibunuh dengan alasan apa pun.

“Membangun dan berinovasi untuk kemanusiaan” merupakan bangunan falsafah pada momentum 58 Tahun Universitas Negeri Gorontalo. Perubahan dengan menjangkarkan seluruh kerja-kerjanya pada humanisme menjadi begitu jelas. Tak ada perubahan tanpa pijakan humanisme yang kukuh, bahkan atas dasar logika dan argumentasi secanggih apa pun juga. Di titik itulah, UNG tidak hanya menjadi perguruan tinggi yang meluluskan diploma, sarjana, master, dan doktor. Lebih dari itu, UNG adalah institusi pendidikan tinggi yang terus memberikan kontribusi positif bagi kemajuan peradaban dunia melalui tri dharma Perguruan Tinggi. Di level praksis, dalam upaya menciptakan mekanisme yang demikian itu, arah pembangunan dan pengembangan Universitas Negeri Gorontalo UNG bertujuan untuk menjadi perguruan tinggi yang unggul dan berdaya saing di level nasional dan internasional.  Pembangunan yang dilakukan UNG berpedoman pada konsep tata kelola perguruan tinggi good governance in higher education dan sustainable development, yang bertujuan untuk menciptakan kemajuan bersama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal, yakni kebaikan, keteguhan budi luhur, dan pengetahuan yang mengakar untuk kemaslahatan sesama. Untuk itulah, inovasi pengetahuan yang berjangkar pada kemanusiaan menjadi tulang punggung proses pembangunan dan pengembangan kampus.

Namun demikian, kita sangat menyadari bahwa fondasi tersebut, tentu saja tidak bisa dilihat secara abstrak. Benar humanisme adalah basis. Tetapi tanpa “eksekusi yang matang”, humanisme akan selamanya menjadi jargon yang  mengawang-ngawang dan sebatas teori para intelektual menara gading. Sebaliknya, humanisme harus menjadi ide penuntun untuk menciptakan ekosistem pengetahuan yang terintegrasi dalam bentuk kebijakan.

Dalam spektrum yang lebih luas, hubungan antara humanisme, pengetahuan dan kebijakan dalam kerangka peradaban yang terus ‘menjadi’ ini, bisa dilihat dalam fondasi visi Indonesia 2045. Indonesia mencanangkan visi: menjadi negeri adil-makmur dan duduk sebagai salah satu pemimpin dunia pada 2045. Namun, tiba-tiba pandemi melanda. Saat ini, kasus Covid-19 telah mencapai angka 4.04 juta dan kematian sebesar 130 ribu kasus. Implikasinya bahkan merembes ke berbagai lini kehidupan dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang anjlok, kemiskinan, pengangguran, dan reses melesat hebat. Wabah yang berusia hampir dua tahun ini, benar-benar merobohkan fondasi dasar kita. Pada saat yang sama, ia juga membuka kenyataan, bahwa visi Indonesia 2045 ternyata begitu rapuh, sebab pengetahuan tidak benar-benar terintegrasi dalam kebijakan. Naskah-naskah akademik memang bertebaran. Namun, sebenarnya yang terlihat adalah kegagapan menyikapi pandemi, menyikapi tantangan. Pada saat yang sama, komunikasi dan data tidak transparan. Pada level praktis, eksekusi lapangan juga setengah hati, ditambah berbagai kebohongan yang kerapkali meruhtuhkan akal sehat.

Entahlah kita sedang merasa frustasi. Namun, sebenarnya, hal ini justru perlahan membunuh kita semua. Sebab kepercayaan dan nalar publik hari ini pada apa yang tengah diperjuangkan pemerintah mulai memudar.

Oleh Sebab itu, kita perlu meneguhkan kembali bahwa membangun dan berinovasi untuk kemanusiaan hanya bisa dicapai dengan mengintegrasikan pengetahuan dalam setiap kebijakan dan rencana pembangunan. Cetak biru ekosistem pengetahuan dan invoasi ini mengusung dua prinsip utama. Pertama, pentingnya memastikan bahwa inovasi harus dilakukan secara inklusif. Kita tidak bisa lagi mengunci diri dan bersikap eksklusif. Kolaborasi intersektoral harus menjadi kanal yang membentuk UNG agar dapat terkoneksi dengan berbagai pihak, baik itu antar daerah hingga pusat, demi mendorong kemaslahatan bersama melalui proyek-proyek inovasi percontohan yang dibangun berdasarkan jejaring, keilmuan lokal, nasional dan internasional. Hal ini menjadi kunci karena inovasi memerlukan keselarasan antar semua sektor, bukan hanya pemerintah. Sebab industri, pendidikan tinggi, masyarakat sipil, maupun komunitas berperan dalam inovasi pengetahuan, produk, maupun jasa; baik untuk kepentingan swasta, pemerintah, maupun masyarakat luas.

Hal yang kedua adalah memastikan bahwa kebijakan yang dirumuskan harus untuk kepentingan publik dan berbasis bukti. Cetak biru ekosistem pengetahuan dan inovasi ini menyadari bahwa hubungan antara pengetahuan dan kebiijakan publik yang baik merupakan hubungan dua arah. Ekosistem pengetahuan yang kuat akan menghasilkan bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan yang baik; sebaliknya, kebijakan yang baik, juga akan memperkuat ekosistem pengetahuan. Tentu saja, kita memiliki peluang untuk mencapai tujuan ini. Lahirnya UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) tidak hanya memberikan landasan regulasi, tetapi model kelembagaan untuk tata-kelola riset dan inovasi. Masalah selama ini adalah riset dan inovasi tidak pernah menjadi prioritas. Dari hulu hingga hilir, investasi selalu menjadi prioritas karena dianggap kunci mengejar kemajuan ekonomi. Padahal, investasi semestinya digelar untuk riset dan inovasi sebagai kunci kemajuan bangsa pada masa depan.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, kenapa kita, UNG, sebagai lembaga pendidikan tinggi, wajib intens menginisiasi dan bahkan mulai menjejalkan agenda ini secara lebih mendalam? Jawabannya karena kampus, bagiamana pun juga, merupakan lembaga yang dipercayai publik dan memiliki kapasitas untuk mengontrol dan memastikan seluruh kebijakan ini berada pada koridor humanisme sebagai ujung dari pencapaian seluruh rumusan kebijakan itu. Kampus memiliki kritisisme dan independensi. Itulah sebabnya, ekosistem pengetahuan dibangun agar pengetahuan diintegrasikan secara sadar, sengaja, dan terencana (deliberate) dalam kehidupan lewat kebijakan publik. Bukan hanya soal digunakannya bukti (evidence) dalam penyusunan kebijakan, tetapi agar dampak tak-termaksud (unintended consequence) yang pasti ada dalam setiap kebijakan pembangunan, telah dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Terdampaknya komunitas lokal, rusaknya lingkungan, atau tergerusnya tradisi dan budaya karena kebijakan pembangunan, misalnya, bukan hanya harus dipikirkan, tapi memang menjadi bagian integral dari pembangunan, dan direncanakan antisipasi dan mitigasinya.

Dies Natalis UNG ke 58, meskipun di tengah pandemi, tetap patut kita jadikan momentum untuk terus meneguhkan tekad dan menyatukan visi dalam upaya meningkatkan kinerja berbasis inovasi yang berkelanjutan untuk UNG dan peradaban manusia. Bekerja sepenuh hati hingga usia ke-58, tentu saja bukan waktu yang singkat. Ada banyak jalan berduri, keringat bercucur deras, momen-momen pelik, hingga banyaknya waktu yang telah dikorbankan oleh civitas akademika untuk UNG yang unggul dan berdaya saing. Untuk itulah, Dies Natalies ini adalah cara kita semua merayakan kemanusiaan dengan menyalakan api pengetahuan. Dari proses yang begitu panjang ini, kita menjadi dewasa. Darinya kita tahu bahwa UNG adalah entitas hidup dan terus menghidupi sekelilingnya. Humanisme adalah mata air, sedangkan pengetahuan adalah samudera. Keduanya saling bertumpu. Perjumpaan keduanya menjadikan UNG sebagai entitas yang “terus menjadi” dan takkan mungkin berhenti di persimpangan jalan, sebagaimana Aurelius mengunci peradaban manusia dalam satu kalimat paling ultim: segala sesuatu ditakdirkan untuk selalu berubah!.

Advertorial

Menuju Kampus Mandiri! UNG Siapkan SDM Hadapi Tantangan PTNBH

Published

on

UNG – Universitas Negeri Gorontalo (UNG) terus menunjukkan komitmen dan keseriusan dalam mempersiapkan diri menuju status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Sebagai bagian dari strategi persiapan tersebut, UNG menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berfokus pada pemahaman dan implementasi tata kelola PTNBH, Kamis (27/11).

Kegiatan Bimtek ini melibatkan jajaran pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan dari berbagai unit kerja di lingkungan UNG. Tujuannya adalah menyelaraskan pemahaman dan meningkatkan kompetensi SDM sebagai salah satu penopang utama berjalannya kinerja institusi menuju transformasi kelembagaan.

Rektor UNG melalui Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum, Dr. Mohamad Hidayat Koniyo, ST, M.Kom., menegaskan bahwa transformasi menjadi PTNBH bukan sekadar perubahan status administratif. Menurutnya, langkah ini merupakan upaya strategis untuk mendorong peningkatan mutu, tata kelola, dan inovasi di lingkungan UNG.

“Keberhasilan transformasi sangat bergantung pada kesiapan dan kapasitas SDM. Karena itu, investasi dalam peningkatan kompetensi SDM menjadi salah satu prioritas UNG dalam mempersiapkan diri menuju PTNBH, salah satunya melalui Bimtek ini,” ujar Hidayat.

Ia menjelaskan, penguatan kapasitas SDM menjadi fondasi penting dalam menyiapkan institusi agar siap beralih menuju model tata kelola PTNBH yang lebih mandiri, responsif, dan akuntabel. Persiapan menuju PTNBH tidak hanya menyangkut perubahan status, tetapi juga perubahan cara berpikir, cara bekerja, dan cara mengelola institusi pada seluruh lini.

“SDM adalah kunci utama dalam transformasi ini. Melalui Bimtek ini, kami ingin memastikan seluruh elemen memahami peran, tugas, dan tanggung jawabnya masing-masing dalam mendukung UNG menuju kampus berbadan hukum,” tutupnya.

Continue Reading

Advertorial

Keluar dari Zona Nyaman Data! Studi Ini Ungkap Dampak Rokok dan Disabilitas pada Kemiskinan

Published

on

UNG – Kajian yang dipresentasikan oleh Fitri Hadi Yulia Akib, S.E., M.E. dalam kegiatan Diseminasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo (FEB UNG) mengungkap dinamika kemiskinan di wilayah Sulawesi dengan menyoroti eratnya kaitan antara kondisi kesehatan dan status ekonomi rumah tangga. Penelitian ini berangkat dari premis bahwa kemiskinan tidak dapat dipahami hanya dari rendahnya pendapatan, melainkan merupakan akumulasi keterbatasan akses terhadap kesehatan, pendidikan, serta pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

Para peneliti menekankan bahwa hubungan antara kemiskinan dan kesehatan bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Kondisi kesehatan yang buruk menurunkan kapasitas produktif masyarakat, sementara hidup dalam kemiskinan membatasi akses terhadap layanan kesehatan yang layak sehingga memperpanjang siklus ketidakberdayaan ekonomi rumah tangga.

Dalam konteks nasional, angka kemiskinan Indonesia menunjukkan fluktuasi cukup signifikan dalam lima tahun terakhir. Pandemi COVID-19 sempat mendorong tingkat kemiskinan naik menjadi 10,19 persen pada 2020, sebelum kemudian turun kembali seiring pemulihan ekonomi hingga mencapai 8,57 persen pada September 2024, yang merupakan titik terendah dalam satu dekade. Meski demikian, kawasan timur Indonesia, termasuk Sulawesi, masih mencatat tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional, yang mencerminkan masih kuatnya disparitas pembangunan antarwilayah.

Penelitian ini menggunakan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 untuk memotret kondisi aktual masyarakat di Sulawesi. Variabel kesehatan yang dianalisis meliputi keluhan kesehatan, kepemilikan jaminan kesehatan, keberadaan anggota rumah tangga perokok, serta status disabilitas. Melalui pendekatan regresi logistik, para peneliti berupaya menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut memengaruhi kemungkinan seseorang hidup dalam kemiskinan.

Uji kecocokan model menggunakan Hosmer-Lemeshow menunjukkan bahwa model yang digunakan memiliki kesesuaian yang baik, sementara tingkat akurasi klasifikasi sebesar 82,65 persen mengindikasikan kemampuan model yang kuat dalam memprediksi status kemiskinan berdasarkan indikator kesehatan. Hasil ini memperkuat validitas temuan bahwa dimensi kesehatan berperan penting dalam memahami risiko kemiskinan di Sulawesi.

Temuan riset mengungkap beberapa hubungan yang menarik dan pada titik tertentu tampak kontradiktif. Salah satunya, individu dengan keluhan kesehatan justru tercatat memiliki kemungkinan lebih kecil dikategorikan hidup dalam kemiskinan. Fenomena ini dijelaskan oleh adanya pengeluaran tambahan untuk biaya berobat yang meningkatkan total pengeluaran rumah tangga, sehingga secara ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran mereka tampak tidak miskin, meskipun secara kesejahteraan tetap rentan.

Pola serupa terlihat pada rumah tangga yang memiliki anggota perokok. Konsumsi tembakau sebagai pengeluaran non-produktif mendorong naik total pengeluaran rumah tangga, dan secara teknis dapat menempatkan mereka sedikit di atas garis kemiskinan. Namun secara substantif, kondisi tersebut justru memperlemah kapasitas keuangan rumah tangga dan mengurangi ruang untuk pengeluaran yang lebih produktif.

Sebaliknya, kepemilikan jaminan kesehatan terbukti menurunkan kemungkinan seseorang hidup dalam kemiskinan. Perlindungan finansial dari jaminan kesehatan menjaga rumah tangga dari guncangan biaya medis yang tiba-tiba, sehingga membantu mencegah mereka jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan ketika menghadapi risiko kesehatan.

Faktor yang paling menonjol dalam penelitian ini adalah disabilitas. Individu dengan status disabilitas tercatat memiliki risiko 34 persen lebih tinggi untuk hidup dalam kemiskinan dibandingkan mereka yang tidak memiliki hambatan fisik maupun mental. Temuan ini sejalan dengan berbagai riset sebelumnya yang menunjukkan bahwa keterbatasan kapasitas fisik, hambatan mobilitas, dan minimnya dukungan sosial sering menutup akses terhadap pendidikan, pekerjaan layak, dan peluang ekonomi lainnya.

Dengan demikian, disabilitas tidak dapat dipandang semata sebagai kondisi medis, tetapi sebagai faktor struktural yang memperpanjang kerentanan ekonomi rumah tangga. Kondisi ini menegaskan pentingnya kebijakan yang secara khusus menjawab hambatan akses dan diskriminasi yang masih dihadapi kelompok disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini juga memotret gambaran umum kemiskinan di Sulawesi. Dari populasi yang dianalisis, tercatat 17,35 persen responden berada dalam kategori miskin, angka yang masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang telah turun di bawah 9 persen. Realitas ini menunjukkan bahwa Sulawesi masih bergulat dengan kesenjangan pembangunan, ketimpangan akses layanan kesehatan, serta distribusi infrastruktur ekonomi yang belum merata.

Melalui analisis mendalam, para peneliti menegaskan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu memasukkan dimensi kesehatan sebagai salah satu fokus utama. Ketergantungan semata pada ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran terbukti tidak cukup mampu menangkap kerentanan yang dialami rumah tangga, terutama ketika pengeluaran tersedot untuk konsumsi non-produktif seperti rokok dan biaya medis yang sifatnya terpaksa.

Studi ini mendorong penerapan kerangka kemiskinan multidimensi yang memberi ruang lebih besar bagi indikator kesehatan, disabilitas, dan kualitas hidup. Pendekatan semacam ini dinilai lebih representatif untuk menggambarkan kondisi riil masyarakat, terutama di wilayah dengan karakteristik kerentanan kompleks seperti Sulawesi.

Dari sisi implementasi kebijakan, penelitian ini menekankan urgensi perluasan cakupan jaminan kesehatan, khususnya bagi kelompok rentan dan pekerja di sektor informal yang selama ini sering luput dari perlindungan formal. Di saat yang sama, penguatan regulasi tembakau dipandang penting untuk menekan konsumsi rokok yang menggerus anggaran rumah tangga miskin tanpa memberikan manfaat produktif.

Lebih jauh, kebijakan inklusif disabilitas harus diperkuat melalui peningkatan akses pendidikan, layanan kesehatan yang ramah disabilitas, serta penciptaan peluang kerja yang inklusif. Mengingat disabilitas menjadi salah satu faktor paling dominan dalam meningkatkan risiko kemiskinan, berbagai intervensi ini diharapkan dapat memutus rantai kerentanan yang dialami rumah tangga penyandang disabilitas.

Dengan rangkaian temuan tersebut, kajian Fitri Hadi Yulia Akib tidak hanya memperkaya literatur akademik tentang kemiskinan di Indonesia, tetapi juga memberikan bukti empiris yang relevan bagi pemerintah daerah di kawasan timur Indonesia, khususnya Sulawesi. Hasil penelitian ini menjadi pijakan penting untuk merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif, adil, dan responsif terhadap tantangan multidimensi yang dihadapi kelompok rentan.

Penelitian ini menegaskan bahwa upaya pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya berfokus pada peningkatan pendapatan. Intervensi kebijakan harus diarahkan pada penguatan layanan kesehatan, perluasan perlindungan sosial, serta penghapusan hambatan struktural yang selama ini memperpanjang kerentanan hidup masyarakat, terutama kelompok disabilitas dan rumah tangga dengan akses kesehatan yang terbatas.

Continue Reading

Advertorial

Rektor Eduart Wolok: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Tantangan Baru

Published

on

UNG – Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kembali menyelenggarakan momen bersejarah melalui Upacara Wisuda Periode ke-58. Dalam prosesi yang berlangsung khidmat di Gedung Auditorium UNG itu, sebanyak 700 wisudawan resmi dikukuhkan sebagai lulusan baru dari berbagai jenjang pendidikan. Mereka kini siap mengabdi dan berkontribusi di tengah masyarakat.

Tahun 2025 menjadi periode istimewa bagi UNG, karena wisuda kali ini merupakan gelaran keenam sepanjang tahun tersebut. Secara keseluruhan, UNG telah meluluskan sebanyak 4.200 wisudawan pada tahun 2025, menegaskan komitmen universitas dalam mencetak sumber daya manusia unggul dan berdaya saing tinggi.

Upacara wisuda dipimpin langsung oleh Rektor UNG, Prof. Dr. Ir. Eduart Wolok, ST., MT., IPU., ASEAN.Eng., serta dihadiri jajaran Senat Universitas, para dekan fakultas, dosen, dan orang tua wisudawan. Prosesi berlangsung penuh kebanggaan, menandai pengukuhan lulusan dari program Diploma, Sarjana, Magister, Profesi, hingga Doktor.

Dalam pidatonya, Rektor menegaskan bahwa wisuda bukan sekadar seremoni akademik, melainkan simbol keberhasilan dan kesiapan lulusan menghadapi tantangan masa depan. Ia memberikan apresiasi tinggi atas dedikasi dan semangat para mahasiswa yang telah menuntaskan studi di kampus merah maron tersebut.

“Hari ini, 700 putra-putri terbaik Indonesia dari berbagai disiplin ilmu—mulai dari Pendidikan, Sains, Sosial, hingga Kesehatan—kami serahkan kembali kepada keluarga dan masyarakat. Ilmu dan integritas yang tertanam selama menempuh pendidikan di UNG hendaknya menjadi bekal utama dalam menghadapi era persaingan global,” ujar Rektor.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa perubahan zaman menuntut adaptasi dan inovasi berkelanjutan. Oleh karena itu, lulusan UNG diharapkan untuk terus belajar, berkolaborasi, serta menjaga semangat pengabdian kepada bangsa.

“Jadilah agen perubahan yang membawa kebaikan, junjung tinggi etika, dan tetaplah menjadi kebanggaan almamater,” tutup Rektor penuh optimisme.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler