Sidang Majelis Penegakkan Disiplin dan Kode Etik ASN oleh Sekda Bonebol Ishak Ntoma terhadap 15 ASN di lingkungan Pemkab Bonebol, Jumat (13/12/2019) lalu. | Foto Humas Pemkab Bonebol.
Bone Bolango – Sebanyak 15 orang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango terancam dipecat. Ini berdasarkan hasil keputusan Sidang Majelis Penegakkan Disiplin dan Kode Etik ASN Kabupaten Bonebol yang digelar Jumat (13/12/2019) lalu.
Sekretaris Daerah Ishak Ntoma selaku ketua majelis mengungkapkan bahwa pemberian sanksi berat terhadap 15 orang pegawai tersebut sudah berdasarkan pertimbangan matang. Atas laporan masing-masing atasan para pegawai yang dibarengi kesaksian dan bukti administrasi berupa daftar hadir, peringatan tertulis, bahkan sidang-sidang peringatan sebelumnya.
“Mereka juga sebelumnya ada yang sudah di sidang 2-3 kali. Tapi tidak berubah,” kata Ishak.
“Sehingga keputusan tegas ini kita ambil untuk memunculkan efek jera bagi asn yang melakukan pelanggaran disiplin,” sambungnya lagi.
Sekda menjelaskan, ada empat klasifikasi pemberian sanksi terhadap ASN yang melanggar kedisiplinan atau kode etik. Namun untuk ke 15 ASN tersebut diterapkan sanksi yang ke 4 di antaranya penurunan pangkat selama 3 tahun dan pemecatan karena tidak dapat lagi dibina.
“Untuk pegawai yang masih dapat dibina, akan kita bina. Tapi yang sudah tidak hisa dibina akan dilakukan dua hal, yaitu pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tdk hormat,” tandas Ishak.
Meski begitu keputusan tersebut kata sekda belum inkrah atau final. Yang bersangkutan masih diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan selama satu bulan sampai sidang penetapan. Jika para ASN tidak melakukan pembelaan, maka keputusan itu dianggap telah diterima.
“Dan kami akan tetapkan sesuai dengan peraturan yang ada,” tutup Ishak Ntoma.
Gorontalo – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Seksi Konservasi Wilayah II Gorontalo, mengingatkan bahwa keberlangsungan penyu di wilayah Gorontalo kian terancam. Berbagai faktor menjadi penyebab, mulai dari aktivitas manusia, pencemaran sampah laut, hingga dampak perubahan iklim.
Perwakilan BKSDA, Fransisko Tambunan, mengungkapkan bahwa penyu hijau menjadi salah satu spesies paling rentan terhadap kepunahan. Meski praktik perburuan sudah menurun, tantangan lain justru semakin kompleks.
“Di Gorontalo pernah ditemukan sekitar 75 sampai 85 butir telur penyu. Telur itu kami relokasi ke lokasi penetasan agar terhindar dari predator, seperti biawak, burung, maupun manusia. Namun dari jumlah tersebut, hanya sekitar 50 yang berhasil menetas,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam diskusi Mapala Belantara FIP UNG di Oluhuta Paradise, Bone Bolango, Sabtu (16/08/2025).
Menurut Fransisko, persoalan sampah laut menjadi ancaman nyata. Limbah yang terbawa arus sungai membuat penyu enggan kembali ke lokasi bertelur. Sementara itu, perubahan iklim juga turut memengaruhi jenis kelamin tukik, karena suhu pasir yang tidak stabil.
“Kalau habitatnya sudah tercemar, penyu akan meninggalkan tempat itu. Situasi ini berbahaya bagi masa depan populasi mereka,” tegasnya.
Berdasarkan data BKSDA, terdapat empat jenis penyu yang masih ditemukan di Gorontalo, yakni penyu sisik, tempayan, belimbing, dan penyu hijau. Karena itu, Fransisko menegaskan bahwa upaya konservasi tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah.
“Penyu adalah indikator kesehatan laut. Jika mereka punah, maka itu pertanda ekosistem laut kita sedang tidak baik-baik saja,” pungkasnya.
Opini – Penangkapan dua pelaku bom ikan di perairan Desa Kalia, Kecamatan Talatako, pada 6 Agustus 2025 oleh Satpolairud Polres Tojo Una-Una bersama Dinas Perikanan menjadi sebuah momen penting dalam sejarah pengawasan laut di daerah ini. Aksi dramatis yang diwarnai pengejaran, tembakan peringatan, hingga penahanan saat mesin perahu pelaku rusak, bukan hanya menggambarkan keberanian aparat, tetapi juga menandai bahwa situasi laut Tojo Una-Una telah sampai pada titik kritis. Barang bukti berupa tiga botol bom ikan aktif dan peralatan selam yang diamankan menjadi bukti konkret bahwa praktik perusakan laut masih berlangsung.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penegakan hukum yang sifatnya represif saja cukup menghentikan fenomena ini? Atau justru kita membutuhkan strategi yang lebih holistik, yang mampu memutus siklus kerusakan dari akarnya?
Sejarah Panjang Bom Ikan: Luka Lama yang Belum Sembuh
Praktik destructive fishing di perairal laut Tojo Una-Una bukanlah fenomena baru. Catatan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Togean sejak 2019 menunjukkan adanya kasus berulang penggunaan bom ikan oleh warga lokal di wilayah konservasi. Bahkan, dalam sebuah patroli di tahun tersebut, petugas berhasil mengamankan pelaku beserta alat bukti bom ikan. Tak berhenti di situ, laporan dari National Geographic Indonesia pernah mengungkap praktik penangkapan ikan menggunakan kompresor di Reef Tangkubi, Desa Patoyan, yang juga berada di kawasan Togean. Fakta ini membuktikan bahwa Tojo Una-Una selama bertahun-tahun telah menjadi arena praktik penangkapan ikan ilegal dengan berbagai modus, dan setiap kali ada penindakan, pelaku baru seolah terus bermunculan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya soal lemahnya patroli, tetapi juga minimnya alternatif ekonomi bagi nelayan, rendahnya kesadaran ekologi, dan lemahnya sinergi antarinstansi.
Dari Represif Menuju Preventif: Jalan Menuju Laut yang Berkelanjutan
Penangkapan pada 6 Agustus 2025 yang lalu memang patut diapresiasi, tetapi momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kebijakan yang lebih menyentuh akar masalah. Beberapa langkah kunci yang bisa menjadi pijakan ke depan antara lain:
1. Penguatan patroli berbasis teknologi — Penggunaan drone, sensor laut, atau sistem pemantauan real-time yang dapat mendeteksi aktivitas mencurigakan sebelum kerusakan terjadi. Model ini telah diadopsi di beberapa negara kepulauan dan terbukti efektif .
2. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir — Mengubah pendekatan dari persuasif menjadi partisipatif, di mana nelayan menjadi bagian dari pengawasan dan pelestarian. Kesadaran bahwa bom ikan merusak terumbu karang dan memutus rantai ekosistem akan memperkuat komitmen lokal.
3. Penciptaan alternatif ekonomi — Ekowisata selam, snorkeling, budidaya laut berkelanjutan, atau pembentukan Marine Protected Area Center bisa menjadi sumber pendapatan yang ramah lingkungan.
4. Penegakan hukum berorientasi pemulihan — Restorative justice yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mengedukasi pelaku untuk menjadi agen perubahan di komunitasnya.
Dari Krisis ke Kesempatan
Kasus bom ikan di Desa Kalia adalah alarm keras sekaligus peluang emas. Alarm, karena menunjukkan bahwa ancaman terhadap ekosistem laut Tojo Una-Una masih nyata. Peluang, karena memberikan momen kebangkitan aparat dan publik untuk melakukan transformasi pengelolaan laut.
Sejarah panjang kerusakan laut di kawasan laut Tojo Un-Una mengajarkan bahwa solusi tidak bisa berhenti pada patroli dan penangkapan. Dibutuhkan kebijakan yang memadukan penegakan hukum, teknologi pengawasan, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Laut Tojo Una-Una bisa diselamatkan, tetapi hanya jika aparat dan masyarakat berjalan di jalur yang sama—bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra menjaga masa depan biru yang lestari.
Gorontalo – Memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Belantara Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menggelar agenda spesial di kawasan wisata Oluhuta Paradise, Desa Oluhuta, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango.
Kegiatan berlangsung dua hari, 16–17 Agustus 2025, melibatkan organisasi pecinta alam se-Gorontalo, mulai dari Mapala, komunitas, pegiat lingkungan, hingga siswa pecinta alam (Sispala).
Rangkaian kegiatan yang dihadirkan tidak hanya mengobarkan semangat nasionalisme, tetapi juga mengedepankan pesan pelestarian lingkungan. Di antaranya upacara bendera, camping ground, penanaman dan pembagian bibit pohon, diskusi lingkungan, hingga pelepasan tukik ke laut lepas.
Puncak acara ditandai dengan pembentangan bendera merah putih sepanjang 80 meter sebagai simbol 80 tahun kemerdekaan, serta aksi kreatif “perang sampah” untuk membersihkan lingkungan sekitar.
Ketua Adat Mapala Belantara, Dewinta Berahima, menegaskan kegiatan ini menjadi momentum penyatuan semangat cinta tanah air dan kepedulian terhadap alam.
“Merayakan kemerdekaan tidak hanya dengan upacara, tetapi juga aksi nyata menjaga bumi. Kami ingin generasi muda pecinta alam di Gorontalo melihat bahwa nasionalisme dan kepedulian lingkungan itu satu napas,” ujarnya.
Dewinta menambahkan, pemilihan Oluhuta Paradise sebagai lokasi kegiatan bukan tanpa alasan. Selain pesona alamnya yang memukau, kawasan ini juga menjadi habitat penting bagi satwa, termasuk penyu yang kerap bertelur di pesisir.
“Kami berharap kegiatan ini bisa menginspirasi agar setiap momentum besar bangsa selalu diiringi langkah nyata menyelamatkan alam,” tambahnya.
Dengan konsep yang memadukan semangat kemerdekaan dan pelestarian lingkungan, Mapala Belantara FIP UNG optimistis agenda ini akan menjadi tradisi tahunan yang ditunggu-tunggu, sekaligus ruang silaturahmi bagi pegiat alam di Gorontalo.