Connect with us

News

Jasad Bule asal Jerman yang Tewas di Hotel Melati, Dievakuasi Petugas Pakai APD

Published

on

GORONTALO-Di tengah kepanikan warga akan virus corona, seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Jerman ditemukan tewas di salah satu Hotel di Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo, Sabtu (28/3/2020). Bule berusia setengah abad itu ditemukan tak bernyawa di salah satu kolam area taman Hotel Melati dalam kondisi terikat tali di leher.

Diduga kematian sang bule karena bunuh diri.

Pantauan awak barakati.id, di lokasi kejadian sudah ada sejumlah petugas yang mengevakuasi jasad korban. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, proses evakuasi pun dilakukan sesuai protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Para petugas mengenakan alat pelindung diri (APD).

Usai dievakuasi, jasad korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Aloei Saboe (RSAS) Kota Gorontalo.

Pihak Polres Gorontalo Kota hingga kini masih menghimpun sejumlah data terkait kematian sang bule.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Internet di Indonesia: Mahal dan Lambat, Ini Datanya

Published

on

Indonesia memiliki harga internet termahal di ASEAN dengan tarif US$ 0,41 atau setara Rp 6.809 per Mbps untuk layanan fixed broadband. Data ini berasal dari laporan Cable.co.uk dan We Are Social per Februari 2025.

Meski harganya tinggi, kecepatan internet Indonesia justru menempati urutan kedua paling lamban di kawasan, berdasarkan data Speedtest Global Index per Agustus 2025. Untuk fixed broadband, kecepatan hanya 39,88 Mbps, menempatkan Indonesia di peringkat ke-116 dunia. Sedangkan untuk mobile broadband, kecepatan mencapai 45,01 Mbps, berada di urutan ke-83 dunia.

Sebagai perbandingan, beberapa negara ASEAN memiliki harga internet jauh lebih rendah, seperti Filipina US$ 0,14, Malaysia US$ 0,09, Vietnam US$ 0,04, Singapura US$ 0,03, dan Thailand US$ 0,02 per Mbps.

Kecepatan internet mobile broadband di ASEAN juga bervariasi dengan Brunei Darussalam tercepat di 184,86 Mbps, dan Singapura menduduki posisi ke-12 dunia dengan 164,75 Mbps. Sedangkan untuk fixed broadband, Singapura menjadi yang tercepat di dunia dengan kecepatan 394,3 Mbps.

Mengutip laman Visual Capitalist, “Negara-negara Asia seperti Vietnam, Cina, dan Korea Selatan menyediakan internet cepat dengan harga terjangkau, beberapa di antaranya hanya US$ 0,05 per Mbps.”

Data Speedtest Global Index meneliti kecepatan internet di 103 negara untuk mobile broadband dan 154 negara untuk fixed broadband.

Dengan fakta tersebut, Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hal harga dan kecepatan internet dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya dan dunia.

Continue Reading

News

Korupsi Lagi ! Adik Yusuf Kalla Resmi Jadi Tersangka. Nilai Kerugian Negara Capai 1,3 Triliun

Published

on

Adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Halim Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri. Halim selaku Presiden Direktur PT BRN diduga berperan dalam penyalahgunaan wewenang pada proyek senilai lebih dari Rp 1,3 triliun ini, yang akhirnya mangkrak sejak 2016. Selain Halim Kalla, tersangka lain yang dijerat antara lain mantan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN inisial RR, serta Dirut PT Praba, HYL.

Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menegaskan, “Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ujarnya dalam konferensi pers. Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, juga menjelaskan, “Sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam lelang PLTU 1 Kalbar.” Proyek ini didanai kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA), namun pelaksanaan dan progresnya bermasalah hingga menyebabkan kerugian negara besar-besaran.

Tercatat nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun akibat proyek mangkrak dan upaya persekongkolan dalam lelang antara oknum PLN dan pihak swasta terkait. Sampai saat ini proses hukum masih berjalan dan tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru berdasarkan pengembangan penyidikan lebih lanjut.

Continue Reading

News

Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital

Published

on

Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa

Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo

Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.

Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.

Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.

Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?

Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.

Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.

Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler