News
Camat Mananggu Minta Orang Tua Kooperatif Ikutkan Anaknya Dalam Vaksinasi
Published
3 years agoon
POHUWATO – Dalam gerakan aksi cepat tanggap menyosialisasikan vaksinasi, Camat Kecamatan Mananggu Kasmad Hurudji mengimbau seluruh orang tua yang memiliki anak dengan status pelajar untuk menyetujui sang anak ikut program vaksinasi.
Menurutnya, dari hasil rapat Forkopimda Boalemo beberapa waktu lalu menginstruksikan 3 pilar pemerintahan di tingkat kecamatan memastikan pelaksanaan program vaksinasi benar-benar berjalan bahkan sampai pada anak didik SMP maupun SMA.
Ia pun menjelaskan, jika memang hal ini tak diindahkan maka akan membawa dampak pada peserta didik tersebut.
“Sesui dengan Kepres no 14 tanggal 9 april 2021 mengatur semua penerimaan bantuan itu wajib di vaksinasi dan jika belum melakukan vaksinasi semuanya tidak bisa menerima, hal ini dapat menyusahkan siswa nantinya apalagi dalam bentuk KIP untuk sementara di berhentikan menunggu keterangan vaksinasi dari dinas kesehatan setempat.” Jelas Camat.
Dirinya mengatakan, nantinya pada saat pembelajaran tatap muka jika terdapat siswa yang belum divaksin maka yang bersangkutan akan dipisahkan dengan yang sudah menerima suntikan dosis vaksin.
“Bilamana nantinya ada siswa yang blm di vaksinasi ketika tatap muka di buka nantinya mereka akan di sendirian atau akan di tempatkan di bangku bagian belakang di kelasnya,” Terangnya.
Terakhir ia meminta kepada orang tua agar menerima dan memahami apa yang menjadi keputusan bersama oleh pemerintah.
You may like
-
Paris Jusuf: Dibutuhkan Kinerja Setiap OPD Sesuai Dengan Tupoksi
-
Karang Taruna Kabupaten Pohuwato Resmi Dilantik Bupati
-
Forkopimda Kota Sepakat Pasar Senggol Dapat di Gelar
-
Saipul Tinjau Pelayanan di Puskesmas Marisa
-
Wali Kota Gorontalo Marten Taha Konsisten Ciptakan Herd Immunity
-
Saipul Mbuinga Apresiasi Kerja Nakes Dalam Melayani Masyarakat
Gorontalo
Kronik Pilkada : Dari Merawat Harapan, Hingga Mengelola Kekecewaan dan Penderitaan
Published
12 hours agoon
08/12/2024Oleh : Dr. Funco Tanipu, ST, M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Setiap ada keinginan, selalu ada penderitaan. Termasuk ingin menjadi baik. Tetapi, soal penderitaan, hanya soal takaran rasa. Bahwa tak ada yang disebut penderitaan, semua hanyalah ringkihnya mental kita dalam merasakan dampak dari yang kita perbuat.
Walaupun semua tujuan untuk kebaikan, namun dalam prosesnya tetap akan merasakan pedihnya perjuangan. Semisal negara ini didirikan, ada darah yang tumpah, ada ratusan ribu liter air mata yang meleleh, dan jutaan batang kepala yang ditebas.
Negeri ini didirikan atas niat baik, untuk tujuan yang luhur. Pada kebaikan dan keluhuran itu, semua penderitaan telah terlalui.
Hingga kita, selepas Orde Baru lewat, mulai bergairah untuk menaikkan bendera demokrasi. Dalam demokrasi yang sedang berlangsung, ada kehendak untuk satu orang, satu suara. Tak bisa diwakilkan.
Suara yang dimaksud adalah harapan, keinginan. Tentunya, ingin menjadi baik. Sayangnya, tak semua bisa terpenuhi dalam sejarah demokrasi, dimanapun demokrasi itu dicoba untuk ditegakkan. Selalu ada suara sumbang, ada juga protes hingga pemaksaan kehendak berupa pemakzulan pemimpin yang terpilih secara demokratis.
Orang protes dan bersuara lantang sebab harapannya, sekaligus keinginannya tak terpenuhi, tak berlaku. Di taraf itulah, banyak manusia tak mau menderita karena keinginannya diabaikan.
Hingga akhirnya, Pilkada layaknya lelucon lima tahunan yang beroperasi secara reguler. Setiap ada ketidakterpenuhan, selalu ada suara “mogandiyapo”. Semua ingin cepat mendapat hasil, ingin menjadi lebih baik, semua ingin tumbuh.
Lelucon lain, di setiap putaran lima tahunan, ada juga merasa mampu berbuat lebih baik, walaupun pada akhirnya terkapar dalam janji-janji yang disusun dalam ribuan halaman dokumen perencanaan yang biasa disebut RPJMD.
Pun demikian dengan sebagian rakyat yang menanti “diserang”, yang waktunya selalu dinanti-nantikan ; pada ambang subuh. Lahirlah istilah “kuti-kuti”, “jabome gaya, doyi paralu” dan banyak istilah baru yang mulai hidup sejak bendera demokrasi ini baru setengah tiang.
Di level yang lain, di kelompok abdi negara berseragam, momen lima tahunan ini menjadi momen dilematis, selalu ada ilmu baru yang dilahirkan, yakni ilmu “dua kaki”. Dalam bahasa lokal ; “teto-teeya”. Saat Pilkada berada di satu pihak, saat pihaknya terkapar buru-buru dan bergegas memasang wajah penuh semangat di pihak yang menang.
Semua, dalam momen lima tahunan ini, selalu ingin menjadi yang terdepan, walau gagasannya selalu dibelakang. Gagasan yang termaktub dalam visi-misi adalah perulangan dan copy-paste dari dokumen-dokumen yang telah menjemukan di kuping. Tak ada sesuatu resep baru, dengan masalah yang itu-itu saja.
Lain lagi terkait masalah, kini jumlah masalah semakin bertambah, jumlah solusi semakin sedikit. Menjadi pertanyaan bersama, masih adakah yang berpikir di tengah situasi yang darurat ini, apakah Pilkada berbanding lurus dengan kesejahteraan? Ataukah Pilkada “to teteiyo”, dan kesejahteraan “nafsi-nafsi” alias “olihiyo butuhiyo, landingiyo polangiyo”. Dua hal yang beriringan, tak bisa dilihat dari satu cara pandang, walaupu sering bertolak belakang.
Kini, hasil Pilkada telah terlihat, walaupun masih ada yang berupaya banding ke Mahkamah Konstitusi, sebagai jalan alternatif konstitusional untuk mencari lebih dalam penyebab kekalahan.
Pada Pilkada barusan, sudah mulai jarang terlihat orang memilih karena dia memiliki resep apa, bisa masak apa. Bahwa di antara semua kandidat yang hadir, ada yang memiliki resep manjur, namun tak ada keyakinan orang untuk memilihnya, karena orang realistis kalau seseorang yang memiliki resep manjur itu, tak mungkin terpilih. Terpilihpun tak mungkin didukung parlemen yang bukan dari gerbongnya. Hingga tak mungkin merealisasikannya.
Pilkada pada muaranya adalah penderitaan. Penderitaan bagi yang harus kecewa atas tidak terpenuhinya keinginan di lima tahun silam. Ada yang kecewa dengan jalanan depan rumahnya yang tak kunjung diperbaiki, ada juga yang tak pernah menerima bantuan selama periode berlangsung. Ada yang pernah ketemu yang pernah dipilihnya lalu di jalan lalu tak disapa, saat ketemu berpapasan dengan DM 1 apakah Gubernur, Walikota atau Bupati “kaca oto ta tutup terus”, berbeda waktu saat maju dan kampanye lalu. Hingga ada yang pernah duduk berjam-jam di rumah dinas sampai yang ia pilih lalu itu tak keluar dari kamar dengan asalan “Ti Pak lagi kurang sehat”. Ujungnya, mereka-mereka tersebut adalah barisan orang-orang kecewa, yang menderita atas konsekuensi dari apa yang ia pilih lalu. Dan pada Pilkada berikut, mereka adalah lawan-lawan baru yang sebelumnya adalah kawan.
Ada pula tim sukses yang semenjak pencalonan, pendaftaran hingga kampanye berbusa-busa meyakinkan pemilih di dapilnya, saat kandidat terpilih “sedang WA tinggal dia jaga read”. Dan pemilih di dapil tersebut masih yakin dengan harapan dan janji lalu, hingga menagih lewat tim sukses tersebut, hingga pada ujung kisah ; “ja delo omo’molu mayi am ti Pak boyito, bo pilo-pilo hisapatu liyo mao ito botiye”.
Tapi harus diakui, setiap yang terpilih memiliki keterbatasan, dan ada juga yang sengaja mulai membatasi diri. Di antara keterbatasan dan membatasi itulah, terumuskanlah penderitaan pemilihnya, apalagi tim sukses. Istilahnya “menang tapi kalah” hingga sumpah serapah “de modunggaya poli nandi wa”.
Sebagian besar pada akhirnya melihat Pilkada hingga proses pemerintahan menjadi momen akumulasi kekecewaan, hingga menjadi penderitaan. Ada yang sudah berharap mendapat pembagian jelang Hari H, ada yang sudah menghitung jumlah suara yang hendak ia perjualbelikan, dan di detik terakhir, tak ada yang mengucur. Padahal ia sudah menjanjikan pada orang-orang disekelilingnya bahwa “pokoknya aman, pam ba siram torang pe calon ini”. Biasanya hal ini dialami oleh tim sukses yang semenjak awal berbusung dada mengkampanyekan calonnya dengan iming-iming segepok rupiah, dan pada akhirnya “bolali silita, moo palata nyawa”.
Tim sukses pada umumnya, sedikit saja yang bahagia, sisanya menderita. Mereka menderita karena kandidat mereka tak terpilih. Sudah berbulan-bulan bekerja siang malam, hasilnya tak sesuai harapan, semua lepas. Tim sukses yang berhasil menang kandidatnya lain lagi kisahnya, ada yang mendapatkan proyek bagi tim sukses cum kontraktor, ada juga yang tidak. Bahkan ada tim sukses yang sudah mengeluarkan dana tak sedikit saat pilkada, pada akhirnya hasilnya tak sebanding dengan apa yang ia raih setelah kandidat menang.
Bagi kandidat yang terpilih, lebih menderita lagi. Mulai pagi harus bangun melayani tamu di rumah dinas yang tak putus-putus. Ada yang minta uang, ada yang pagar rusak, ada yang ingin dilantik jadi pejabat eselon, ada yang ingin anaknya jadi honorer, ada yang butuh beasiswa, dan banyak kisah lain yang harus ditanggung yang kandidat terpilih. Belum lagi saat memimpin, pejabat yang diharapkan bekerja maksimal, rupanya tidak sesuai harapan, di satu sisi banyak “tunggakan” dari pihak-pihak yang harus mendapat “jatah”.
Lain lagi bagi Wakil terpilih, saat awal pemerintahan begitu bahagia, seakan-akan memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah. Hingga mulai timbul kecemburuan, kenapa fasilitas berbeda, jumlah tamu di ruangan wakil sedikit demi sedikit mulai berkurang. Pejabat eselon sudah mulai tidak mengindahkan perintah, tim sukses wakil mendesak harus ada ini dan itu, hingga Wakil mulai merasa tidak nyaman dan ingin mendapatkan porsi kekuasaan yang sama. Dan pada titik itulah, saling tidak nyaman, saling curiga, kue tidak terbagi proporsional, dan pada ujungnya seperti yang sudah-sudah : pica kongsi.
Padahal, semasa sebelum Pilkada, semuanya berjuang secara “ideologis”, namun sejak yang terpilih dilantik, saat itulah mereka yang ideologis itu mulai menjadi pragmatis. Semua ingin segera tumbuh, maju, kaya, sejahtera.
Mereka-mereka yang telah terpilih melalui Pilkada, saking menderitanya harus banyak kali ganti nomor handphone. Selama periode ada yang bahkan mengganti puluhan kali nomor handphone untuk menghilangkan jejak, tak dikejar-kejar pendukung semasa pilkada lalu.
Belum lagi jika harus menghadapi masa-masa tender proyek, semua was-was. Siapa yang harus menang, dan dimenangkan. Ada tim sukses yang dulunya berdarah-darah saat Pilkada meminta untuk dimenangkan, tapi syarat administrasinya sangat minimal. Jika tak dimenangkan utang belum terbayar, menang pun beresiko hukum.
Mereka-mereka yang terpilih di pilkada jarang yang menggunakan dana pribadinya sendiri saat “berjuang” lalu, rata-rata ada yang mendapat sponsor, ada yang ngutang, ada yang harus jual rumah dan tanah serta aset-aset yang dimiliki. Yang lebih ekstrim bahkan ada yang tinggal “calana dalam” yang tidak dijual, semua dipertaruhkan. Kalau menang mungkin masih ada kesempatan untuk mengambalikan, tapi kalau kalah? Ada istilah lokal “bacirita deng tiang listrik”.
Yang menang pun tak menjamin dirinya bahagia, dia harus memulangkan hutang-hutang pilkada lalu selama periode. Ada yang dibarter dengan proyek, ada yang dibarter dengan konsesi-konsesi seperti izin wilayah pertambangan, apa itu mineral ataupun galian C. Di daerah-daerah subur dengan hutan yang luas, banyak yang membarternya dengan izin pengelolaan hutan, apakah untuk kelapa sawit atau yang lainnya.
Mereka yang terpilih di Pilkada juga saking menderitanya harus mengatur jabatan-jabatan strategis dalam birokrasinya. Di kursi-kursi “basah” yang anggaran dinasnya gemuk misalnya, pasti akan dilantik mereka-mereka yang dianggap loyalis dan siap pasang badan. Bagi yang ketahuan tak mendukung, pasti akan di non job atau diparkir di jabatan “kering”.
Biasanya, bagi mereka yang ingin menduduki jabatan tertentu, saat setelah ada yang terpilih, perlombaan “koprol” pun dimulai. Ada yang mengklaim telah memenangkan kampungnya, ada yang mengajak keluarganya, ada yang sambil memperlihatkan total dana yang ia pernah keluarkan. Macam-macam klaim-klaim saat pilkada lalu. Intinya ingin diamankan di jabatan strategis, atau minimal mendapat promosi ke eselon lebih tinggi.
Mereka yang terpilihpun siap-siap harus menerima orang-orang yang mengaku keluarga, satu marga atau hubungan apapun. Pernah satu sekolah, satu permainan bahkan pernah jadi mantan pacar. Semua ingin mendapatkan bagian. Pokoknya dekat dengan mereka yang terpilih. Karena dengan dekat, fasilitas termasuk akses dan kemewahan bisa didapatkan sekejap.
Alasan keinginan ingin enak dan mewah itulah yang menjadi sumber penderitaan tak terkira. Semua melakukan apapun walau itu melampaui batas norma dan etika, apalagi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuannya adalah nyaman dan aman hidup.
Lalu, mereka-mereka yang tak bisa mengakses kekuasaan, hidup di kantong-kantong kemiskinan dengan label Desil 1 dan seterusnya. Hanya bisa pasrah, kalaupun setelah memilih lalu tak mendapatkan apapun, mau tidak mau hanya bisa larut dalam kecewa, sambil menunggu Pilkada berikut untuk balas dendam.
Tentu, kronik ini tidak mengisahkan semua apa yang telah dan akan terjadi. Masih banyak kisah-kisah penderitaan yang belum terungkap.
Padahal, situasi saat ini sedang gawat-gawatnya. Selain menghadapi beratnya pertumbuhan ekonomi, juga problem keuangan negara yang belum terlalu stabil. Utang daerah (PEN) kini mulai harus dibayar, biaya P3K yang dibebankan pada daerah, belum lagi DAU semakin kecil untuk di utak atik karena skema peruntukan.
Setiap yang terpilih dan memilih, masing-masing memiliki keinginan yang berjibun saat menang, walaupun di setiap keinginan beriringan dengan resiko. Karena itu, keinginan dalam hal ini adalah niat baik, mesti diatur agar bisa menjadi kemasalahatan. Itupun dengan mengatur niat saja bisa tidak memberi maslahat, apalagi jika sebaliknya.
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak pilkada tahun 2005 hingga tahun 2020, tercatat ada sekitar 300 kepala daerah yang telah menjadi tersangka kasus korupsi, 124 diantaranya ditangani KPK. Belum data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Semua itu adalah bagian dari berjubelnya keinginan yang berlebihan.
Pilkada menjadi momentum penderitaan jika membaca dari kronik diatas, tapi tidak sedikit pula ada yang menerapkan nilai-nilai keluhuran untuk menegakkan martabat demokrasi. Ada yang memang memantapkan jalannya untuk membangun kesejahteraan, ada yang memang mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang banyak.
Pada mereka yang berjuang dengan keluhuran budi tersebut, kita semua patut belajar. Sebagaimana mereka-mereka yang telah menegakkan tiang republik ini.
Semisal Haji Agussalim yang memiliki jas sangat sedikit, padahal ia adalah pejabat negara. Ada Sutami yang menjabat Menteri Pekerjaan Umum yang tak memiliki rumah. Padahal menjabat Menteri PU selama 14 tahun.
Leimena seorang Mentri saat itu bahkan hanya memiliki dua helai baju. Saat konferensi internasional, ia hanya bisa meminjam jas pada temannya untuk tampil mewakili Indonesia. Hingga banyak pejabat negara saat itu yang hidup dalam kesusahan.
Mereka bukannya tidak bisa membeli baju dan rumah, tapi mereka sadar bahwa itu bukan keinginan mereka yang utama. Ada hal yang lebih penting untuk diperjuangkan, yakni taraf kesejahteraan untuk rakyat.
Kala itu, banyak pejabat kita yang menderita, penderitaan mereka berkelas dan bermartabat. Mereka siap lahir batin menderita karena ada kesadaran hakiki yang tertanam dalam sanubarinya.
Seperti Mohammad Hatta, selepas ia menjadi Wakil Presiden, ia tak mampu melunasi air PAM saking kecilnya gaji pensiun yang ia miliki. Padahal, apa yang tidak bisa dilakukan oleh mereka? Dengan kewenangan yang luas dan aturan saat itu belum seketat sekarang. Tapi mereka memiliki dalih : menegakkan martabat bangsa untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, tulisan ini mencoba menyuguhkan dua kesimpulan tentang penderitaan, penderitaan karena keinginan untuk memiliki semua dan penderitaan karena keinginan untuk tidak mau memiliki semua.
Apa yang akan terjadi pada hari-hari yang ada di depan sesungguhnya masih bisa kita kelola dengan baik. Bagaimana kita menata keinginan, merawat harapan, sekaligus bagainana kita mengelola kekecewaan atas peristiwa-peristiwa tragis yang akan terjadi di depan.
PILKADA : DARI MERAWAT HARAPAN, HINGGA MENGELOLA KEKECEWAAN DAN PENDERITAAN
Oleh : Dr. Funco Tanipu, ST, M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Setiap ada keinginan, selalu ada penderitaan. Termasuk ingin menjadi baik. Tetapi, soal penderitaan, hanya soal takaran rasa. Bahwa tak ada yang disebut penderitaan, semua hanyalah ringkihnya mental kita dalam merasakan dampak dari yang kita perbuat.
Walaupun semua tujuan untuk kebaikan, namun dalam prosesnya tetap akan merasakan pedihnya perjuangan. Semisal negara ini didirikan, ada darah yang tumpah, ada ratusan ribu liter air mata yang meleleh, dan jutaan batang kepala yang ditebas.
Negeri ini didirikan atas niat baik, untuk tujuan yang luhur. Pada kebaikan dan keluhuran itu, semua penderitaan telah terlalui.
Hingga kita, selepas Orde Baru lewat, mulai bergairah untuk menaikkan bendera demokrasi. Dalam demokrasi yang sedang berlangsung, ada kehendak untuk satu orang, satu suara. Tak bisa diwakilkan.
Suara yang dimaksud adalah harapan, keinginan. Tentunya, ingin menjadi baik. Sayangnya, tak semua bisa terpenuhi dalam sejarah demokrasi, dimanapun demokrasi itu dicoba untuk ditegakkan. Selalu ada suara sumbang, ada juga protes hingga pemaksaan kehendak berupa pemakzulan pemimpin yang terpilih secara demokratis.
Orang protes dan bersuara lantang sebab harapannya, sekaligus keinginannya tak terpenuhi, tak berlaku. Di taraf itulah, banyak manusia tak mau menderita karena keinginannya diabaikan.
Hingga akhirnya, Pilkada layaknya lelucon lima tahunan yang beroperasi secara reguler. Setiap ada ketidakterpenuhan, selalu ada suara “mogandiyapo”. Semua ingin cepat mendapat hasil, ingin menjadi lebih baik, semua ingin tumbuh.
Lelucon lain, di setiap putaran lima tahunan, ada juga merasa mampu berbuat lebih baik, walaupun pada akhirnya terkapar dalam janji-janji yang disusun dalam ribuan halaman dokumen perencanaan yang biasa disebut RPJMD.
Pun demikian dengan sebagian rakyat yang menanti “diserang”, yang waktunya selalu dinanti-nantikan ; pada ambang subuh. Lahirlah istilah “kuti-kuti”, “jabome gaya, doyi paralu” dan banyak istilah baru yang mulai hidup sejak bendera demokrasi ini baru setengah tiang.
Di level yang lain, di kelompok abdi negara berseragam, momen lima tahunan ini menjadi momen dilematis, selalu ada ilmu baru yang dilahirkan, yakni ilmu “dua kaki”. Dalam bahasa lokal ; “teto-teeya”. Saat Pilkada berada di satu pihak, saat pihaknya terkapar buru-buru dan bergegas memasang wajah penuh semangat di pihak yang menang.
Semua, dalam momen lima tahunan ini, selalu ingin menjadi yang terdepan, walau gagasannya selalu dibelakang. Gagasan yang termaktub dalam visi-misi adalah perulangan dan copy-paste dari dokumen-dokumen yang telah menjemukan di kuping. Tak ada sesuatu resep baru, dengan masalah yang itu-itu saja.
Lain lagi terkait masalah, kini jumlah masalah semakin bertambah, jumlah solusi semakin sedikit. Menjadi pertanyaan bersama, masih adakah yang berpikir di tengah situasi yang darurat ini, apakah Pilkada berbanding lurus dengan kesejahteraan? Ataukah Pilkada “to teteiyo”, dan kesejahteraan “nafsi-nafsi” alias “olihiyo butuhiyo, landingiyo polangiyo”. Dua hal yang beriringan, tak bisa dilihat dari satu cara pandang, walaupu sering bertolak belakang.
Kini, hasil Pilkada telah terlihat, walaupun masih ada yang berupaya banding ke Mahkamah Konstitusi, sebagai jalan alternatif konstitusional untuk mencari lebih dalam penyebab kekalahan.
Pada Pilkada barusan, sudah mulai jarang terlihat orang memilih karena dia memiliki resep apa, bisa masak apa. Bahwa di antara semua kandidat yang hadir, ada yang memiliki resep manjur, namun tak ada keyakinan orang untuk memilihnya, karena orang realistis kalau seseorang yang memiliki resep manjur itu, tak mungkin terpilih. Terpilihpun tak mungkin didukung parlemen yang bukan dari gerbongnya. Hingga tak mungkin merealisasikannya.
Pilkada pada muaranya adalah penderitaan. Penderitaan bagi yang harus kecewa atas tidak terpenuhinya keinginan di lima tahun silam. Ada yang kecewa dengan jalanan depan rumahnya yang tak kunjung diperbaiki, ada juga yang tak pernah menerima bantuan selama periode berlangsung. Ada yang pernah ketemu yang pernah dipilihnya lalu di jalan lalu tak disapa, saat ketemu berpapasan dengan DM 1 apakah Gubernur, Walikota atau Bupati “kaca oto ta tutup terus”, berbeda waktu saat maju dan kampanye lalu. Hingga ada yang pernah duduk berjam-jam di rumah dinas sampai yang ia pilih lalu itu tak keluar dari kamar dengan asalan “Ti Pak lagi kurang sehat”. Ujungnya, mereka-mereka tersebut adalah barisan orang-orang kecewa, yang menderita atas konsekuensi dari apa yang ia pilih lalu. Dan pada Pilkada berikut, mereka adalah lawan-lawan baru yang sebelumnya adalah kawan.
Ada pula tim sukses yang semenjak pencalonan, pendaftaran hingga kampanye berbusa-busa meyakinkan pemilih di dapilnya, saat kandidat terpilih “sedang WA tinggal dia jaga read”. Dan pemilih di dapil tersebut masih yakin dengan harapan dan janji lalu, hingga menagih lewat tim sukses tersebut, hingga pada ujung kisah ; “ja delo omo’molu mayi am ti Pak boyito, bo pilo-pilo hisapatu liyo mao ito botiye”.
Tapi harus diakui, setiap yang terpilih memiliki keterbatasan, dan ada juga yang sengaja mulai membatasi diri. Di antara keterbatasan dan membatasi itulah, terumuskanlah penderitaan pemilihnya, apalagi tim sukses. Istilahnya “menang tapi kalah” hingga sumpah serapah “de modunggaya poli nandi wa”.
Sebagian besar pada akhirnya melihat Pilkada hingga proses pemerintahan menjadi momen akumulasi kekecewaan, hingga menjadi penderitaan. Ada yang sudah berharap mendapat pembagian jelang Hari H, ada yang sudah menghitung jumlah suara yang hendak ia perjualbelikan, dan di detik terakhir, tak ada yang mengucur. Padahal ia sudah menjanjikan pada orang-orang disekelilingnya bahwa “pokoknya aman, pam ba siram torang pe calon ini”. Biasanya hal ini dialami oleh tim sukses yang semenjak awal berbusung dada mengkampanyekan calonnya dengan iming-iming segepok rupiah, dan pada akhirnya “bolali silita, moo palata nyawa”.
Tim sukses pada umumnya, sedikit saja yang bahagia, sisanya menderita. Mereka menderita karena kandidat mereka tak terpilih. Sudah berbulan-bulan bekerja siang malam, hasilnya tak sesuai harapan, semua lepas. Tim sukses yang berhasil menang kandidatnya lain lagi kisahnya, ada yang mendapatkan proyek bagi tim sukses cum kontraktor, ada juga yang tidak. Bahkan ada tim sukses yang sudah mengeluarkan dana tak sedikit saat pilkada, pada akhirnya hasilnya tak sebanding dengan apa yang ia raih setelah kandidat menang.
Bagi kandidat yang terpilih, lebih menderita lagi. Mulai pagi harus bangun melayani tamu di rumah dinas yang tak putus-putus. Ada yang minta uang, ada yang pagar rusak, ada yang ingin dilantik jadi pejabat eselon, ada yang ingin anaknya jadi honorer, ada yang butuh beasiswa, dan banyak kisah lain yang harus ditanggung yang kandidat terpilih. Belum lagi saat memimpin, pejabat yang diharapkan bekerja maksimal, rupanya tidak sesuai harapan, di satu sisi banyak “tunggakan” dari pihak-pihak yang harus mendapat “jatah”.
Lain lagi bagi Wakil terpilih, saat awal pemerintahan begitu bahagia, seakan-akan memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah. Hingga mulai timbul kecemburuan, kenapa fasilitas berbeda, jumlah tamu di ruangan wakil sedikit demi sedikit mulai berkurang. Pejabat eselon sudah mulai tidak mengindahkan perintah, tim sukses wakil mendesak harus ada ini dan itu, hingga Wakil mulai merasa tidak nyaman dan ingin mendapatkan porsi kekuasaan yang sama. Dan pada titik itulah, saling tidak nyaman, saling curiga, kue tidak terbagi proporsional, dan pada ujungnya seperti yang sudah-sudah : pica kongsi.
Padahal, semasa sebelum Pilkada, semuanya berjuang secara “ideologis”, namun sejak yang terpilih dilantik, saat itulah mereka yang ideologis itu mulai menjadi pragmatis. Semua ingin segera tumbuh, maju, kaya, sejahtera.
Mereka-mereka yang telah terpilih melalui Pilkada, saking menderitanya harus banyak kali ganti nomor handphone. Selama periode ada yang bahkan mengganti puluhan kali nomor handphone untuk menghilangkan jejak, tak dikejar-kejar pendukung semasa pilkada lalu.
Belum lagi jika harus menghadapi masa-masa tender proyek, semua was-was. Siapa yang harus menang, dan dimenangkan. Ada tim sukses yang dulunya berdarah-darah saat Pilkada meminta untuk dimenangkan, tapi syarat administrasinya sangat minimal. Jika tak dimenangkan utang belum terbayar, menang pun beresiko hukum.
Mereka-mereka yang terpilih di pilkada jarang yang menggunakan dana pribadinya sendiri saat “berjuang” lalu, rata-rata ada yang mendapat sponsor, ada yang ngutang, ada yang harus jual rumah dan tanah serta aset-aset yang dimiliki. Yang lebih ekstrim bahkan ada yang tinggal “calana dalam” yang tidak dijual, semua dipertaruhkan. Kalau menang mungkin masih ada kesempatan untuk mengambalikan, tapi kalau kalah? Ada istilah lokal “bacirita deng tiang listrik”.
Yang menang pun tak menjamin dirinya bahagia, dia harus memulangkan hutang-hutang pilkada lalu selama periode. Ada yang dibarter dengan proyek, ada yang dibarter dengan konsesi-konsesi seperti izin wilayah pertambangan, apa itu mineral ataupun galian C. Di daerah-daerah subur dengan hutan yang luas, banyak yang membarternya dengan izin pengelolaan hutan, apakah untuk kelapa sawit atau yang lainnya.
Mereka yang terpilih di Pilkada juga saking menderitanya harus mengatur jabatan-jabatan strategis dalam birokrasinya. Di kursi-kursi “basah” yang anggaran dinasnya gemuk misalnya, pasti akan dilantik mereka-mereka yang dianggap loyalis dan siap pasang badan. Bagi yang ketahuan tak mendukung, pasti akan di non job atau diparkir di jabatan “kering”.
Biasanya, bagi mereka yang ingin menduduki jabatan tertentu, saat setelah ada yang terpilih, perlombaan “koprol” pun dimulai. Ada yang mengklaim telah memenangkan kampungnya, ada yang mengajak keluarganya, ada yang sambil memperlihatkan total dana yang ia pernah keluarkan. Macam-macam klaim-klaim saat pilkada lalu. Intinya ingin diamankan di jabatan strategis, atau minimal mendapat promosi ke eselon lebih tinggi.
Mereka yang terpilihpun siap-siap harus menerima orang-orang yang mengaku keluarga, satu marga atau hubungan apapun. Pernah satu sekolah, satu permainan bahkan pernah jadi mantan pacar. Semua ingin mendapatkan bagian. Pokoknya dekat dengan mereka yang terpilih. Karena dengan dekat, fasilitas termasuk akses dan kemewahan bisa didapatkan sekejap.
Alasan keinginan ingin enak dan mewah itulah yang menjadi sumber penderitaan tak terkira. Semua melakukan apapun walau itu melampaui batas norma dan etika, apalagi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuannya adalah nyaman dan aman hidup.
Lalu, mereka-mereka yang tak bisa mengakses kekuasaan, hidup di kantong-kantong kemiskinan dengan label Desil 1 dan seterusnya. Hanya bisa pasrah, kalaupun setelah memilih lalu tak mendapatkan apapun, mau tidak mau hanya bisa larut dalam kecewa, sambil menunggu Pilkada berikut untuk balas dendam.
Tentu, kronik ini tidak mengisahkan semua apa yang telah dan akan terjadi. Masih banyak kisah-kisah penderitaan yang belum terungkap.
Padahal, situasi saat ini sedang gawat-gawatnya. Selain menghadapi beratnya pertumbuhan ekonomi, juga problem keuangan negara yang belum terlalu stabil. Utang daerah (PEN) kini mulai harus dibayar, biaya P3K yang dibebankan pada daerah, belum lagi DAU semakin kecil untuk di utak atik karena skema peruntukan.
Setiap yang terpilih dan memilih, masing-masing memiliki keinginan yang berjibun saat menang, walaupun di setiap keinginan beriringan dengan resiko. Karena itu, keinginan dalam hal ini adalah niat baik, mesti diatur agar bisa menjadi kemasalahatan. Itupun dengan mengatur niat saja bisa tidak memberi maslahat, apalagi jika sebaliknya.
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak pilkada tahun 2005 hingga tahun 2020, tercatat ada sekitar 300 kepala daerah yang telah menjadi tersangka kasus korupsi, 124 diantaranya ditangani KPK. Belum data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Semua itu adalah bagian dari berjubelnya keinginan yang berlebihan.
Pilkada menjadi momentum penderitaan jika membaca dari kronik diatas, tapi tidak sedikit pula ada yang menerapkan nilai-nilai keluhuran untuk menegakkan martabat demokrasi. Ada yang memang memantapkan jalannya untuk membangun kesejahteraan, ada yang memang mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang banyak.
Pada mereka yang berjuang dengan keluhuran budi tersebut, kita semua patut belajar. Sebagaimana mereka-mereka yang telah menegakkan tiang republik ini.
Semisal Haji Agussalim yang memiliki jas sangat sedikit, padahal ia adalah pejabat negara. Ada Sutami yang menjabat Menteri Pekerjaan Umum yang tak memiliki rumah. Padahal menjabat Menteri PU selama 14 tahun.
Leimena seorang Mentri saat itu bahkan hanya memiliki dua helai baju. Saat konferensi internasional, ia hanya bisa meminjam jas pada temannya untuk tampil mewakili Indonesia. Hingga banyak pejabat negara saat itu yang hidup dalam kesusahan.
Mereka bukannya tidak bisa membeli baju dan rumah, tapi mereka sadar bahwa itu bukan keinginan mereka yang utama. Ada hal yang lebih penting untuk diperjuangkan, yakni taraf kesejahteraan untuk rakyat.
Kala itu, banyak pejabat kita yang menderita, penderitaan mereka berkelas dan bermartabat. Mereka siap lahir batin menderita karena ada kesadaran hakiki yang tertanam dalam sanubarinya.
Seperti Mohammad Hatta, selepas ia menjadi Wakil Presiden, ia tak mampu melunasi air PAM saking kecilnya gaji pensiun yang ia miliki. Padahal, apa yang tidak bisa dilakukan oleh mereka? Dengan kewenangan yang luas dan aturan saat itu belum seketat sekarang. Tapi mereka memiliki dalih : menegakkan martabat bangsa untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, tulisan ini mencoba menyuguhkan dua kesimpulan tentang penderitaan, penderitaan karena keinginan untuk memiliki semua dan penderitaan karena keinginan untuk tidak mau memiliki semua.
Apa yang akan terjadi pada hari-hari yang ada di depan sesungguhnya masih bisa kita kelola dengan baik. Bagaimana kita menata keinginan, merawat harapan, sekaligus bagainana kita mengelola kekecewaan atas peristiwa-peristiwa tragis yang akan terjadi di depan.
Kabupaten Gorontalo
Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pilkada: Gerindra Kabupaten Gorontalo Menuju 50 Ribu Anggota
Published
2 days agoon
07/12/2024Kabgor – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kabupaten Gorontalo menggelar rapat koordinasi dan evaluasi untuk mempersiapkan strategi dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2029. Rapat yang diadakan di sekretariat DPC ini dihadiri oleh Ketua DPC Tomy Ishak, Sekretaris DPD Nasir Majid, dan Bendahara DPD Syamsu Pana, serta sejumlah pengurus partai lainnya.
Ketua DPC Gerindra Kabupaten Gorontalo, Tomy Ishak, menegaskan bahwa peningkatan jumlah anggota adalah salah satu prioritas utama menuju Pemilu mendatang. “Kami menargetkan mencapai 50 ribu anggota sebagai upaya memperkuat basis massa partai,” ungkapnya. Langkah ini diyakini akan memperluas dukungan masyarakat dan meningkatkan peluang kemenangan partai.
Nasir Majid, Sekretaris DPD Gerindra Gorontalo, mendukung penuh langkah ini. “Soliditas dan sinergi antara DPC, DPD, dan seluruh kader adalah kunci keberhasilan. Dengan capaian ini, Kabupaten Gorontalo bisa menjadi contoh bagi daerah lain,” ujarnya.
Syamsu Pana, Bendahara DPD Gerindra Gorontalo, menekankan pentingnya pengelolaan logistik dan pendanaan yang matang. “Program pelatihan dan kaderisasi akan menjadi prioritas untuk memperkuat jaringan partai di tengah masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, partai juga berkomitmen melaksanakan program-program sosial yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Langkah ini diyakini mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap Gerindra sebagai partai yang hadir untuk rakyat.
Rapat ini menunjukkan semangat kebersamaan dan komitmen yang kuat dari seluruh struktur partai di Kabupaten Gorontalo. Dengan strategi kaderisasi, penguatan logistik, serta sinergi lintas jenjang, Gerindra optimis menjadi kekuatan dominan dalam Pemilu 2029.
“Kami yakin, dengan kerja keras dan konsistensi, Gerindra Kabupaten Gorontalo dapat memberikan kontribusi besar dalam pemenangan Pemilu mendatang,” tutup Tomy Ishak.
Gorontalo
Pelaku Usaha Tambang Rakyat Buntulia Gelar Program Sosial di Desa Hulawa
Published
2 days agoon
07/12/2024Pohuwato – Pelaku usaha tambang rakyat di Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, memulai program sosial bertajuk “Pelaku Usaha Tambang Rakyat Berbagi” dengan membagikan paket sembako kepada 30 kaum dhuafa di Desa Hulawa, Kecamatan Dengilo, pada Jumat (06/12/2024). Program ini ditujukan untuk membantu lansia dan anak yatim piatu yang membutuhkan.
Program ini akan terus dilaksanakan setiap Jumat, dengan distribusi bantuan dilakukan empat kali dalam sebulan dan menyasar berbagai desa di Kecamatan Buntulia. Tujuan utamanya adalah menjangkau lebih banyak kaum dhuafa di wilayah tersebut.
Dalam pelaksanaan perdana ini, setiap penerima bantuan memperoleh paket sembako berisi beras, minyak goreng, gula, teh, mi instan, kopi, susu, serta uang tunai sebesar Rp 50.000. Bantuan diserahkan secara simbolis oleh perwakilan Pemerintah Desa Hulawa, Karang Taruna Desa Hulawa, dan tokoh masyarakat yang mendukung kegiatan tersebut.
Ketua Karang Taruna Desa Hulawa, Akan Giasi, menyampaikan rasa terima kasih atas kepedulian para pelaku usaha tambang rakyat. Ia memuji program ini sebagai langkah positif yang tidak hanya membantu masyarakat tetapi juga menunjukkan kepedulian kepada kaum dhuafa.
“Terima kasih kepada para pelaku usaha tambang rakyat yang telah berbagi kepada masyarakat Desa Hulawa. Kegiatan ini sangat membantu, terutama untuk para lansia dan dhuafa,” ujar Akan Giasi.
Salah satu penerima bantuan, Simu Igirisa, mengungkapkan rasa syukur atas bantuan yang diterima. “Alhamdulillah, terima kasih atas bantuannya. Semoga rezeki para pelaku usaha tambang rakyat bertambah dan diberi kesehatan,” tuturnya. Ucapan serupa juga disampaikan oleh Kati Igirisa, penerima bantuan lainnya.
Meski aktivitas tambang rakyat di wilayah ini sering disoroti karena status ilegalnya, para pelaku usaha menegaskan komitmen mereka untuk terus berkontribusi dalam kegiatan sosial melalui program “Jumat Berkah.” Di sisi lain, mereka juga berupaya memperjuangkan legalitas tambang rakyat agar dapat beroperasi sesuai ketentuan hukum.
Kegiatan sosial ini diinisiasi oleh beberapa media online yang berkolaborasi dengan Karang Taruna Desa Hulawa. Pembina kegiatan, Yosar Ruiba Monoarfa, berharap program ini dapat menjadi inspirasi bagi komunitas lainnya untuk meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat yang membutuhkan.
Kegiatan ini mendapat apresiasi dari pemerintah setempat dan dukungan penuh dari organisasi kepemudaan di Desa Hulawa. Pemerintah berharap program ini dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutan untuk membantu masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
Panen Hasil Belajar Lokakarya 7 Guru Penggerak Angkatan 11 di Pohuwato
Kronik Pilkada : Dari Merawat Harapan, Hingga Mengelola Kekecewaan dan Penderitaan
Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pilkada: Gerindra Kabupaten Gorontalo Menuju 50 Ribu Anggota
Pendidikan Kesehatan untuk Ibu Hamil oleh Mahasiswa Profesi Ners UNG: Perkuat Pengetahuan dan Praktik di Wilayah Puskesmas Tapa
Bupati Pohuwato Serahkan Bantuan Alat Masak Listrik kepada 166 Rumah Tangga di Taluditi
GERINDRA: Kami Hanya Ikuti Apa Kata Prabowo
Roni Sampir dan Adnan Entengo Optimis Bawa Perubahan Melalui Visi Misi Pada Debat Kedua Pilkada Gorontalo
Anggota DPRD Provinsi Gorontalo Dapil II Temui Pemkab Bone Bolango dalam Rangka Reses Masa Persidangan 2024-2025
Hari Terakhir Kampanye, Roni-Adnan Intens Temui Warga di 30 Titik
Pemeriksaan Terinci Penanggulangan Bencana Banjir di Pohuwato Tahun 2023-2024 Dimulai
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Daerah4 weeks ago
GERINDRA: Kami Hanya Ikuti Apa Kata Prabowo
-
Gorontalo3 months ago
Roni-Adnan: “Kami Siap Dituntut Jika Janji Tidak Ditepati” – Fokus pada Kesejahteraan Rakyat
-
Kabupaten Gorontalo3 months ago
Elnino Mohi Dukung Penuh Roni-Adnan: “Berikan Kepemimpinan pada Ahlinya”
-
Gorontalo1 month ago
Roni-Adnan Komitmen Bebaskan PBB Bagi Warga Kurang Mampu di Kabupaten Gorontalo
-
Gorontalo3 months ago
Kontingen Pohuwato Raih Prestasi Gemilang di Kejurwil III Tapak Suci Gorontalo
-
Gorontalo2 months ago
Aktivitas Pertambangan Ilegal di Popayato Kian Marak, Warga Minta Tindakan Tegas
-
Gorontalo2 months ago
Krisis Air Bersih di Desa Marisa: Dampak Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin
-
Kabupaten Gorontalo3 months ago
Dukungan Makin Menguat: Pemuda Milenial Se-Kecamatan Limboto Solid Menangkan Roni-Adnan di Pilkada 2024