Ruang Literasi
Menuju Langit Kebahagiaan
Published
6 years agoon
Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Allah menuntun yang Dia kehendaki ke dalam cahaya-Nya. Kehendak-Nya itu harus diusahakan dengan penuh kegigihan. Kebahagiaan tidak terletak pada sisi materi yang dimiliki, melainkan berkenaan dengan kondisi spiritual. Al-Ghazali menyebutnya sebagai manifestasi berharga, lebih-lebih saat berada di puncak ketakwaan. Disini kebahagiaan yang menempel pada aspek duniawi merupakan pantulan dari sedikit cahaya-Nya yang menempel pada seseorang. Maksudnya, asbab adanya keyakinan diri akan hakikat segala yang ada bersumber dari-Nya (kondisi hati yang prima), kemudian melahirkan ketenangan pikiran.
Seseorang yang diberikan kelebihan segala sesuatu dalam aspek duaniwi tidak menjamin kebahagiaan menyertai dirinya. Dalam darasnya kaum bijak bestari bahwa puncak kebahagiaan adalah berjumpa dengan-Nya dan diberikan keteguhan menjalankan ibadah dalam bentuk dan ritual apapun.
Segala perbuatan manusia dalam kehidupannya, sangat tergantung dari ketenangan pikiran dan penerimaan hatinya. Sebab itu, suatu hari Buya Hamka melontarkan pertanyaan kepada muridnya, “apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga intan bagi orang gila?” Pertanyaan ini sedang menyimpan penjelasan akan keterhubungan akal pikiran yang jernih dan aktif.
Dalam ramadan ini, daras yang penting untuk diraih adalah kembalinya diri ke langit kebahagiaan dan menuju kampung surgawi. Tuhan, sesekali bertanya pada orang-orang yang hidupnya hanya bergumul pada materi, “fa aina tazhabûn?” atau “hendak kemana engkau pergi (pulang)?”. Juga menegur orang-orang yang hilang dari realitas kehidupan di dunia; hanya menyibukkan urusan vertikal (hubungan manusia dengan-Nya).
Lalu apa yang sebenarnya apa yang diinginkan-Nya? Keseimbangan dalam hidup selama di dunia. Setiap orang perlu menggunakan semua kekuatan akalnya untuk mencapai semua keinginan. Setelah dicapai, maka kebahagiaan akan didapatkan. Tapi Dia mengatakan, kebahagiaan hakiki adalah bermesraan antara kamu dan Aku. Sebab itu, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan akan dibalas oleh-Nya. Misalnya, “surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai dan kekal di dalamnya” (Qs. al-Nisâ’ [4]: 57. Upaya mendapatkan balasan itu dibutuhkan konsistensi.
Di bulan puasa ini, setidaknya kita belajar untuk konsisten dalam beribadah dan bersosial. Kondisi hati itu tidak boleh dipengaruhi oleh keadaan hidup yang enak maupun tengah dipenuhi onak; sedang lapang maupun sulit; sedang tenang atau gundah. Apapun kondisinya tidak mengubah bening dan jernihnya seseorang dalam mengabdi kepada Tuhan. Dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “siapa yang tidak bersabar atas bala-Ku, tidak bersyukur atas ragam nikmat-Ku dan tidak ridha dengan keputusan-Ku, hendaklah dia keluar dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku.”
Hadis qudsi itu sebagai teguran untuk mereka yang hanya mendekat pada-Nya dikala nestapa menimpanya. Penulis kitab “Al-Hikam”, Ibnu ‘Atha’illah menyatakan, “siapa yang tidak mengampiri-Nya dengan pemberian-Nya yang halus akan diseret kepada-Nya dengan rantai ujian”. Kita bisa belajar dari keteladanan Nabi Muhammad walau dijamin masuk surga, tapi tetap konsisten salat malam hingga kakinya bengkak dan tangis beliau yang membuat dada dan punggung berguncang terdengar jelas. Katanya, “masak aku tidak menjadi hamba yang bersyukur?”
Nabi terus mendekati Tuhan lewat bersyukur. Pada aspek ini saja, kita sebagai manusia yang mendapat jaminan masih mengalami pasang surut. Yang terbanyak adalah bersyukur kalau mendapat sesuatu yang memiliki takaran banyak. Lewat ungkapan itu, Nabi mengajarkan kepada ummatnya: melepas belenggu yang mengikat diri dan menjadi penghalang untuk bersyukur. Namun ingat, bersyukur yang dipraktikkan Nabi bukan pasrah tanpa ikhtiar dan usaha memenuhi kebutuhan akal dan hati.
Pelajaran berikutnya, seseorang harus mengibaratkan dirinya laksana supir. Seorang pengemudi yang memandang lalu lintas, tidak akan teralihkan oleh keadaan sekitarnya atau perangkat keindahan yang terdapat dalam mobilnya. Kaca yang berada di kiri-kanan pun hanya sesekali ia lihat. Begitulah perjalanan menuju Ilahi Rabbi. Ia terus merendahkan hatinya dengan menyakini bahwa perjalanan ini diperjalankan oleh-Nya. Karena diperjalankan, maka bersyukur pada-Nya adalah kepastian.
Penempuh jalan kebenaran melaluinya dengan penuh kewajaran. Apapun yang menempel di tubuhnya, baik pangkat dan jabatan tidak membuatnya silau. Ia teguh pada prinsip, semuanya hanyalah titipan-Nya. Dunia bagi salik, bukan untuk dijauhi, sebab itu semua bisa menjadi kendaraan menuju puncak kebahagiaan hakiki. Tuhan berharap, manusia tidak terjebak dalam membangun istana pasir yang tidak lekang oleh gelombang pasang yang melanda tepian pantai.
Memang, seseorang perlu sesekali melihat alam realitas. Di dunia ini, Allah telah memberikan contoh nyata melalui orang yang tersesat di gurun pasir dan terperdaya oleh fatamorgana; seorang membeli buku, namun sesampainya di rumah pesanannya, ia kecewa. Contoh nyata ini akibat dalam perjalanan menuju kebahagiaan hakiki terpesona oleh tampilan lahiriyah. Orang-orang yang mabuk akan agamanya dan bangga akan ibadahnya kerap terjebak pada simbol dan lambang kesalihan dan kesucian.
Obatnya itu hanya satu, sebagaimana tujuan puasa: mengekang nafsu. Jadi, kalau berpuasa dan mengaji agar tampak salih, maka orang tersebut belum melebur ke dalam Ramadan. Kenapa? Pengembaraan dalam Ramadan ini, khususnya menjelang malam-malam seribu bulan adalah pengembaraan dari luar ke dalam; dari yang tertangkap indera kasar menuju yang sangat amat halus dan lembut.
Maka tak heran, para penceramah kerap mendengungkan bahwa puasa adalah olah batin. Disini maksudnya adalah mengasah rasa. Rumi pernah berujar, “jika rahasia makrifat hendak kau capai; buanglah huruf, ambillah makna”. Bait tersebut menuntun siapa saja yang masuk ke dalam Ramadan harus menyebrangi ragam bentuk lahiriyah; menuju ke kedalaman untuk menemukan yang tersamar dalam ragam simbol dan bentuk.
Dalam Al-Qur’an sangat jelas. Perintahnya, “perhatikan apa yang ada di langit” bukan “lihatlah langit”. Kenapa? Ini perintah dari-Nya agar siapa saja tidak berhenti pada wujud materi belaka. Ia harus menyingkap tabir di balik materi itu. Kalau kita misalkan dengan al-Qur’an, ia ibarat sebuah permata yang memancarkan cahaya berbeda-beda sesuai dengan sudur si penglihat atau pembacanya. Sebab itu, Qur’an kerap disebut sebagai lautan tak bertepi, sumur tanpa dasar. Setiap yang diciptakan-Nya meniadakan makna tunggal.
Setidaknya, kita mulai menyicil semaksimal mungkin: membenahi sisi batiniyah tanpa melupakan aspek lahiriyah. Dengan begitu, setelah berpuasa, kita tidak dalam keadaan, apa yang saya sebut masih adanya lubang yang menganga teramat dalam dengan bara yang menjilat-jilat dada. Hal ini sebagai penggambaran akan keadaan manusia yang jiwanya gersang dan jauh dari-Nya. Harapan kita semua, setelah ramadan pergi, kita pun bersih dari kotoran dan menuju-Nya penuh kebahagiaan tanpa mengada-ngada.
You may like
-
Tiga Bidang Program DWP Pohuwato Fokus Pada Pendidikan Melalui DWP Mengajar
-
DPRD Provinsi Gorontalo Siapkan Fit and Proper Test untuk 14 Peserta Lulus
-
Marisa Utara Ditetapkan sebagai Pilot Project Enam Bidang SPM Posyandu
-
Hanya Satu Tahap Lagi, Jalan Sawit Segera Selesai
-
Peresmian KORPRI Mart & Travel Kota Gorontalo Dipuji Prof. Zudan sebagai Teladan Nasional
-
Kolaborasi Lintas Instansi Untuk GPS Pohuwato Mulai Digenjot di Dengilo
Ruang Literasi
“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni
Published
1 day agoon
04/12/2025
Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.
Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.
Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.
Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.
Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.
Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.
Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.
Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.
Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.
Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.
Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Tiga Bidang Program DWP Pohuwato Fokus Pada Pendidikan Melalui DWP Mengajar
DPRD Provinsi Gorontalo Siapkan Fit and Proper Test untuk 14 Peserta Lulus
Marisa Utara Ditetapkan sebagai Pilot Project Enam Bidang SPM Posyandu
Hanya Satu Tahap Lagi, Jalan Sawit Segera Selesai
Peresmian KORPRI Mart & Travel Kota Gorontalo Dipuji Prof. Zudan sebagai Teladan Nasional
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Abai dan Bungkam: Refleksi Elit Gorut Atas Tragedi Julia
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo3 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Gorontalo1 week agoMenolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Hiburan3 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
