Ruang Literasi
Menuju Langit Kebahagiaan
Published
4 years agoon
Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Allah menuntun yang Dia kehendaki ke dalam cahaya-Nya. Kehendak-Nya itu harus diusahakan dengan penuh kegigihan. Kebahagiaan tidak terletak pada sisi materi yang dimiliki, melainkan berkenaan dengan kondisi spiritual. Al-Ghazali menyebutnya sebagai manifestasi berharga, lebih-lebih saat berada di puncak ketakwaan. Disini kebahagiaan yang menempel pada aspek duniawi merupakan pantulan dari sedikit cahaya-Nya yang menempel pada seseorang. Maksudnya, asbab adanya keyakinan diri akan hakikat segala yang ada bersumber dari-Nya (kondisi hati yang prima), kemudian melahirkan ketenangan pikiran.
Seseorang yang diberikan kelebihan segala sesuatu dalam aspek duaniwi tidak menjamin kebahagiaan menyertai dirinya. Dalam darasnya kaum bijak bestari bahwa puncak kebahagiaan adalah berjumpa dengan-Nya dan diberikan keteguhan menjalankan ibadah dalam bentuk dan ritual apapun.
Segala perbuatan manusia dalam kehidupannya, sangat tergantung dari ketenangan pikiran dan penerimaan hatinya. Sebab itu, suatu hari Buya Hamka melontarkan pertanyaan kepada muridnya, “apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga intan bagi orang gila?” Pertanyaan ini sedang menyimpan penjelasan akan keterhubungan akal pikiran yang jernih dan aktif.
Dalam ramadan ini, daras yang penting untuk diraih adalah kembalinya diri ke langit kebahagiaan dan menuju kampung surgawi. Tuhan, sesekali bertanya pada orang-orang yang hidupnya hanya bergumul pada materi, “fa aina tazhabûn?” atau “hendak kemana engkau pergi (pulang)?”. Juga menegur orang-orang yang hilang dari realitas kehidupan di dunia; hanya menyibukkan urusan vertikal (hubungan manusia dengan-Nya).
Lalu apa yang sebenarnya apa yang diinginkan-Nya? Keseimbangan dalam hidup selama di dunia. Setiap orang perlu menggunakan semua kekuatan akalnya untuk mencapai semua keinginan. Setelah dicapai, maka kebahagiaan akan didapatkan. Tapi Dia mengatakan, kebahagiaan hakiki adalah bermesraan antara kamu dan Aku. Sebab itu, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan akan dibalas oleh-Nya. Misalnya, “surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai dan kekal di dalamnya” (Qs. al-Nisâ’ [4]: 57. Upaya mendapatkan balasan itu dibutuhkan konsistensi.
Di bulan puasa ini, setidaknya kita belajar untuk konsisten dalam beribadah dan bersosial. Kondisi hati itu tidak boleh dipengaruhi oleh keadaan hidup yang enak maupun tengah dipenuhi onak; sedang lapang maupun sulit; sedang tenang atau gundah. Apapun kondisinya tidak mengubah bening dan jernihnya seseorang dalam mengabdi kepada Tuhan. Dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “siapa yang tidak bersabar atas bala-Ku, tidak bersyukur atas ragam nikmat-Ku dan tidak ridha dengan keputusan-Ku, hendaklah dia keluar dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku.”
Hadis qudsi itu sebagai teguran untuk mereka yang hanya mendekat pada-Nya dikala nestapa menimpanya. Penulis kitab “Al-Hikam”, Ibnu ‘Atha’illah menyatakan, “siapa yang tidak mengampiri-Nya dengan pemberian-Nya yang halus akan diseret kepada-Nya dengan rantai ujian”. Kita bisa belajar dari keteladanan Nabi Muhammad walau dijamin masuk surga, tapi tetap konsisten salat malam hingga kakinya bengkak dan tangis beliau yang membuat dada dan punggung berguncang terdengar jelas. Katanya, “masak aku tidak menjadi hamba yang bersyukur?”
Nabi terus mendekati Tuhan lewat bersyukur. Pada aspek ini saja, kita sebagai manusia yang mendapat jaminan masih mengalami pasang surut. Yang terbanyak adalah bersyukur kalau mendapat sesuatu yang memiliki takaran banyak. Lewat ungkapan itu, Nabi mengajarkan kepada ummatnya: melepas belenggu yang mengikat diri dan menjadi penghalang untuk bersyukur. Namun ingat, bersyukur yang dipraktikkan Nabi bukan pasrah tanpa ikhtiar dan usaha memenuhi kebutuhan akal dan hati.
Pelajaran berikutnya, seseorang harus mengibaratkan dirinya laksana supir. Seorang pengemudi yang memandang lalu lintas, tidak akan teralihkan oleh keadaan sekitarnya atau perangkat keindahan yang terdapat dalam mobilnya. Kaca yang berada di kiri-kanan pun hanya sesekali ia lihat. Begitulah perjalanan menuju Ilahi Rabbi. Ia terus merendahkan hatinya dengan menyakini bahwa perjalanan ini diperjalankan oleh-Nya. Karena diperjalankan, maka bersyukur pada-Nya adalah kepastian.
Penempuh jalan kebenaran melaluinya dengan penuh kewajaran. Apapun yang menempel di tubuhnya, baik pangkat dan jabatan tidak membuatnya silau. Ia teguh pada prinsip, semuanya hanyalah titipan-Nya. Dunia bagi salik, bukan untuk dijauhi, sebab itu semua bisa menjadi kendaraan menuju puncak kebahagiaan hakiki. Tuhan berharap, manusia tidak terjebak dalam membangun istana pasir yang tidak lekang oleh gelombang pasang yang melanda tepian pantai.
Memang, seseorang perlu sesekali melihat alam realitas. Di dunia ini, Allah telah memberikan contoh nyata melalui orang yang tersesat di gurun pasir dan terperdaya oleh fatamorgana; seorang membeli buku, namun sesampainya di rumah pesanannya, ia kecewa. Contoh nyata ini akibat dalam perjalanan menuju kebahagiaan hakiki terpesona oleh tampilan lahiriyah. Orang-orang yang mabuk akan agamanya dan bangga akan ibadahnya kerap terjebak pada simbol dan lambang kesalihan dan kesucian.
Obatnya itu hanya satu, sebagaimana tujuan puasa: mengekang nafsu. Jadi, kalau berpuasa dan mengaji agar tampak salih, maka orang tersebut belum melebur ke dalam Ramadan. Kenapa? Pengembaraan dalam Ramadan ini, khususnya menjelang malam-malam seribu bulan adalah pengembaraan dari luar ke dalam; dari yang tertangkap indera kasar menuju yang sangat amat halus dan lembut.
Maka tak heran, para penceramah kerap mendengungkan bahwa puasa adalah olah batin. Disini maksudnya adalah mengasah rasa. Rumi pernah berujar, “jika rahasia makrifat hendak kau capai; buanglah huruf, ambillah makna”. Bait tersebut menuntun siapa saja yang masuk ke dalam Ramadan harus menyebrangi ragam bentuk lahiriyah; menuju ke kedalaman untuk menemukan yang tersamar dalam ragam simbol dan bentuk.
Dalam Al-Qur’an sangat jelas. Perintahnya, “perhatikan apa yang ada di langit” bukan “lihatlah langit”. Kenapa? Ini perintah dari-Nya agar siapa saja tidak berhenti pada wujud materi belaka. Ia harus menyingkap tabir di balik materi itu. Kalau kita misalkan dengan al-Qur’an, ia ibarat sebuah permata yang memancarkan cahaya berbeda-beda sesuai dengan sudur si penglihat atau pembacanya. Sebab itu, Qur’an kerap disebut sebagai lautan tak bertepi, sumur tanpa dasar. Setiap yang diciptakan-Nya meniadakan makna tunggal.
Setidaknya, kita mulai menyicil semaksimal mungkin: membenahi sisi batiniyah tanpa melupakan aspek lahiriyah. Dengan begitu, setelah berpuasa, kita tidak dalam keadaan, apa yang saya sebut masih adanya lubang yang menganga teramat dalam dengan bara yang menjilat-jilat dada. Hal ini sebagai penggambaran akan keadaan manusia yang jiwanya gersang dan jauh dari-Nya. Harapan kita semua, setelah ramadan pergi, kita pun bersih dari kotoran dan menuju-Nya penuh kebahagiaan tanpa mengada-ngada.
You may like
-
Pilkada Gorontalo, Perang Data dan Efisiensi Pemenang
-
Kalapas Kelas IIb Pohuwato Tingkatkan Sinergi Melalui Kunjungan Forkopimda
-
Bupati Pohuwato Hadiri Pencanangan Pembangunan Ruas Jalan di Desa Manunggal Karya
-
Civitas Akademika UNG Bersama Rektor Peringati Hari Lahir Universitas
-
TNI AL Kabupaten Pohuwato Gelar Bazar Murah dan Pembagian Sembako dalam Rangka HUT Ke-79
-
Wakil Bupati Pohuwato Hadiri Pelantikan Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Berharap Aspirasi Masyarakat Tersampaikan dengan Baik
Penulis : Rierind Koniyo
barakati.id – Kisruh biaya kuliah di Indonesia mencerminkan krisis yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia, meningkatkan kemampuan, dan mengembangkan kepribadian. Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, data dari Dataindonesia.id dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA dan SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari sekitar 10,2 juta siswa yang lulus pada tahun 2023, hanya 7,8 juta yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Kesenjangan ini disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya. Bagi sebagian mahasiswa yang beruntung, biaya kuliah dapat ditanggung oleh orang tua atau melalui beasiswa KIP. Namun, ada banyak mahasiswa yang harus berjuang sendiri, mengatasi berbagai kesulitan keuangan demi meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bekerja sambilan, mengikat perut agar hemat, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa kuliah.
Pemerintah sering kali dianggap gagal memahami urgensi mahalnya biaya kuliah. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi sebagai kunci peradaban yang maju. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membentuk masyarakat yang lebih cerdas, inovatif, dan kompetitif di tingkat global.
Banyak warga negara yang ingin maju, menggantungkan mimpi dan cita-citanya pada pendidikan tinggi. Mereka rela berkorban demi masa depan yang lebih baik, meskipun harus menjalani kehidupan yang keras dan penuh perjuangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan yang ada, memastikan bahwa bantuan pendidikan dan beasiswa mencapai sasaran yang tepat. Harus ada mekanisme yang adil dan transparan untuk mendukung mereka yang benar-benar membutuhkan, agar semua warga negara, terutama yang miskin, memiliki harapan untuk memperbaiki kualitas hidup melalui pendidikan.
Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Dengan memberikan akses yang lebih luas dan terjangkau, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, berpengetahuan, dan mampu bersaing di tingkat internasional. Pemerintah harus berkomitmen untuk tidak hanya meningkatkan jumlah penerima beasiswa tetapi juga memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi penghalang bagi mereka yang memiliki semangat dan kemampuan untuk belajar. Dengan demikian, harapan untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua lapisan masyarakat dapat terwujud.
Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi FIS UNG)
GORONTALO – Bahwa ada peristiwa yang terjadi akibat dari aktifitas berlebihan salah satu personal Trio Barbie adalah fakta bahwa perlu adanya aturan yang lebih tegas terkait pagelaran musik termasuk aktifitas didalamnya, dan tentu saja bagaimana memeriksa kembali sistem sosial masyarakat Gorontalo pada era kekinian. Bukan hanya itu saja, kejadian saat malam Tumbilotohe di Ipilo lalu menjadi sasaran kemarahan warga. Bahkan sudah ada upaya menariknya pada konteks politik lokal.
Pada konteks Trio Barbie, mesti kita dudukkan secara proporsional secara lebih jernih. Bahwa ada hal-hal yang tidak mengenakkan adalah fakta, tetapi harus diingat bahwa mereka bertiga adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga, dalam artian segala fasilitas dan juga jaminan warga harus sama dengan yang lain. Bahwa ada yang mengganggu kenyamanan, ada jalur hukum yang menjadi kanal penyelesaian.
Demikian pula terkait mereka yang telah dijadikan bahan candaan bahkan sudah mengarah pada kekurangan fisik dan sebagainya pada salah satu anggota Trio Barbie, saya kira hal tersebut telah melampaui, sebab menghina fisik dan perundungan pada sesama warga bukanlah sesuatu yang bijak. Karena, kekurangan fisik seseorang bukanlah keinginannya, tapi aturanNya.
Tentu saja, kita akan menunggu proses yang sedang berlangsung, yang terinformasi ada pelaporan ke pihak kepolisian, pihak kepolisian pun pasti profesional dalam melakukan proses hukum ini.
Bahwa masyakarat marah dan menyesalkan hal tersebut adalah wajar, karena tentu mereka menginginkan Gorontalo terus menjadi daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah.
Sebagai niat dan cita-cita, Serambi Madinah bukan saja dua suku kata saja, tapi juga doa, sekaligus pembatas. Mendoakan agar jazirah Gorontalo agar mendapat keberkahan, warganya beroleh syafaat Madinah dalam hal ini Baginda Nabi. Pembatas dimaksud adalah dengan jargon identitas ini bisa menjadi penghalang sekaligus batas pada hal-hal yang diluar prinsip-prinsip kebudayaan Gorontalo sebagai daerah Islam.
Tetapi, perlu diingat bahwa Serambi Madinah bukan sesuatu yang statis, namun ada aktifitas yang dinamis dan harus diperjuangkan. Dalam konteks perjuangan, tentu saja ada hal-hal yang harus diluruskan dan ditegakkan, bukan saja soal niat tapi hingga perilaku. Apakah perilaku bermasyarakat hingga tata kelola pemerintahan.
Sebagai daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah, tentu saja banyak yang perlu diperbaiki, semisal terkait bagaimana peran lembaga keagamaan yang ada di Gorontalo bisa berkontribusi secara aktif baik pada level struktural dan kultural.
Hal-hal yang terjadi pada peristiwa Trio Barbie bukan hal yang harus dihindari lembaga keagamaan, tetapi harus diseriusi bahkan perlu mendapatkan pendampingan sehijgga bisa diarahkan dan pembinaan, karena bagaimanapun hal tersebut menjadi hal yang “umum” terjadi di masyarakat kita.
Peristiwa Trio Barbie adalah hikmah bagi kita sekalian, bahwa jangan sampai “momentum” ini lewat begitu saja tanpa menjadi proses refleksi bersama. Memang ada yang dianggap negatif, dan bersama-sama melakukan perundungan, tetapi hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah. Perlu ada skema pendampingan secara komprehensif oleh lembaga-lembaga terkait. Momentum ini penting untuk menjadi refleksi bagi diri masing-masing sebagai warga untuk tidak melakukan bully, penghinaan dan bahkan perundungan. Perlu diingat bahwa dalam prinsip Serambi Madinah ada nilai-nilai kearifan seperti tolianga, tolopani, dulohupa dan hal-hal yang mengedepankan penguatan Ngala’a sebagai basis kemasyarakatan Gorontalo. Hal ini pula menjadi bahan refleksi bagi lembaga keagamaan hingga lembaga keluarga pada tingkat mikro karena ada pergeseran nilai di tingkat masyarakat agar buhuta lo Hulondalo bisa dipertahankan.
Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Founder The Gorontalo Institute, Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Politik di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo).
GORONTALO – Pilkada 2024 menyisakan waktu sekitar 112 hari lagi atau 1000 jam. Tapi, jika dihitung secara lebih efektif, waktu “kerja” politisi termasuk Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah, praktis tinggal 112 hari.
Bukannya Pilkada nanti tanggal 27 November 2024? Yang berarti masih 210 hari lagi? Tapi kok hanya dihitung “110 an Hari” lagi? Kenapa 112 hari, karena tiap minggu tidak mungkin ada yang kerja bisa 24/7 atau 24 jam dalam 7 hari. Itu tidak mungkin.
Jelang Pilkada yang waktu kalender masih sekitar 210 hari, tetapi waktu efektif hanya 112 hari. Itu bisa didapatkan dengan menghitung sederhana ; seminggu itu hanya bisa sekitar 4 hari efektif. 3 hari untuk keluarga dan diri sendiri. Artinya dari April sampai November ada sekitar 28 minggu. Jika seminggu hanya bisa 4 hari efektif maka tersisa hanya 112 hari
Sisa waktu hari pun tidak mungkin 24 jam sehari dihabiskan untuk kerja politik. Pasti ada agenda pribadi, misalnya tidur, makan, mandi, main hp, termasuk rebahan. Belum ditambah “mager” alias malas gerak.
Dalam sehari, aktifitas untuk agenda pribadi, paling tidak memakan waktu 10 jam sehari. Berarti tinggal 14 jam yang efektif per hari.
Jika sisa waktu 112 hari dikalikan 14 jam efektif berarti ada sekitar 1568 jam efektif yang tersisa sebelum Pilkada 2024.
1568 jam itu sangat tipis, karena anda (jika misalnya baru kali ini ikut Pilkada) berarti harus mencari “sumber daya” untuk bergerak, harus membangun jaringan baru, membangun popularitas, memperkuat likeabilitas (ketersukaan, atau bagaimana anda bisa disukai) hingga keterpilihan anda.
Syarat-syarat diatas tidak bisa kualitatif atau sekedar dapat masukan dari tim sukses, ring satu, tangan kanan, dan circle anda ; “pokoknya, aman ti pak/ibu pa saya sana, warga itu bolo ba tunggu saya pe perintah”, atau “hi iyoma ju ti tati to kambungu loodungohe tanggulo li pak”, atau “he du’a li tatiye to tihi lo kambungu turusi ti pak botiye, bo atie dipo le dingingo tihi lingoliyo”, ada juga “ali tatiey boyito penu bo pulsa, modungohu tingoliyo”, dan yang unik “ma ilo tohilopa li tatiye ngo kambungu ti pak boti, iyo-iyomo pake pake jas, madelo ma polantikan”.
Ukuran-ukuran kualitatif seperti diatas, bagi pemula lumayan “beken sanang talinga”. Dan, ada “kaidah umum” ; harus “ba lucur” dengan “ba siram”. Kalo tidak, akan keluar jawaban ancaman pamungkas : “ti tatiye to kambungu boyito mahe nao mao lo calon uwewo, bo pilele mao latiya, pohulata kode”.
Nah, 1000 an jam itu, akan ada model dan gaya dari “penyintas” politik, yang biasa main “dua kaki, “lima kaki” hingga “kaki saribu”. Yang ilmu tersebut sudah diupdate selama beberapa kali Pilkada yang semakin canggih, apalagi pengalaman Pemilu barusan.
Tapi, Pilkada butuh angka pasti, sangat kuantiatif. Selain ilmu dasar dalam politik lokal harus disesuaikan : “jangan cuma bisa kali-kali, tambah-tambah, dengan kurang-kurang, tapi juga debo harus tau bagi-bagi”.
Walaupun kategorinya sudah “pragmatis”, tapi itu fakta kontestasi politik pada ranah lokal. Jika popularitas anda dibawah, apalagi ketersukaan rendah, gagasan anda “taap”, jaringan anda cuma hanya dalam satu marga “baku kanal” itupun cuma karena “dorang hitung” keluarga. Maka, “resources” untuk cost harus anda siapkan. Butuh energi maksimal dalam 1000 an jam dalam meningkatkan itu.
Waktu 1000 an jam itu sangat tipis. Dan saya yakin, tidak semua kandidat punya hitungan detail soal jumlah pemilih, nama, alamat, keyakinan pemilih tersebut sudah berapa persen memilih anda, berapa banyak keluarga atau teman yang bisa dia ajak, hingga bagaimana dia mentransfer gagasan anda pada lingkungannya.
Jangan sampai narasi yang didistribusi itu hanya sekedar “orang bae dia”. Narasi “orang bae” apalagi “kancang te rajal” pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktek “pragmatis” di masyarakat karena berasal dari konstruksi wacana “orang bae”, “kancang”.
Oleh karena itu, harus ada keseimbangan dalam agenda 1000 an jam. Tidak boleh tunggal, apalagi cuma modal “kuti-kuti” pada saat serangan fajar. Harus diingat, bukan cuma anda yang siap “bakuti-kuti”, yang lain juga. Karenanya, membangun narasi, personal branding harus hati-hati.
Membangun reputasi penting, tapi tidak sekedar anda membagikan “quote”, “kata-kata mutiara” yang entah anda copot dari mana, ditambah gambar anda sebagai pemanis, yang itu anda bagikan di whatsapp story, facebook, instagram story, dll, yang itu terus terang sangat membosankan.
Oleh karena itu, waktu 1000 an jam yang sangat pendek, membuat anda harus kurangi “mager”, dan hal-hal tidak produktif lainnya.
Selamat memasuki etape 1000 jam, rencanakan dengan baik, persiapkan mental, perbaiki hubungan yang telah rusak, perbanyak modal sosial, dan pada intinya sejauh dan sekeras apapun anda, Allah sebagai penentu, serahkan padaNya setiap urusan dalam setiap tarikan nafas dan gerak ikhtiar anda.
Pilkada Gorontalo, Perang Data dan Efisiensi Pemenang
Kalapas Kelas IIb Pohuwato Tingkatkan Sinergi Melalui Kunjungan Forkopimda
Bupati Pohuwato Hadiri Pencanangan Pembangunan Ruas Jalan di Desa Manunggal Karya
Civitas Akademika UNG Bersama Rektor Peringati Hari Lahir Universitas
TNI AL Kabupaten Pohuwato Gelar Bazar Murah dan Pembagian Sembako dalam Rangka HUT Ke-79
Mangkraknya Pembangunan Rumah Dinas dan Rusunawa BI Gorontalo Tuai Sorotan: Masalah Transparansi dan Upah Pekerja Belum Terbayar
Pos Kamling Desa Marisa Utara Wakili Pohuwato dalam Lomba Siskamling Provinsi Gorontalo
GERINDRA Naturalisasi Calon KDH Yang Terkuat
Dispersip Kabupaten Pohuwato Terima Bantuan Bahan Bacaan Bermutu dari Perpusnas
PT Loka Indah Lestari Klarifikasi Polemik Pemblokadean Jalan dan Tembakan Peringatan di Area HGU Perusahaan
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo3 weeks ago
Mangkraknya Pembangunan Rumah Dinas dan Rusunawa BI Gorontalo Tuai Sorotan: Masalah Transparansi dan Upah Pekerja Belum Terbayar
-
Gorontalo2 months ago
Pembunuhan Tragis di Desa Lemito, Pohuwato
-
Gorontalo3 months ago
LSM LABRAK Gelar Musyawarah Besar dan Pemilihan Kepengurusan Baru Periode 2024 – 2025
-
Gorontalo2 months ago
Kasus Dugaan Kekerasan Seksual dan Aborsi Paksa di Kabupaten Pohuwato
-
Advertorial4 weeks ago
Pos Kamling Desa Marisa Utara Wakili Pohuwato dalam Lomba Siskamling Provinsi Gorontalo
-
Gorontalo4 weeks ago
GERINDRA Naturalisasi Calon KDH Yang Terkuat
-
Daerah2 months ago
PT. Loka Indah Lestari Bantah Tuduhan Kriminalisasi
-
Advertorial2 weeks ago
Dispersip Kabupaten Pohuwato Terima Bantuan Bahan Bacaan Bermutu dari Perpusnas