Connect with us

Ruang Literasi

Osikola bo Dila Omanyanyi

Published

on

Oleh : Momy Hunowu, Dosen IAIN Gorontalo

Pernah dengar ungkapan ini? Osikola bo dila omanyanyi artinya; punya sekolah (pendidikan) tetapi tidak tahu bernyanyi. Di kampung saya, ungkapan ini disandangkan kepada anak sekolahan yang sudah lulus tetapi tidak bisa bernyanyi. Zaman dulu, anak lulus sekolahan dianggap hebat kalau sudah mahir berhitung dan hafal lagu-lagu nasional dan daerah.

Penggunaan ungkapan ini kemudian berkembang, dari hanya sekadar candaan, menjadi kiasan penuh makna. Ditimpakan secara beradab/etis kepada dua golongan. Pertama; mereka yang mahir berteori tetapi tidak mahir mempraktikkannya. Kedua; orang yang kaya ilmu (bergelar) tetapi miskin akhlak (dila oadabu). Ungkapan yang lebih emosional pada golongan kedua ini adalah motota bo mohulodu (pintar tapi bodoh). Ada yang lebih akut, mohulode to awwali (bodoh sejak lahir).

Dua golongan ini sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah, tetapi juga dipertontonkan oleh kalangan menengah ke atas. Mulai dari pekerja rendahan hingga profesi terhormat. Parahnya, menginfeksi mereka yang berkedudukan tinggi. Sebutannya bukan hulodu, tetapi dila mo’o delo (tidak mampu membawa diri).

Gorontalo sangat kaya kearifan, wal khusus dalam menyematkan anugrah dan penghargaan. Bukan hanya kepada yang berjasa (pulanga) tetapi juga mereka yang bernasib dungu. Kalangan ini tidak serta merta disebut bodoh, apalagi biongo, sebutan itu disampaikan secara halus, terukur kadang penuh kiasan. Begitu bermartabatnya etnik ini. Tak heran, publik terhenyak ketika tiba-tiba ada tulisan yang bertajuk “PSBB Hulodu”.

Kata hulodu itu yang bikin gaduh jagad maya, beruntung sang penulis bukan orang Gorontalo sehingga oleh sebagian dapat dimaklumi. Sementara sebagian yang lain, membalikkan kata hulodu itu justru kepada pencetusnya. Tak terkecuali penulis berkelas Gorontalo, bung Funco Tanipu, melayangkan kritikannya untuk meluruskan “Siapa sebenarnya yang Hulodu?”. Saya pun lantas teringat ungkapan “Osikola bo dila omanyanyi”.

Konten tulisan KG sebetulnya biasa saja kita temukan di jagad maya, hanya disayangkan, argumentasinya miskin data, konklusinya amburadul, padahal penulisnya bukan orang biasa. Menggunjing rumahtangga orang, mestinya dideskripsikan berdasarkan perspektif emik, bukan malah dengan angkuhnya memakai pandangan etik.

Tulisan KG telah menimbulkan ketersinggungan kolektif, mengaduk-aduk emosi publik Gorontalo. Ada dua alasan. Pertama; KG telah menjewer tauwa lo lipu (kepala daerah), mungkin ini hal biasa, saya kurang nyaman menyoal itu. Kedua, KG memojokkan secara membabi buta profesi ta mo mitila (tukang pijat) Gorontalo. Inilah yang diluruskan bung FT.

Secara sosio-kultural tukang pijat di Gorontalo memiliki keunikan, artinya, berbeda dengan tukang yang sama di daerah lain. Sebagaimana ditulis Funco; “Pijat atau momitilo ini tidak atas panggilan atau seperti transaksi jual beli. Di Gorontalo, ta mo mitila itu harus toduwolo (diundang) bukan tiyangolo (dipanggil/panggilan). Sehingga ketika usai dipijat, ta mo mitila itu bukan dibayar tapi wohiyala maharu (diserahkan mahar). Kenapa mahar? Karena angkanya tidak ada standar, atau tonulala (terserah pada keikhlasan)”.

Tambahan saya, Tukang pijat di Gorontalo, digeluti para perempuan tua, beraroma khas panimbulu, tak seperti di daerah lain, diperankan wanita-wanita muda dan cantik dan so pasti wangi. Selain perempuan berumur, ada pula tukang pijat dari kalangan laki-laki. Saya menjadi pelanggan setia tukang pijat laki-laki paruh baya, namanya Sartono, tinggalnya di Jln, Ex Bengawan Solo, tak jauh dari perbatasan Bonebolango.

Pijatan ka Tono benar-benar mengeroyok plus mengutak atik urat saraf, tak pelak mengundang raungan lepas tak tertahankan, rasanya seperti sedang dikuliti. Hanya dalam hitungan menit, suhu tubuh naik, urat syaraf seperti membengkak, efeknya benar-benar mandi keringat. Hasilnya, saat itu juga langsung terasa.

Ka Tono, meski berperawakan pendek, banyak menyelamatkan pasien calon bedah. Dia sangat mahir dalam ilmu peruratan. Semua jenis penyakit katanya memiliki titik-titik tertentu. Titik itu saja yang ditelusuri. Tak harus dipijat sekujur tubuh. Tukang pijat di tempat lain pun pasti memiliki kemahiran, membuat pelanggannya bersuara dan berkeringat juga. Ah, saya tak cukup data dan informasi untuk menggambarkannya.

Memiliki keahlian menulis tanpa didukung data, memang berujung petaka. Di dunia akademik dibilang tak ilmiah, di dunia jurnalistik dinamakan hoax. Sang penulis dapat diseret ke ranah hukum. Tujuan menulis sebetulnya untuk memberikan pencerahan kepada pembaca/khalayak, bukan justru mengundang kebencian apalagi amuk massa. Inilah yang sedang mendera KG, jurnalis kawakan dari Sulawesi Utara itu.

Saya tidak mengenal KG, baru lihat wajah tampannya beberapa saat lalu. Dari tulisannya, plus pengakuan warganet yang mengomentari postingan bung Funco Tanipu, saya yakin, beliau adalah penulis bertalenta tinggi. Gaya menulisnya khas, kadang menggelitik, sekaligus menggigit-gigit. Sayangnya, tulisannya kali ini tak sedikit mendapat hujatan, sekaligus membongkar “aib” profesinya di masa lalu, sebagaimana terlihat pada beberapa komentar warganet yang saya kutip berikut ini:

HT: “Bang KG ini ana hormati dari tulisan2nya, tapi jadi kaget ketika pertama baca tulisannya di salah satu WAG. terlalu terburu2 menjustifikasi tanpa menelusuri informasi lewat media yang ada…”

MK: “Bang KG seperti mulai kehilangan identitas dirinya dan kelihatannya mulai memutar haluan gaya menulisnya. Tulisan kali ini menandakan bahwa sekelas bang KG ternyata mampu menulis sesuatu yang bisa saya sebut “lelucon” Sembari beronani dengan paragraf2 khalayan belaka”

ST: “sudut pandangnya tentang terapis pijat Gorontalo, sangat dangkal dan misoginis, mengarah pada bentuk pelecehan dan tuduhan tak berdasar. cukup memalukan cara pandangnya untuk penulis sekelas dia. tulisan KG menunjukkan, dia punya selera humor yang buruk. hulodu…”

AST: “Saya juga pernah kenal KG pada zaman kuliah dulu. Orangnya suka lucu-lucuan, kadang tanpa pikir perasaan orang lain. kalau anak Fakultas Teknik Unsrat mulai angkatan 1986 s.d 90-an pasti kenal KG ini. Menurut saya, dia memang lebih cocok jadi pelawak daripada jurnalis”

UI: “Saya cukup kenal bang KG, beliau piawai dalam mengelola bahasa untuk konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya lokal. Sayang mainnya kejauhan sehingga lupa dia sudah masuk kamar orang lain…”

ROO: “Sejak lama dia begitu: Mabuk Lobster di Tilamuta (ditulis tanpa pernah berkunjung ke sana). Dan foto lobster di Tilamuta itu dia peroleh dari SIH. Berita itu dimuat di koran minggu Republika (saya tidak ingat lagi tahun berapa?) separuh halaman berwarna. Dia suka “fallacy” dengan kemahirannya (apalagi kalau lagi emosional)”.

RD: “Saya mengenal KG waktu dia sering ke LBH Manado, WALHI Sulut, & saat dia masih wartawan Republika. Dia jg aktif menulis dan tulisannya bagus. Terakhir saya kenal dia saat dia beralih haluan menjadi PR di PT. Newmont Minahasa Raya dan menjadi pejabat di sana. Saya sbg aktivis yg waktu itu sedang banyak belajar dr senior2 termasuk dia, sangat kecewa dgn pilihannya krn pada saat yang sama kami sedang melakukan advokasi kasus masyarakat Buyat yg terkena dampak tailing Newmont…”

AK: Org Gorontalo itu cerdas. Itu kt bisa lihat dr bahasanya. Kata “hulodu” yg berarti bodoh, berasal dr kata “mohulodu” yg berarti “tebal”. Mengapa? Krn ada “kabut tebal” yg menyelimuti otaknya sehingga menutupi akal bening atau akal sehatnya. Krn itu jg, org cerdas dlm bahasa Gorontalo disebut “molango wuto’iyo”, yg bening otaknya. Nah, “mohulodu” maupun “molango wuto’o”, itu ditentukan oleh kemampuan seseorang dlm melihat fakta, memahami konteks, menganalisis fenomena dan mmbuat konklusi. Bila ia berhasil, artinya ia telah berhasil menghilangkan yg “mohulodu” “kabut tebal” dari otaknya, artinya “molango wutoiyo”. Disinilah kegagalan “KG”.

Saya tidak cukup ‘’gatal’’ dan tergoda menggali-gali informasinya lebih jauh. (hehe). Sekilas saja, nampaknya KG jurnalis berkelas, humoris sekaligus emosional. Nuansa emosional terbaca dengan jelas dalam tulisan keduanya dengan tajuk “Tafsir Ngeres Covid 19 dan PSBB”.

Bukan mafhum dengan kuliah singkat sang tuan kandidat doktor, soal pijat memijat di Gorontalo, malah makin ngeres, membabi buta menyerang balik FT, penulis berlatar tehnik elektro. Alur tulisan KG tak romantis lagi, tak menggelitik. Kali ini melonjak-lonjak dan menabrak-nabrak. Tukang kritik terkadang tak terima dikritik. Itu manusiawi, wajarlah sesekali tergelincir. Sialnya, terpeleset di bumi Serambi Madinah, yang kaya kearifan lokal.

Catatan akhir saya, Menyelami kekayaan kearifan lokal Gorontalo, tidak cukup hanya dengan menikahi perempuan Gorontalo, namun juga harus sesekali berbaur dengan masyarakatnya, agar ketika bernyanyi, terdengar nan merdu dan menghibur, bukan malah menjewer hingga memerahkan telinga.

Odu olo.

Momy Hunowu

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Gorontalo

Ariyanto Yunus: Tuduhan Serius Harus Disertai Bukti, Jangan Rusak Institusi

Published

on

Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus || Foto Istimewa

News – Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus, angkat bicara menanggapi pemberitaan di salah satu media online yang menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Popayato Grup.

Dalam pernyataannya, Ariyanto menegaskan bahwa dalam logika hukum, pihak yang mengemukakan suatu tuduhan bertanggung jawab untuk menyertakan bukti yang kuat.

“Bagi saya, menduga adalah hal biasa. Tapi dalam berita itu, arahnya bukan lagi menduga, melainkan menuduh. Karena ini sudah masuk ranah tuduhan, maka harus bisa dibuktikan,” ujar Ariyanto kepada awak media, Rabu (18/06/2025).

Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan tanpa dasar seperti ini rentan menimbulkan fitnah, yang bukan hanya mencemarkan nama baik individu, tetapi juga merusak citra institusi kepolisian secara keseluruhan.

“Sekali lagi, yang dirugikan nantinya bukan hanya individu yang disebut, tapi satu institusi. Ini tuduhan serius yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” tegasnya.

Ariyanto pun meminta kepada pihak yang menyampaikan tuduhan, dalam hal ini Ketua KPMP, agar segera menyampaikan bukti konkret jika memang memiliki dasar atas pernyataan yang disampaikan ke publik.

Dirinya berharap seluruh pihak dapat bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi, agar tidak menciptakan kegaduhan atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Popayato yang selama ini dikenal hidup dalam suasana damai.

Continue Reading

News

Tak Punya Banyak, Tapi Narapidana Ini Memberi Segalanya Untuk Gaza

Published

on

NEWS – Seorang narapidana di California telah menyentuh hati ribuan orang di seluruh dunia setelah menyumbangkan seluruh pendapatannya yang sangat kecil untuk bantuan kemanusiaan di Gaza. Pria tersebut, yang dikenal dengan nama “Hamza”, bekerja sebagai petugas kebersihan di dalam penjara dan menerima upah hanya sekitar 13 sen AS per jam. Dalam kurun waktu 21 hari pada Oktober 2023, ia bekerja selama lebih dari 130 jam dan memperoleh total gaji sebesar 17,74 dolar AS. Tanpa ragu, seluruh uang itu ia donasikan untuk membantu warga sipil Palestina yang terdampak konflik.

Kisah Hamza menjadi sorotan setelah slip gaji dan surat pengajuan donasinya diunggah oleh pembuat film asal Los Angeles, Justin Mashouf, ke platform media sosial X (dulu dikenal sebagai Twitter). Postingan tersebut langsung viral dan memicu gelombang dukungan luas dari warganet. Banyak yang tersentuh oleh tindakan penuh empati dari seseorang yang hidup dalam keterbatasan tetapi tetap berupaya memberi manfaat bagi sesama.

Respon positif dari publik tak berhenti di situ. Banyak orang bertanya bagaimana mereka bisa memberikan bantuan langsung kepada Hamza sebagai bentuk apresiasi atas niat mulianya. Justin Mashouf pun meluncurkan penggalangan dana melalui GoFundMe untuk mendukung Hamza setelah pembebasannya yang direncanakan pada akhir Maret 2024. Dana tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, transportasi, hingga pelatihan kerja. Dalam waktu singkat, lebih dari 100 ribu dolar AS berhasil dikumpulkan.

Hamza sendiri merupakan mantan terpidana pembunuhan tingkat dua yang dihukum pada tahun 1986, saat usianya masih remaja. Selama hampir 40 tahun, ia menjalani masa hukuman di balik jeruji dan beberapa kali ditolak dalam sidang pembebasan bersyarat. Setelah masa panjang itu, ia akhirnya akan dibebaskan tahun ini. Dalam sebuah pernyataan, Hamza menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh donatur, tetapi ia juga mengajak masyarakat agar tidak hanya fokus membantunya, melainkan turut memprioritaskan bantuan kepada keluarga-keluarga di Gaza, Yaman, dan Afrika yang hidup tanpa akses air bersih, makanan, atau layanan kesehatan.

Kisah Hamza bukan hanya tentang kemurahan hati, tetapi juga tentang harapan, kemanusiaan, dan solidaritas global yang bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga. Ia bahkan berjanji untuk menyumbangkan gaji terakhirnya sebelum bebas dan menyalurkan sebagian dari donasi yang ia terima kepada bantuan kemanusiaan di Gaza. Di tengah dunia yang sering kali penuh dengan ketidakadilan dan keputusasaan, tindakan kecil Hamza menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa datang dari mana saja—bahkan dari balik tembok penjara.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler