Ruang Literasi
Osikola bo Dila Omanyanyi
Published
5 years agoon

Oleh : Momy Hunowu, Dosen IAIN Gorontalo
Pernah dengar ungkapan ini? Osikola bo dila omanyanyi artinya; punya sekolah (pendidikan) tetapi tidak tahu bernyanyi. Di kampung saya, ungkapan ini disandangkan kepada anak sekolahan yang sudah lulus tetapi tidak bisa bernyanyi. Zaman dulu, anak lulus sekolahan dianggap hebat kalau sudah mahir berhitung dan hafal lagu-lagu nasional dan daerah.
Penggunaan ungkapan ini kemudian berkembang, dari hanya sekadar candaan, menjadi kiasan penuh makna. Ditimpakan secara beradab/etis kepada dua golongan. Pertama; mereka yang mahir berteori tetapi tidak mahir mempraktikkannya. Kedua; orang yang kaya ilmu (bergelar) tetapi miskin akhlak (dila oadabu). Ungkapan yang lebih emosional pada golongan kedua ini adalah motota bo mohulodu (pintar tapi bodoh). Ada yang lebih akut, mohulode to awwali (bodoh sejak lahir).
Dua golongan ini sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah, tetapi juga dipertontonkan oleh kalangan menengah ke atas. Mulai dari pekerja rendahan hingga profesi terhormat. Parahnya, menginfeksi mereka yang berkedudukan tinggi. Sebutannya bukan hulodu, tetapi dila mo’o delo (tidak mampu membawa diri).
Gorontalo sangat kaya kearifan, wal khusus dalam menyematkan anugrah dan penghargaan. Bukan hanya kepada yang berjasa (pulanga) tetapi juga mereka yang bernasib dungu. Kalangan ini tidak serta merta disebut bodoh, apalagi biongo, sebutan itu disampaikan secara halus, terukur kadang penuh kiasan. Begitu bermartabatnya etnik ini. Tak heran, publik terhenyak ketika tiba-tiba ada tulisan yang bertajuk “PSBB Hulodu”.
Kata hulodu itu yang bikin gaduh jagad maya, beruntung sang penulis bukan orang Gorontalo sehingga oleh sebagian dapat dimaklumi. Sementara sebagian yang lain, membalikkan kata hulodu itu justru kepada pencetusnya. Tak terkecuali penulis berkelas Gorontalo, bung Funco Tanipu, melayangkan kritikannya untuk meluruskan “Siapa sebenarnya yang Hulodu?”. Saya pun lantas teringat ungkapan “Osikola bo dila omanyanyi”.
Konten tulisan KG sebetulnya biasa saja kita temukan di jagad maya, hanya disayangkan, argumentasinya miskin data, konklusinya amburadul, padahal penulisnya bukan orang biasa. Menggunjing rumahtangga orang, mestinya dideskripsikan berdasarkan perspektif emik, bukan malah dengan angkuhnya memakai pandangan etik.
Tulisan KG telah menimbulkan ketersinggungan kolektif, mengaduk-aduk emosi publik Gorontalo. Ada dua alasan. Pertama; KG telah menjewer tauwa lo lipu (kepala daerah), mungkin ini hal biasa, saya kurang nyaman menyoal itu. Kedua, KG memojokkan secara membabi buta profesi ta mo mitila (tukang pijat) Gorontalo. Inilah yang diluruskan bung FT.
Secara sosio-kultural tukang pijat di Gorontalo memiliki keunikan, artinya, berbeda dengan tukang yang sama di daerah lain. Sebagaimana ditulis Funco; “Pijat atau momitilo ini tidak atas panggilan atau seperti transaksi jual beli. Di Gorontalo, ta mo mitila itu harus toduwolo (diundang) bukan tiyangolo (dipanggil/panggilan). Sehingga ketika usai dipijat, ta mo mitila itu bukan dibayar tapi wohiyala maharu (diserahkan mahar). Kenapa mahar? Karena angkanya tidak ada standar, atau tonulala (terserah pada keikhlasan)”.
Tambahan saya, Tukang pijat di Gorontalo, digeluti para perempuan tua, beraroma khas panimbulu, tak seperti di daerah lain, diperankan wanita-wanita muda dan cantik dan so pasti wangi. Selain perempuan berumur, ada pula tukang pijat dari kalangan laki-laki. Saya menjadi pelanggan setia tukang pijat laki-laki paruh baya, namanya Sartono, tinggalnya di Jln, Ex Bengawan Solo, tak jauh dari perbatasan Bonebolango.
Pijatan ka Tono benar-benar mengeroyok plus mengutak atik urat saraf, tak pelak mengundang raungan lepas tak tertahankan, rasanya seperti sedang dikuliti. Hanya dalam hitungan menit, suhu tubuh naik, urat syaraf seperti membengkak, efeknya benar-benar mandi keringat. Hasilnya, saat itu juga langsung terasa.
Ka Tono, meski berperawakan pendek, banyak menyelamatkan pasien calon bedah. Dia sangat mahir dalam ilmu peruratan. Semua jenis penyakit katanya memiliki titik-titik tertentu. Titik itu saja yang ditelusuri. Tak harus dipijat sekujur tubuh. Tukang pijat di tempat lain pun pasti memiliki kemahiran, membuat pelanggannya bersuara dan berkeringat juga. Ah, saya tak cukup data dan informasi untuk menggambarkannya.
Memiliki keahlian menulis tanpa didukung data, memang berujung petaka. Di dunia akademik dibilang tak ilmiah, di dunia jurnalistik dinamakan hoax. Sang penulis dapat diseret ke ranah hukum. Tujuan menulis sebetulnya untuk memberikan pencerahan kepada pembaca/khalayak, bukan justru mengundang kebencian apalagi amuk massa. Inilah yang sedang mendera KG, jurnalis kawakan dari Sulawesi Utara itu.
Saya tidak mengenal KG, baru lihat wajah tampannya beberapa saat lalu. Dari tulisannya, plus pengakuan warganet yang mengomentari postingan bung Funco Tanipu, saya yakin, beliau adalah penulis bertalenta tinggi. Gaya menulisnya khas, kadang menggelitik, sekaligus menggigit-gigit. Sayangnya, tulisannya kali ini tak sedikit mendapat hujatan, sekaligus membongkar “aib” profesinya di masa lalu, sebagaimana terlihat pada beberapa komentar warganet yang saya kutip berikut ini:
HT: “Bang KG ini ana hormati dari tulisan2nya, tapi jadi kaget ketika pertama baca tulisannya di salah satu WAG. terlalu terburu2 menjustifikasi tanpa menelusuri informasi lewat media yang ada…”
MK: “Bang KG seperti mulai kehilangan identitas dirinya dan kelihatannya mulai memutar haluan gaya menulisnya. Tulisan kali ini menandakan bahwa sekelas bang KG ternyata mampu menulis sesuatu yang bisa saya sebut “lelucon” Sembari beronani dengan paragraf2 khalayan belaka”
ST: “sudut pandangnya tentang terapis pijat Gorontalo, sangat dangkal dan misoginis, mengarah pada bentuk pelecehan dan tuduhan tak berdasar. cukup memalukan cara pandangnya untuk penulis sekelas dia. tulisan KG menunjukkan, dia punya selera humor yang buruk. hulodu…”
AST: “Saya juga pernah kenal KG pada zaman kuliah dulu. Orangnya suka lucu-lucuan, kadang tanpa pikir perasaan orang lain. kalau anak Fakultas Teknik Unsrat mulai angkatan 1986 s.d 90-an pasti kenal KG ini. Menurut saya, dia memang lebih cocok jadi pelawak daripada jurnalis”
UI: “Saya cukup kenal bang KG, beliau piawai dalam mengelola bahasa untuk konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya lokal. Sayang mainnya kejauhan sehingga lupa dia sudah masuk kamar orang lain…”
ROO: “Sejak lama dia begitu: Mabuk Lobster di Tilamuta (ditulis tanpa pernah berkunjung ke sana). Dan foto lobster di Tilamuta itu dia peroleh dari SIH. Berita itu dimuat di koran minggu Republika (saya tidak ingat lagi tahun berapa?) separuh halaman berwarna. Dia suka “fallacy” dengan kemahirannya (apalagi kalau lagi emosional)”.
RD: “Saya mengenal KG waktu dia sering ke LBH Manado, WALHI Sulut, & saat dia masih wartawan Republika. Dia jg aktif menulis dan tulisannya bagus. Terakhir saya kenal dia saat dia beralih haluan menjadi PR di PT. Newmont Minahasa Raya dan menjadi pejabat di sana. Saya sbg aktivis yg waktu itu sedang banyak belajar dr senior2 termasuk dia, sangat kecewa dgn pilihannya krn pada saat yang sama kami sedang melakukan advokasi kasus masyarakat Buyat yg terkena dampak tailing Newmont…”
AK: Org Gorontalo itu cerdas. Itu kt bisa lihat dr bahasanya. Kata “hulodu” yg berarti bodoh, berasal dr kata “mohulodu” yg berarti “tebal”. Mengapa? Krn ada “kabut tebal” yg menyelimuti otaknya sehingga menutupi akal bening atau akal sehatnya. Krn itu jg, org cerdas dlm bahasa Gorontalo disebut “molango wuto’iyo”, yg bening otaknya. Nah, “mohulodu” maupun “molango wuto’o”, itu ditentukan oleh kemampuan seseorang dlm melihat fakta, memahami konteks, menganalisis fenomena dan mmbuat konklusi. Bila ia berhasil, artinya ia telah berhasil menghilangkan yg “mohulodu” “kabut tebal” dari otaknya, artinya “molango wutoiyo”. Disinilah kegagalan “KG”.
Saya tidak cukup ‘’gatal’’ dan tergoda menggali-gali informasinya lebih jauh. (hehe). Sekilas saja, nampaknya KG jurnalis berkelas, humoris sekaligus emosional. Nuansa emosional terbaca dengan jelas dalam tulisan keduanya dengan tajuk “Tafsir Ngeres Covid 19 dan PSBB”.
Bukan mafhum dengan kuliah singkat sang tuan kandidat doktor, soal pijat memijat di Gorontalo, malah makin ngeres, membabi buta menyerang balik FT, penulis berlatar tehnik elektro. Alur tulisan KG tak romantis lagi, tak menggelitik. Kali ini melonjak-lonjak dan menabrak-nabrak. Tukang kritik terkadang tak terima dikritik. Itu manusiawi, wajarlah sesekali tergelincir. Sialnya, terpeleset di bumi Serambi Madinah, yang kaya kearifan lokal.
Catatan akhir saya, Menyelami kekayaan kearifan lokal Gorontalo, tidak cukup hanya dengan menikahi perempuan Gorontalo, namun juga harus sesekali berbaur dengan masyarakatnya, agar ketika bernyanyi, terdengar nan merdu dan menghibur, bukan malah menjewer hingga memerahkan telinga.
Odu olo.
Momy Hunowu
You may like
-
Ramdan Ibrahim, Mahasiswa FIS UNG yang Terpilih Jadi Konselor Sebaya untuk Dukung Kesehatan Mahasiswa
-
Universitas Negeri Gorontalo Jadi Mitra Global dalam Penelitian Ketahanan Pangan bersama Monash dan Sussex University
-
Ingin Berkontribusi di Dunia Penyiaran? Timsel Buka Peluang Jadi Anggota KPID Gorontalo
-
BTN Jadi Mitra Strategis Pemkot Gorontalo dalam Meningkatkan Kualitas Layanan Publik
-
Wakil Bupati Pohuwato Ambil Sumpah PNS Baru di Inspektorat Daerah
-
Langkah Nyata Desa Bubeya Atasi Sampah, DPRD Provinsi Gorontalo: Bisa Jadi Teladan!
News
Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
Published
1 week agoon
07/10/2025
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo
Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.
Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.
Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.
Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?
Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.
Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.
Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.

UWEDIKAN – Nasrun Abdullah (40) berjalan di atas akar mangrove dengan penuh waspada, matanya jeli mengawasi sekitar. Jalannya pelan dan terukur, sementara itu, tangan kirinya meraih akar pohon mangrove yang timbul ke permukaan tanah, tangan kanannya memegang clipboard yang dijepit kertas putih, dengan pensil yang terselip di antara papan.
“hati-hati , banyak akar yang lapuk,” teriak Nasrun.
Pukul 09.00 WITA Nasrun bersama 6 nelayan gurita di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sudah berada diatas perahu menuju lokasi pendataan mangrove. Untuk menjangkau lokasi pendataan, mereka menggunakan perahu kayu yang biasanya dipakai untuk melaut.
Perahu-perahu ini bergerak pelan menuju Pulau Balean, Pulau Panjang, Pulau Bubuitan, dan Pulau Balebajo ditumpangi 13 orang secara keseluruhan terbagi menjadi dua kelompok. Tujuh orang diantaranya merupakan nelayan gurita. Satu orang perempuan nelayan, enam orang nelayan laki-laki termasuk Nasrun. Sementara sisanya merupakan staf Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) dan enumerator.
“Ini pengalaman pertama saya melakukan pendataan mangrove, dapat pengetahuan baru, pengalaman baru,” terang Nasrun.
Pengambilan sampel dilakukan di empat titik tersebar di Pulau Balean, Pulau Panjang, Pulau Bubuitan, dan Pulau Balebajo. Masing-masing pulau dipasangi 3 plot berukuran ukuran 10 meter persegi. Jarak antara satu plot dengan plot lainya sejauh 50 meter.
Sesampainya di lokasi, Nasrun dan anggota kelompok lainya, mulai melakukan pendataan. Ada yang mengukur luas lahan pengambilan sampel, ada yang mengecek titik koordinat, ada juga yang memasang tali plot.
Setelah itu, dilakukan pengecekan suhu air, salinitas, dan Potential Hydrogen (pH) mereka mulai menjajaki akar mangrove yang timbul ke permukaan. Selanjutnya mengukuran volume batang, identifikasi tutupan kanopi pada mangrove, mendata jumlah anakan, serta spesies dan genus mangrove, sedimen dan hewan invertebrata didalamnya.
Di empat pulau itu ditemukan berbagai spesies mangrove. Antara lain: Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, Bruguiera x dungarra, Ceriops australis, Avicennia alba, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata, Avicennia alba, Ceriops zippeliana, Rhizophora mucronata, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Bruguiera x dungarra, Bruguiera hainesii, Rhizophora stylosa, Xylocarpus rumphii, Bruguiera gymnorrhiza dan Acanthus ebracteatus.
Rusaknya mangrove menjadi sinyal kerusakan ekosistem pesisir. Ekosistem mangrove bernilai penting baik dari sisi lingkungan maupun sosial ekonomi. Perannya dalam menyerap karbon dioksida (CO2) jauh lebih besar dibandingkan pohon lainnya yang hidup di daratan. Hampir seluruh bagian pohon mangrove menyerap CO2 mulai dari akar, batang, daun hingga sedimen. Selain itu, ekosistem mangrove juga mendukung kehidupan masyarakat pesisir.
Temuan kerusakan mangrove
Nasrun melangkah dengan hati-hati, saat kakinya menginjak akar pohon bakau dari genus Rhizophora dengan ciri umum akar tunjang yang menjuntai ke bawah terdengar bunyi “krek.”
Suara itu berasal dari patahan akar mangrove yang telah lapuk. Akar tersebut sudah kehilangan sebagian kekuatannya sehingga tidak lagi mampu menopang bobot badan Nasrun. Rupanya bukan hanya Nasrun, yang menemukan akar-akar keropos anggota kelompok lainnya pun menjumpai kondisi mangrove yang keropos di bagian akarnya.
“Untuk sampai ke batang pohon kami sangat hati-hati, apalagi beralih dari satu pohon ke pohon lainnya, salah melangkah pasti tercebur. Ada beberapa tempat yang kondisi airnya cukup dalam, ada juga airnya yang dangkal, ada juga yang lumpur saja,” terang Nasrun.
Peran vital dari ekosistem mangrove lainya adalah pelestarian lingkungan pesisir. Selain sebagai habitat dan tempat berkembang biaknya biota laut. Mangrove juga merupakan pelindung alami pantai atau bisa dibilang sebagai benteng pertahanan dari ancaman abrasi serta bencana alam seperti badai dan juga gelombang tsunami. Akar mangrove berfungsi sebagai penyaring alami polutan pencemaran laut.
Di Uwedikan sendiri ditemukan mangrove yang tidak lagi sehat. Kerusakan itu terlihat terlihat jelas pada bagian akar yang mengalami pelapukan, belum diketahui pasti penyebab kerusakan. Masyarakat menduga, hal itu disebabkan oleh limbah tailing pabrik tambak udang yang dibuang langsung ke laut. Untuk memastikan penyebab pasti kerusakan ekosistem mangrove di Uwedikan perlu dilakukan riset ilmiah dengan melibatkan tim yang ahli kompeten dibidangnya.
Fasilitator JAPESDA di Uwedikan, Indhira Faramita Moha menjelaskan, pendataan mangrove di Uwedikan dilakukan pada Jumat (22/8/2025). Empat titik lokasi, dengan jumlah keseluruhan plot yang terpasang sebanyak 12 plot.
Indhira menambahkan, pihaknya hanya melakukan pendataan pada titik sampling yang sudah ditentukan. Diluar daripada itu, pihaknya tidak bisa memastikan kondisi kesehatan manggrove.
“Kami tidak bisa memastikan apakah seluruh pohon mangrove yang tersebar di empat pulau ini seluruhnya mengalami kerusakan. Kerusakan (lapuk pada bagian akar) kami temukan di 12 plot ini. Nah, di sini ada yang akarnya masih kuat dan kokoh, ada juga yang lapuk dan rentan patah,” tutupnya.
Temuan adanya kerusakan pada ekosistem mangrove di Uwedikan ini sudah sepatutnya menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat, hal ini diperlukan agar keberlangsungan ekosistem mangrove tetap terjaga. Pasalnya, jika ekosistem mangrove mengalami kerusakan maka ada kemungkinan terjadi kerusakan juga pada ekosistem lainnya, termasuk padang lamun.
Berdasarkan riset Walhi (2023) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, Sulteng menempati urutan pertama yang memiliki desa pesisir terbanyak di indonesia yang mengelola ekosistem mangrove dibandingkan dengan seluruh provinsi di Indonesia. Jumlahnya mencapai 539 desa yang mengelola ekosistem mangrove di Sulteng.
Di Uwedikan, data ekosistem mangrove yang telah dikumpulkan oleh para nelayan, staf Japesda dan anumerator diserahkan kembali kepada warga Uwedikan sebagai bahan evaluasi dalam menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove serta mendukung upaya pelestarian ekosistem perairan.
Ruang Literasi
Kopi, Meditasi, dan Olahraga: Kombinasi Ampuh untuk Kesehatan Otak!
Published
1 month agoon
02/09/2025
Dr. Wendy Suzuki, profesor ilmu saraf dan psikologi di New York University, mengungkap hubungan erat antara olahraga dan kesehatan otak dalam wawancara terbarunya di kanal Youtube The Diary Of A CEO. Ia menjelaskan pentingnya menjaga brain health untuk mencapai kualitas hidup terbaik dan meningkatkan kemampuan kognitif.
Dalam pembukaannya, Dr. Wendy menegaskan, “Olahraga adalah alat paling kuat yang bisa kamu lakukan untuk melindungi otak dari penuaan dan penyakit neurodegeneratif.” Ia menyebutkan olahraga aerobik, seperti berjalan cepat dan sepak bola, sangat efektif meningkatkan fungsi hippocampus dan prefrontal cortex, yang berperan penting dalam memori dan konsentrasi.
Neuroplastisitas, konsep bahwa otak dapat berubah dan beradaptasi, menjadi bagian utama risetnya. “Otakmu bisa menjadi besar, gemuk, dan fluffy — artinya sehat dan penuh koneksi,” kata Dr. Wendy. Hal ini terbukti lewat studi pada pengemudi taksi London yang belajar ribuan rute kota dan akhirnya mengalami pertumbuhan signifikan pada bagian hippocampus mereka.
Dr. Wendy juga berbagi pengalamannya, “Ketika saya mulai berolahraga secara rutin, mood saya berubah drastis jadi lebih baik dan fungsi otak saya meningkat. Itu titik balik yang mengubah hidup saya.” Pengalaman pribadinya terinspirasi setelah menyaksikan penurunan kognitif ayahnya akibat Alzheimer.
Selain olahraga, ia menyarankan pola makan sehat ala Mediterania dan interaksi sosial yang aktif. “Saat kita memiliki sedikit teman atau kurang hubungan sosial, otak akan menyusut dan lebih rentan terhadap demensia,” ujarnya. Menjaga koneksi sosial tidak hanya membuat pasien lebih bahagia, tapi juga memperpanjang umur.
Video podcastnya juga mengupas teknik meningkatkan daya ingat seperti “Memory Palace”, dan menjelaskan cara kerja memori jangka panjang dan memori kerja di hippocampus dan prefrontal cortex. “Emosi memberi kekuatan pada memori lewat amygdala, jadi pengalaman yang emosional akan lebih mudah diingat,” tambah Dr. Wendy.
Mengenai demensia dan Alzheimer, ia menjelaskan, “Kita belum tahu penyebab pasti, namun berjalan kaki tiga kali seminggu bisa mengurangi risiko terkena demensia hingga 30%.” Jangan lupa dampak buruk kurang tidur, yang menghambat konsolidasi memori dan membersihkan racun otak, serta kecanduan media sosial yang berdampak negatif.
Tips hidup sehat lain yang ia berikan termasuk meditasi, kopi secukupnya, mandi air dingin, dan mengelola stres lewat mindfulness. Ia mengingatkan, “Setiap tetes keringat itu penting untuk membuat otakmu lebih sehat.”
Kesimpulannya, menjaga kesehatan otak bergantung pada gaya hidup aktif dan dukungan sosial yang kuat. Dr. Wendy mengajak semua orang untuk mulai berolahraga dan merawat otak demi kehidupan yang lebih produktif dan bahagia.

Ramdan Ibrahim, Mahasiswa FIS UNG yang Terpilih Jadi Konselor Sebaya untuk Dukung Kesehatan Mahasiswa

Universitas Negeri Gorontalo Jadi Mitra Global dalam Penelitian Ketahanan Pangan bersama Monash dan Sussex University

Ingin Berkontribusi di Dunia Penyiaran? Timsel Buka Peluang Jadi Anggota KPID Gorontalo

BTN Jadi Mitra Strategis Pemkot Gorontalo dalam Meningkatkan Kualitas Layanan Publik

Wakil Bupati Pohuwato Ambil Sumpah PNS Baru di Inspektorat Daerah

Diusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”

Dugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi

Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital

Mabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah

Skorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo3 weeks ago
Diusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo4 weeks ago
Dugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Daerah2 months ago
DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
News1 week ago
Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months ago
DPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial2 months ago
Prof. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Gorontalo1 month ago
Terendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Advertorial3 months ago
Sambut Mahasiswa Baru, UNG Tegaskan PKKMB Tanpa Perpeloncoan