Ruang Literasi
Osikola bo Dila Omanyanyi
Published
6 years agoon
Oleh : Momy Hunowu, Dosen IAIN Gorontalo
Pernah dengar ungkapan ini? Osikola bo dila omanyanyi artinya; punya sekolah (pendidikan) tetapi tidak tahu bernyanyi. Di kampung saya, ungkapan ini disandangkan kepada anak sekolahan yang sudah lulus tetapi tidak bisa bernyanyi. Zaman dulu, anak lulus sekolahan dianggap hebat kalau sudah mahir berhitung dan hafal lagu-lagu nasional dan daerah.
Penggunaan ungkapan ini kemudian berkembang, dari hanya sekadar candaan, menjadi kiasan penuh makna. Ditimpakan secara beradab/etis kepada dua golongan. Pertama; mereka yang mahir berteori tetapi tidak mahir mempraktikkannya. Kedua; orang yang kaya ilmu (bergelar) tetapi miskin akhlak (dila oadabu). Ungkapan yang lebih emosional pada golongan kedua ini adalah motota bo mohulodu (pintar tapi bodoh). Ada yang lebih akut, mohulode to awwali (bodoh sejak lahir).
Dua golongan ini sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah, tetapi juga dipertontonkan oleh kalangan menengah ke atas. Mulai dari pekerja rendahan hingga profesi terhormat. Parahnya, menginfeksi mereka yang berkedudukan tinggi. Sebutannya bukan hulodu, tetapi dila mo’o delo (tidak mampu membawa diri).
Gorontalo sangat kaya kearifan, wal khusus dalam menyematkan anugrah dan penghargaan. Bukan hanya kepada yang berjasa (pulanga) tetapi juga mereka yang bernasib dungu. Kalangan ini tidak serta merta disebut bodoh, apalagi biongo, sebutan itu disampaikan secara halus, terukur kadang penuh kiasan. Begitu bermartabatnya etnik ini. Tak heran, publik terhenyak ketika tiba-tiba ada tulisan yang bertajuk “PSBB Hulodu”.
Kata hulodu itu yang bikin gaduh jagad maya, beruntung sang penulis bukan orang Gorontalo sehingga oleh sebagian dapat dimaklumi. Sementara sebagian yang lain, membalikkan kata hulodu itu justru kepada pencetusnya. Tak terkecuali penulis berkelas Gorontalo, bung Funco Tanipu, melayangkan kritikannya untuk meluruskan “Siapa sebenarnya yang Hulodu?”. Saya pun lantas teringat ungkapan “Osikola bo dila omanyanyi”.
Konten tulisan KG sebetulnya biasa saja kita temukan di jagad maya, hanya disayangkan, argumentasinya miskin data, konklusinya amburadul, padahal penulisnya bukan orang biasa. Menggunjing rumahtangga orang, mestinya dideskripsikan berdasarkan perspektif emik, bukan malah dengan angkuhnya memakai pandangan etik.
Tulisan KG telah menimbulkan ketersinggungan kolektif, mengaduk-aduk emosi publik Gorontalo. Ada dua alasan. Pertama; KG telah menjewer tauwa lo lipu (kepala daerah), mungkin ini hal biasa, saya kurang nyaman menyoal itu. Kedua, KG memojokkan secara membabi buta profesi ta mo mitila (tukang pijat) Gorontalo. Inilah yang diluruskan bung FT.
Secara sosio-kultural tukang pijat di Gorontalo memiliki keunikan, artinya, berbeda dengan tukang yang sama di daerah lain. Sebagaimana ditulis Funco; “Pijat atau momitilo ini tidak atas panggilan atau seperti transaksi jual beli. Di Gorontalo, ta mo mitila itu harus toduwolo (diundang) bukan tiyangolo (dipanggil/panggilan). Sehingga ketika usai dipijat, ta mo mitila itu bukan dibayar tapi wohiyala maharu (diserahkan mahar). Kenapa mahar? Karena angkanya tidak ada standar, atau tonulala (terserah pada keikhlasan)”.
Tambahan saya, Tukang pijat di Gorontalo, digeluti para perempuan tua, beraroma khas panimbulu, tak seperti di daerah lain, diperankan wanita-wanita muda dan cantik dan so pasti wangi. Selain perempuan berumur, ada pula tukang pijat dari kalangan laki-laki. Saya menjadi pelanggan setia tukang pijat laki-laki paruh baya, namanya Sartono, tinggalnya di Jln, Ex Bengawan Solo, tak jauh dari perbatasan Bonebolango.
Pijatan ka Tono benar-benar mengeroyok plus mengutak atik urat saraf, tak pelak mengundang raungan lepas tak tertahankan, rasanya seperti sedang dikuliti. Hanya dalam hitungan menit, suhu tubuh naik, urat syaraf seperti membengkak, efeknya benar-benar mandi keringat. Hasilnya, saat itu juga langsung terasa.
Ka Tono, meski berperawakan pendek, banyak menyelamatkan pasien calon bedah. Dia sangat mahir dalam ilmu peruratan. Semua jenis penyakit katanya memiliki titik-titik tertentu. Titik itu saja yang ditelusuri. Tak harus dipijat sekujur tubuh. Tukang pijat di tempat lain pun pasti memiliki kemahiran, membuat pelanggannya bersuara dan berkeringat juga. Ah, saya tak cukup data dan informasi untuk menggambarkannya.
Memiliki keahlian menulis tanpa didukung data, memang berujung petaka. Di dunia akademik dibilang tak ilmiah, di dunia jurnalistik dinamakan hoax. Sang penulis dapat diseret ke ranah hukum. Tujuan menulis sebetulnya untuk memberikan pencerahan kepada pembaca/khalayak, bukan justru mengundang kebencian apalagi amuk massa. Inilah yang sedang mendera KG, jurnalis kawakan dari Sulawesi Utara itu.
Saya tidak mengenal KG, baru lihat wajah tampannya beberapa saat lalu. Dari tulisannya, plus pengakuan warganet yang mengomentari postingan bung Funco Tanipu, saya yakin, beliau adalah penulis bertalenta tinggi. Gaya menulisnya khas, kadang menggelitik, sekaligus menggigit-gigit. Sayangnya, tulisannya kali ini tak sedikit mendapat hujatan, sekaligus membongkar “aib” profesinya di masa lalu, sebagaimana terlihat pada beberapa komentar warganet yang saya kutip berikut ini:
HT: “Bang KG ini ana hormati dari tulisan2nya, tapi jadi kaget ketika pertama baca tulisannya di salah satu WAG. terlalu terburu2 menjustifikasi tanpa menelusuri informasi lewat media yang ada…”
MK: “Bang KG seperti mulai kehilangan identitas dirinya dan kelihatannya mulai memutar haluan gaya menulisnya. Tulisan kali ini menandakan bahwa sekelas bang KG ternyata mampu menulis sesuatu yang bisa saya sebut “lelucon” Sembari beronani dengan paragraf2 khalayan belaka”
ST: “sudut pandangnya tentang terapis pijat Gorontalo, sangat dangkal dan misoginis, mengarah pada bentuk pelecehan dan tuduhan tak berdasar. cukup memalukan cara pandangnya untuk penulis sekelas dia. tulisan KG menunjukkan, dia punya selera humor yang buruk. hulodu…”
AST: “Saya juga pernah kenal KG pada zaman kuliah dulu. Orangnya suka lucu-lucuan, kadang tanpa pikir perasaan orang lain. kalau anak Fakultas Teknik Unsrat mulai angkatan 1986 s.d 90-an pasti kenal KG ini. Menurut saya, dia memang lebih cocok jadi pelawak daripada jurnalis”
UI: “Saya cukup kenal bang KG, beliau piawai dalam mengelola bahasa untuk konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya lokal. Sayang mainnya kejauhan sehingga lupa dia sudah masuk kamar orang lain…”
ROO: “Sejak lama dia begitu: Mabuk Lobster di Tilamuta (ditulis tanpa pernah berkunjung ke sana). Dan foto lobster di Tilamuta itu dia peroleh dari SIH. Berita itu dimuat di koran minggu Republika (saya tidak ingat lagi tahun berapa?) separuh halaman berwarna. Dia suka “fallacy” dengan kemahirannya (apalagi kalau lagi emosional)”.
RD: “Saya mengenal KG waktu dia sering ke LBH Manado, WALHI Sulut, & saat dia masih wartawan Republika. Dia jg aktif menulis dan tulisannya bagus. Terakhir saya kenal dia saat dia beralih haluan menjadi PR di PT. Newmont Minahasa Raya dan menjadi pejabat di sana. Saya sbg aktivis yg waktu itu sedang banyak belajar dr senior2 termasuk dia, sangat kecewa dgn pilihannya krn pada saat yang sama kami sedang melakukan advokasi kasus masyarakat Buyat yg terkena dampak tailing Newmont…”
AK: Org Gorontalo itu cerdas. Itu kt bisa lihat dr bahasanya. Kata “hulodu” yg berarti bodoh, berasal dr kata “mohulodu” yg berarti “tebal”. Mengapa? Krn ada “kabut tebal” yg menyelimuti otaknya sehingga menutupi akal bening atau akal sehatnya. Krn itu jg, org cerdas dlm bahasa Gorontalo disebut “molango wuto’iyo”, yg bening otaknya. Nah, “mohulodu” maupun “molango wuto’o”, itu ditentukan oleh kemampuan seseorang dlm melihat fakta, memahami konteks, menganalisis fenomena dan mmbuat konklusi. Bila ia berhasil, artinya ia telah berhasil menghilangkan yg “mohulodu” “kabut tebal” dari otaknya, artinya “molango wutoiyo”. Disinilah kegagalan “KG”.
Saya tidak cukup ‘’gatal’’ dan tergoda menggali-gali informasinya lebih jauh. (hehe). Sekilas saja, nampaknya KG jurnalis berkelas, humoris sekaligus emosional. Nuansa emosional terbaca dengan jelas dalam tulisan keduanya dengan tajuk “Tafsir Ngeres Covid 19 dan PSBB”.
Bukan mafhum dengan kuliah singkat sang tuan kandidat doktor, soal pijat memijat di Gorontalo, malah makin ngeres, membabi buta menyerang balik FT, penulis berlatar tehnik elektro. Alur tulisan KG tak romantis lagi, tak menggelitik. Kali ini melonjak-lonjak dan menabrak-nabrak. Tukang kritik terkadang tak terima dikritik. Itu manusiawi, wajarlah sesekali tergelincir. Sialnya, terpeleset di bumi Serambi Madinah, yang kaya kearifan lokal.
Catatan akhir saya, Menyelami kekayaan kearifan lokal Gorontalo, tidak cukup hanya dengan menikahi perempuan Gorontalo, namun juga harus sesekali berbaur dengan masyarakatnya, agar ketika bernyanyi, terdengar nan merdu dan menghibur, bukan malah menjewer hingga memerahkan telinga.
Odu olo.
Momy Hunowu
You may like
-
Jadi Teladan! UNG Umumkan Sistem Baru Pencegahan Kekerasan
-
Polemik GHM: Mengapa Jalan Kota Gorontalo Dilarang Dipakai?
-
Aksi Nekat Tengah Malam, Terduga Pencuri Solar Satroni Proyek Pemerintah di Mongiilo
-
Polemik Semakin Panas! Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo Akan Panggil Kadispora
-
Ambulans Tak Siaga, Warga Dirugikan! HMI Tuntut Evaluasi Pelayanan Puskesmas Sipatana
-
Ketatnya Persaingan! Timsel KPID Gorontalo Tetapkan 18 Nama Lolos CAT
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Gorontalo
Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat
Published
2 weeks agoon
12/11/2025
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.
Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.
Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?
Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.
Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.
Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.
Jadi Teladan! UNG Umumkan Sistem Baru Pencegahan Kekerasan
Polemik GHM: Mengapa Jalan Kota Gorontalo Dilarang Dipakai?
Aksi Nekat Tengah Malam, Terduga Pencuri Solar Satroni Proyek Pemerintah di Mongiilo
Polemik Semakin Panas! Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo Akan Panggil Kadispora
Ambulans Tak Siaga, Warga Dirugikan! HMI Tuntut Evaluasi Pelayanan Puskesmas Sipatana
Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Langkah Strategis Nasional! Bupati Saipul Hadiri Rakor Revitalisasi Pendidikan
Fotografer Wajib Izin: Perlindungan Data Pribadi Jadi Sorotan Regulasi Fotografi
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo3 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Gorontalo1 month agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
-
Hiburan2 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
