Ruang Literasi
Osikola bo Dila Omanyanyi
Published
6 years agoon
Oleh : Momy Hunowu, Dosen IAIN Gorontalo
Pernah dengar ungkapan ini? Osikola bo dila omanyanyi artinya; punya sekolah (pendidikan) tetapi tidak tahu bernyanyi. Di kampung saya, ungkapan ini disandangkan kepada anak sekolahan yang sudah lulus tetapi tidak bisa bernyanyi. Zaman dulu, anak lulus sekolahan dianggap hebat kalau sudah mahir berhitung dan hafal lagu-lagu nasional dan daerah.
Penggunaan ungkapan ini kemudian berkembang, dari hanya sekadar candaan, menjadi kiasan penuh makna. Ditimpakan secara beradab/etis kepada dua golongan. Pertama; mereka yang mahir berteori tetapi tidak mahir mempraktikkannya. Kedua; orang yang kaya ilmu (bergelar) tetapi miskin akhlak (dila oadabu). Ungkapan yang lebih emosional pada golongan kedua ini adalah motota bo mohulodu (pintar tapi bodoh). Ada yang lebih akut, mohulode to awwali (bodoh sejak lahir).
Dua golongan ini sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah, tetapi juga dipertontonkan oleh kalangan menengah ke atas. Mulai dari pekerja rendahan hingga profesi terhormat. Parahnya, menginfeksi mereka yang berkedudukan tinggi. Sebutannya bukan hulodu, tetapi dila mo’o delo (tidak mampu membawa diri).
Gorontalo sangat kaya kearifan, wal khusus dalam menyematkan anugrah dan penghargaan. Bukan hanya kepada yang berjasa (pulanga) tetapi juga mereka yang bernasib dungu. Kalangan ini tidak serta merta disebut bodoh, apalagi biongo, sebutan itu disampaikan secara halus, terukur kadang penuh kiasan. Begitu bermartabatnya etnik ini. Tak heran, publik terhenyak ketika tiba-tiba ada tulisan yang bertajuk “PSBB Hulodu”.
Kata hulodu itu yang bikin gaduh jagad maya, beruntung sang penulis bukan orang Gorontalo sehingga oleh sebagian dapat dimaklumi. Sementara sebagian yang lain, membalikkan kata hulodu itu justru kepada pencetusnya. Tak terkecuali penulis berkelas Gorontalo, bung Funco Tanipu, melayangkan kritikannya untuk meluruskan “Siapa sebenarnya yang Hulodu?”. Saya pun lantas teringat ungkapan “Osikola bo dila omanyanyi”.
Konten tulisan KG sebetulnya biasa saja kita temukan di jagad maya, hanya disayangkan, argumentasinya miskin data, konklusinya amburadul, padahal penulisnya bukan orang biasa. Menggunjing rumahtangga orang, mestinya dideskripsikan berdasarkan perspektif emik, bukan malah dengan angkuhnya memakai pandangan etik.
Tulisan KG telah menimbulkan ketersinggungan kolektif, mengaduk-aduk emosi publik Gorontalo. Ada dua alasan. Pertama; KG telah menjewer tauwa lo lipu (kepala daerah), mungkin ini hal biasa, saya kurang nyaman menyoal itu. Kedua, KG memojokkan secara membabi buta profesi ta mo mitila (tukang pijat) Gorontalo. Inilah yang diluruskan bung FT.
Secara sosio-kultural tukang pijat di Gorontalo memiliki keunikan, artinya, berbeda dengan tukang yang sama di daerah lain. Sebagaimana ditulis Funco; “Pijat atau momitilo ini tidak atas panggilan atau seperti transaksi jual beli. Di Gorontalo, ta mo mitila itu harus toduwolo (diundang) bukan tiyangolo (dipanggil/panggilan). Sehingga ketika usai dipijat, ta mo mitila itu bukan dibayar tapi wohiyala maharu (diserahkan mahar). Kenapa mahar? Karena angkanya tidak ada standar, atau tonulala (terserah pada keikhlasan)”.
Tambahan saya, Tukang pijat di Gorontalo, digeluti para perempuan tua, beraroma khas panimbulu, tak seperti di daerah lain, diperankan wanita-wanita muda dan cantik dan so pasti wangi. Selain perempuan berumur, ada pula tukang pijat dari kalangan laki-laki. Saya menjadi pelanggan setia tukang pijat laki-laki paruh baya, namanya Sartono, tinggalnya di Jln, Ex Bengawan Solo, tak jauh dari perbatasan Bonebolango.
Pijatan ka Tono benar-benar mengeroyok plus mengutak atik urat saraf, tak pelak mengundang raungan lepas tak tertahankan, rasanya seperti sedang dikuliti. Hanya dalam hitungan menit, suhu tubuh naik, urat syaraf seperti membengkak, efeknya benar-benar mandi keringat. Hasilnya, saat itu juga langsung terasa.
Ka Tono, meski berperawakan pendek, banyak menyelamatkan pasien calon bedah. Dia sangat mahir dalam ilmu peruratan. Semua jenis penyakit katanya memiliki titik-titik tertentu. Titik itu saja yang ditelusuri. Tak harus dipijat sekujur tubuh. Tukang pijat di tempat lain pun pasti memiliki kemahiran, membuat pelanggannya bersuara dan berkeringat juga. Ah, saya tak cukup data dan informasi untuk menggambarkannya.
Memiliki keahlian menulis tanpa didukung data, memang berujung petaka. Di dunia akademik dibilang tak ilmiah, di dunia jurnalistik dinamakan hoax. Sang penulis dapat diseret ke ranah hukum. Tujuan menulis sebetulnya untuk memberikan pencerahan kepada pembaca/khalayak, bukan justru mengundang kebencian apalagi amuk massa. Inilah yang sedang mendera KG, jurnalis kawakan dari Sulawesi Utara itu.
Saya tidak mengenal KG, baru lihat wajah tampannya beberapa saat lalu. Dari tulisannya, plus pengakuan warganet yang mengomentari postingan bung Funco Tanipu, saya yakin, beliau adalah penulis bertalenta tinggi. Gaya menulisnya khas, kadang menggelitik, sekaligus menggigit-gigit. Sayangnya, tulisannya kali ini tak sedikit mendapat hujatan, sekaligus membongkar “aib” profesinya di masa lalu, sebagaimana terlihat pada beberapa komentar warganet yang saya kutip berikut ini:
HT: “Bang KG ini ana hormati dari tulisan2nya, tapi jadi kaget ketika pertama baca tulisannya di salah satu WAG. terlalu terburu2 menjustifikasi tanpa menelusuri informasi lewat media yang ada…”
MK: “Bang KG seperti mulai kehilangan identitas dirinya dan kelihatannya mulai memutar haluan gaya menulisnya. Tulisan kali ini menandakan bahwa sekelas bang KG ternyata mampu menulis sesuatu yang bisa saya sebut “lelucon” Sembari beronani dengan paragraf2 khalayan belaka”
ST: “sudut pandangnya tentang terapis pijat Gorontalo, sangat dangkal dan misoginis, mengarah pada bentuk pelecehan dan tuduhan tak berdasar. cukup memalukan cara pandangnya untuk penulis sekelas dia. tulisan KG menunjukkan, dia punya selera humor yang buruk. hulodu…”
AST: “Saya juga pernah kenal KG pada zaman kuliah dulu. Orangnya suka lucu-lucuan, kadang tanpa pikir perasaan orang lain. kalau anak Fakultas Teknik Unsrat mulai angkatan 1986 s.d 90-an pasti kenal KG ini. Menurut saya, dia memang lebih cocok jadi pelawak daripada jurnalis”
UI: “Saya cukup kenal bang KG, beliau piawai dalam mengelola bahasa untuk konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya lokal. Sayang mainnya kejauhan sehingga lupa dia sudah masuk kamar orang lain…”
ROO: “Sejak lama dia begitu: Mabuk Lobster di Tilamuta (ditulis tanpa pernah berkunjung ke sana). Dan foto lobster di Tilamuta itu dia peroleh dari SIH. Berita itu dimuat di koran minggu Republika (saya tidak ingat lagi tahun berapa?) separuh halaman berwarna. Dia suka “fallacy” dengan kemahirannya (apalagi kalau lagi emosional)”.
RD: “Saya mengenal KG waktu dia sering ke LBH Manado, WALHI Sulut, & saat dia masih wartawan Republika. Dia jg aktif menulis dan tulisannya bagus. Terakhir saya kenal dia saat dia beralih haluan menjadi PR di PT. Newmont Minahasa Raya dan menjadi pejabat di sana. Saya sbg aktivis yg waktu itu sedang banyak belajar dr senior2 termasuk dia, sangat kecewa dgn pilihannya krn pada saat yang sama kami sedang melakukan advokasi kasus masyarakat Buyat yg terkena dampak tailing Newmont…”
AK: Org Gorontalo itu cerdas. Itu kt bisa lihat dr bahasanya. Kata “hulodu” yg berarti bodoh, berasal dr kata “mohulodu” yg berarti “tebal”. Mengapa? Krn ada “kabut tebal” yg menyelimuti otaknya sehingga menutupi akal bening atau akal sehatnya. Krn itu jg, org cerdas dlm bahasa Gorontalo disebut “molango wuto’iyo”, yg bening otaknya. Nah, “mohulodu” maupun “molango wuto’o”, itu ditentukan oleh kemampuan seseorang dlm melihat fakta, memahami konteks, menganalisis fenomena dan mmbuat konklusi. Bila ia berhasil, artinya ia telah berhasil menghilangkan yg “mohulodu” “kabut tebal” dari otaknya, artinya “molango wutoiyo”. Disinilah kegagalan “KG”.
Saya tidak cukup ‘’gatal’’ dan tergoda menggali-gali informasinya lebih jauh. (hehe). Sekilas saja, nampaknya KG jurnalis berkelas, humoris sekaligus emosional. Nuansa emosional terbaca dengan jelas dalam tulisan keduanya dengan tajuk “Tafsir Ngeres Covid 19 dan PSBB”.
Bukan mafhum dengan kuliah singkat sang tuan kandidat doktor, soal pijat memijat di Gorontalo, malah makin ngeres, membabi buta menyerang balik FT, penulis berlatar tehnik elektro. Alur tulisan KG tak romantis lagi, tak menggelitik. Kali ini melonjak-lonjak dan menabrak-nabrak. Tukang kritik terkadang tak terima dikritik. Itu manusiawi, wajarlah sesekali tergelincir. Sialnya, terpeleset di bumi Serambi Madinah, yang kaya kearifan lokal.
Catatan akhir saya, Menyelami kekayaan kearifan lokal Gorontalo, tidak cukup hanya dengan menikahi perempuan Gorontalo, namun juga harus sesekali berbaur dengan masyarakatnya, agar ketika bernyanyi, terdengar nan merdu dan menghibur, bukan malah menjewer hingga memerahkan telinga.
Odu olo.
Momy Hunowu
You may like
-
Tak Main-Main! Aktivis Pohuwato Tegur Keras Ritel Modern Soal Sampah
-
Warga Geram! Aksi Tidak Pantas di Kawasan Tangga 2000 Jadi Sorotan
-
Jejak Pengabdian: Bupati Saipul Puji Kinerja Dandim Lama Pohuwato
-
Kecelakaan Mengerikan! Marsanda, Mahasiswa Unipo, Tewas di Tempat
-
Sambut Pemimpin Baru, Komcad Pohuwato Tegaskan Siap Bersinergi
-
Kebersamaan Terjalin! Kadis Perindakop Hadiri Serah Terima Jabatan Dandim Pohuwato
News
Tak Ada Lagi TikTok untuk Bocah, Australia Resmi Sapu Bersih Akun Medsos Remaja
Published
2 days agoon
11/12/2025
NEWS – Pemerintah Australia memberlakukan larangan bagi semua anak dan remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki atau mengakses akun di sedikitnya 10 platform besar seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dan lainnya. Undang-undang ini merupakan bagian dari perubahan aturan keamanan online dan mulai berlaku secara nasional pada 10 Desember 2025, setelah sebelumnya disahkan parlemen pada 2024.
Perusahaan yang tidak mengambil langkah “wajar” untuk menghapus atau mencegah akun pengguna di bawah 16 tahun terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar 33 juta dolar AS). Pemerintah juga mewajibkan platform menerapkan verifikasi usia dan mekanisme teknis lain untuk memastikan anak tidak lagi dapat membuat akun baru maupun mengakses akun lama mereka.
Data pemerintah menunjukkan ada ratusan ribu akun milik anak usia 13–15 tahun yang terdampak langsung oleh aturan baru ini. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebutkan terdapat sekitar 440.000 akun Snapchat, 350.000 akun Instagram, sekitar 150.000 akun Facebook, dan 200.000 akun TikTok yang dipegang anak berusia 13–15 tahun di Australia.
Secara keseluruhan, lebih dari satu juta akun milik pengguna di bawah 16 tahun diperkirakan harus dihapus atau dinonaktifkan oleh berbagai platform. Beberapa aplikasi perpesanan dan layanan tertentu seperti WhatsApp, Messenger, YouTube Kids, Discord, GitHub, dan sejenisnya dikecualikan dari larangan penuh, meski tetap berada di bawah pengawasan aturan keamanan online yang lebih ketat.
Pemerintah Australia menjustifikasi kebijakan ini sebagai langkah radikal untuk melindungi kesehatan mental dan keselamatan anak dari dampak algoritma media sosial yang dianggap adiktif dan sarat konten berbahaya. Lonjakan kasus perundungan siber, paparan konten kekerasan dan seksual, hingga kekhawatiran soal risiko grooming dan peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi muda menjadi dasar utama kebijakan ini.
Dalam berbagai kesempatan, Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkan hari berlakunya larangan ini sebagai momentum ketika keluarga Australia “merebut kembali kendali” dari perusahaan teknologi besar dan menyebut kebijakan tersebut sebagai perubahan sosial dan budaya besar bagi negaranya. Ia menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di Australia, tetapi juga berpotensi mendorong negara lain mengambil langkah serupa dalam beberapa bulan ke depan.
Media internasional seperti BBC, Reuters, Al Jazeera, Time, dan NPR menyoroti kebijakan ini sebagai larangan media sosial untuk anak yang pertama di dunia dengan cakupan sangat luas. Laporan mereka menekankan bahwa 10 platform terbesar dunia kini wajib memastikan tidak ada akun pengguna Australia di bawah 16 tahun di layanan mereka, atau berhadapan dengan denda besar dari otoritas Australia.
Negara lain mulai menimbang langkah serupa, dengan Malaysia sudah mengumumkan rencana melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun mulai 2026, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Denmark, Norwegia, serta Uni Eropa memantau atau menyiapkan kebijakan pembatasan usia yang lebih ketat. Di sisi lain, UNICEF dan sebagian pakar kebebasan berekspresi mengingatkan bahwa larangan usia saja tidak cukup dan bisa mendorong anak beralih ke ruang daring yang lebih sulit diawasi, sehingga perbaikan desain platform dan moderasi konten tetap mutlak diperlukan.
Tabel ringkas poin kebijakan
| Aspek | Rincian utama |
|---|---|
| Usia yang dilarang | Anak dan remaja di bawah 16 tahun. |
| Platform utama | TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dsb. |
| Dasar hukum | UU/aturan perubahan keamanan online dan usia minimum media sosial 2024. |
| Mulai berlaku | 10 Desember 2025. |
| Sanksi untuk platform | Denda hingga 49,5 juta dolar Australia jika tak cegah akun di bawah 16. |
| Perkiraan jumlah akun | Lebih dari satu juta akun anak terdampak. |
Ruang Literasi
“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni
Published
1 week agoon
04/12/2025
Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.
Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.
Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.
Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.
Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.
Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.
Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.
Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.
Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.
Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.
Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Tak Main-Main! Aktivis Pohuwato Tegur Keras Ritel Modern Soal Sampah
Warga Geram! Aksi Tidak Pantas di Kawasan Tangga 2000 Jadi Sorotan
Jejak Pengabdian: Bupati Saipul Puji Kinerja Dandim Lama Pohuwato
Kecelakaan Mengerikan! Marsanda, Mahasiswa Unipo, Tewas di Tempat
Sambut Pemimpin Baru, Komcad Pohuwato Tegaskan Siap Bersinergi
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Abai dan Bungkam: Refleksi Elit Gorut Atas Tragedi Julia
Langkah Strategis Nasional! Bupati Saipul Hadiri Rakor Revitalisasi Pendidikan
Terungkap! Kepala Desa Prima Diduga Selewengkan Dana Rakyat
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo3 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo2 weeks agoMenolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
-
Gorontalo3 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Gorontalo2 weeks agoBukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
-
Advertorial3 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Gorontalo3 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
