Connect with us

News

Perjuangan Harus Kita Segarkan!

Published

on

Muhammad Makmun Rasyid | Penulis

Oleh : Muhammad Makmun Rasyid

Tanpa perbedaan, tak ada kemajuan. Kemajuan tanpa keluhuran, tak ada kemenangan. Kemenangan tanpa tanggung jawab, tak ada kebahagiaan”

—Makmun Rasyid

“Cambuklah Aku! Lakukan jika aku benar-benar pernah melakukan tindakan salah padamu”, ungkap Nabi Muhammad. Sebuah penggalan kisah penuh isak tangis histeris dan kekaguman yang dicontohkan Nabi kepada Ukasyah. Ukasyah tidak melakukan balasan cambukan seusai Nabi membuka bajunya. Ia justru mencium kulit bagian perut Nabi.

Begitulah Nabi. Penyerahan tubuh untuk menjemput balasan dari orang-orang yang merasa tersakiti olehnya merupakan bentuk keikhlasan. Sebuah pelajaran penting dalam Islam, yang kemudian diabadikan oleh Allah melalui firman-Nya, pada surah ke 112. Sebuah surat tentang ketauhidan dan ketuhanan. Allah hanya ingin berkata sederhana, untuk menuju-Nya, syarat manusia yang utama adalah keikhlasan. Merubah gumpalan-gumpalan keras dalam hati sampai menjadi cairan putih. Merubah titik-titik hitam dalam hati menjadi putih murni seperti kemurnian seorang bayi yang lahir ke muka bumi.

Iya, menjalaninya tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Tapi Allah memberikan panduan untuk memperjuangkan sesuatu yang susah. Termasuk memberi maaf kepada orang yang “bersalah”. Sebuah permohonan maaf dari Husni Al-Ghorontaly kepada segenap masyarakat yang terluka, khususnya Nahdliyyin, harus kita sambut dengan uluran tangan penuh kedewasaan dan kebijaksanaan.

Di sisi lain, Husni harus ingat. Satu kader NU yang disenggol, ibarat membangunkan harimau yang sedang tidur. Mengapa demikian? NU, sebagai organisasi yang “made in Indonesia” bersamaan dengan Muhammadiyah, sudah cukup terlalu sering diusik oleh kelompok-kelompok transnasional—apapun itu jenisnya. NU bukan organisasi “ngamukan”, tapi bukan pula organisasi yang di dalamnya terdapat kader-kader yang “lembek”. Slogan “NU berada di garda terdepan menjaga NKRI” itu merupakan slogan yang bukan tanpa makna.

Namun saya sadar, menumbangkan satu pohon—walau setinggi apapun—itu sangat mudah sekali. Mudah sekali! Banyak bukti kongkrit kiprah saya terkait hal sejenis. Saya memiliki prinsip, “jikalaulah pedang bisa menumbangkan banyak orang, maka tulisan pun juga demikian”. Prinsip inilah yang saya buktikan melalui buku saya, “HTI: Gagal Paham Khilafah” (2016). Tidak saja di Indonesia menjadi perbincangan, tapi di luar negeri pun sama. Tapi bukan itu tujuan kita bersama. Problematika nalar di lingkungan akademik harus teratasi dengan cara-cara elegan. Gorontalo dibangun oleh persemaian diskursus dan dialektika warga-warganya yang cerdas. Masyarakat Gorontalo harus menjunjung tinggi otonomi pengetahuan dengan sempurna. Tantangan debat saya merupakan upaya menjaga nalar akademik yang sehat dan segar. Lebih-lebih, Husni juga merupakan seorang lulusan luar negeri.

Tapi, lagi-lagi saya pun teringat oleh sajian al-Qur’an yang menarik. Saat Qur’an menjabarkan kata “taubat” (Qs. al-Baqarah [2]: 186, ada upaya dan perjuangan manusia yang cukup keras untuk sampai pada titik suci. Sebaliknya, saat Qur’an menjabarkan kata “maaf” (al-‘Afw), tak ada usaha sama sekali dari orang yang bersalah. Maknanya apa? Disini ada relasi emosional dari objek lainnya, yaitu tempat orang yang bersalah. Memang, semula kata maaf diperuntukkan untuk “yang berlebih dari keperluan” (Qs. al-Baqarah [2]: 219), namun berkembang menjadi “keterhapusan”. Menghapus sebuah gumpalan besar dalam diri dengan ragam cara agar kembali seperti semula: tak berbenjolan, tak luka, tak berbekas dan sejenisnya. Membuat gumpalan menjadi hilang membutuhkan keikhlasan dan kelapangan dada, yang dalam bahasa Qur’an disebut “al-Shafh”, tapi empat dari delapan yang ada didahului oleh perintah memberi maaf. Disini “al-Shafh” lebih tinggi dari kata “al’Afw”. Semoga kita bisa…!

*

Tentunya ini bukan tentang “Lombo…! nyanda ada power”. Bukan! Ini tentang kedewasaan, merawat nalar akal sehat, cakrawala Islam, pasar raya intelektual di Gorontalo. Sebab itulah, “kesalahan” Husni saya sambut dengan tantangan debat di forum ilmiah, yang bersifat akademik—sebagaimana yang saya tulis di media sosial dan wawancara saya dengan media nasional.

Perdebatan-perdebatan konseptual atau ide-ide yang melekat dalam diri seseorang, memang tak layak dihakimi dengan satu paragraf di sebuah status, yang besar kemungkinan dengan melupakan pisau analisis akademik. Respon “liberalisme”, misalnya, tidak cukup direspon dengan sepenggal kalimat “substansinya ditolak karena pengetahuan tentang sosok mahluk namanya Ulil sudah diketahui sebelum wacana ini”. Liberal, yang semula merupakan perdebatan sengit di tatanan ilmu pengetahuan ditarik ke sebuah ruang penghakiman tanpa dasar yang mapan. Ini lagi-lagi, persoalan budaya kita yang belum merangjak ke budaya seperti yang pernah dipertontonkan oleh Imam Ghazali versus Ibnu Rusyd. Perdebatan akademik yang menyenangkan. Inilah yang saya inginkan kepada Husni. Tapi sudahlah…!

Fenomena Husni dan sejenis membuat kita semua belajar. Apa-apa yang terkadang bersandar pada pijakan transendensi harus berkecamuk dengan hal-hal imanensi. Ini harus disadari…! Sebuah pertukaran dialektika yang berkecamuk dalam alam nyata dengan sekejap direspon oleh perangkat-perangkat sosio-politik dan sosio-kultural bahkan teologis-ideologis. Di sisi lain, sebuah pembacaan terhadap objek yang ada di sela denyut nadi kita dengan melepaskan perangkat-perangkat intelektual akan melahirkan keretakan-kerekatan dan memisahkan satu benang dengan lainnya.

Merajut kembali benang yang terurai tidak mudah, tapi tidak sulit pula. Dibutuhkan kedinginan kedua belah pihak dan upaya sungguh-sungguh dari yang bersangkutan untuk mengulangi perbuatannya yang menyinggung banyak orang. Tak ada manusia tanpa kesalahan, termasuk saya pribadi bahkan kita semuanya. Tapi kesalahan bukanlah binatang ternak yang kita pelihara setiap harinya.

Nahdliyyin—sebutan untuk masyarakat NU—yang terlibat dalam fenomena ini harus menyusun dan membaca dengan lensa besar untuk kedepannya. Kiprah perlu diperluas di penjuru-penjuru Serambi Madinah. Tak mungkin kita terus menggurutu tanpa membenahi situasi di lapangan. Dengan apa? Merekonstruksi kembali dasar berorganisasi dan berdakwah di era 4.0 ini. Tentunya dengan berpijak pada kaidah, “menjaga warisan lama dan mengambil hal-hal aktual yang relevan”. Serambi Madinah membutuhkan kontribusi kongkrit dari warga Nahdliyyin. Tidak saja karena kesamaan spirit teologis dan ideologisnya, tapi cara membawa keduanya.

Kita harus jujur dengan sejujur-jujurnya. Pasca reformasi, yang ditandai dengan banyaknya gerakan transnasional masuk ke Indonesia, tak terkecuali Gorontalo dan sekitar, membuat kita harus menyiapkan amunisi. Amunisi itu berupa penyiapan kader yang tangguh, seperti: kader yang mahir masalah keaswajaan; mahir membaca kitab gundul untuk membangun dialektika dengan kelompok-kelompok lainnya. Tidak sekedar berdebat dengan menggunakan buku terjemahan semata; mahir dalam teknologi, yang ditandai dengan penguasaan di media sosial; mahir dalam bermain logika. Ini juga penting, karena seluruh apa-apa yang terdapat di media sosial bisa dipatahkan oleh kematangan ilmu Mantiq kita; menyiapakan da’i-da’i dan penceramah yang handal; menyiapkan ustadh-ustadh yang membuka kajian-kajian tasawuf di masjid-masjid besar; dan lain sebagainya.

Masih ada tugas besar lagi? Ada! Melepaskan manusia dari sebuah penjara akibat penyajian doktrin yang tidak komprehensif, kemudian berakibat terpenjarakannya kreatifitas dan inovasi berpikir. Karena syarat daerah maju, tidak saja dihitung oleh infrastruktur yang berhasil, tapi ditandai oleh geliatnya masyarakat dalam berilmu pengetahuan yang bertanggung jawab. Lagi-lagi, melawan kemapanan berpikir di masyarakat bahkan di tingkat akademik pun bukan hal mudah. Tapi ia bisa diusahakan manakala kita memulainya dengan mentradisikan budaya berintelektual yang baik. Ini sedikit banyak akan menghilangkan budaya “tutuhiya” (saling menjatuhkan). Sebuah budaya—khususnya dalam ilmu pengetahuan; baik yang materil maupun immateril—yang di dalamnya tidak memiliki kekuatan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang sempurna.

Salam persahabatan…!

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Daerah

DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah

Published

on

Gorontalo – Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Provinsi Gorontalo melaksanakan kegiatan sosial dengan menyalurkan santunan ke sejumlah panti asuhan, Selasa (12/8/2025).

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Sekretaris DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo, Mohammad Nasir Madjid bersama jajaran pengurus DPD. Mereka menyerahkan bantuan ke beberapa panti asuhan di wilayah Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Gorontalo Utara.

Bentuk bantuan yang diberikan berupa uang tunai sebagai wujud kepedulian untuk meringankan beban kebutuhan anak-anak panti asuhan. Bantuan ini diharapkan dapat membantu biaya operasional sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang.

Menurut Mohammad Nasir Madjid, kegiatan ini bukan sekadar seremonial, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

“Kami diamanahkan untuk memberi santunan kepada saudara-saudara dan adik-adik kita yang ada di panti asuhan. Kami menitipkan doa untuk Presiden RI dan untuk Ketua DPD. Dan semoga kami bisa terus memberi manfaat kepada sesama,” ujarnya.

Selain penyerahan bantuan, kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi antara jajaran pengurus DPD Gerindra dengan para pengurus panti asuhan. Momen ini digunakan untuk mendengarkan langsung aspirasi dan kebutuhan panti, sekaligus memberikan dukungan moril kepada anak-anak agar tetap semangat meraih cita-cita.

DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo menegaskan bahwa memperingati kemerdekaan bukan hanya dengan mengibarkan bendera atau menggelar upacara, tetapi juga dengan aksi nyata yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan menjangkau panti asuhan di tiga wilayah sekaligus, kegiatan ini diharapkan mampu memberi dampak positif yang lebih luas, membangun rasa solidaritas, dan memperkuat persatuan di tengah masyarakat.

Continue Reading

Gorontalo

DPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga

Published

on

Gorontalo – Menyambut peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Provinsi Gorontalo menggelar kegiatan pembagian 1.000 bendera merah putih kepada masyarakat, Selasa (12/8/2025).

Acara ini berlangsung di sekitar kawasan kantor DPD Gerindra Provinsi Gorontalo yang berlokasi di Jl. Arif Rahman Hakim, Kota Gorontalo. Kegiatan dihadiri langsung oleh Sekretaris DPD Gerindra Provinsi Gorontalo, Mohammad Nasir Madjid beserta sejumlah pengurus DPD dan kader partai.

Bendera-bendera yang dibagikan bukan berasal dari stok massal pabrikan, melainkan hasil pembelian langsung dari pedagang kaki lima di wilayah Kota Gorontalo. Total 1.000 bendera diborong dari pedagang musiman yang biasanya mengandalkan momentum bulan kemerdekaan untuk meningkatkan pendapatan. Langkah ini menjadi bentuk nyata dukungan Partai Gerindra terhadap pelaku UMKM lokal, sekaligus menjaga perputaran ekonomi masyarakat kecil.

Dalam pembagian bendera, para pengurus DPD Gerindra berinteraksi langsung dengan warga yang melintas dan masyarakat di sekitar kawasan kegiatan. Antusiasme warga terlihat jelas; mereka menyambut pembagian bendera ini dengan senyum dan rasa bangga. Bendera-bendera tersebut diharapkan dapat segera dikibarkan di depan rumah masing-masing untuk memeriahkan suasana kemerdekaan di seluruh penjuru Kota Gorontalo.

Sekretaris DPD Gerindra Provinsi Gorontalo, Mohammad Nasir Madjid, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional Partai Gerindra yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.

“Ini adalah gerakan nasional dari Partai Gerindra. Amanah dari DPP agar pengurus DPD, DPC, kader, dan simpatisan melaksanakan pembagian bendera dalam rangka kemerdekaan RI,” ujar Nasir.

pengurus dan kader DPD partai Gerindra Gorontalo saat sedang membagikan 1000 buah bendera merah putih kepada para warga yang melintas

Lebih lanjut, Nasir menjelaskan bahwa kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan, tetapi juga sebagai wujud kepedulian Partai Gerindra terhadap perekonomian rakyat kecil. Dengan membeli bendera langsung dari pedagang kaki lima, partai berharap dapat membantu mendorong penjualan mereka di tengah persaingan pasar yang semakin ketat.

“Gerindra memahami bahwa salah satu cara untuk membantu menggerakkan roda ekonomi lokal adalah dengan membeli langsung dari pedagang kecil. Kita ingin masyarakat tidak hanya merasakan semangat kemerdekaan, tetapi juga mendapat manfaat secara ekonomi,” tambahnya.

DPD Gerindra Provinsi Gorontalo berharap, semangat kebersamaan ini dapat menjadi contoh positif bagi masyarakat luas untuk terus mendukung produk lokal, menjaga persatuan, serta menumbuhkan rasa cinta tanah air di setiap momentum peringatan kemerdekaan.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler