Connect with us

Gorontalo

Ramadan, Matinya Politik Gorontalo dan Politik Emansipasi

Published

on

Dr. Funco Tanipu., ST., M.A, Founder The Gorontalo Institute

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Founder The Gorontalo Institute, Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo)

Wajah politik Gorontalo akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan perubahan ke arah situasi yang didalamnya aspek-aspek politik yang bersifat “low politics” dirayakan secara semarak. Arena politik dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tepuk tangan, tayangan, dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah dan tak substantif. Sisi lain mempertontonkan cakar-cakaran, saling bunuh, dan meniadakan. Yang lebih gawat adalah maraknya fenomena transaksional “ada uang ada suara”.

Politik dianggap sebagai arena untuk kegiatan yang bersifat “low”, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, memobilisir massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan (Yasraf Amir Piliang, 2008) . Makanya tak heran banyak kita dapati iklan politik mengotori ruas jalan kita. Gorontalo tak ubahnya seperti Balihopolitan (Kota Baliho). Politik semata-mata ditujukan untuk merayakan hasrat yang tak terbatas (desire/nafs), namun rendah.

Belum lagi jika kita mengamati maraknya fenomena “koprol” yang telah menjadi bagian dari politik keseharian kita. Sungguh kita memasuki sebuah era yang dinamakan matinya politik. Foucault menyebut “matinya politik” bukan nanti tidak ada lagi politik, melainkan bahwa akan hilang konsep politik sebagai suatu arena dan kategori istimewa dalam pemikiran kita untuk membebaskan masyarakat dari tirani negatif.

Kini, kita hidup di sebuah era yang bisa disebut sebagai “era matinya politik”, era matinya segala sesuatu. Politik kehilangan peran sentralnya dalam peradaban, politik hanya menjadi instrumen teknis untuk merayakan segala sesuatu yang privat, kepentingan pribadi dan kelompok.

PERAYAAN HASRAT, PENDANGKALAN POLITIK

Kecenderungan politik lokal Gorontalo yang mengarah pada pendangkalan dan kerendahan di dalam budaya politik terlihat pada banalitas politik, misalnya iklan politik tak bisa dibedakan lagi dengan iklan sabun mandi; lembaga politik tidak dapat dibedakan lagi dari travel perjalanan atau event organizer; kampanye politik tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik dangdut.

Perspektif kedangkalannya itulah yang menyebabkan aktifitas politik lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu pola memanipulasi emosi publik, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa dalam melihat idolanya (Baudrillard, 2005). Politis menjadi idola jika melakukan “bagi-bagi doi”, “ba siram”, “kuti-kuti” dan ragam definisi soal kebaikan. Sehingga realitas hanya bisa disaksikan oleh mata, bukan lagi oleh nurani, lalu wajar kemudian jika banyak dari idola-idola tersebut walau pernah tersangkut kasus hukum namun tetap ditangisi dan diidolakan.

Politik Gorontalo didefinisikan sebagai aktifitas yang menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan, mendapat ruang ruang yang mewah dan istimewa di dalam arena politik kita. Sebaliknya yang berkaitan dengan pembangunan peradaban, pendidikan karakter, perayaan gagasan dan pembelaan hak rakyat justru tidak mendapatkan ruang yang hidup dan aktif.

Kecenderungan yang ada saat ini, politik adalah instrumen untuk memuaskan hasrat diri meskipun kepuasan itu tak pernah terpenuhi. Lihat saja kediaman politisi kita seperti galeri mobil, bangunan megah bak istana dan perternakan properti yang tak ada habisnya. Pada taraf itu, hasrat terus-menerus mencari pemuas melebihi batas yang diperbolehkan, sehingga hal-hal yang amoral dan anti sosial terlampaui oleh hasrat itu sendiri.

Agama pun lebih banyak dijadikan alat legitimasi politik. Jubah hanya sekedar menjadi fashion politik semata. Jilbab adalah instrumen kampanye untuk dibagi-bagi agar bisa menambah pemilih. Program yang bertema spiritual hanya menjadi kedok bagi mobilisasi suara dan pengalihan opini publik agar citra menjadi positif.

Rumi, seorang sufi klasik ternama, mengatakan bahwa dunia adalah penjara hasrat yang tinggi, tetapi kuburan bagi hasrat yang rendah. Hasrat yang tinggi adalah hasrat pengabdian untuk kemanusiaan yang semata-mata ditujukan sebagai persembahan pada Pencipta, arenanya menembus batas-batas ruang dan waktu. Berbeda dengan hasrat rendah yang hanya diabdikan dan dikelola di seputar dunia dan dibawah langit.

RAMADAN, ARENA KEBANGKITAN POLITIK EMANSIPASI

Politik pada akhirnya kehilangan pola kepemimpinan yang hakiki, yang ada tinggal idola-idola yang bekerja untuk kepentingan personal dan kelompok ketimbang kepentingan publik. Politik seperti menjadi pasar, dimana orang lalu-lalang sambil memperdagangkan jualannya, ada lapak-lapak, ada pembeli, semuanya serba transaksional. Pada ujungnya hanya dimaksudkan pada pencarian laba yang bersifat eksploitatif.

Dalam meneropong arah politik dimasa depan, harus ada upaya-upaya untuk mengendalikan hasrat, banalitas, dan popularisme politik.

Salah satu arena untuk memperbaikinya adalah menjadikan Ramadan sebagai arena untuk membangkitkan sisi humanis dari politik yang terkotori. Ramadan mesti dijadikan ruang untuk menggalang politik alternatif dalam rangka menciptakan wajah politik yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya warga tidak lagi menjadi pengikut, melainkan sebagai sesuatu yang aktif, yang mampu secara inovatif, dinamis dan kreatif membangun arena politiknya sendiri. Hal itu dinamakan politik emansipasi oleh Slavoj Zizek, filsuf politik asal Slovenia yang termasyhur abad ini.

Maka dengan itu, kedepan perlu penguatan politik yang lebih humanis, bermakna dan luhur dengan memperbanyak generasi ‘aktifis politik’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi tinggi, dan spiritualitas kuat, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat Gorontalo yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi tafsir politiknya secara terang (Piliang, 2008).

Karena itu, maka Ramadan mestinya bukan lagi momen untuk menahan lapar dan haus, karena jika yang dilakukan oleh kita semua, maka tentu tidak akan menghasilkan manusia-manusia politik yang memiliki keluhuran nurani. Sebagaimana disampaikan oleh A-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa puasa ada tiga tingkatan: (1) Puasa yang disebut shaum al-umum yakni menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat seperti makan dan minum. (2). Puasa yang disebut shaum al-khusus (puasa khusus) yaitu menjaga lisan, mata dan pendengaran dari kemaksiatan. (3). Puasa yang disebut shaumu khusus al-khusus yakni puasa menjaga hati dan pikiran dari prasangka tercela.

Di Gorontalo, sejak Islam masuk pada tahun 1200 an dan menjadi agama resmi kerajaan pada tahun 1525, berarti sudah 499 kali Ramadan dilaksanakan. Pertanyaannya, apakah selama 499 kali Ramadan tersebut, adakah peradaban Gorontalo sudah semakin baik dan tertata untuk kemaslahatan rakyat? Ataukah malah peradaban kita menuju keadaban, dalam hal ini politik, yang semakin menurun kualitasnya hingga rakyat kita berada di memori yang sama ; “mana-mana jo pa ngoni” atau dalam bahasa Gorontalo “bolo tonulala toli mongoli”. Pertanyaan lanjut, masih butuh berapa kali Ramadan lagi untuk memperbaiki kondisi politik Gorontalo kita?

Tentu, kita semua tahu, siapapun manusia (termasuk aktor politik) tak ada yang bisa mengklaim bahwa umurnya akan panjang, sehingga ada perspektif umum yang berkembang biarlah nanti ada waktunya untuk memperbaiki diri (dalam hal ini taubat), untuk masa sekarang “seperti apa yang ada”, atau “sementara bagitu dulu”. Jika perspektifnya seperti itu, maka ratusan kali Ramadan, tak akan bisa mengubah peradaban dan manusia yang ada didalamnya.

Semoga kita semua masih diberi kesempatan untuk bisa memperbaiki diri yang pada ujungnya adalah memperbaiki peradaban politik kita.

Gorontalo

Resmi Dilantik, Susanto Liputo Komitmen Lanjutkan Pengabdian Alm. Hardi Sidiki

Published

on

Kota Gorontalo – Susanto Liputo resmi dilantik sebagai Anggota DPRD Kota Gorontalo melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan almarhum Hardi Sidiki. Pelantikan digelar dalam rapat paripurna di Aula I DPRD, Selasa (23/9/2025), dihadiri 29 anggota DPRD, Wali Kota Adhan Dambea, dan mantan Wali Kota Marten Taha.

Dalam suasana khidmat, Susanto menyampaikan rasa duka atas wafatnya Hardi Sidiki. “Saya turut berduka cita atas meninggalnya Pak Hardi Sidiki,” ucap Susanto Liputo. Selanjutnya ia berterima kasih atas kepercayaan masyarakat Gorontalo. “Saya optimis akan menjalankan fungsi DPRD dengan baik, dan memperjuangkan aspirasi masyarakat,” tegas Susanto dalam wawancara seusai pelantikan.

Pelantikan Susanto menjadi momentum regenerasi di DPRD, mengembalikan komposisi anggota dewan yang sempat kosong. Ketua DPRD Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, memimpin pelantikan yang sekaligus menegaskan komitmen lembaga legislatif memperjuangkan aspirasi rakyat secara optimal. Susanto menggantikan kursi yang ditinggalkan seniornya dari Fraksi Golkar dan menyampaikan komitmen melanjutkan pengabdian almarhum Hardi Sidiki demi masyarakat Kota Gorontalo.

Perjalanan politik Susanto memang tidak mudah. Melalui beberapa kali pemilu sebelum akhirnya terpilih melalui mekanisme PAW. “Saya sudah tiga sampai empat kali maju, dengan suara yang stagnan. Pada Pemilu terakhir, saya memperoleh 637 suara. Dan hari ini, setelah 16 tahun menunggu, akhirnya saya dilantik,” terang Susanto. Dengan pelantikan Susanto, kerja DPRD Kota Gorontalo di bidang legislasi, penganggaran, dan pengawasan kini kembali berjalan penuh dan optimal.

Continue Reading

Daerah

Tragis! Mahasiswa FIS UNG Meninggal Usai Diksar Mapala, begini kronologinya

Published

on

Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Muhammad Jeksen (MJ), meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Butaiyo Nusa, Senin (22/09/2025). MJ, mahasiswa semester 3 Jurusan Pendidikan Sejarah, berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Korban sempat mengeluhkan sakit dan meminta dilarikan ke rumah sakit, namun diduga panitia tak mengizinkan. MJ akhirnya dijemput dan dibawa ke RS Aloei Saboe oleh teman paguyubannya, tapi nyawa korban tak tertolong.

Menurut keterangan keluarga, MJ mengalami sakit dan pembengkakan di bagian leher usai diduga terkena benturan saat Diksar. Kakak korban, Hikayat, menjelaskan adiknya memiliki riwayat penyakit bawaan di leher yang akan kambuh apabila terkena benturan. “Saya lihat di foto mukanya sudah bengkak setelah penerimaan Diksar. Indikasinya dia sempat dipukul,” ungkap Hikayat. Sebelum meninggal, MJ sempat mengirim pesan meminta dijemput untuk dibawa ke rumah sakit. Proses penanganan jenazah MJ sampai sore masih terjadi tarik ulur terkait autopsi antara keluarga, pihak kampus, dan kepolisian.

Fakta lain yang terungkap, kegiatan Diksar Mapala FIS UNG ini tidak mengantongi izin resmi dari kampus maupun kepolisian, menimbulkan kritik terhadap pengawasan dan tanggung jawab penyelenggara kegiatan kemahasiswaan. Media nasional juga memberitakan bahwa jenazah korban ditemukan dengan kondisi lebam di bagian leher dan darah keluar dari mulut serta telinga, sehingga dugaan kekerasan semakin menguat. Proses hukum menunggu kepastian autopsi demi mengusut tuntas kasus kematian tragis ini.

Continue Reading

Daerah

Tok.. DPRD Provinsi Gorontalo resmi berhentikan Wahyudin Moridu dari kursi Anggota DPRD

Published

on

DEPROV – DPRD Provinsi Gorontalo secara resmi memberhentikan Wahyudin Moridu dari kursinya sebagai anggota legislatif melalui Rapat Paripurna DPRD Ke-4g, Senin (22/09/2025). Keputusan ini diambil setelah seluruh rangkaian sidang kode etik yang digelar oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo menyikapi polemik besar yang melibatkan Wahyudin Moridu. Hasil pembacaan keputusan disampaikan langsung oleh Wakil Ketua BK DPRD Gorontalo, Umar Karim, pada rapat paripurna pengumuman masa sidang ketiga tahun 2024-2025.

“Memutuskan, Memberhentikan saudara Wahyudin Moridu Sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo,” ujar Umar Karim dalam forum paripurna, menegaskan sanksi tertinggi yang diberikan setelah rangkaian pemeriksaan kode etik secara terukur dan terbuka.

Proses ini merupakan klimaks dari gejolak panjang di publik dan internal DPRD setelah video viral Wahyudin Moridu, yang secara terang-terangan menyatakan ingin “merampok uang negara” saat berkendara bersama seorang perempuan yang diduga “hubungan gelap”. Dalam video tersebut, Wahyudin mengaku menggunakan uang negara untuk membiayai perjalanannya dan berseloroh mengenai masa jabatannya di kursi DPRD. Video itu menimbulkan kemarahan luas, berujung pada aksi unjuk rasa besar mahasiswa dan masyarakat yang menuntut pemecatan Wahyudin dan pemulihan marwah lembaga legislatif daerah.

Langkah cepat juga diambil oleh DPP PDIP, yang segera mengeluarkan surat keputusan pemecatan Wahyudin Moridu dari keanggotaan partai dan dari kursi DPRD. Surat keputusan bernomor 12/KPTS/DPP/IX/2025 ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto—selaras dengan komitmen partai untuk menjaga kehormatan, disiplin, dan integritas kader.

Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili, dalam keterangannya menegaskan bahwa keputusan pemecatan ini juga diambil setelah konsultasi dengan perwakilan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, pihak pimpinan DPRD telah menerima aspirasi masyarakat serta surat resmi dari DPD PDIP untuk mendukung proses penggantian antarwaktu (PAW) guna mengisi kekosongan kursi legislatif yang ditinggalkan Wahyudin.

Ketua Badan Kehormatan, Fikran Salilama, memastikan bahwa hasil sidang kode etik telah disampaikan kepada pimpinan dan diparipurnakan dengan sanksi terberat sesuai aturan. DPD PDIP Gorontalo pun akan segera memproses PAW untuk legislator baru melalui mekanisme internal partai.

Putusan tersebut menjadi perhatian besar oleh media-media yang menyoroti transparansi sidang kode etik, keterlibatan Mendagri, hingga komitmen DPRD dan partai dalam menjaga integritas legislatif di Gorontalo.DPRD Provinsi Gorontalo secara resmi memberhentikan Wahyudin Moridu dari kursi anggota legislatif Provinsi Gorontalo dalam Paripurna Ke-4g, Senin (22/09/2025), menyusul serangkaian sidang kode etik oleh Badan Kehormatan DPRD. Putusan ini dibacakan oleh Wakil Ketua BK, Umar Karim, sebagai bentuk akuntabilitas lembaga terhadap polemik besar yang melibatkan Wahyudin Moridu.

“Memutuskan, Memberhentikan saudara Wahyudin Moridu Sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo,” ujar Umar Karim dalam forum resmi paripurna, menandai akhir perjalanan politik Moridu di parlemen daerah.

Pemberhentian ini adalah puncak reaksi atas video kontroversial Wahyudin Moridu yang viral di media sosial, memperlihatkan dirinya bersama seorang perempuan dan mengucapkan kalimat hendak “merampok uang negara”. Pernyataan ini memicu kemarahan publik serta aksi protes mahasiswa dan masyarakat, menuntut sanksi tegas dan pemulihan marwah DPRD.

Menjawab gonjang-ganjing tersebut, DPP PDIP langsung mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 12/KPTS/DPP/IX/2025 yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto, memecat Wahyudin Moridu dari keanggotaan partai dan jabatannya sebagai wakil rakyat. Keputusan keras ini diambil untuk menjaga martabat partai dan legislator serta selanjutnya akan diikuti mekanisme pergantian antar waktu (PAW) oleh DPD PDIP Gorontalo.

Ketua DPRD Provinsi Gorontalo Thomas Mopili menegaskan komitmen memulihkan citra lembaga dan menjalankan segala proses sesuai aturan, bekerja sama dengan perwakilan Kementerian Dalam Negeri. Sementara Ketua BK DPRD, Fikran Salilama, menyatakan hasil sidang sudah diserahkan pada pimpinan dan diparipurnakan dengan hukuman yang sangat berat, mencerminkan semangat disiplin dan integritas DPRD.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler