NEWS – Masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada fenomena pemotretan warga di ruang publik yang kian marak tanpa izin. Seorang fotografer bisa menghadapi gugatan jika fotonya disebarluaskan tanpa persetujuan pemilik gambar, menurut sumber berita terkini dan berbagai analisis hukum terkait. Regulator dan pihak berwenang menegaskan bahwa perlindungan data pribadi serta hak atas privasi tetap menjadi prioritas di era digital, meskipun foto tersebut diambil di tempat umum.
Dalam konteks ini, Komisi Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan pentingnya etika dan kepatuhan hukum dalam fotografi publik. Selama beberapa hari terakhir, pandangan ahli hukum dan publikasi media besar menyoroti bahwa penyebaran foto warga tanpa izin bisa melanggar hak asasi manusia serta UU PDP, tergantung pada konteks penggunaan fotonya.
Sejumlah pakar hukum menekankan bahwa foto seorang individu tetap termasuk data pribadi, sehingga penyebaran atau komersialisasian tanpa persetujuan bisa menimbulkan konsekuensi hukum. Salah satu pandangan yang banyak dirujuk adalah bahwa tindakan tersebut bisa dikenai berbagai pasal terkait hak cipta, perlindungan data pribadi, hingga undang-undang ITE jika ada unsur penjualan atau penyebaran untuk kepentingan komersial. Analisis ini sejalan dengan interpretasi para pakar di berbagai media arus utama yang juga menyoroti pemisahan antara penggunaan foto untuk pemberitaan dan penggunaan komersial.
Salah satu narasumber kunci menegaskan bahwa perlindungan identitas dan wajah individu tetap menjadi hak pribadi, meskipun berada di ruang publik. Narasumber lain menekankan bahwa konteks penggunaan foto—terutama jika untuk kepentingan komersial—memiliki bobot hukum yang berbeda dibandingkan penggunaan untuk pemberitaan atau dokumentasi umum.
Di sisi regulator, arah kebijakan menunjukkan fokus pada peningkatan literasi digital dan etika penggunaan teknologi fotografi, termasuk dalam konteks AI. Upaya kolaborasi antara fotografer, asosiasi profesi, serta platform digital digalakkan untuk memperkuat pemahaman mengenai hak cipta, privasi, dan tanggung jawab sosial di era digital.
Para profesional media juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyebarkan foto warga tanpa persetujuan, karena dampaknya bisa meluas, mulai dari kerugian reputasi hingga potensi tindakan hukum. Seiring dengan itu, sejumlah kanal berita nasional dan internasional memperkuat pemahaman publik melalui liputan analitis mengenai bagaimana hukum Indonesia mengatur perlindungan data pribadi dan hak atas gambar.
Keseimbangan antara kebebasan berekspresi, kepentingan publik, serta hak individu menjadi inti diskusi. Para ahli hukum menilai perlunya regulasi yang lebih jelas untuk menghadapi dinamika teknologi pemotretan dan AI generatif, tanpa mengabaikan hak privasi warga.
NEWS – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang dikenal dengan sebutan Whoosh, yang dirancang sebagai ikon kemajuan transportasi Indonesia, kini menghadapi beban finansial yang sangat besar. Utang jangka panjang proyek ini telah membengkak mencapai Rp116 triliun, nilai yang hampir setara dengan biaya pembangunan lima menara pencakar langit Burj Khalifa di Dubai.Pada awalnya, total biaya proyek diperkirakan sekitar Rp80 triliun. Akan tetapi, seiring waktu, jumlah ini melonjak drastis dipicu oleh beberapa faktor, seperti tantangan pembebasan lahan, perubahan desain di tengah pembangunan, serta biaya operasional dan perawatan yang sangat tinggi. Dari total pembiayaan tersebut, sekitar 75 persen bersumber dari pinjaman China Development Bank (CDB) dengan bunga tahunan sebesar 3,3 persen, yang mengharuskan Indonesia mencicil utang tersebut selama 40 hingga 45 tahun.
Beberapa waktu lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, yang saat itu menjabat Ketua Komite Proyek KCJB, menyampaikan pernyataan mengejutkan yang memicu sorotan publik. Ia bahkan menyebut proyek Whoosh sebagai “barang busuk” sejak awal ditangani. Pernyataan ini memunculkan dugaan adanya kejanggalan pada proyek prestisius tersebut dan mendorong seruan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan melakukan investigasi.
Menambah kerumitan finansial, proyek ini menggunakan pinjaman dari China dengan bunga 3,3 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran dari Jepang yang hanya 0,1 persen. Padahal, proyek ini semula dijanjikan tidak akan menggunakan dana APBN, namun akhirnya tetap mendapat dukungan keuangan negara. Biaya konstruksi mencapai US$52 juta per kilometer, hampir tiga kali lipat dari proyek serupa di China yang menghabiskan biaya hanya US$17 hingga 30 juta per kilometer.
Dua tahun sejak beroperasi, Whoosh juga mengalami kerugian mencapai Rp4,1 triliun per tahun, belum terhitung bunga dan cicilan pinjaman pokok. Bahkan pendapatan harian yang diperoleh sekitar Rp3 miliar, atau Rp1,1 triliun per tahun, masih jauh dari cukup untuk membayar bunga pinjaman tahunan yang sebesar Rp3,3 triliun. Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi keuangan yang membebani negara dan publik ini.
Untuk memberikan perbandingan sederhana angka Rp116 triliun tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk membangun lima menara Burj Khalifa (masing-masing senilai Rp21 triliun), atau 22 menara Eiffel, atau bahkan satu kompleks Marina Bay Sands di Singapura yang dibangun dengan biaya Rp92,8 triliun. Dana sebesar itu juga bisa dialokasikan untuk memperluas akses internet hingga pelosok daerah yang masih blank spot, membangun fasilitas kesehatan di wilayah terpencil, serta merenovasi lebih dari 100 ribu sekolah agar anak-anak mendapatkan pendidikan layak.
NEWS – Belakangan ini, merek air mineral terkenal Aqua tengah menjadi sorotan publik setelah temuan bahwa sumber air mereka berasal dari sumur bor, bukan mata air pegunungan seperti yang selama ini diklaim dalam iklan dan label produk. Temuan ini disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menilai langkah tersebut sebagai pelanggaran hak konsumen.Ketua YLKI, Niti Emiliana, secara tegas menyatakan bahwa penggunaan air dari sumur bor oleh PT Tirta Investama Subang, perusahaan produsen Aqua, merupakan bentuk kebohongan terhadap konsumen.
Niti mengutip Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang melarang pelaku usaha memperdagangkan produk dengan kondisi yang tidak sesuai dengan klaim pada label dan iklan. “Dalam UU Perlindungan Konsumen, hal ini masuk dalam perbuatan yang dilarang oleh pelaku yaitu karena memproduksi dan memperdagangkan tidak sesuai dan kondisi sebagaimana yang dinyatakan oleh label dan iklan,” ujarnya.
Isu ini memuncak setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke pabrik Aqua di Kabupaten Subang. Dalam kunjungannya, Dedi mempertanyakan langsung ke pekerja terkait asal air yang digunakan. Pekerja mengonfirmasi bahwa air diambil dari dalam tanah melalui sumur bor dengan kedalaman lebih dari 100 meter, bukan dari air permukaan seperti sungai maupun mata air yang selama ini diasosiasikan dengan kualitas air pegunungan murni.
Dalam video viral yang beredar di media sosial, Dedi pun tampak terkejut dan menekankan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi jujur soal asal air minum tersebut. Hal ini juga disuarakan oleh anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Gerindra, Kawendra Lukistian, yang menyatakan bahwa masalah ini berkaitan langsung dengan kepercayaan publik dan hak konsumen atas informasi yang benar.
Menanggapi kontroversi ini, pihak Aqua memberikan klarifikasi: air yang mereka gunakan berasal dari 19 sumber air pegunungan di Indonesia yang telah melalui seleksi ketat menggunakan 9 kriteria ilmiah dan 5 tahapan evaluasi selama minimal satu tahun penelitian oleh para ahli geologi, hidrogeologi, geofisika, dan mikrobiologi. Aqua menegaskan bahwa air tersebut berasal dari akuifer dalam dengan kedalaman 60 sampai 140 meter, yang merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan, bukan sumur bor biasa sebagaimana yang disangkakan.
Sementara itu, pakar Tata Kelola Air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, menambahkan bahwa sebenarnya tidak ada regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur asal sumber air minum dalam kemasan. Namun, ia menekankan kewajiban perusahaan untuk transparan dan jujur kepada konsumen mengenai sumber air yang digunakan dalam produk mereka. Aspek kualitas air sendiri telah diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk air minum dalam kemasan.
Di tengah polemik ini, YLKI mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap sumber air serta proses produksi Aqua, dan merekomendasikan pemerintah meninjau ulang perizinan usaha Aqua demi melindungi hak konsumen dan menjaga kepercayaan publik.