Kabgor – 3 Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Amanat Nasional (PAN) menggelar syukuran atas terpilihnya Zulkifli Hasan pada Kongres V yang digelar di Kendari beberapa waktu lalu.
3 DPD yang menggelar syukuran ini adalah DPD PAN Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan DPD PAN Kabupaten Gorontalo Utara.
Syukuran digelar di Gedung Paramsya Limboto dan dihadiri sejumlah Anggota DPRD Kabupaten dan Provinsi serta kader-kader Partai Amanat Nasional (PAN), Minggu (23/02/2020).
Dalam sambutannya, Ketua DPD PAN Kabupaten Gorontalo Daryatno Gobel mengatakan, kegiatan ini sebagai bagian dari rasa syukur kader PAN di Gorontalo atas terpilihnya kembali Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum partai berlambang matahari itu.
“Syukuran artinya kegiatan ini dalam rangka rasa syukur karena calon yang diusung 3 DPD PAN Gorontalo berhasil menang pada kongres kemarin. Ujar Daryatno dalam sambutannya.
Sebagai bentuk rasa syukur kami, 3 DPD PAN di Gorontalo mengundang 50 anak yatim dari panti asuhan Nurul Iman dan Panti asuhan Aisyiah.
Sementara itu Ketua DPD PAN Kota Gorontalo Ramdan Datau mengatakan, dengan syukuran bersama anak yatim ini kami berharap doa agar PAN kedepan dibawah pimpinan Ketum Zulkifli Hasan bisa menembus 3 besar dalam pemilu 2024 nanti.
Sebelumnya pada kongres kelima yang digelar di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil pemungutan suara, anggota Steering Committee dalam Kongres V PAN, Totok Daryanto, mengumumkan bahwa Zulkifli Hasan memimpin kembali Partai PAN untuk periode 2020-2025.
Dalam pemungutan suara tersebut, ditetapkan ada 563 suara yang mengikuti proses pemilihan, dari 590 suara dalam Kongres V PAN secara keseluruhan. Sementara Zulkifli Hasan berhasil mendapat dukungan 331 suara, Mulfachri 225 suara, dan Dradjad Wibowo memperoleh 6 suara.
Gorontalo sendiri diketahui tidak utuh mendukung Zulkifli Hasan, hanya 3 DPD yang pada saat pemilihan memilih Zukifli Hasan, yakni DPD PAN Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan PAN Gorontalo Utara.
Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo
Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.
Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.
Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.
Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?
Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.
Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.
Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.
Aliansi Mahasiswa dan Aktivis Peduli Keadilan berencacna menggelar aksi di sejumlah titik di Gorontalo pada awal Oktober 2025, menuntut DPRD dan aparat hukum segera mengambil langkah tegas atas dugaan penipuan dan penelantaran puluhan jemaah haji oleh Mustafa Yasin, anggota DPRD Provinsi Gorontalo sekaligus kader PKS. Dalam poster seruan aksi yang beredar, massa mendesak DPRD mendorong pemberhentian Mustafa Yasin, meminta PKS memecat Mustafa dari keanggotaan, serta menuntut Polda Gorontalo segera menahan Mustafa Yasin beserta Nova Lahay, pihak yang dianggap turut bertanggung jawab.
Kasus ini menyeruak setelah 65 calon jemaah haji jalur mandiri gagal berangkat karena diduga diberangkatkan dengan visa tenaga kerja, bukan visa haji, melalui biro travel milik Mustafa Yasin, PT Novavil Mutiara Utama. Nilai kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah; salah satu korban bahkan menyebutkan, “Total uang yang saya sudah setorkan untuk berangkat haji ini kurang lebih Rp800 juta, itu untuk tiga orang. Saya bersama istri dan anak saya,” ungkap Amin seusai melapor ke Polda Gorontalo.
Menurut korban lain, setelah tiba di Jeddah jemaah masih dimintai biaya tambahan sebesar Rp33 juta per orang untuk lanjut ke Arafah, namun akhirnya tetap gagal berhaji. Seorang korban yang enggan disebut namanya berkata, “Kami hitung-hitung boros, kalau biaya perjalanan maksimal hanya mencapai Rp3 miliar, lalu ke mana sisa Rp10 miliarnya?”. Ketua LSM pendamping korban, Reflin Liputo, menegaskan, “Para korban sebenarnya hanya ingin uang mereka dikembalikan, tapi sampai saat ini pemilik travel tidak mau bertemu dengan para korban,” pungkasnya.
Sengkarut kasus ini tak lepas dari sorotan publik. Travel milik Mustafa diketahui telah diblokir izinnya oleh Kemenag, namun tetap memberangkatkan jemaah dengan visa non-haji yang diakali menjadi “Visa Amil”. Dalam dokumen yang beredar dan dikonfirmasi ke media, “Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Eksekusi Makkah dengan Nomor Surat Promes 1009062519361145, tanggal 09-06-2025, bahwa Mustafa Yasin berhutang kepada seseorang bernama Waleed Saad bin Awadh Al-Otaibi dengan total tagihan sejumlah 150.000 Riyal Saudi, dengan status perkara sedang dalam proses eksekusi.”
DPRD dan PKS di Gorontalo terus didesak bersikap. Publik bertanya-tanya soal perlindungan politik, “Statusnya sebagai anggota DPRD membuat sebagian publik bertanya-tanya, adakah perlindungan politik yang sedang bekerja di balik layar? Kalau bukan penipuan, lalu apa?” kutip salah satu korban pada media. Kuasa hukum korban juga menantang, “Kapolda harus berani memeriksa Mustafa Yasin dan Nova Lahay sesuai proses hukum yang berlaku,” ungkapnya di media lokal.
Hingga kini, proses hukum masih berjalan dan belum ada pengembalian dana kepada para jemaah, sementara aksi dan tuntutan massa terus bergulir di berbagai titik, termasuk DPRD, Polda, Kantor Kemenag, dan DPTW PKS Gorontalo.
Kasus keracunan massal yang melibatkan ribuan siswa di Bandung Barat akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyoroti buruknya manajemen dan distribusi pangan di sekolah. Data yang dihimpun menyebutkan angka korban mencapai lebih dari 1.000 siswa dengan gejala mual, pusing, sesak napas, bahkan kejang. Hasil investigasi Labkes Provinsi Jawa Barat mengungkap makanan basi akibat proses masak dan distribusi yang tidak higienis sebagai penyebab utama.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan evaluasi ketat terhadap program MBG. “Peristiwa keracunan yang terjadi, misalnya, saya akan meminta evaluasi terhadap dapur, apakah higienis atau tidak, atau dalam istilah akademis, dilakukan audit,” jelas Dedi Mulyadi.
Ia juga menyoroti persoalan waktu memasak: “Kami akan menilai dari segi waktu memasak, karena jika dimasak pada pukul 12.00 WIB malam dan diantarkan ke siswa pada pukul 12 siang, waktu yang terlalu lama akan menjadi masalah. Harapan saya, ke depan dapur itu harus lebih dekat dengan sekolah dan jumlah siswa yang dilayani tidak terlalu banyak,” tegasnya.
Kepala Labkes Jabar Ryan Bayusantika menyebut faktor utama keracunan adalah mikrobiologi dan fisik akibat penyimpanan yang tidak sesuai standar, menyebabkan bakteri patogen cepat berkembang. “Faktor mikrobiologi, terjadi pertumbuhan bakteri pada makanan yang kaya nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak,” ujar Ryan.
Pakar gizi Atik Nirwanawati menyoroti lemahnya pengawasan dan standar keamanan pangan, serta waktu distribusi yang terlalu lama. “Jadi saya berasumsi kalau tim supervisinya jalan nggak akan terjadi keracunan,” kata Atik dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
Surat terbuka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan agar keselamatan anak dan kelompok rentan menjadi prioritas utama dalam program MBG.