Ruang Literasi
Corona Ancam Pendidikan di Indonesia
Published
6 years agoon
Oleh : Wiwin
Mahasiswa Manajamen Pendidikan UNG
Meningkatnya angka kasus COVID-19 di Indonesia membuat seluruh elemen di tanah air kelimpungan. Tak hanya aspek kesehatan, sisi sensitive seperti ekonomi dan pendidikan pun turut merasakan getah. Pemerintah sebagai gerbong utama juga telah mengeluarkan berbagai imbaun yang disertai peraturan dengan harapan penyakit dan krisis ini segera berlalu di muka bumi pertiwi.
Imbauan-imbauan berupa pembatasan sosial yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat mengumumkan kasus pertama di Indonesia, pada 2 Maret 2020, memberi perubahan – perubahan yang seketika. Seperti di dunia pendidikan. Seluruh sistematika pendidikan menjadi lain dari biasanya. Kegiatan pembelajaran yang tadi-tadinya dilaksanakan dengan tatap muka, kini menjadi tidak bertatap muka demi memutus penularan virus mematikan ini.
Meski begitu, upaya pembatasan dari pemerintah menjadi hal yang penuh dilematis. Di satu sisi belum ada cara lain yang paripurna dalam menangkal penyebaran wabah selain membatasi aktivitas sosial, akan tetapi di sisi lain kita terpaksa menerima efek semacam tindak balas keburukan dari upaya itu.
Sebagai penjabaran, penerapan proses belajar di rumah baik siswa maupun mahasiswa tanpa sadar memengaruhi minat dan kualitas belajar para pelajar itu sendiri. Kurangnya proses diskusi langsung dalam pendidikan juga membuat siswa lebih banyak mengahabiskan waktu dengan media sosial yang dikhawatirkan menurunkan fungsi kesehatan terutama mata.
Selain itu, diadakannya proses belajar di rumah masing-masing yang mengandalkan teknologi daring juga menyumbang berbagai masalah yang tak kalah menakutkan dari virus korona itu sendiri. Seperti contoh banyak mahasiswa/siswa yang saat ini lebih memilih mampir di halaman kurang bermanfaat ketimbang membuka materi pembelajaran. Bahkan yang paling parah, waktu-waktu luang yang bisa menambah wawasan keilmuan justru dipakai untuk main game.
United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization (UNESCO) juga telah mengakui dampak-dampak ini. Menurut lembaga ini wabah virus corona sangat berdampak terhadap sektor dunia pendidikan, misalnya banyaknya paket data yang harus dikeluarkan mahasiswa, ditambah dengan beban tugas yang meningkat drastis dari biasanya, bahkan di setiap pertemuan tumpukan tugas yang jika dihitung mencapai belasan setiap minggunya. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan stres dan kejenuhan para pelajar.
Adapun kendala lain dari pembelajaran online di antaranya tidak tersedianya perangkat jaringan yang memadai. Seperti kasus yang kerap dirasakan para mahasiswa yang berada di kampung-kampung atau perdesaan. Kondisi ini akan mengancam hak-hak mereka di masa depan, seperti kurangnya pemahaman materi dan berbagai pelajaran penting lainya, karena guru-guru maupun dosen lebih menfokuskan siswa untuk belajar sendiri tanpa adanya penjelasan dan arahan yang lebih lugas.
Sementara itu dampak lain dari soal-soal pembatasan sosial adalah berbenturnya antara upaya menyelamatkan manusia dan kultur sosial bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagai kalimat sederahana, meskipun COVID-19 adalah makhluk menakutkan, namun ikatan relasi sosial yang telah terbangun sejak lama masih lebih kuat dan lebih dihormati dalam perspektif masyarakat berbudaya.
Perspektif interaksionis simbolik dalam social distancing dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Di mana penerapan social distancing sangat sulit dilakukan karena adanya kebiasaan dalam kerja sama, kebersamaan solidaritas, dan bentuk interaksi sosial di masyarakat. Belum lagi jika kita menyentuh lingkungan yang lebih asri dari kultur-kultur kebersamaan itu seperti di perdesaan dan perkampungan, tentu hal ini lebih sulit lagi.
Menyinggung kembali tentang sosial distancing yang memberi dampak bagi pendidikan. Menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) juga sebelumnya telah mendukung kebijakan pemerintah daerah untuk meliburkan sekolah selama pandemi COVID-19. Menurut perspektifnya, pelaksanaan belajar di rumah adalah cara tepat pada kondisi seperti ini. Bahkan dalam ilmu sosiologi menyebutkan bahwa interaksi antar sesama manusia tidak harus bertemu langsung, bersentuhan langsung atau bertatap muka, melainkan dapat dilakukan melalui media komunikasi seperti menggunakan smartphone dan alat-alat komunikasi.
Meski begitu, munculnya virus korona rupanya tak hanya memberi dampak negatif saja, sebab dari musibah global ini penduduk bumi seakan dipaksa untuk memaksimalkan keterntasan. Mulai dari segala bentuk pekerjaan yang diusahan dilakukan dari rumah, hingga perkumpulan dengan keluarga lebih dekat dari sebelumnya.
Akhirnya, penerapan social distancing baik di dunia pendidikan oleh Pemerintah sebenarnya dapat terlaksana dengan baik ketika itu dijalankan penuh keseriusan dan kesadaran masyarakat terutama pelaku pendidikan itu sendiri.
Semoga musibah ini cepat berlalu.
You may like
-
Festival Literasi Pohuwato 2025 Gaungkan Budaya Baca dan Tulis
-
Siap-siap. Tahun ini Prabowo akan bagi-bagi Smart Tv untuk seluruh sekolah di Nusantara
-
Melawan Sunyi ”Transformasi digitalisasi dalam dunia pendidikan”
-
Penutupan Perbatasan Provinsi Gorontalo Tidak Efektif Lagi
-
Pentingnya Rekonstruksi Sistem Demokrasi Berbasis Local Wisdom
-
Ridwan Yasin: Pendidikan Bentengi Anak dari Narkoba
Ruang Literasi
“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni
Published
23 hours agoon
04/12/2025
Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.
Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.
Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.
Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.
Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.
Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.
Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.
Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.
Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.
Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.
Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Tiga Bidang Program DWP Pohuwato Fokus Pada Pendidikan Melalui DWP Mengajar
DPRD Provinsi Gorontalo Siapkan Fit and Proper Test untuk 14 Peserta Lulus
Marisa Utara Ditetapkan sebagai Pilot Project Enam Bidang SPM Posyandu
Hanya Satu Tahap Lagi, Jalan Sawit Segera Selesai
Peresmian KORPRI Mart & Travel Kota Gorontalo Dipuji Prof. Zudan sebagai Teladan Nasional
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Abai dan Bungkam: Refleksi Elit Gorut Atas Tragedi Julia
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo3 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Gorontalo1 week agoMenolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Hiburan3 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
