Connect with us

Ruang Literasi

Melawan Sunyi ”Transformasi digitalisasi dalam dunia pendidikan”

Published

on

Penulis : Rierind Koniyo

Jika kau tidak bisa menerima perubahan yang begitu cepat, hanya ada dua pilihan. Ikuti atau DIE…

Pun begitu dalam dunia pendidikan. Tidak terkecuali siapapun. Guru, siswa, dosen, mahasiswa. Semua harus bisa menembus dinding digitalisasi yang melaju lebih cepat dari denyut nadi. Seiring perkembangan zaman tidak ada lagi pilihan, mau atau tidak? Siap atau tidak.

Harus bisa mengikuti arus ombak itu. Harus bisa bergelut dengan dunia digitalisasi. Harus!
Karena , jika tidak… tentu arah kehidupan akan berbelok arah, kita akan terdampar dijalan yang sunyi, terkukung sepi mendera pikiran dan mematikan jiwa, lambat laun akan mati.. apa yang terjadi? indeks pendidikan di Indonesia bukan saja tidak naik, akan tetapi menurun tajam.

Semakin merosotlah kualitas pendidikan di Indonesia. Presentase menurun disetiap detiknya. Bersiap dengan kebodohan, ketimpangan sosial, problematika masyarakat yang tiada habisnya. Sanggup? Tidak… seujung kuku takkan sanggup. Melawan sunyi, kuncinya. Keluarlah.

Terobosan digitalisasi adalah puzzle yang disetiap kepingan adalah satu kesatuan yang utuh untuk mewujudkan pendidikan berkualitas. Transformasi digital menawarkan kemudahan untuk bisa mencari sesuatu lebih cepat. Metode pembelajaran menarik, ilmu pengetahuan diujung jari. “Klik” jendela pengetahuan tersusun rapi.

Hanya perlu kemauan dan kesiapan, sedikit saja.
Takkan gusar walau perubahan kurikulum sering berganti. sebaliknya, hati menjadi riang gembira. Mengutip laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam.

Dimana konten pembelajaran akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. kurikulum merdeka mengubah image pendidikan menjadi lebih gurih. Implementasinya mengefesienkan waktu, belajar menjadi mudah dan menyenangkan. Merdeka belajar-kurikulum merdeka.

Sekali lagi,kita hanya perlu kemauan dan kesiapan, sedikit saja.

News

Mengharukan. Simak bagaimana Perjuangan Seorang Pria Mengadopsi Anak Berkebutuhan Khusus

Published

on

Di India, Aditya Tiwari mencetak sejarah sebagai pria lajang pertama yang berhasil mengadopsi anak berkebutuhan khusus—melebihi batas usia hukum—demonstrasi cinta, keberanian, dan aksi nyata untuk inklusivitas.
Aditya (28) bertemu Avnish, bayi dengan Down Syndrom, di panti asuhan saat usianya baru enam bulan. Sepintas, ini tampak seperti momen spontan; namun perjalanan panjang menanti demi bisa menyatukan mereka secara legal sepanjang 18 bulan penuh tantangan.
Aditya awalnya dikenalkan dengan Avnish pada 13 September 2014 di sebuah panti asuhan di Bhopal. Setelah mengetahui kondisi sang anak yang punya cidera fisik, tumor, dan Down syndrom, ia bertekad: “Berikan dia padaku.”
Salah satu rintangan terberat adalah terkait dengan undang-undang di India yang mengizinkan adopsi orang tua tunggal baru pada usia minimal 30 tahun. Selain itu, ia menghadapi juga tekanan dari keluarga dan masyarakat. Dia dianggap “membuang-buang waktu” sebagai pria yang akan mengurus anak.
Tuntutan Aditya dengan mengirimkan surat bahkan ke perdana menteri mendorong India merevisi regulasi usia minimum adopsi menurun menjadi 25 tahun. Pada 1 Januari 2016, ia resmi menjadi ayah Avnish.
Tidak berhenti sampai disitu, setelah pengangkatan, muncul masalah kesehatan terhadap Avnish. gangguang kesehatan seperti sembelit akut, gangguan tiroid, strabismus, dan jantung berlubang. Aditya harus pun mengambil cuti selama lima bulan untuk pendampingan penuh, dan Avnish akhirnya bisa berjalan, dan lubang di jantungnya dapat tertutup.
Kini Aditya berfokus pada advokasi memfasilitasi pekerjaan dan rumah bagi anak berkebutuhan khusus, memberikan konseling pengasuhan, hingga menjadi pembicara di India, Bhutan, Nepal, Myanmar, dan PBB (2019).
Pada Hari Perempuan Internasional 2020, Aditya dinobatkan “Ibu Terbaik Dunia” oleh WEmpower Bengaluru, sebuah penghargaan yang menghapus batasan gender pengasuh. Ia menolak dipanggil “ayah” atau “ibu”; bagi Aditya, dirinya adalah “orang tua”.
Di hari ulang tahun Avnish, Aditya menulis surat yang berisi pesan tentang kesabaran, doa, dan rasa syukur agar kelak sang anak menghargai perjuangan dan cinta di balik adopsinya.
Aditya berharap stigma “kesanggupan pengasuh berdasar gender” bisa musnah, dan menegaskan bahwa “Mengasuh anak tidak didasarkan pada jenis kelamin.” Ia berharap semua anak, tak terlepas kondisi fisik, dapat menyatu dalam keluarga penuh cinta.

Continue Reading

Kesehatan

Pelajaran Berharga dari Suku Māori: Autisme sebagai Keunikan Manusia

Published

on

Dalam diskursus global tentang autisme, narasi yang dominan seringkali berpusat pada defisit dan “gangguan.” Namun, di tengah perdebatan ini, muncul sebuah perspektif yang menyegarkan dari budaya Māori di Selandia Baru: takiwātanga. Kata ini, yang diterjemahkan secara puitis sebagai “dalam waktu dan ruang mereka sendiri,” menawarkan pemahaman yang jauh berbeda, menyoroti keunikan individu autistik alih-alih menganggapnya sebagai suatu kondisi yang harus diperbaiki.
Di dunia Barat, autisme umumnya dikategorikan sebagai “gangguan spektrum autisme” (GSA), sebuah terminologi yang secara inheren menyiratkan adanya “ketidakberesan” atau kondisi yang memerlukan intervensi medis. Pendekatan ini, meskipun didasari oleh niat baik untuk memahami dan mendukung, seringkali tanpa disadari menempatkan individu autistik dalam kerangka patologi. Akibatnya, fokus seringkali beralih pada “perbaikan” atau “penormalan” perilaku, yang dapat mengabaikan kekayaan pengalaman dan cara pandang yang berbeda. Sebaliknya, takiwātanga mencerminkan filosofi yang jauh lebih inklusif dan merayakan. Bagi suku Māori, penggunaan istilah ini menunjukkan penghormatan terhadap cara unik individu autistik berinteraksi dengan dunia, belajar, dan memproses informasi. Ini bukan sekadar perubahan kata, melainkan pergeseran paradigma yang mendalam, dari melihat autisme sebagai “kekurangan” menjadi “cara yang berbeda—dan sama validnya—untuk menjadi manusia.”
Konsep takiwātanga bukanlah sekadar metafora, melainkan sebuah refleksi dari upaya nyata dalam komunitas Māori untuk mengubah stigma seputar autisme. Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Autism and Developmental Disorders, penggunaan bahasa yang lebih positif dan inklusif memiliki dampak signifikan pada persepsi publik dan individu autistik terhadap diri mereka sendiri. Studi lain dari Autism New Zealand (organisasi nasional terkemuka yang mendukung individu autistik dan keluarga mereka di Selandia Baru) telah secara aktif mempromosikan penggunaan takiwātanga untuk mendorong penerimaan dan pemahaman yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa bahasa yang kita gunakan dapat membentuk sikap dan kebijakan, memengaruhi bagaimana masyarakat melihat neurodiversitas.
Pergeseran bahasa ini juga selaras dengan gerakan neurodiversitas global yang semakin berkembang. Gerakan ini berpendapat bahwa variasi neurologis, seperti autisme, ADHD, dan disleksia, adalah bagian alami dari keragaman manusia, bukan kekurangan yang perlu disembuhkan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli terkemuka di bidang neurodiversitas, Dr. Temple Grandin, “Dunia membutuhkan semua jenis pemikiran,” termasuk mereka yang berpikir secara berbeda.
Kekuatan bahasa dalam membentuk realitas sosial tidak bisa diremehkan. Ketika kita beralih dari kata “gangguan” ke frasa “dalam waktu dan ruang mereka sendiri,” kita tidak hanya mengubah label, tetapi juga mengubah bagaimana kita melihat individu autistik dan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Ini adalah undangan untuk merayakan keunikan, menghargai kontribusi yang beragam, dan membangun komunitas yang lebih inklusif.
Dengan mengadopsi perspektif seperti takiwātanga, masyarakat dapat bergeser dari upaya “memperbaiki” orang menjadi merayakan kekayaan luar biasa yang mereka bawa ke komunitas kita. Ini adalah langkah menuju masa depan di mana neurodiversitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang harus diatasi, melainkan sebagai sesuatu yang harus dirayakan.
Oleh : Ronald S. Bidjuni

Continue Reading

Kesehatan

Why Do Westerners Prefer Using Toilet Paper Over Water? Here’s the Reason

Published

on

The practice of using toilet paper instead of water for personal hygiene after defecation is a common habit in many Western countries. This preference is influenced by a combination of historical, cultural, climatic, and practical factors that have shaped the hygiene practices in these regions.

The use of toilet paper in the West dates back to the 16th century. French writer François Rabelais was among the first to mention it, albeit with reservations about its effectiveness. Despite these early critiques, the practice became widespread. In contrast, many Eastern cultures have long traditions of using water for cleansing, influenced by religious practices and cultural norms.

The colder climates of many Western countries play a significant role in the preference for toilet paper. In these regions, the use of water for personal hygiene can be uncomfortable due to low temperatures. Toilet paper provides a convenient and warm alternative.

Dietary habits also influence hygiene practices. Western diets, which often include lower fiber intake, result in firmer stools that are easier to clean with toilet paper. In contrast, higher fiber diets common in many Eastern countries lead to softer stools, making water-based cleansing more effective and comfortable.

The widespread availability and affordability of toilet paper in Western countries make it a practical choice for personal hygiene. In contrast, the infrastructure for water-based cleansing methods, such as bidets or handheld sprayers, is less common in these regions, making the adoption of such practices less feasible.

While toilet paper is convenient, it has environmental implications. The production of toilet paper contributes to deforestation and water usage. Moreover, some studies suggest that water-based cleansing methods may be more hygienic and less irritating to the skin.

The preference for toilet paper in Western countries is the result of a complex interplay of historical developments, cultural norms, climatic conditions, dietary habits, and practical considerations. While this practice is deeply ingrained, there is a growing awareness of the environmental and hygienic benefits of alternative methods, such as water-based cleansing. As global perspectives on hygiene and sustainability evolve, these practices may continue to adapt and change.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler