GORONTALO-Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo Yahya Abdullah menilai kasus Omnibus Law merupakan gambaran bahwa citra negeri ini semakin buruk. Penguasa kata dia terkesan menutup mata dan telinga di saat rakyat menjerit.
“Bagaimana tidak, sejak disahkannya Omnibus Law(akan) oleh Dewan Pengkhianat Rakyat, ini menjadi awal pergolakan di negeri ini. Bagi saya, akal busuk pemerintahan menghadirkan om-ni-bus Law(akan) adalah strategi memperkaya diri dan golongan tertentu,” kata Yahya Abdullah, saat berbincang bersama awak barakati.id Selasa (13/10).
Menurutnya, aksi massa yang dilakukan oleh kawan-kawan di berbagai daerah di Indonesia wabilkhusus di Gorontalo, menjadikan bukti otentik bahwa negeri ini sedang sakit. Lebih parahnya, penguasa menggunakan tangan-tangan aparat keparatnya untuk mematikan sebuah kebenaran dengan tindakan-tindakan represif.
Saat ini, data sementara hakasasi.id monitoring penangkapan selama aksi massa yang dilakukan oleh kawan-kawan yang turun kejalan, kurang lebih 4905 orang yang tersebar di 33 Kota , 20 Provinsi di Indonesia ditangkap dengan cara yang brutal. Padahal, demonstrasi adalah hak bagi setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasinya, dan itu telah di atur dalam Pasal 28 UUD 1945.
Kemudian, kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam penangananan demonstrasi menurut dia lagi telah melanggar Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta prinsip -prinsip dasar hak asasi sebagamaina telah diatur secara komprehensif dalam Peraturan Kapolri (PERKAP) No 8 Tahun 2009 tentang implementasi Prinsip dan stadar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan PERKAP No 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Instrumen normative itu merupakan pedoman yang wajib dipegang oleh setiap anggota maupun institusi Kepolisian Republik Indonesia.
Diapun menyesalkan dan mengecam keras tindakan Represif yang dilakukan oleh aparat kepada kawan-kawan saya yang melakukan aksi demonstrasi di simpang lima telaga, Kota Gorontalo, kemarin. Kemudian, dalam proses penangkapan yang tidak sesuai prosedur. Lebih parahnya, yang membuat saya semakin geram terhadap aparat adalah Tindakan-tindakan pelecehan oleh oknum polisi laki-laki kepada massa aksi perempuan pada proses penangkapan. Cerita ini saya dapatkan langsung, dari kawan perempuan saya di HMI yang juga ditangkap sore kemarin. Menurut penuturannya, ia dan kawan perempuannya mendapat pelecehan secara verbal Ketika di angkut dengan mobil menuju taman telaga, bahkan beraninya oknum polisi tersebut mencolek tubuh mereka hingga tiga kali.
Dikatakannya, Apapun alasannya aparat keamanan tidak dibenarkan secara hukum menggunakan kewenangan dalam menghadapi aksi massa mengunakan cara-cara yang berlebihan dan eksesif seperti itu. Olehnya itu saya, mengutuk dan mengecam keras Tindakan-tindakan berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian Gorontalo dan meminta kepada KAPOLDA Gorontalo mengusut tuntas oknum polisi tersebut.
Indonesia memiliki harga internet termahal di ASEAN dengan tarif US$ 0,41 atau setara Rp 6.809 per Mbps untuk layanan fixed broadband. Data ini berasal dari laporan Cable.co.uk dan We Are Social per Februari 2025.
Meski harganya tinggi, kecepatan internet Indonesia justru menempati urutan kedua paling lamban di kawasan, berdasarkan data Speedtest Global Index per Agustus 2025. Untuk fixed broadband, kecepatan hanya 39,88 Mbps, menempatkan Indonesia di peringkat ke-116 dunia. Sedangkan untuk mobile broadband, kecepatan mencapai 45,01 Mbps, berada di urutan ke-83 dunia.
Sebagai perbandingan, beberapa negara ASEAN memiliki harga internet jauh lebih rendah, seperti Filipina US$ 0,14, Malaysia US$ 0,09, Vietnam US$ 0,04, Singapura US$ 0,03, dan Thailand US$ 0,02 per Mbps.
Kecepatan internet mobile broadband di ASEAN juga bervariasi dengan Brunei Darussalam tercepat di 184,86 Mbps, dan Singapura menduduki posisi ke-12 dunia dengan 164,75 Mbps. Sedangkan untuk fixed broadband, Singapura menjadi yang tercepat di dunia dengan kecepatan 394,3 Mbps.
Mengutip laman Visual Capitalist, “Negara-negara Asia seperti Vietnam, Cina, dan Korea Selatan menyediakan internet cepat dengan harga terjangkau, beberapa di antaranya hanya US$ 0,05 per Mbps.”
Data Speedtest Global Index meneliti kecepatan internet di 103 negara untuk mobile broadband dan 154 negara untuk fixed broadband.
Dengan fakta tersebut, Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hal harga dan kecepatan internet dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya dan dunia.
Adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Halim Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri. Halim selaku Presiden Direktur PT BRN diduga berperan dalam penyalahgunaan wewenang pada proyek senilai lebih dari Rp 1,3 triliun ini, yang akhirnya mangkrak sejak 2016. Selain Halim Kalla, tersangka lain yang dijerat antara lain mantan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN inisial RR, serta Dirut PT Praba, HYL.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menegaskan, “Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ujarnya dalam konferensi pers. Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, juga menjelaskan, “Sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam lelang PLTU 1 Kalbar.” Proyek ini didanai kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA), namun pelaksanaan dan progresnya bermasalah hingga menyebabkan kerugian negara besar-besaran.
Tercatat nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun akibat proyek mangkrak dan upaya persekongkolan dalam lelang antara oknum PLN dan pihak swasta terkait. Sampai saat ini proses hukum masih berjalan dan tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru berdasarkan pengembangan penyidikan lebih lanjut.
Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo
Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.
Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.
Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.
Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?
Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.
Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.
Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.