Ruang Literasi
Antara Kegaduhan, Suara Mahasiswa dan Kebijakan Pemprov Gorontalo
Published
5 years agoon
Oleh : Fian Hamzah – Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo
Ada yang unik dari Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tidak hanya penerapan PSBB yang lucu, Pemprov pun tak segan menyasar anggaran beasiswa daerah dalam agenda akbar penanganan Covid-19. Sekilas ini mulia dan sulit dibantah, sebab topeng kemanusiaan menjadi penghalang dari segala rupa yang tertumbuk akal. Lazimnya penggeseran anggaran di tengah pandemi turut menjadikan Pemprov gelap mata dengan pangkas kiri kanan, alhasil Pemprov menjadi pihak penyelamat rakyat yang sekaligus menghabisi cita.
Kontemporer, publik dibuat sulit mencerna kebjikan Pemprov Gorontalo. Sekian banyak opsi anggaran yang tersaji di “brankas”, Pemprov menjatuhkan pilihan pada anggaran cita-cita manusia muda Gorontalo (beasiswa daerah). Keputusan di atas kertas berlari tanpa alur ‘meja’ yang seharusnya. Benar, bahwa hal ini tidak diketahui oleh Badan Anggaran DRPD Provinsi Gorontalo. Tiba-tiba anggaran yang mengandung sejuta mimpi demi kelangsungan belajar di kelas lenyap dengan segala polombuango yang menyusulnya.
Beasiswa pendidikan bagi Pemprov seolah sekadar janji yang menandingi kecepatan suara. Segera menghilang dari harapan apalagi implementasi. Jika Pemprov serius untuk urusan pendidikan tentu Pemprov akan menjauhi keputusan menyakitkan itu. Melalui persoalan beasiswa ini Pemprov perlu disadarkan dari gemerlapnya pentas citra bagi-bagi sembako. Beasiswa ini akan sangat berarti bagi kelangsungan hidup mahasiswa demi menggapai cita-cita yang terlanjur berakar dalam sanubari, juga akan sangat bermanfaat bagi segenap keluarga penerima beasiswa sebab mereka turut terbantu. Sebaliknya, jika Pemprov yang kukuh mempertahankan anggaran pemeliharaan jalan raya, renovasi gedung, tunjangan wira-wiri dan sebagainya di saat pandemi, manusia mana yang dapat menganggap Pemprov berbakti kepada rakyat khususnya mahasiswa?
Kritik yang sering penulis sampaikan harusnya dijawab dengan baik dan bijaksana oleh pihak pemerintah, bukan membenturkan para pengkritik dengan jawaban-jawaban yang tidak relevan di hadapan rakyat. Sungguh disesalkan, jawaban yang diberikan sangat tidak layak serta tidak mencerminkan pemerintah yang tulus dan benar-benar mengabdi pada rakyat. Jawaban dengan irama yang menjijikan, dibungkus dengan makna mengungkit-ungkit, meminta terima kasih atas jasa yang sejatinya adalah hak kami sebagai warga negara.
Selanjutnya, semua tentu sadar serta mampu memahami bencana kemanusiaan non alam ini perlu simpati dan kerja sama kita dalam penanggulangannya. Di sini penulis ingin meluruskan pada khalayak bahwa penulis bukan pada posisi untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo, namun lebih pada sebuah pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi yang tidak pro terhadap kepentingan umat. Jangan karena wabah Covid-19 ini kita lupa dan abai terhadap segala bentuk kebijakan Pemerintah Provinsi Gorontalo, wabah ini selain membuat perekonomian Gorontalo ‘rusak’ juga dapat menimbulkan masalah baru yakni banyak kebijakan yang keliru bahkan salah. Tentu kebijakan yang salah ini akan berpotensi pada korupsi yang tidak diketahui oleh rakyat.
Melalui ini, penulis perlu mencerahkan khalayak sekaligus menjangkau nalar pemerintah yang mungkin kebingungan dengan seluruh keanehannya, bahwa dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus yang termaktub pada Pasal 27 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termaksud kebijakan dalam bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termaksud kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”
Mari kita cermati dengan mata yang terbuka dan pikiran yang tidak tidur bahwa kebijakan penggeseran beasiswa daerah apakah untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis? Atau sekadar tumbal dari laci proyek pembangunan yang belum urgen agar tidak tersentuh. Polemik ini adalah salah satu upaya untuk membuka tabir bahwa Gorontalo harus ditelisik. Dari kebijakan hingga potensi korupsi yang terbuka, tentu hal-hal seperti ini juga perlu adanya pengamatan dan pengawalan yang baik dari semua unsur yang ada di Gorontalo, mahasiswa wajib turut andil. Anggaran penanggulangan corona virus itu besar, jangan sampai ada penyelewengan dalam prosesnya.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan pada khalayak bahwa perjuangan penulis dan rekan-rekan bukan merupakan upaya untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo. Ini adalah salah satu bentuk kerja sama mahasiswa terhadap pemerintah dengan berdiri kokoh pada kutub kritik yang sunyi dan rasional, melalui gerakan untuk menciptakan transparansi yang berkelanjutan terhadap penggunaan anggaran pemerintah Gorontalo. Kalian tidak sendiri wahai pemerintah, kami memantau segala lakon yang dipertontonkan. Perjuangan kami belum selesai.
You may like
-
Tak Berkutik! Pria Asal Sipayo Diciduk Polisi dengan Barang Bukti Sabu
-
PAN Melirik, Tapi Purbaya Tegaskan: Saya Tak Tertarik Politik
-
Perempuan yang Dilamar oleh Langit
-
Tak Ada Toleransi! Begini Tanggapan Habib Ja’far atas Penangkapan Onadio Leonardo
-
Peringatan Keras dari Wali Kota Gorontalo untuk PPPK soal Perceraian
-
Wawali Indra Ajak ASN Kota Gorontalo Kolaborasi Dukung Program Inovatif Wali Kota
Gorontalo – Malam itu, air di Danau Limboto meluap, orang-orang tak menyangka Danau yang sekian tahun tenang, kini menampakkan amarahnya. Air danau Limboto sangat cepat masuk ke rumah-rumah warga, bahkan menyentuh hingga seng pemukiman nelayan. Orang-orang saling bahu membahu menolong. Para Relawan disetiap lembaga kemanusiaan ikut merespon. Berita menyebar di mana-mana, banjir besar Danau Limboto menjadi pusat perhatian.
Aku yang tergabung dalam barisan lembaga kemanusiaan Rumah Zakat segera ikut merespon dengan kawan-kawan lainnya; meng-evakuasi, membagikan makanan siap saji, hingga keputusan membangun Dapur Umum untuk warga yang terdampak banjir Danau Limboto. Banjir itu berlangsung lama, kira-kira 3-4 bulan air tersebut barulah surut total.
Dapur Umum menjadi bab baru bagi setiap orang yang terlibat sebagai relawan di sana; ada masyarakat umum yang ikut membantu, lalu meramaikan dapur umum, ada relawan baru yang bergabung, ada relawan lama yang bertugas. Dapur umum bukan sekadar dapur, ia adalah kumpulan kontribusi, perkenalkan, cerita, serta doa-doa kecil yang selalu didengar oleh langit. Itulah awal mula aku pribadi mengenal sosok adik Cindrawati Rahman; relawan baru di dapur umum, yang begitu mendedikasikan tenaganya untuk menopang makanan agar terbagikan dalam waktu dan jumlah yang telah ditetapkan.
Keseharian adik Cindrawati Rahman, ia selalu bermain dengan kucing dan memakai headset khas miliknya berwarna pink. Keseharian teman-teman relawan saling mengajak dalam kebaikan, saat adzan berkumandang semua saling mengingatkan untuk salat, begitupun para akhwat, termasuk dik Cindrawati Rahman.
Sampai kabar itu pun tiba. Tadi malam, satu provinsi Gorontalo digegerkan oleh berita lakalantas yang menewaskan satu wanita bercadar di tempat dengan kondisi kepala yang memprihatinkan karena terlindas konteiner. Setelah ditelusuri ternyata wanita bercadar itu punya history sebagai Relawan Rumah Zakat Gorontalo, ia terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan.
Orang-orang akhirnya ramai memperdebatkan, kalaulah dia bercadar dan baik kenapa kematiannya begitu tragis. Padahal kematian itu rahasia Allah, Allah yang memiliki kendali dan kehendak atas umur dan bagaimana kita meninggal di akhir nanti. Orang-orang ramai membicarakan itu, sampai mereka lupa, bahwa adik Cindrawati Rahman meninggal dunia di malam Jum’at, Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah (azab) kubur.”
— HR. Ahmad (no. 6546), Tirmidzi (no. 1074)
Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
Syaikh Al-Albani juga mensahihkannya dalam Ahkamul Jana’iz (hal. 49).
Bukan hanya itu, Adik Cindrawati Rahman yang menggunakan cadar ini, saat pakaian di tubuh tersingkap, masyarakat berbondong-bondong dan bergegas memperbaiki pakaiannya tersebut. Beginilah cara Allah menjaga aurat wanita yang terbiasa menjaga auratnya.
Dan, entah apa amalan langit yang dilakukan oleh Adik Cindrawati Rahman ini, sampai-sampai wajahnya tak diizinkan untuk terlihat sedikitpun oleh laki-laki yang berkerumun di tempat itu, bahkan oleh laki-laki yang ada di tempatnya. Wajahnya disembunyikan oleh Allah hingga ia meninggal dunia.
Ingatlah, kematian itu rahasia Allah, ada orang yang meninggal dengan tubuh yang lengkap tetapi ia meninggal di tempat bermaksiat; club malam, tempat narkoba, dll. Jadi kejadian-kejadian menuju kematian itu sepenuhnya rahasia Allah. Dan kita doakan, semoga Adik Cindrawati Rahman dengan kebaikannya yang selalu membantu orang banyak, mendapat balasan yang indah di sisi Allah.
Ketika langit telah melamar seorang wanita, wajahnya pun disembunyikan hingga akhir hidupnya.
📝 Sandy Syafrudin Nina
Penulis Lepas, Yang Melepaskan Tulisan.
Ruang Literasi
Ketika Orang Tidak Kompeten Jadi Viral, Kaum Terpelajar Malah Diam
Published
2 days agoon
29/10/2025
Menggugat Kaum Terpelajar (Bagian II)
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
“Intelektual sejati bukan yang paling tahu, tapi yang paling berani menyampaikan kebenaran.”
— Edward Said
Kaum terpelajar di negeri ini sering kali terlalu sibuk mencari kebenaran, tapi lupa memperjuangkannya di ruang publik.
Mereka hadir di ruang riset, diskusi, dan seminar — namun jarang berdiri bersama rakyat ketika persoalan sosial muncul di depan mata. Saat kekisruhan sosial terjadi, mereka memilih diam: takut diserang, takut disalahpahami, takut kehilangan posisi.
Namun ketika orang-orang yang tidak kompeten berbicara lantang di publik — dengan analisis dangkal tapi retorika meyakinkan — kaum terpelajar justru mulai mengeluh soal “rendahnya kualitas wacana publik”. Padahal, orang-orang tidak kompeten itu jadi viral karena diamnya kaum terpelajar.
Lihat saja apa yang terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara belum lama ini.
Publik dikejutkan oleh dugaan pungutan liar dalam proses seleksi PPPK. Massa rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Di tengah aksi itu, seorang anggota DPRD malah tampak mencibir para demonstran — dan gestur itu langsung viral.
Alih-alih membahas akar masalah seperti praktik pungli atau sistem rekrutmen yang tidak adil, media sosial justru ramai memperdebatkan gestur dan ekspresi wajah.
Yang lebih ironis, percakapan publik kemudian dikuasai oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas di bidang hukum, tata kelola pemerintahan, maupun etika politik. Tapi karena mereka viral, suaranya dianggap paling benar.
Inilah akibat dari vakumnya suara kaum terpelajar.
Ketika para akademisi, peneliti, dan kaum intelektual tidak hadir memberi pencerahan, ruang itu diisi oleh siapa saja yang paling berani bicara — bukan yang paling paham persoalan.
Dan pada titik itu, kebenaran berubah menjadi tontonan.
Kaum terpelajar sebetulnya tidak kekurangan kapasitas.
Setiap tahun mereka menghasilkan ribuan penelitian, banyak di antaranya dibiayai negara.
Namun, publik jarang sekali bisa memahami isi riset-riset itu — bukan karena bodoh, tapi karena bahasanya tidak pernah disederhanakan.
Laporan akademik berakhir di rak kampus, sementara masyarakat tetap haus penjelasan.
Dalam pandangan Pierre Bourdieu, pengetahuan sering menjadi modal simbolik — alat mempertahankan gengsi, bukan memperjuangkan perubahan.
Ilmu berhenti sebagai tanda status sosial, bukan sebagai alat pencerahan.
Kita hidup di zaman ketika semua orang bisa menjadi “pakar instan”.
Internet memberi panggung pada siapa pun, tanpa verifikasi kemampuan.
Akibatnya, kebebasan bicara meluas, tapi kewenangan berbicara hilang.
China baru-baru ini mengeluarkan kebijakan kontroversial: hanya mereka yang memiliki kualifikasi profesional terverifikasi yang boleh membahas topik-topik serius seperti keuangan, pendidikan, hukum, dan kesehatan.
Bagi sebagian orang, kebijakan ini terdengar otoriter. Tapi kalau dipikir jernih, ada benarnya juga.
Karena di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia, kita kini menghadapi ancaman serupa:
bukan sensor negara, melainkan banjir opini tanpa kapasitas.
Masalahnya bukan kebebasan berbicara, tapi hilangnya tanggung jawab intelektual.
Dan di situlah seharusnya kaum terpelajar mengambil peran — bukan membungkam, tapi menyehatkan ruang publik dengan argumentasi yang jernih dan berbasis pengetahuan.
Tanggung Jawab Moral Kaum Terpelajar
Kaum terpelajar perlu belajar dari Antonio Gramsci, yang menyebut bahwa setiap zaman butuh intelektual organik — mereka yang tak hanya berpikir untuk rakyat, tapi berpikir bersama rakyat.
Bukan sekadar menulis jurnal, tapi menyederhanakan gagasan agar bisa dipahami tukang ojek, petani, guru, dan mahasiswa.
Karena ilmu yang tidak bisa diakses rakyat hanyalah kesombongan intelektual.
Oleh: Asral Kelvin
Akademisi Fakultas Ekonomi IAIN Gorontalo
Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan sederhana: apa salahnya membuat rakyat tersenyum?
Sebab, salah satu penghargaan tertinggi bagi seorang pemimpin adalah ketika rakyatnya tersenyum—bukan karena basa-basi, tetapi karena benar-benar merasakan kebijakan yang berpihak pada kehidupan mereka.
Beberapa waktu terakhir, saya memperhatikan perdebatan hangat soal pemanfaatan trotoar di Jalan Eks Panjaitan (kini Jalan Nani Wartabone) oleh para pelaku UMKM. Saya tidak hendak masuk dalam ranah hukum, karena itu bukan keahlian saya. Namun sebagai akademisi ekonomi, izinkan saya berbicara tentang perputaran uang, geliat ekonomi rakyat, dan peluang wisata kuliner kota.
⸻
1. Mengapa Harus Jalan Nani Wartabone?
Lokasi ini adalah salah satu kawasan paling hidup di Kota Gorontalo. Dalam teori ekonomi, keramaian adalah magnet utama perputaran uang.
Mari kita lihat secara sederhana: bila dalam satu malam saja kawasan ini dikunjungi 200 orang, dan masing-masing membelanjakan Rp50.000 untuk menikmati kuliner lokal, maka terjadi perputaran uang sebesar Rp10 juta hanya dalam satu malam.
Itu baru dari pembeli kuliner. Belum dari parkir, minuman, jasa musik, dan lain-lain. Artinya, trotoar yang hidup bukan hanya ruang ekonomi kecil, tetapi denyut ekonomi kota.
Jika 200 pelaku UMKM bisa tersenyum karena dagangannya laku, maka sesungguhnya ada 200 senyuman rakyat untuk pemimpinnya.
⸻
2. Adakah Kota di Dunia yang Membiarkan Trotoar untuk UMKM?
Banyak.
Mari lihat ke Bangkok, Thailand, tepatnya di Jalan Yaowarat—ikon kuliner jalanan paling populer di Asia Tenggara. Para pedagang memenuhi badan jalan dan trotoar, namun tidak menjadikan Bangkok kota yang semrawut. Sebaliknya, Yaowarat menjadi magnet wisata kuliner dunia, dikunjungi ribuan orang setiap malam.
Para wisatawan justru datang untuk menikmati streetfood itu—bukan menghindarinya.
⸻
3. Di Indonesia, Apakah Ada Contohnya?
Ada, bahkan sangat ramai.
Cobalah telusuri Jalan Pancoran, Glodok – Jakarta Barat. Di sana, trotoar telah menjadi ruang kreatif UMKM. Ada pedagang bakso viral yang antreannya mengular, ada pula aneka jajanan yang diulas oleh konten kreator nasional.
Artinya, ruang kecil di trotoar bisa menjadi panggung ekonomi besar bila diatur dengan baik. Tak sekadar tempat jualan, tapi juga destinasi wisata kuliner urban.
Apakah itu mungkin di Gorontalo? Saya percaya bisa.
⸻
4. Bayangkan Jika Itu Terjadi di Kota Gorontalo
Bayangkan ketika penerimaan mahasiswa baru Universitas Negeri Gorontalo tiba. Jalan Nani Wartabone menjadi salah satu destinasi utama—ramai, bersih, teratur, dan penuh aroma kuliner lokal.
Di sana bukan hanya makanan yang dijual, tapi cerita dan kebanggaan lokal.
Para wisatawan, mahasiswa, hingga warga luar daerah akan mengenal Gorontalo bukan hanya lewat Danau Limboto atau Benteng Otanaha, tapi juga lewat senyum para pedagang di trotoar Nani Wartabone.
⸻
Penutup: Antara Harapan dan Kolaborasi
Saya tidak sedang menggurui, dan saya tidak berpihak pada siapa pun. Saya mencintai Pak Gubernur dan Pak Wali Kota sebagai dua khalifah yang sedang berjuang untuk Gorontalo.
Saya hanya berharap, suatu hari keduanya bisa duduk bersama, membicarakan bagaimana mewujudkan kawasan ekonomi rakyat yang sekaligus menjadi ikon pariwisata kota.
Jika Thailand memiliki Jalan Yaowarat,
dan Jakarta memiliki Jalan Pancoran,
maka Gorontalo layak memiliki Jalan Nani Wartabone sebagai simbol ekonomi kreatif dan senyum rakyat yang hidup.
Sebab, pada akhirnya —
pembangunan bukan hanya soal beton dan gedung tinggi,
tapi tentang bagaimana rakyat bisa tersenyum dengan perut yang kenyang dan hati yang tenang.
Tak Berkutik! Pria Asal Sipayo Diciduk Polisi dengan Barang Bukti Sabu
PAN Melirik, Tapi Purbaya Tegaskan: Saya Tak Tertarik Politik
Perempuan yang Dilamar oleh Langit
Tak Ada Toleransi! Begini Tanggapan Habib Ja’far atas Penangkapan Onadio Leonardo
Peringatan Keras dari Wali Kota Gorontalo untuk PPPK soal Perceraian
Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
Warga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
Dukung Palestina, Bandar Besar Ganja Maroko Boikot Pengedar Narkoba Israel
Kabar Baik ! TVRI Pegang Hak Siar Piala Dunia 2026, Nobar aman untuk Seluruh Masyarakat
Pembenahan di RSUD Aloei Saboe: Staf Bermasalah Dipindah Tugas Demi Perbaikan Pelayanan
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo1 month agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
News3 weeks agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo1 month agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Daerah3 months agoDPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
Gorontalo3 months agoDPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial3 months agoProf. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Gorontalo2 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Advertorial1 month agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
