Connect with us

Ruang Literasi

Antara Kegaduhan, Suara Mahasiswa dan Kebijakan Pemprov Gorontalo

Published

on

Oleh : Fian Hamzah – Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo

Ada yang unik dari Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tidak hanya penerapan PSBB yang lucu, Pemprov pun tak segan menyasar anggaran beasiswa daerah dalam agenda akbar penanganan Covid-19. Sekilas ini mulia dan sulit dibantah, sebab topeng kemanusiaan menjadi penghalang dari segala rupa yang tertumbuk akal. Lazimnya penggeseran anggaran di tengah pandemi turut menjadikan Pemprov gelap mata dengan pangkas kiri kanan, alhasil Pemprov menjadi pihak penyelamat rakyat yang sekaligus menghabisi cita.

Kontemporer, publik dibuat sulit mencerna kebjikan Pemprov Gorontalo. Sekian banyak opsi anggaran yang tersaji di “brankas”, Pemprov menjatuhkan pilihan pada anggaran cita-cita manusia muda Gorontalo (beasiswa daerah). Keputusan di atas kertas berlari tanpa alur ‘meja’ yang seharusnya. Benar, bahwa hal ini tidak diketahui oleh Badan Anggaran DRPD Provinsi Gorontalo. Tiba-tiba anggaran yang mengandung sejuta mimpi demi kelangsungan belajar di kelas lenyap dengan segala polombuango yang menyusulnya.

Beasiswa pendidikan bagi Pemprov seolah sekadar janji yang menandingi kecepatan suara. Segera menghilang dari harapan apalagi implementasi. Jika Pemprov serius untuk urusan pendidikan tentu Pemprov akan menjauhi keputusan menyakitkan itu. Melalui persoalan beasiswa ini Pemprov perlu disadarkan dari gemerlapnya pentas citra bagi-bagi sembako. Beasiswa ini akan sangat berarti bagi kelangsungan hidup mahasiswa demi menggapai cita-cita yang terlanjur berakar dalam sanubari, juga akan sangat bermanfaat bagi segenap keluarga penerima beasiswa sebab mereka turut terbantu. Sebaliknya, jika Pemprov yang kukuh mempertahankan anggaran pemeliharaan jalan raya, renovasi gedung, tunjangan wira-wiri dan sebagainya di saat pandemi, manusia mana yang dapat menganggap Pemprov berbakti kepada rakyat khususnya mahasiswa?

Kritik yang sering penulis sampaikan harusnya dijawab dengan baik dan bijaksana oleh pihak pemerintah, bukan membenturkan para pengkritik dengan jawaban-jawaban yang tidak relevan di hadapan rakyat. Sungguh disesalkan, jawaban yang diberikan sangat tidak layak serta tidak mencerminkan pemerintah yang tulus dan benar-benar mengabdi pada rakyat. Jawaban dengan irama yang menjijikan, dibungkus dengan makna mengungkit-ungkit, meminta terima kasih atas jasa yang sejatinya adalah hak kami sebagai warga negara.

Selanjutnya, semua tentu sadar serta mampu memahami bencana kemanusiaan non alam ini perlu simpati dan kerja sama kita dalam penanggulangannya. Di sini penulis ingin meluruskan pada khalayak bahwa penulis bukan pada posisi untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo, namun lebih pada sebuah pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi yang tidak pro terhadap kepentingan umat. Jangan karena wabah Covid-19 ini kita lupa dan abai terhadap segala bentuk kebijakan Pemerintah Provinsi Gorontalo, wabah ini selain membuat perekonomian Gorontalo ‘rusak’ juga dapat menimbulkan masalah baru yakni banyak kebijakan yang keliru bahkan salah. Tentu kebijakan yang salah ini akan berpotensi pada korupsi yang tidak diketahui oleh rakyat.

Melalui ini, penulis perlu mencerahkan khalayak sekaligus menjangkau nalar pemerintah yang mungkin kebingungan dengan seluruh keanehannya, bahwa dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus yang termaktub pada Pasal 27 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termaksud kebijakan dalam bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termaksud kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”

Mari kita cermati dengan mata yang terbuka dan pikiran yang tidak tidur bahwa kebijakan penggeseran beasiswa daerah apakah untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis? Atau sekadar tumbal dari laci proyek pembangunan yang belum urgen agar tidak tersentuh. Polemik ini adalah salah satu upaya untuk membuka tabir bahwa Gorontalo harus ditelisik. Dari kebijakan hingga potensi korupsi yang terbuka, tentu hal-hal seperti ini juga perlu adanya pengamatan dan pengawalan yang baik dari semua unsur yang ada di Gorontalo, mahasiswa wajib turut andil. Anggaran penanggulangan corona virus itu besar, jangan sampai ada penyelewengan dalam prosesnya.

Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan pada khalayak bahwa perjuangan penulis dan rekan-rekan bukan merupakan upaya untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo. Ini adalah salah satu bentuk kerja sama mahasiswa terhadap pemerintah dengan berdiri kokoh pada kutub kritik yang sunyi dan rasional, melalui gerakan untuk menciptakan transparansi yang berkelanjutan terhadap penggunaan anggaran pemerintah Gorontalo. Kalian tidak sendiri wahai pemerintah, kami memantau segala lakon yang dipertontonkan. Perjuangan kami belum selesai.

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler