Gorontalo – Warga Desa Manunggal Karya, Kecamatan Randangan, dikejutkan oleh penemuan jasad seorang pria lanjut usia di dalam rumahnya. Korban diketahui bernama Mbah Dofir (70), yang ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa pada Rabu (29/01/2024).
Menurut keterangan saksi, Pak Suja’i (71), yang merupakan teman dekat korban, ia merasa curiga karena sudah empat hari tidak bertemu dengan Mbah Dofir. Rasa penasaran membuatnya mendatangi rumah korban untuk memastikan kondisinya.
Saat tiba di lokasi, Pak Suja’i mendapati pintu rumah tidak terkunci. Ia pun masuk dan memanggil korban, namun tidak ada jawaban. Saat mengecek ke dalam kamar, ia melihat kondisi rumah yang sudah banyak kotoran ayam. Karena lampu tidak menyala, ia hanya bisa melihat lengan korban yang sudah membengkak, tetapi tidak bisa memastikan kondisinya secara keseluruhan karena korban memakai kelambu.
Merasa ada yang tidak beres, Pak Suja’i segera pulang dan memberitahukan kejadian tersebut kepada Pak Parman, yang merupakan keponakan korban. Tanpa menunggu lama, Parman langsung menuju rumah Mbah Dofir dan menemukan korban dalam keadaan sudah tidak bernyawa di dalam kamar.
Petugas dari TNI, Polri, dan Puskesmas Motolohu segera dikerahkan ke lokasi untuk mengevakuasi jasad korban. Pihak Polsek Randangan membenarkan kejadian ini, namun berdasarkan keputusan keluarga, tidak dilakukan autopsi terhadap jenazah.
Hingga saat ini, penyebab kematian Mbah Dofir belum diketahui secara pasti, namun kepolisian tetap melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kejadian ini.
Pohuwato – Dugaan sengketa kepemilikan tanah mencuat di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Seorang warga Desa Pohuwato Timur, Dumais Doda, mengklaim bahwa lahan warisan keluarganya seluas sekitar lima pantango atau kurang lebih satu hektare yang berada di Kecamatan Popayato, kini dikuasai oleh pihak lain tanpa seizin dirinya sebagai ahli waris sah.
Menurut keterangan Dumais, tanah tersebut merupakan peninggalan almarhum ayahnya, Kino Doda, yang diwariskan secara sah kepadanya sebagai ahli waris langsung. Ia menyebut telah mengantongi bukti kepemilikan sah dan menegaskan bahwa lahan tersebut bukan tanah tanpa pemilik.
“Tanah itu warisan orang tua saya. Bukti kepemilikannya lengkap dan masih saya simpan hingga sekarang,” ujar Dumais ketika ditemui media Barakati.id, Senin (tanggal dimasukkan sesuai publikasi).
Dumais menambahkan, saat ini lahan tersebut dikuasai oleh seorang bernama Meyer, yang berdasarkan informasi diterimanya merupakan suami dari salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pohuwato berinisial Y alias Yen.
Meski demikian, hingga saat ini belum ada putusan hukum yang menetapkan adanya pelanggaran terkait status penguasaan lahan dimaksud.
Upaya konfirmasi kepada anggota DPRD yang disebut dalam persoalan ini telah dilakukan oleh tim redaksi Barakati.id. Saat dihubungi melalui saluran telepon, yang bersangkutan menyampaikan bahwa dirinya masih berada di luar daerah dan belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut terkait tuduhan atau klaim kepemilikan tersebut.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, pihak Meyer yang disebut-sebut menguasai lahan tersebut belum memberikan tanggapan resmi atau klarifikasi mengenai dasar penguasaan lahan yang dipersoalkan.
Redaksi Barakati.id menegaskan komitmennya untuk terus menelusuri dan menghadirkan informasi yang berimbang dengan mengonfirmasi seluruh pihak terkait, guna menjaga prinsip jurnalistik yang akurat, adil, dan bertanggung jawab sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Gorontalo – Redaksi Barakati menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan dalam pemberitaan sebelumnya yang menyinggung sebuah truk pengangkut kayu gelondongan yang diduga milik salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Dalam berita tersebut, redaksi mencantumkan keterangan seolah-olah telah melakukan konfirmasi langsung kepada pihak manajemen perusahaan terkait. Namun setelah dilakukan peninjauan ulang, ditemukan adanya kekeliruan dalam penulisan dan penyajian informasi yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik.
Saya, Isran Doda, selaku wartawan Barakati, dengan ini menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak perusahaan serta semua pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut.
Sebagai bentuk tanggung jawab profesional dan komitmen terhadap Kode Etik Jurnalistik, Redaksi Barakati membuka ruang hak koreksi dan hak jawab bagi pihak perusahaan maupun pihak lain yang berkepentingan untuk memberikan klarifikasi, penjelasan, atau tanggapan resmi guna meluruskan informasi yang telah termuat sebelumnya.
Setiap klarifikasi yang diterima akan dipublikasikan secara berimbang, proporsional, dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Demikian rilis ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja sama semua pihak, kami ucapkan terima kasih.
Penulis Zulfikar Tahuru ( Politisi Muda Gorontalo)
Gorontalo – Seratus tahun lagi, ketika orang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Gorontalo pada 2025, mereka barangkali tidak akan membuka laporan tahunan pemerintah daerah atau risalah rapat yang tersimpan rapi di arsip negara.
Mereka justru akan membuka jejak digital, potongan video pendek, unggahan media sosial, dan rangkaian komentar yang pernah memenuhi media sosial. Dari sana, mereka akan menemukan satu pola penting. Gorontalo 2025 adalah potret kecil negara yang sedang belajar hidup di tengah derasnya arus viralitas.
Tahun itu, berbagai peristiwa terjadi. Sebagian berdampak pada kebijakan, sebagian lain bersifat personal. Namun hampir semuanya memperoleh perhatian publik bukan karena prosesnya, tapi karena tampilannya. Kamera ponsel kerap lebih menentukan arah percakapan publik dibandingkan mekanisme formal yang tersedia.
Salah satu contohnya adalah beredarnya video perjalanan dinas anggota dewan yang disertai narasi keras tentang penyalahgunaan anggaran. Frasa yang digunakan menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan emosi publik bergerak mendahului proses etik yang seharusnya ditempuh. Persepsi terbentuk oleh potongan visual, sementara penjelasan yang utuh datang belakangan.
Dalam konteks lain, sebuah ajang olahraga Gorontalo Half Marathon yang semestinya menjadi ruang kebersamaan, justru memunculkan perdebatan mengenai simbol dan representasi. Perhatian publik bergeser dari prestasi peserta ke persoalan nama yang tercantum pada medali. Olahraga, identitas, dan politik bertemu dalam ruang yang sama, dipercepat oleh media sosial.
Di Gorontalo Utara, sebuah video singkat menampilkan ekspresi seorang anggota legislatif yang kemudian dikenal sebagai “bibir viral”. Potongan visual itu beredar luas, memicu ejekan dan penilaian personal. Dalam hitungan jam, ekspresi wajah mengalahkan diskusi mengenai kinerja dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Di titik inilah publik sering lupa: demokrasi tidak pernah dirancang untuk bekerja secepat media sosial.
Fenomena tersebut menandai pergeseran cara publik menilai politik. Anggota DPRD Gorontalo Utara tidak lagi sepenuhnya dinilai melalui kerja legislasi atau keberpihakan anggaran, melainkan melalui momen visual yang kebetulan terekam dan berulang kali diputar.
Yang patut dicermati, sejumlah persoalan sosial dan kekerasan baru memperoleh perhatian serius setelah menjadi viral. Hal ini menunjukkan bahwa atensi publik dan sering kali respons institusi lebih cepat digerakkan oleh popularitas isu dibandingkan oleh mekanisme pelaporan yang sistematis. Keadilan, dalam kondisi tertentu, tampak bergerak mengikuti gelombang perhatian.
Jika seratus tahun lagi Gorontalo 2025 dipelajari, kemungkinan besar bukan daftar peristiwanya yang paling diingat, melainkan cara masyarakat bereaksi. Partisipasi warga meningkat, tetapi kedalaman dialog kerap tertinggal. Semua orang dapat bersuara, namun tidak selalu disertai kesediaan untuk mendengar dan memahami konteks.
Gorontalo tentu bukan satu-satunya daerah yang mengalami hal ini. Apa yang terjadi di sana merupakan miniatur tantangan demokrasi Indonesia di era digital. Media sosial memperluas ruang partisipasi, sekaligus menuntut kedewasaan baru dalam mengelola emosi, informasi, dan penilaian publik.
Seratus tahun ke depan, generasi berikutnya mungkin tidak lagi memperdebatkan siapa yang benar atau salah dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Namun mereka akan mencatat satu ciri zaman: pada 2025, demokrasi di banyak tempat dijalankan dalam bayang-bayang viralitas, di mana proses harus berjuang keras untuk tidak dikalahkan oleh potongan gambar. Pertanyaannya bukan seberapa cepat kita bereaksi, melainkan seberapa jauh kita mau berpikir sebelum ikut menyimpulkan.