Ruang Literasi
Gelaran Sajadah-Nya
Published
6 years agoon
Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Perwujudan di alam raya, yang dipentaskan oleh manusia, selalu diiringi oleh adanya pengetahuan dan kehendak. Dua aspek yang juga ada pada Tuhan. Kesamaan keduanya bukan menjadi sebab, derajat keduanya sama. Tetap Tuhan Maha Unggul. Hal ini dikarenakan segala sesuatu bersumber dari-Nya dan kembali pada-Nya. Kesamaan dua aspek itu disebabkan Dia sendiri telah meniupkan secuil apa yang dimiliki-Nya kepada manusia—dalam tasawuf disebut nafkhah ilâhiyah (tiupan Tuhan). Disisi lain pula, hal tersebut bukan menjadi justifikasi adanya “tasybih” (keserupaan) antara manusia dan Tuhan. Misalnya, pengetahuan Tuhan merupakan sesuatu yang tidak bermula, yang dalam akidah Islam disebut “al-‘Ilm al-Qadîm”, sedangkan pengetahuan manusia bermula (dari-Nya). Perbedaan keduanya terletak pula pada aspek “muktasab” (penalaran), yang ini sangat melekat pada manusia dalam proses pencarian dan pengisian akalnya. Dan apa yang didapatkan manusia hanyalah secuil ilmu-Nya saja.
Berbekal keduanya itu, Tuhan pun memberikan akal dan hati untuk menimbang keinginan kita sebelum menjadi perbuatan; berpikir sebelum bertindak. Keaktifan dan ketersinambungan akal-hati akan mengarahkan seseorang berbuat secara proporsional. Akal tanpa didampingi hati, maka pengetahuan akan melahirkan kebuasan. Begitu pula, hati yang aktif tanpa dibekali pengetahuan maka akan pincang dalam kehidupan sosial-muamalahnya. Keduanya saling menopang dalam kapasitasnya sebagai alat kontrol.
Bekal-bekal yang dititipkan-Nya itu, walau diiringi oleh kebebasan memilih di antara dua dorongan berupa kebaikan atau keburukan, tapi tetap Tuhan menghendaki adanya perbuatan manusia yang berbuah pada kemasalahatan bukan kemafsadatan. Tuhan tidak akan mengambil segala keburukan dan kejahatan di muka bumi, sebab itu sebagai sarana menguji manusia; apakah teguh pada wilayah kebaikan atau terbuai oleh dunia yang sementara. Lebih dari itu, kejahatan diperlukan guna kebaikan tampak sempurna. Kebaikan tidak akan tampak, kalau tidak ada keburukan.
Kehendak-Nya agar manusia tidak menjadi buas laksana binatang, maka Dia berharap manusia terus memberikan makan secara seimbang; akal dan hatinya. Sebab itu, salik selalu berlomba-lomba dalam memberikan asupan ruhaninya dengan terlebih dahulu membersihkan hatinya dari kungkungan duniawi. Pengisian akal dan pembersihan hati, agar manusia di muka bumi, benar-benar menjadi khalifah-Nya yang ‘sempurna’.
Menyetir ‘dawuh’ KH. Hasyim Muzadi, “doa adalah ikhtiar batiniyah; sedangkan ikhtiar adalah doa lahiriyah”. Doa di sini dalam pengertian adanya gerak aktif, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal; ke atas maupun ke sesama. Lebih jauh dari itu, menurut KH. Hasyim Muzadi, para pencari jalan kebenaran harus selalu tersambung dengan-Nya di setiap waktu dan tempat. Bahwa apa yang kita maknai selama ini, beribadah hanya di atas sajadah yang berukuran 0.91 m X 1.5 M adalah bentuk pengerdilan makna ibadah. Mengapa? Dia telah menggelar sajadah-Nya yang lebih luas dari ukuran itu, untuk menemukan keesaan-Nya.
Di atas sajadah-Nya yang luas itu, kala berkelana kesana-kemari, manusia harus memegang kompas kehidupan; ajaran agamanya. Dari sinilah lahir konsep “spirituality, scientific and nationality”. Ketiganya akan menjadi sistem pengaman tubuh (imun) yang terkuat bagi seorang Muslim dalam beragama dan bernegara.
Bermula dari ketidakseimbangan itu akan melahirkan kesalahpahaman dan penyalahgunaan agama di atas sajadah-Nya. Agama yang diciptakan-Nya semula untuk kebaikan seluruh umat manusia, tetapi karena konsep agama-negara tidak dipahami secara utuh, beralih menjadi bencana kemanusiaan. Sebagaimana yang akhir-akhir ini tampak jelas di kedua kelopak mata kita bersama. Sandiwara kaum yang disebut agamis tidak melahirkan praktik-praktik sosial yang selaras dengan citra agamanya. Sandiwara-sandiwara itu berpotensi melahirkan citra Islam yang tidak baik. Disinilah sendirian keras ulama klasik, “Islam terhalangi oleh penganutnya sendiri”.
Dia yang telah menggelar sajadah yang begitu luas, tidak digunakan untuk mengejawantahkan nilai-nilai secara baik, benar dan indah. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, apa yang kita anggap baik belum tentu benar dan indah di mata orang lain. Ketiganya dalam praktik harus saling disinergikan untuk mewujudkan agama sebagai gerakan nilai dan menjadi penerang di ruang yang gelap.
Kondisi manusia yang tidak stabil, bisa menjadi faktor penting diwajibkan-Nya puasa Ramadan. Manusia akan segera tersadarkan dari keasikan pada ruang keruh dan cinta yang tergerus oleh riuh. Dan menuju pada samudera makrifat dan spiritual yang tak terbatas. Kemudian dibawa ke ruang sosial untuk diujikan dan diimplementasikan secara nyata.
Syaikh Mutawalla al-Sya’rawi pernah bertutur, “jangan datang pada Allah hanya karena ingin Dia memberimu. Datanglah dan sembahlah Allah agar Dia meridhaimu. Sebab, jika Allah sudah ridha, Dia akan mengejutkanmu dengan pemberian-Nya yang besar.” Hal ini sering hilang dari diri seseorang, yang disebabkan lebih aktif bergumul pada hal-hal sementara dan menihilkan hal-hal abadi.
Ibaratnya, puasa itu menjadi tempat renovasi diri dan tempat hijrah secara hakiki. Hijrah dari kebiasaan buruk menuju kebiasaan baik. Hijrah bukan dalam pengertian politis yang selama ini diperankan oleh Muslim ‘bedil’. Keniscayaan sebuah perpindahan disebabkan adanya di setiap janji-Nya selalu bersyarat dan rahmat-Nya selalu meminta tanggung jawab. Dalam bahasa populernya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua yang diberikan-Nya kemudian kita gunakan, tidak luput dari catatan-Nya. Yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban.
Proses dari pembersihan sampai pengisian bahan bakar dalam tubuh, khususnya dalam puasa Ramadan, agar semuanya tertautkan pada-Nya. Mengapa? Kecerdasan akal yang selama ini menjadi fokus manusia tapi tidak diiringi oleh kebersihan hati akan melahirkan kebuasan di sana-sini. Satu orang pintar mengakali orang pintar lainnya; satu orang cerdas ‘menokohi’ (mengibuli) orang cerdas lain. Begitu seterusnya. Pintar dan cerdas harus ditopang oleh kebersihan hati agar melahirkan “khasyatullâh”; orang-orang yang takut kepada-Nya dalam keadaan apapun jua.
Dengan demikian, maka sedikit pemberian dari-Nya berupa ilmu yang secuil akan dipergunakan di atas sajadah-Nya dengan baik dan benar. Sebuah tanya-jawab dari mendiang KH. Hasyim Muzadi, sederhana tapi penuh makna. Ia bertanya pada peserta seminar, “yang merusak hutan itu, orang utan atau orang di luar hutan?”. Sontak peserta menjawab, “orang di luar hutan”. Ia melanjutkan lagi, “kalian tau kenapa? Itu semua mereka orang-orang pintar bahkan cerdas namun belum benar. Kebersihan hati tidak dimilikinya dan tidak diusahakannya”. Sedikit ilmu dari-Nya bukan dipergunakan untuk menentramkan dan membuat kesejahteraan di atas sajadah-Nya, tapi digunakan olehnya dan di atas kendali nafsu untuk kepentingan sesaat dan kelak akan menyisakan penyesalan yang sungguh mendalam.
Kita tidak boleh memandang remeh apa pun pemberian-Nya. Dia memang Maha Pengampun, tapi bukan berarti di atas gelaran sajadah-Nya ini kita menjadikannya landasan untuk tidak memupuk kebaikan. Dua perangkat berupa ilmu dan kehendak, seyogyanya dipergunakan untuk kemaslahatan hidup berskala luas. []
You may like
-
Tiga Bidang Program DWP Pohuwato Fokus Pada Pendidikan Melalui DWP Mengajar
-
DPRD Provinsi Gorontalo Siapkan Fit and Proper Test untuk 14 Peserta Lulus
-
Marisa Utara Ditetapkan sebagai Pilot Project Enam Bidang SPM Posyandu
-
Hanya Satu Tahap Lagi, Jalan Sawit Segera Selesai
-
Peresmian KORPRI Mart & Travel Kota Gorontalo Dipuji Prof. Zudan sebagai Teladan Nasional
-
Kolaborasi Lintas Instansi Untuk GPS Pohuwato Mulai Digenjot di Dengilo
Ruang Literasi
“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni
Published
1 day agoon
04/12/2025
Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.
Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.
Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.
Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.
Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.
Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.
Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.
Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.
Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.
Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.
Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Tiga Bidang Program DWP Pohuwato Fokus Pada Pendidikan Melalui DWP Mengajar
DPRD Provinsi Gorontalo Siapkan Fit and Proper Test untuk 14 Peserta Lulus
Marisa Utara Ditetapkan sebagai Pilot Project Enam Bidang SPM Posyandu
Hanya Satu Tahap Lagi, Jalan Sawit Segera Selesai
Peresmian KORPRI Mart & Travel Kota Gorontalo Dipuji Prof. Zudan sebagai Teladan Nasional
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Abai dan Bungkam: Refleksi Elit Gorut Atas Tragedi Julia
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo3 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Gorontalo1 week agoMenolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Hiburan3 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
