Connect with us

Ruang Literasi

Gelaran Sajadah-Nya

Published

on

Oleh : Muhammad Makmun Rasyid

Perwujudan di alam raya, yang dipentaskan oleh manusia, selalu diiringi oleh adanya pengetahuan dan kehendak. Dua aspek yang juga ada pada Tuhan. Kesamaan keduanya bukan menjadi sebab, derajat keduanya sama. Tetap Tuhan Maha Unggul. Hal ini dikarenakan segala sesuatu bersumber dari-Nya dan kembali pada-Nya. Kesamaan dua aspek itu disebabkan Dia sendiri telah meniupkan secuil apa yang dimiliki-Nya kepada manusia—dalam tasawuf disebut nafkhah ilâhiyah (tiupan Tuhan). Disisi lain pula, hal tersebut bukan menjadi justifikasi adanya “tasybih” (keserupaan) antara manusia dan Tuhan. Misalnya, pengetahuan Tuhan merupakan sesuatu yang tidak bermula, yang dalam akidah Islam disebut “al-‘Ilm al-Qadîm”, sedangkan pengetahuan manusia bermula (dari-Nya). Perbedaan keduanya terletak pula pada aspek “muktasab” (penalaran), yang ini sangat melekat pada manusia dalam proses pencarian dan pengisian akalnya. Dan apa yang didapatkan manusia hanyalah secuil ilmu-Nya saja.

Berbekal keduanya itu, Tuhan pun memberikan akal dan hati untuk menimbang keinginan kita sebelum menjadi perbuatan; berpikir sebelum bertindak. Keaktifan dan ketersinambungan akal-hati akan mengarahkan seseorang berbuat secara proporsional. Akal tanpa didampingi hati, maka pengetahuan akan melahirkan kebuasan. Begitu pula, hati yang aktif tanpa dibekali pengetahuan maka akan pincang dalam kehidupan sosial-muamalahnya. Keduanya saling menopang dalam kapasitasnya sebagai alat kontrol.

Bekal-bekal yang dititipkan-Nya itu, walau diiringi oleh kebebasan memilih di antara dua dorongan berupa kebaikan atau keburukan, tapi tetap Tuhan menghendaki adanya perbuatan manusia yang berbuah pada kemasalahatan bukan kemafsadatan. Tuhan tidak akan mengambil segala keburukan dan kejahatan di muka bumi, sebab itu sebagai sarana menguji manusia; apakah teguh pada wilayah kebaikan atau terbuai oleh dunia yang sementara. Lebih dari itu, kejahatan diperlukan guna kebaikan tampak sempurna. Kebaikan tidak akan tampak, kalau tidak ada keburukan.

Kehendak-Nya agar manusia tidak menjadi buas laksana binatang, maka Dia berharap manusia terus memberikan makan secara seimbang; akal dan hatinya. Sebab itu, salik selalu berlomba-lomba dalam memberikan asupan ruhaninya dengan terlebih dahulu membersihkan hatinya dari kungkungan duniawi. Pengisian akal dan pembersihan hati, agar manusia di muka bumi, benar-benar menjadi khalifah-Nya yang ‘sempurna’.

Menyetir ‘dawuh’ KH. Hasyim Muzadi, “doa adalah ikhtiar batiniyah; sedangkan ikhtiar adalah doa lahiriyah”. Doa di sini dalam pengertian adanya gerak aktif, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal; ke atas maupun ke sesama. Lebih jauh dari itu, menurut KH. Hasyim Muzadi, para pencari jalan kebenaran harus selalu tersambung dengan-Nya di setiap waktu dan tempat. Bahwa apa yang kita maknai selama ini, beribadah hanya di atas sajadah yang berukuran 0.91 m X 1.5 M adalah bentuk pengerdilan makna ibadah. Mengapa? Dia telah menggelar sajadah-Nya yang lebih luas dari ukuran itu, untuk menemukan keesaan-Nya.

Di atas sajadah-Nya yang luas itu, kala berkelana kesana-kemari, manusia harus memegang kompas kehidupan; ajaran agamanya. Dari sinilah lahir konsep “spirituality, scientific and nationality”. Ketiganya akan menjadi sistem pengaman tubuh (imun) yang terkuat bagi seorang Muslim dalam beragama dan bernegara.

Bermula dari ketidakseimbangan itu akan melahirkan kesalahpahaman dan penyalahgunaan agama di atas sajadah-Nya. Agama yang diciptakan-Nya semula untuk kebaikan seluruh umat manusia, tetapi karena konsep agama-negara tidak dipahami secara utuh, beralih menjadi bencana kemanusiaan. Sebagaimana yang akhir-akhir ini tampak jelas di kedua kelopak mata kita bersama. Sandiwara kaum yang disebut agamis tidak melahirkan praktik-praktik sosial yang selaras dengan citra agamanya. Sandiwara-sandiwara itu berpotensi melahirkan citra Islam yang tidak baik. Disinilah sendirian keras ulama klasik, “Islam terhalangi oleh penganutnya sendiri”.

Dia yang telah menggelar sajadah yang begitu luas, tidak digunakan untuk mengejawantahkan nilai-nilai secara baik, benar dan indah. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, apa yang kita anggap baik belum tentu benar dan indah di mata orang lain. Ketiganya dalam praktik harus saling disinergikan untuk mewujudkan agama sebagai gerakan nilai dan menjadi penerang di ruang yang gelap.

Kondisi manusia yang tidak stabil, bisa menjadi faktor penting diwajibkan-Nya puasa Ramadan. Manusia akan segera tersadarkan dari keasikan pada ruang keruh dan cinta yang tergerus oleh riuh. Dan menuju pada samudera makrifat dan spiritual yang tak terbatas. Kemudian dibawa ke ruang sosial untuk diujikan dan diimplementasikan secara nyata.

Syaikh Mutawalla al-Sya’rawi pernah bertutur, “jangan datang pada Allah hanya karena ingin Dia memberimu. Datanglah dan sembahlah Allah agar Dia meridhaimu. Sebab, jika Allah sudah ridha, Dia akan mengejutkanmu dengan pemberian-Nya yang besar.” Hal ini sering hilang dari diri seseorang, yang disebabkan lebih aktif bergumul pada hal-hal sementara dan menihilkan hal-hal abadi.

Ibaratnya, puasa itu menjadi tempat renovasi diri dan tempat hijrah secara hakiki. Hijrah dari kebiasaan buruk menuju kebiasaan baik. Hijrah bukan dalam pengertian politis yang selama ini diperankan oleh Muslim ‘bedil’. Keniscayaan sebuah perpindahan disebabkan adanya di setiap janji-Nya selalu bersyarat dan rahmat-Nya selalu meminta tanggung jawab. Dalam bahasa populernya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua yang diberikan-Nya kemudian kita gunakan, tidak luput dari catatan-Nya. Yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Proses dari pembersihan sampai pengisian bahan bakar dalam tubuh, khususnya dalam puasa Ramadan, agar semuanya tertautkan pada-Nya. Mengapa? Kecerdasan akal yang selama ini menjadi fokus manusia tapi tidak diiringi oleh kebersihan hati akan melahirkan kebuasan di sana-sini. Satu orang pintar mengakali orang pintar lainnya; satu orang cerdas ‘menokohi’ (mengibuli) orang cerdas lain. Begitu seterusnya. Pintar dan cerdas harus ditopang oleh kebersihan hati agar melahirkan “khasyatullâh”; orang-orang yang takut kepada-Nya dalam keadaan apapun jua.

Dengan demikian, maka sedikit pemberian dari-Nya berupa ilmu yang secuil akan dipergunakan di atas sajadah-Nya dengan baik dan benar. Sebuah tanya-jawab dari mendiang KH. Hasyim Muzadi, sederhana tapi penuh makna. Ia bertanya pada peserta seminar, “yang merusak hutan itu, orang utan atau orang di luar hutan?”. Sontak peserta menjawab, “orang di luar hutan”. Ia melanjutkan lagi, “kalian tau kenapa? Itu semua mereka orang-orang pintar bahkan cerdas namun belum benar. Kebersihan hati tidak dimilikinya dan tidak diusahakannya”. Sedikit ilmu dari-Nya bukan dipergunakan untuk menentramkan dan membuat kesejahteraan di atas sajadah-Nya, tapi digunakan olehnya dan di atas kendali nafsu untuk kepentingan sesaat dan kelak akan menyisakan penyesalan yang sungguh mendalam.

Kita tidak boleh memandang remeh apa pun pemberian-Nya. Dia memang Maha Pengampun, tapi bukan berarti di atas gelaran sajadah-Nya ini kita menjadikannya landasan untuk tidak memupuk kebaikan. Dua perangkat berupa ilmu dan kehendak, seyogyanya dipergunakan untuk kemaslahatan hidup berskala luas. []

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Gorontalo

Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan

Published

on

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo

Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.

Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.

Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.

Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.

Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.

Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.

Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.

Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan

Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.

Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.

Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.

Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.

Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.

Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.

Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.

Refleksi Sejarah untuk Masa Depan

Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.

Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.

Continue Reading

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler