Connect with us

Ruang Literasi

Mencari-Nya di Tengah Kesunyian

Published

on

Oleh : Moh. Makmun Rasyid – Penulis Buku-buku Islami

Hari-hari sejak wabah datang, lorong-lorong di belahan bumi pertiwi tampak sunyi. Masjid, Gereja, Kapel, Pura, Vihara dan Klenteng yang semula ramai, kini sunyi dari pergumulan manusia. Dalam benak manusia umumnya, rumah-Nya—dalam Bahasa Arab disebut baitullâh—menjadi tempat untuk menjumpai-Nya. Manusia saling bergegas menuju rumah-Nya, khususnya bulan Ramadan, agar bisa bermunajat dan bercengkrama dengan-Nya.

Manusia luput, menjumpai-Nya tidak hanya di rumah-Nya saja. Di rumah-Nya, seseorang datang tapi boleh jadi Dia tidak menemuimu; di rumah-Nya pula kalam Ilahi dikumandangkan, tapi boleh jadi engkau tak sadarkan diri, belum meminta izin pada-Nya. Suasana ini ingin memberitakan kepada kita semua, Tuhan ada dimana-mana.

Menggemuruhkan irisan bait wahyu dan agama bisa dimana saja. Di rumah-Nya, seseorang terfokus pada perbaikan personal, tak banyak yang berdampak pada relasi sosial.

Dalam beragama, kita defisit kesunyian. Suara lantang dan teriakan takbir diobral dengan meminggirkan makna sejatinya. Pekikan takbir ditujukan kepada sesama Muslim; Muslim lainnya pun menimpali dengan sami’allâhu li-man hamidah. Para peneriak itu menghilangkan kesakralan takbir, tahmid dan tahlil. Agama yang menghadirkan ketenangan berubah menjadi agama yang diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan. Ruh agama tersingkir, tampak tanpa kedalaman makna.

Kini kesunyian telah tiba. Tepatnya di bulan suci Ramadan. Di dalamnya penuh kenikmatan, keberkahan dan kebahagiaan. Ucapan “Marhaban Yâ Ramadân” bukan sekedar ucapan seperti “Ahlan wa Sahlan”. Terselip makna agung nan indah dalam “Marhaban Yâ Ramadân”; sebuah harapan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh agar sampai ke pendakian tertinggi, bertemu dengan-Nya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madârij al-Sâlikîn melukiskan agar sampai ke pendakian itu. Demi menuju ke sana, akan banyak gunung yang menjulang tinggi untuk ditelusuri dan dilalui, tahap demi tahap, salah satunya nafsu. Di tengah perjalanan itu, setiap salik akan melewati lereng-lereng yang amat curam dan belukar yang lebat. Sesekali pula kita akan berjumpa dengan perampok ganas—yang disesuaikan dengan kapasitas diri kita—dan mengancam dengan mata melotot; ada pula iblis yang lihai merayu agar perjalanan menunju-Nya dihentikan dan bersamanya ke dalam ruang penuh kenikmatan sesaat.

Semakin tinggi pendakian, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Hanya salik yang memiliki bekal iman yang membaja yang akan tangguh dalam pendirian. Ia terus melalui dengan bekal yang ada. Harapannya, ia akan sampai pada tempat-tempat indah dan nyaman untuk berteduh. Mereka akan disapa dalam lokasi dan dijamu di telaga-telaga yang jernih untuk melepaskan dahaga.

Melepas dahaga saat berbuka puasa begitu terasa nikmatnya. Satu di antara nikmat dalam Ramadan. Namun, Ramadan tidak saja memberikan kenikmatan itu saja. Di tengah kesunyian ini, kita bisa berjumpa dengan-Nya dalam konteks membangun hablun min al-Nâs; membangun persahabatan di alam raya dengan menjumpai manusia, yang Tuhan hadir dalam momen itu.

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan berfirman pada hari kiamat”. Wahai putra-putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku? Ibnu Adam bertanya: “Ya Tuhan, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?” Allah pun berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana”.

Wahai Ibnu Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan? Ibnu Adam pun bertanya lagi: “Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam? Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku?”

Wahai Ibnu Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku minum? Lalu Ibnu Adam bertanya: “Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian Alam? Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si fulan telah minta minum kepadamu, tetapi mengapa engkau tidak memberinya minum? Seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisi-Ku.”

Di tengah wabah seperti ini—merujuk hadis qudis di atas—sejatinya kita bisa menemui-Nya setiap saat. Di kiri-kanan kita, tetangga kita, kompleks perumahan kita, karib kerabat kita, banyak yang membutuhkan uluran tangan dan japaian. Sedekah yang kita berikan pada orang yang membutuhkan akan memadamkan dosa laksana air yang memadamkan api.

Perbuatan-perbuatan baik dalam Ramadan, yang dijanjikan berlipat-lipat pahalanya, disebabkan Tuhan langsung yang memberikan imbalannya. Puasa dalam bulan Ramadan begitu spesialis. Manusia bisa menjumpai-Nya dalam segala tindakan yang di dalamnya ada pengharapan ridha-Nya. Dengan begitu, kita tidak perlu meributkan kosongnya tempat ibadah, sebab itu hanya salah satu dari sekian jalan berjumpa dan bercengkrama dengan-Nya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler