Ruang Literasi
Puasa Kebesaran
Published
5 years agoon

Oleh : Moh. Makmun Rasyid
Konon manusia paling tidak tahu bagaimana merayu dan menyeru-Mu. Engkau datangkan Ramadan agar manusia berkhidmat pada hati. Hati yang penuh lumut, berkarang dan keras akan dikoyahkan oleh puasa. Di dalamnya ada peremajaan akal-pikiran, pelepasan tekanan hati, membebaskan jiwa raga dari rantai keakuan. Pangkal dari segala kehancuran, termasuk agama.
Agama—belakangan ini—mengeras, saling percaya meranggas dan saling membanggakan diri terjun bebas ke daratan. Sifat-sifat Tuhan yang dipakai berkisar kebesaran, ketinggian, keangkuhan, dan kesombongan. Misi agama-Mu yang semula cinta kasih dan kewarasan dalam beragama, sirna diterpa oleh badai keakuan dan hilangnya kontrol nafsu kebinatangan.
Misi agama yang universal, kini terasa sempit. Teks-teks ajaran telah diperkosa dan dipolitisir oleh mereka yang hilang kewarasannya. Ayat “dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” telah meredup di bumi pertiwi. Yang ada, agama menjadi kemasan dalam pemasaran, sebab-musabbab pertikaian dan perkelahian, di alam maya dan nyata.
Sebuah pandangan tidak popular yang direkam Abdul Halim Mahmud dalam kitab Al-Tafkîr Al-Falsafi fî Al-Islâm (1982) cukup menjadi bukti. Konon, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menggantikan khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menulis surat kepada Mughirah bin Syu’bah perihal doa. Ia bertanya, “apakah doa yang dibaca Nabi setiap habis salat?”
Mughirah menuliskan, “tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu.”
Munajat ini di sebagian pakar, digunakan Dinasti Umayyah untuk melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Sebab itu, tersebar munajat ini yang bermuatan politis. Sejak itu, lahir orang yang tidak setuju kemudian mengumandangkan “lâ qadar” (tidak ada takdir). Kedua-duanya salah. Munajat Nabi itu bukan teruntuk legitimasi kekuasaan dan bukan pula membuat manusia tidak menyakini adanya takdir. Penolakan akan menyalahi firman-Nya, “Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah sumbernya…” (Qs. Al-Hijr [15]: 21).
Jika Engkau menjadikan agama sebagai sumur moralitas, kini sumur itu mengering. Airnya ditimba oleh pemerkosa ajaran-Mu dan diperjual belikan dengan harga murah, demi kepuasan sesaat. Tak jamak, kita cepat menjumpai, dimana-mana ayat dan sifat-Mu kehilangan konteks dan kontekstualisasinya.
Dalam konteks bernegara, aku teringat ucapan Elnino M Husein Mohi. “Mengapa orang berebut kekuasaan, itu karena citra ketuhanan yang selalu ditiru manusia. Persoalannya, ketika yang ditiru hanya sifat-sifat kuasa Tuhan, kebesaran Tuhan, ketinggian Tuhan, keangkuhan Tuhan. Sembari mengabaikan sifat welas asih Tuhan, kesopanan Tuhan, penghargaan Tuhan terhadap makhluk lainnya. Maka kehancuran lah yang diderita umat manusia.” Demikianlah lebih kurang ucapan tokoh asal Gorontalo.
Disadari atau tidak, pengulangan kalimat penting dari surah Al-Fâtihah, “tunjukilah kami jalan yang lurus”, hingga terdaraskan minimal tujuh belas kali—sejumlah rakaat salat wajib dalam sehari semalam—tidak membekas sama sekali. Kesadaran bahwa istiqamah menjalankan ajaran-Mu dan meneladani sifat-Mu secara berimbang belum tumbuh. Sifat-Mu yang dipakai hanya untuk membanggakan kepemilikannya, yang itu Engkau titipkan pada setiap manusia. Kaidah beragama seperti ini, bertentangan dengan konsep “bilâ musammâ” atau “tidak tertipu pada jalan”. Di mana orang yang meniti jalan yang benar dan lurus harus keluar dari perangkap sikap yang mendewakan citra diri maupun medium yang mengitarinya secara berlebihan.
Tepatlah, Engkau menghadirkan puasa tiga puluh hari, sekali dalam setahun. Agar manusia bisa puasa kebesaran dan kebanggaan. Semuanya harus kembali ke akarnya; manusia yang taat kepada-Mu dan menyuburkan bumi dengan untaian-untaian indah nan elok. Caci maki dan sumpah serampah dalam alam raya sirna setelah ditempa selama sebulan penuh.
Keringnya sumur moralitas menjadi mustahil pembawa agama bisa menyuplai ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Slogan popular, “al-Mulk bi al-Dîn yabqâ wa al-Dîn bi al-Mulk yaqwâ” (kekuasaan dengan dibarengi agama akan kekal dan agama dibarengi dengan kekuasaan akan kuat) seakan tak berfungsi dengan sempurna.
Sebab mustahil dalam berkehidupan, berpolitik dan bernegara jika kehilangan landasan etik; semacam bahtera yang berlayar tanpa kompas. Fungsi ramadan tidak sekedar mengembalikan kesadaran diri secara personal, tapi kesadaran bernegara-berpolitik juga. Menyadarkan diri bahwa baju-baju kebesaran yang dipakai harus didapatkan dari hal-hal yang bersih.
Kebersihan (diri dan hati) akan melahirkan kebesaran, tapi kebesaran yang tidak bertanggung jawab, akan memukul balik ke si pemakai. Orang-orang yang sudah bersih, akan melahirkan putra-putri yang besar; tapi orang-orang yang sudah besar, belum tentu melahirkan putra-putri yang besar. Baju kebesaran kerap digunakan untuk memukul orang se-agama, se-negara dan sesama teman hidup.
Dengan begitu, jeda ramadan menjadi penyucian jiwa dan pemulihan rohani dari penyakit eksistensial, yang berawal dari ‘keterasingan akal’ dan ‘keterasingan hati’, kemudian merambat sampai pada ‘keterasingan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa’.
Penyucian jiwa dalam Ramadan ini agar manusia yang menelantarkan “spiritual space” yang ada dalam dirinya terpulihkan. Kesadaran eksistensi diri-Nya dalam kerja hidup kita dan menghadirkan-Nya dalam aktivitas apapun membuat-Nya memberikan kado ketersingkapan mata batin. Pemberian itu merupakan bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba yang taat dan patuh pada-Nya serta tidak menduakan-Nya dalam keadaan apapun dan di manapun.
Sekiranya semuanya mampu bersungguh-sungguh dalam berpuasa secara total, maka tak ada manusia yang menggunakan kebesaran—dengan meminjam sifat Tuhan—secara membabi buta. Dirinya mengerti, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban dan diadili di pengadilan tertinggi (kelak hari). Dan setelah berpuasa, menjadi pribadi yang “muttaqîn”. Salah satu wujudnya adalah mengaplikasikan welas asih, sopan santun dan menghargai manusia lainnya.
You may like

Penulis : Rierind Koniyo
barakati.id – Kisruh biaya kuliah di Indonesia mencerminkan krisis yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia, meningkatkan kemampuan, dan mengembangkan kepribadian. Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, data dari Dataindonesia.id dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA dan SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari sekitar 10,2 juta siswa yang lulus pada tahun 2023, hanya 7,8 juta yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Kesenjangan ini disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya. Bagi sebagian mahasiswa yang beruntung, biaya kuliah dapat ditanggung oleh orang tua atau melalui beasiswa KIP. Namun, ada banyak mahasiswa yang harus berjuang sendiri, mengatasi berbagai kesulitan keuangan demi meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bekerja sambilan, mengikat perut agar hemat, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa kuliah.
Pemerintah sering kali dianggap gagal memahami urgensi mahalnya biaya kuliah. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi sebagai kunci peradaban yang maju. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membentuk masyarakat yang lebih cerdas, inovatif, dan kompetitif di tingkat global.
Banyak warga negara yang ingin maju, menggantungkan mimpi dan cita-citanya pada pendidikan tinggi. Mereka rela berkorban demi masa depan yang lebih baik, meskipun harus menjalani kehidupan yang keras dan penuh perjuangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan yang ada, memastikan bahwa bantuan pendidikan dan beasiswa mencapai sasaran yang tepat. Harus ada mekanisme yang adil dan transparan untuk mendukung mereka yang benar-benar membutuhkan, agar semua warga negara, terutama yang miskin, memiliki harapan untuk memperbaiki kualitas hidup melalui pendidikan.
Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Dengan memberikan akses yang lebih luas dan terjangkau, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, berpengetahuan, dan mampu bersaing di tingkat internasional. Pemerintah harus berkomitmen untuk tidak hanya meningkatkan jumlah penerima beasiswa tetapi juga memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi penghalang bagi mereka yang memiliki semangat dan kemampuan untuk belajar. Dengan demikian, harapan untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua lapisan masyarakat dapat terwujud.

Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi FIS UNG)
GORONTALO – Bahwa ada peristiwa yang terjadi akibat dari aktifitas berlebihan salah satu personal Trio Barbie adalah fakta bahwa perlu adanya aturan yang lebih tegas terkait pagelaran musik termasuk aktifitas didalamnya, dan tentu saja bagaimana memeriksa kembali sistem sosial masyarakat Gorontalo pada era kekinian. Bukan hanya itu saja, kejadian saat malam Tumbilotohe di Ipilo lalu menjadi sasaran kemarahan warga. Bahkan sudah ada upaya menariknya pada konteks politik lokal.
Pada konteks Trio Barbie, mesti kita dudukkan secara proporsional secara lebih jernih. Bahwa ada hal-hal yang tidak mengenakkan adalah fakta, tetapi harus diingat bahwa mereka bertiga adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga, dalam artian segala fasilitas dan juga jaminan warga harus sama dengan yang lain. Bahwa ada yang mengganggu kenyamanan, ada jalur hukum yang menjadi kanal penyelesaian.
Demikian pula terkait mereka yang telah dijadikan bahan candaan bahkan sudah mengarah pada kekurangan fisik dan sebagainya pada salah satu anggota Trio Barbie, saya kira hal tersebut telah melampaui, sebab menghina fisik dan perundungan pada sesama warga bukanlah sesuatu yang bijak. Karena, kekurangan fisik seseorang bukanlah keinginannya, tapi aturanNya.
Tentu saja, kita akan menunggu proses yang sedang berlangsung, yang terinformasi ada pelaporan ke pihak kepolisian, pihak kepolisian pun pasti profesional dalam melakukan proses hukum ini.
Bahwa masyakarat marah dan menyesalkan hal tersebut adalah wajar, karena tentu mereka menginginkan Gorontalo terus menjadi daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah.
Sebagai niat dan cita-cita, Serambi Madinah bukan saja dua suku kata saja, tapi juga doa, sekaligus pembatas. Mendoakan agar jazirah Gorontalo agar mendapat keberkahan, warganya beroleh syafaat Madinah dalam hal ini Baginda Nabi. Pembatas dimaksud adalah dengan jargon identitas ini bisa menjadi penghalang sekaligus batas pada hal-hal yang diluar prinsip-prinsip kebudayaan Gorontalo sebagai daerah Islam.
Tetapi, perlu diingat bahwa Serambi Madinah bukan sesuatu yang statis, namun ada aktifitas yang dinamis dan harus diperjuangkan. Dalam konteks perjuangan, tentu saja ada hal-hal yang harus diluruskan dan ditegakkan, bukan saja soal niat tapi hingga perilaku. Apakah perilaku bermasyarakat hingga tata kelola pemerintahan.
Sebagai daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah, tentu saja banyak yang perlu diperbaiki, semisal terkait bagaimana peran lembaga keagamaan yang ada di Gorontalo bisa berkontribusi secara aktif baik pada level struktural dan kultural.
Hal-hal yang terjadi pada peristiwa Trio Barbie bukan hal yang harus dihindari lembaga keagamaan, tetapi harus diseriusi bahkan perlu mendapatkan pendampingan sehijgga bisa diarahkan dan pembinaan, karena bagaimanapun hal tersebut menjadi hal yang “umum” terjadi di masyarakat kita.
Peristiwa Trio Barbie adalah hikmah bagi kita sekalian, bahwa jangan sampai “momentum” ini lewat begitu saja tanpa menjadi proses refleksi bersama. Memang ada yang dianggap negatif, dan bersama-sama melakukan perundungan, tetapi hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah. Perlu ada skema pendampingan secara komprehensif oleh lembaga-lembaga terkait. Momentum ini penting untuk menjadi refleksi bagi diri masing-masing sebagai warga untuk tidak melakukan bully, penghinaan dan bahkan perundungan. Perlu diingat bahwa dalam prinsip Serambi Madinah ada nilai-nilai kearifan seperti tolianga, tolopani, dulohupa dan hal-hal yang mengedepankan penguatan Ngala’a sebagai basis kemasyarakatan Gorontalo. Hal ini pula menjadi bahan refleksi bagi lembaga keagamaan hingga lembaga keluarga pada tingkat mikro karena ada pergeseran nilai di tingkat masyarakat agar buhuta lo Hulondalo bisa dipertahankan.

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Founder The Gorontalo Institute, Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Politik di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo).
GORONTALO – Pilkada 2024 menyisakan waktu sekitar 112 hari lagi atau 1000 jam. Tapi, jika dihitung secara lebih efektif, waktu “kerja” politisi termasuk Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah, praktis tinggal 112 hari.
Bukannya Pilkada nanti tanggal 27 November 2024? Yang berarti masih 210 hari lagi? Tapi kok hanya dihitung “110 an Hari” lagi? Kenapa 112 hari, karena tiap minggu tidak mungkin ada yang kerja bisa 24/7 atau 24 jam dalam 7 hari. Itu tidak mungkin.
Jelang Pilkada yang waktu kalender masih sekitar 210 hari, tetapi waktu efektif hanya 112 hari. Itu bisa didapatkan dengan menghitung sederhana ; seminggu itu hanya bisa sekitar 4 hari efektif. 3 hari untuk keluarga dan diri sendiri. Artinya dari April sampai November ada sekitar 28 minggu. Jika seminggu hanya bisa 4 hari efektif maka tersisa hanya 112 hari
Sisa waktu hari pun tidak mungkin 24 jam sehari dihabiskan untuk kerja politik. Pasti ada agenda pribadi, misalnya tidur, makan, mandi, main hp, termasuk rebahan. Belum ditambah “mager” alias malas gerak.
Dalam sehari, aktifitas untuk agenda pribadi, paling tidak memakan waktu 10 jam sehari. Berarti tinggal 14 jam yang efektif per hari.
Jika sisa waktu 112 hari dikalikan 14 jam efektif berarti ada sekitar 1568 jam efektif yang tersisa sebelum Pilkada 2024.
1568 jam itu sangat tipis, karena anda (jika misalnya baru kali ini ikut Pilkada) berarti harus mencari “sumber daya” untuk bergerak, harus membangun jaringan baru, membangun popularitas, memperkuat likeabilitas (ketersukaan, atau bagaimana anda bisa disukai) hingga keterpilihan anda.
Syarat-syarat diatas tidak bisa kualitatif atau sekedar dapat masukan dari tim sukses, ring satu, tangan kanan, dan circle anda ; “pokoknya, aman ti pak/ibu pa saya sana, warga itu bolo ba tunggu saya pe perintah”, atau “hi iyoma ju ti tati to kambungu loodungohe tanggulo li pak”, atau “he du’a li tatiye to tihi lo kambungu turusi ti pak botiye, bo atie dipo le dingingo tihi lingoliyo”, ada juga “ali tatiey boyito penu bo pulsa, modungohu tingoliyo”, dan yang unik “ma ilo tohilopa li tatiye ngo kambungu ti pak boti, iyo-iyomo pake pake jas, madelo ma polantikan”.
Ukuran-ukuran kualitatif seperti diatas, bagi pemula lumayan “beken sanang talinga”. Dan, ada “kaidah umum” ; harus “ba lucur” dengan “ba siram”. Kalo tidak, akan keluar jawaban ancaman pamungkas : “ti tatiye to kambungu boyito mahe nao mao lo calon uwewo, bo pilele mao latiya, pohulata kode”.
Nah, 1000 an jam itu, akan ada model dan gaya dari “penyintas” politik, yang biasa main “dua kaki, “lima kaki” hingga “kaki saribu”. Yang ilmu tersebut sudah diupdate selama beberapa kali Pilkada yang semakin canggih, apalagi pengalaman Pemilu barusan.
Tapi, Pilkada butuh angka pasti, sangat kuantiatif. Selain ilmu dasar dalam politik lokal harus disesuaikan : “jangan cuma bisa kali-kali, tambah-tambah, dengan kurang-kurang, tapi juga debo harus tau bagi-bagi”.
Walaupun kategorinya sudah “pragmatis”, tapi itu fakta kontestasi politik pada ranah lokal. Jika popularitas anda dibawah, apalagi ketersukaan rendah, gagasan anda “taap”, jaringan anda cuma hanya dalam satu marga “baku kanal” itupun cuma karena “dorang hitung” keluarga. Maka, “resources” untuk cost harus anda siapkan. Butuh energi maksimal dalam 1000 an jam dalam meningkatkan itu.
Waktu 1000 an jam itu sangat tipis. Dan saya yakin, tidak semua kandidat punya hitungan detail soal jumlah pemilih, nama, alamat, keyakinan pemilih tersebut sudah berapa persen memilih anda, berapa banyak keluarga atau teman yang bisa dia ajak, hingga bagaimana dia mentransfer gagasan anda pada lingkungannya.
Jangan sampai narasi yang didistribusi itu hanya sekedar “orang bae dia”. Narasi “orang bae” apalagi “kancang te rajal” pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktek “pragmatis” di masyarakat karena berasal dari konstruksi wacana “orang bae”, “kancang”.
Oleh karena itu, harus ada keseimbangan dalam agenda 1000 an jam. Tidak boleh tunggal, apalagi cuma modal “kuti-kuti” pada saat serangan fajar. Harus diingat, bukan cuma anda yang siap “bakuti-kuti”, yang lain juga. Karenanya, membangun narasi, personal branding harus hati-hati.
Membangun reputasi penting, tapi tidak sekedar anda membagikan “quote”, “kata-kata mutiara” yang entah anda copot dari mana, ditambah gambar anda sebagai pemanis, yang itu anda bagikan di whatsapp story, facebook, instagram story, dll, yang itu terus terang sangat membosankan.
Oleh karena itu, waktu 1000 an jam yang sangat pendek, membuat anda harus kurangi “mager”, dan hal-hal tidak produktif lainnya.
Selamat memasuki etape 1000 jam, rencanakan dengan baik, persiapkan mental, perbaiki hubungan yang telah rusak, perbanyak modal sosial, dan pada intinya sejauh dan sekeras apapun anda, Allah sebagai penentu, serahkan padaNya setiap urusan dalam setiap tarikan nafas dan gerak ikhtiar anda.

Fenomena Hujan Jelly di Desa Leyao, Gorontalo Utara: BMKG Berikan Tanggapan

Pangdam XIII/Merdeka Kunjungi Brigif 22/Ota Manasa, Tekankan Profesionalisme dan Kebersamaan Prajurit

Pemerintah Kabupaten Pohuwato Gelar Peringatan Nisfu Syakban 1446 Hijriah

Pangdam XIII/Merdeka Resmikan Program TNI AD Manunggal Air di Desa Siduwonge

Tim SAR Gabungan Evakuasi Korban Terjepit di Mobil Pertamina Akibat Tertabrak Pohon

Penyelenggara Pemilu Dikadali Caleg

BNN Gorontalo Tangkap Dua Karyawan Perusahaan Inti Global Laksana Terkait Kasus Narkoba

GERINDRA Beralih Ke Oposan Gusnar? Nasir Majid: Tergantung Perintah dari Atas

Jubir GERINDRA: Sikap Resmi Partai Belum Ada

Geger! Warga Randangan Ditemukan Meninggal di Rumahnya

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo2 weeks ago
Penyelenggara Pemilu Dikadali Caleg
-
Gorontalo1 month ago
GERINDRA Deklarasi sebagai Parpol Silaturahim
-
Gorontalo3 weeks ago
BNN Gorontalo Tangkap Dua Karyawan Perusahaan Inti Global Laksana Terkait Kasus Narkoba
-
Gorontalo1 month ago
Tim Sar Berhasil Temukan Korban Hilang di Danau Limboto
-
Kabupaten Gorontalo2 months ago
Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pilkada: Gerindra Kabupaten Gorontalo Menuju 50 Ribu Anggota
-
Gorontalo2 weeks ago
GERINDRA Beralih Ke Oposan Gusnar? Nasir Majid: Tergantung Perintah dari Atas
-
Gorontalo2 weeks ago
Jubir GERINDRA: Sikap Resmi Partai Belum Ada
-
Advertorial1 month ago
Pemerintah Pohuwato Terima Aksi Damai Warga Randangan: Dua Isu Utama Jadi Sorotan