Connect with us

Ruang Literasi

Mengetuk Pintu-Nya Tanpa Jeda

Published

on

Oleh : Muhammad Makmun Rasyid

Ramadan semakin dekat kepergiannya dan tangisan menggemuruh di segenap penjuru bumi pertiwi. Seyogyanya, tak perlu risau dan gundah, sebab Ramadan akan kembali di tahun-tahun berikutnya. Tangisan yang diperlukan bukan kepergian atau kedatangannya, tapi ketika Ramadan ini merupakan yang terakhir kita menggumulinya dan bermesraan penuh kehangatan bersamanya. Sesekali sambil mengingat, betapa malunya kita pada Tuhan. Tuhan merasa malu jikalau Dia tidak mengabulkan doa-doa hamba-Nya yang bermunajat di segala sisian Ramadan. Tapi hamba-Nya terus bermaksiat kepada Tuhan dan berbuat amoral kepada sesama manusia tanpa merasa malu.

Tuhan merasa tidak adil jika tidak mengabulkan munajat manusia. Tapi manusia banyak yang bermunajat tanpa keseriusan penuh kepasrahan dan sadar akan kelemahannya. Tangisan-tangisan yang didengungkan lewat toa hanyalah untaian serba politis. Gemuruh doa tidak lagi sakral dan tak menggetarkan jiwa bagi yang mendengarkannya. Umumnya, diperuntukkan untuk mencari simpati masyarakat dan menampakkan diri akan kepedulian terhadap orang-orang yang telah memilihnya sebelum menjabat.

Bangsa Indonesia yang dikenal amat religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai warisan para leluhur, belakangan laksana manusia yang tersungkur jatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Kejatuhannya pun sambil membawa setumpuk persoalan yang tak terbayangkan sebelumnya. Di luar kendali dan rasio manusia kebanyakan. Alih-alih berpikir bagaimana keluar dari sumur itu dan menahkodai kembali kapal layar ke samudera kesejahteraan. Memiliki kesempatan melihat diri di kegelapan sumur pun tak sempat.

Isak tangis pun tak terdengar di luar beton agar manusia terpanggil dan menolong. Jika ada yang lalu lalang, kebanyakan yang peduli adalah mereka yang berjalan tanpa sengaja dan tak mengenal siapa yang terjatuh sebenarnya. Kalaulah orang itu mengetahuinya, alih-alih dia menolong. Belum pasti dia menolong. Justru yang keluar dari lidah adalah ucapan-ucapan yang dibimbing oleh nafsu bukan hati nurani. Sesekali mengutarakan penyesalan kenapa melewati jalan ini. Tahukah ini penyakit apa? Sederhanya: menipisnya rasa kebersamaan.

Dalam guncangan ujian yang maha dahsyat ini, seharusnya melahirkan dan mencoba mencari diri dalam kegelapan untuk menemui lentera kesadaran. Kesadaran itu bisa datang mendadak—khususnya dalam pandemi seperti sekarang ini, yang memiliki tekanan cukup kuat. Tekanan ini seyogyanya menjadi kesempatan emas bagi yang selalu dekat dengan-Nya. Minimal sadar: betapa jauhnya kita meninggalkan-Nya dan segera kembali bertaubat. Taubat dalam pemaknaan, segala perbuatan dikembalikan ke jati dirinya yang netral. Wabil khusus, kumandang doa yang betul-betul lahir dari jiwa yang terdalam bukan sekedar formalitas demi meraih simpati masyarakat dan menginginkan datangnya sanjungan bertubi-tubi.

Kita sesekali perlu menengok kisah Nabi Ibrahim kala ditanya Tuhan. “fa aina tadzhabûn?” (hendak ke mana kalian pergi?). Ia segera menjawab, “innî dzâhibun ilâ rabbî sayahdîn” (sungguh hamba harus pergi menuju Tuhan. Dia akan memberi petunjuk padaku). Jawaban penuh kesadaran itu menunjukkan betapa pentingnya kumandang doa untuk pulang menuju-Nya. Kita akan kembali pada-Nya, tak mungkin datang tanpa bekal sama sekali. Walau bukan sebab bekal itu rahmat-Nya diberikan, tapi bekal itu sebagai bentuk ketaatan dan kepasrahan yang murni dari hamba. Betapa mustahilnya untuk ditukar. Kalimat tauhid-Nya saja jika ditimbang dengan catatan dosa seorang hamba yang tiap catatan itu dibentangkan sejauh mata memandang, maka kalimat tauhid-Nya masih lebih berat.

“Ada seseorang yang terpilih dari umatku pada hari kiamat dari kebanyakan orang ketika itu, lalu dibentangkan kartu catatan amalnya yang berjumlah 99 kartu. Setiap kartu jika dibentangkan sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, “apakah engkau mengingkari sedikit pun dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “tidak sama sekali wahai Tuhanku”. Allah bertanya lagi, “apakah yang mencatat hal ini berbuat zalim padamu?” Lalu ditanyakan pula, “Apakah engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?” Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, “tidak”.

Allah pun berfirman, “sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Sehingga kamu tidak termasuk orang zalim pada hari ini”. Lantas dikeluarkanlah satu kartu sakti yang bertuliskan syahadat “lâ ilâha ilallâh wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasûluh”. Lalu ia bertanya, “apa kartu ini yang bersama dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?”. Allah menjawab padanya, “sesungguhnya engkau tidaklah zalim”. Lantas diletakkanlah kartu-kartu dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ampuh “lâ ilâha illallâh” di daun timbangan lainnya. Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ampuh “lâ ilâha illallâh” tadi. Demikian riwayat sahih dituturkan secara populer.

Disini kesadaran kita seharusnya muncul. Kita semua ini sungguh lemah. Bangsa kita memerlukan kumandang doa yang murni bukan formalitas lahiriyah. Kumandang doa ini disebabkan problema yang kita pikul ini melampaui kekuatan yang kita miliki. Bahkan jika berkumpul sekalipun. Apalagi kalau kekuatannya terecer-ecer di tengah kondisi yang saling melemahkan. Kondisi ini menjadi bertolak belakang dari hakikat berpuasa yang kita jalani: mewujudkan kebersamaan yang hakiki, bergotong royong dan saling mendukung dalam hal kebaikan.

Ada yang bersuara di sebelah bilik rumah yang megah. Marilah kita kumpulkan satu persatu problema kita dan bangsa ini, kemudian kita hadapi dengan menuntaskannya satu persatu. Dalam proses pengumpulan, bukan lagi solusi yang ditemukannya, melainkan pikiran: sungguh mustahil kita melakukan “recovery” secara cepat dan memulihkan keadaan untuk stabil. Semuanya hanya bisa, jika adanya keterlibatan Tuhan dalam me-“recovery” keadaan yang serba ruwet ini. Campur tangan Tuhan (maunah-Nya) pastinya dinanti-nanti oleh penganut agama. Tapi kerap Tuhan memberikan setelah adanya usaha (ikhtiar) yang totalitas. Janji-janji Allah berupa keterlibatan-Nya dalam mengurusi segala aspek di alam semesta ini selalu bersyarat. Yang Dia iringi pula dengan rahmat-Nya yang selalu meminta tanggung jawab.

Ketika kesadaran kita bersama muncul, maka upaya mereorientasi diri menjadi kebutuhan hidup. Kemudian diikuti oleh perbaikan moral di segala sisi dan aspek; baik dalam beragama maupun bernegara. Moral—bagi yang beragama—merupakan fondasi sebuah tahta yang menyangga pilar-pilar negara. Ambruknya moral menjadi ambruknya pula pilar-pilar bangunan. Jika keduanya ambruk, mustahil sistem bisa tampil maksimal, alih-alih sistem yang diciptakan akan menolong. Mustahil!

Dalam bernegara, ambruknya moral telah pula menyebabkan terpelanting-pelantingnya pilar-pilar negara. Sebut saja hilangnya moral di aspek hukum, politik, ekonomi, pertahanan, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Sebagai pemantik kesadaran kita dalam soal politik. Moral dalam ruang politik hanya ada manakala ia berbanding lurus dengan kebutuhan rakyat. Jika itu terjadi, maka menurut Abah Hasyim Muzadi, tidak akan ada adagium “bukan dari rakyat oleh rakyat untuk pemimpin”. Lanjutnya, jika masalah terdapat pada aspek sistem politik, masih bisa didiskusikan secara bersama-sama. Tapi, ketika moral politik yang rusak, hendak ke siapa kita memperbaikinya?

Soal hukum pun demikian. Ketika seorang penegak hukum jiwanya tidak dialiri oleh moral, hukum yang dia miliki tidak lebih dari sekedar sebuah catatan dan informasi semata. Alih-alih hukum melahirkan keadilan, justru yang ada adalah kezaliman dan penindasan. Sampai-sampai pemeo, “kalau orang kecil kena perkara, dia tentu akan dikenakan pasal per-pasal tanpa mengelak dan menawar”, tapi “kalau orang besar kena perkara, dia akan bertanya, berapa harga pasal itu?”. Begitu seterusnya masalah jika moral tidak mengalir dalam diri setiap pemegang amanah.

Di penghujung Ramadan ini. Kita sudah seharusnya mengumandangkan doa, tidak saja ditujukan untuk sirnanya pandemi ini, tapi untuk negeri bumi pertiwi yang kita cintai bersama. Kumandang penuh kemurnian tanpa embel-embel apapun. Tak ada lagi doa penuh kepalsuan berkibar di penjuru bumi pertiwi. Kita mengetuk pintu-Nya dan berarap pintu itu dibuka oleh-Nya. Sembari mengabaikan, apakah kumandang doa ini didengar-Nya ataukah tidak. Tinggalkan pikiran itu yang menyebakan kejujuran dan keikhlasan kita akan berkurang. Sebelum bermunajat, akuilah bahwa kita telah bersalah pada-Nya dan kembali jujur ke zat Maha Tinggi. Maka tak mungkin Dia membiarkan kita dan menutup pintu-Nya secara terus menerus. Dia pasti akan malu jika Dia tidak membuka pintu-Nya. Semoga bangsa ini segera pulih dari segala-galanya.

Ruang Literasi

Kopi, Meditasi, dan Olahraga: Kombinasi Ampuh untuk Kesehatan Otak!

Published

on

Dr. Wendy Suzuki, profesor ilmu saraf dan psikologi di New York University, mengungkap hubungan erat antara olahraga dan kesehatan otak dalam wawancara terbarunya di kanal Youtube The Diary Of A CEO. Ia menjelaskan pentingnya menjaga brain health untuk mencapai kualitas hidup terbaik dan meningkatkan kemampuan kognitif.

Dalam pembukaannya, Dr. Wendy menegaskan, “Olahraga adalah alat paling kuat yang bisa kamu lakukan untuk melindungi otak dari penuaan dan penyakit neurodegeneratif.” Ia menyebutkan olahraga aerobik, seperti berjalan cepat dan sepak bola, sangat efektif meningkatkan fungsi hippocampus dan prefrontal cortex, yang berperan penting dalam memori dan konsentrasi.

Neuroplastisitas, konsep bahwa otak dapat berubah dan beradaptasi, menjadi bagian utama risetnya. “Otakmu bisa menjadi besar, gemuk, dan fluffy — artinya sehat dan penuh koneksi,” kata Dr. Wendy. Hal ini terbukti lewat studi pada pengemudi taksi London yang belajar ribuan rute kota dan akhirnya mengalami pertumbuhan signifikan pada bagian hippocampus mereka.

Dr. Wendy juga berbagi pengalamannya, “Ketika saya mulai berolahraga secara rutin, mood saya berubah drastis jadi lebih baik dan fungsi otak saya meningkat. Itu titik balik yang mengubah hidup saya.” Pengalaman pribadinya terinspirasi setelah menyaksikan penurunan kognitif ayahnya akibat Alzheimer.

Selain olahraga, ia menyarankan pola makan sehat ala Mediterania dan interaksi sosial yang aktif. “Saat kita memiliki sedikit teman atau kurang hubungan sosial, otak akan menyusut dan lebih rentan terhadap demensia,” ujarnya. Menjaga koneksi sosial tidak hanya membuat pasien lebih bahagia, tapi juga memperpanjang umur.

Video podcastnya juga mengupas teknik meningkatkan daya ingat seperti “Memory Palace”, dan menjelaskan cara kerja memori jangka panjang dan memori kerja di hippocampus dan prefrontal cortex. “Emosi memberi kekuatan pada memori lewat amygdala, jadi pengalaman yang emosional akan lebih mudah diingat,” tambah Dr. Wendy.

Mengenai demensia dan Alzheimer, ia menjelaskan, “Kita belum tahu penyebab pasti, namun berjalan kaki tiga kali seminggu bisa mengurangi risiko terkena demensia hingga 30%.” Jangan lupa dampak buruk kurang tidur, yang menghambat konsolidasi memori dan membersihkan racun otak, serta kecanduan media sosial yang berdampak negatif.

Tips hidup sehat lain yang ia berikan termasuk meditasi, kopi secukupnya, mandi air dingin, dan mengelola stres lewat mindfulness. Ia mengingatkan, “Setiap tetes keringat itu penting untuk membuat otakmu lebih sehat.”

Kesimpulannya, menjaga kesehatan otak bergantung pada gaya hidup aktif dan dukungan sosial yang kuat. Dr. Wendy mengajak semua orang untuk mulai berolahraga dan merawat otak demi kehidupan yang lebih produktif dan bahagia.

Continue Reading

Gorontalo

Bom Ikan di Perairan Desa Kalia: Alarm Keras untuk Selamatkan Laut Tojo Una-Una

Published

on

Penulis: Mohamad Rizki Kakilo S.Pi (Pemuda Tojo Una-Una)

Opini – Penangkapan dua pelaku bom ikan di perairan Desa Kalia, Kecamatan Talatako, pada 6 Agustus 2025 oleh Satpolairud Polres Tojo Una-Una bersama Dinas Perikanan menjadi sebuah momen penting dalam sejarah pengawasan laut di daerah ini. Aksi dramatis yang diwarnai pengejaran, tembakan peringatan, hingga penahanan saat mesin perahu pelaku rusak, bukan hanya menggambarkan keberanian aparat, tetapi juga menandai bahwa situasi laut Tojo Una-Una telah sampai pada titik kritis. Barang bukti berupa tiga botol bom ikan aktif dan peralatan selam yang diamankan menjadi bukti konkret bahwa praktik perusakan laut masih berlangsung.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penegakan hukum yang sifatnya represif saja cukup menghentikan fenomena ini? Atau justru kita membutuhkan strategi yang lebih holistik, yang mampu memutus siklus kerusakan dari akarnya?

Sejarah Panjang Bom Ikan: Luka Lama yang Belum Sembuh

Praktik destructive fishing di perairal laut Tojo Una-Una bukanlah fenomena baru. Catatan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Togean sejak 2019 menunjukkan adanya kasus berulang penggunaan bom ikan oleh warga lokal di wilayah konservasi. Bahkan, dalam sebuah patroli di tahun tersebut, petugas berhasil mengamankan pelaku beserta alat bukti bom ikan. Tak berhenti di situ, laporan dari National Geographic Indonesia pernah mengungkap praktik penangkapan ikan menggunakan kompresor di Reef Tangkubi, Desa Patoyan, yang juga berada di kawasan Togean. Fakta ini membuktikan bahwa Tojo Una-Una selama bertahun-tahun telah menjadi arena praktik penangkapan ikan ilegal dengan berbagai modus, dan setiap kali ada penindakan, pelaku baru seolah terus bermunculan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya soal lemahnya patroli, tetapi juga minimnya alternatif ekonomi bagi nelayan, rendahnya kesadaran ekologi, dan lemahnya sinergi antarinstansi.

Dari Represif Menuju Preventif: Jalan Menuju Laut yang Berkelanjutan

Penangkapan pada 6 Agustus 2025 yang lalu memang patut diapresiasi, tetapi momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kebijakan yang lebih menyentuh akar masalah. Beberapa langkah kunci yang bisa menjadi pijakan ke depan antara lain:

1. Penguatan patroli berbasis teknologi — Penggunaan drone, sensor laut, atau sistem pemantauan real-time yang dapat mendeteksi aktivitas mencurigakan sebelum kerusakan terjadi. Model ini telah diadopsi di beberapa negara kepulauan dan terbukti efektif .
2. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir — Mengubah pendekatan dari persuasif menjadi partisipatif, di mana nelayan menjadi bagian dari pengawasan dan pelestarian. Kesadaran bahwa bom ikan merusak terumbu karang dan memutus rantai ekosistem akan memperkuat komitmen lokal.
3. Penciptaan alternatif ekonomi — Ekowisata selam, snorkeling, budidaya laut berkelanjutan, atau pembentukan Marine Protected Area Center bisa menjadi sumber pendapatan yang ramah lingkungan.
4. Penegakan hukum berorientasi pemulihan — Restorative justice yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mengedukasi pelaku untuk menjadi agen perubahan di komunitasnya.

Dari Krisis ke Kesempatan

Kasus bom ikan di Desa Kalia adalah alarm keras sekaligus peluang emas. Alarm, karena menunjukkan bahwa ancaman terhadap ekosistem laut Tojo Una-Una masih nyata. Peluang, karena memberikan momen kebangkitan aparat dan publik untuk melakukan transformasi pengelolaan laut.

Sejarah panjang kerusakan laut di kawasan laut Tojo Un-Una mengajarkan bahwa solusi tidak bisa berhenti pada patroli dan penangkapan. Dibutuhkan kebijakan yang memadukan penegakan hukum, teknologi pengawasan, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Laut Tojo Una-Una bisa diselamatkan, tetapi hanya jika aparat dan masyarakat berjalan di jalur yang sama—bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra menjaga masa depan biru yang lestari.

Continue Reading

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler