Ruang Literasi
Mengetuk Pintu-Nya Tanpa Jeda
Published
6 years agoon
Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Ramadan semakin dekat kepergiannya dan tangisan menggemuruh di segenap penjuru bumi pertiwi. Seyogyanya, tak perlu risau dan gundah, sebab Ramadan akan kembali di tahun-tahun berikutnya. Tangisan yang diperlukan bukan kepergian atau kedatangannya, tapi ketika Ramadan ini merupakan yang terakhir kita menggumulinya dan bermesraan penuh kehangatan bersamanya. Sesekali sambil mengingat, betapa malunya kita pada Tuhan. Tuhan merasa malu jikalau Dia tidak mengabulkan doa-doa hamba-Nya yang bermunajat di segala sisian Ramadan. Tapi hamba-Nya terus bermaksiat kepada Tuhan dan berbuat amoral kepada sesama manusia tanpa merasa malu.
Tuhan merasa tidak adil jika tidak mengabulkan munajat manusia. Tapi manusia banyak yang bermunajat tanpa keseriusan penuh kepasrahan dan sadar akan kelemahannya. Tangisan-tangisan yang didengungkan lewat toa hanyalah untaian serba politis. Gemuruh doa tidak lagi sakral dan tak menggetarkan jiwa bagi yang mendengarkannya. Umumnya, diperuntukkan untuk mencari simpati masyarakat dan menampakkan diri akan kepedulian terhadap orang-orang yang telah memilihnya sebelum menjabat.
Bangsa Indonesia yang dikenal amat religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai warisan para leluhur, belakangan laksana manusia yang tersungkur jatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Kejatuhannya pun sambil membawa setumpuk persoalan yang tak terbayangkan sebelumnya. Di luar kendali dan rasio manusia kebanyakan. Alih-alih berpikir bagaimana keluar dari sumur itu dan menahkodai kembali kapal layar ke samudera kesejahteraan. Memiliki kesempatan melihat diri di kegelapan sumur pun tak sempat.
Isak tangis pun tak terdengar di luar beton agar manusia terpanggil dan menolong. Jika ada yang lalu lalang, kebanyakan yang peduli adalah mereka yang berjalan tanpa sengaja dan tak mengenal siapa yang terjatuh sebenarnya. Kalaulah orang itu mengetahuinya, alih-alih dia menolong. Belum pasti dia menolong. Justru yang keluar dari lidah adalah ucapan-ucapan yang dibimbing oleh nafsu bukan hati nurani. Sesekali mengutarakan penyesalan kenapa melewati jalan ini. Tahukah ini penyakit apa? Sederhanya: menipisnya rasa kebersamaan.
Dalam guncangan ujian yang maha dahsyat ini, seharusnya melahirkan dan mencoba mencari diri dalam kegelapan untuk menemui lentera kesadaran. Kesadaran itu bisa datang mendadak—khususnya dalam pandemi seperti sekarang ini, yang memiliki tekanan cukup kuat. Tekanan ini seyogyanya menjadi kesempatan emas bagi yang selalu dekat dengan-Nya. Minimal sadar: betapa jauhnya kita meninggalkan-Nya dan segera kembali bertaubat. Taubat dalam pemaknaan, segala perbuatan dikembalikan ke jati dirinya yang netral. Wabil khusus, kumandang doa yang betul-betul lahir dari jiwa yang terdalam bukan sekedar formalitas demi meraih simpati masyarakat dan menginginkan datangnya sanjungan bertubi-tubi.
Kita sesekali perlu menengok kisah Nabi Ibrahim kala ditanya Tuhan. “fa aina tadzhabûn?” (hendak ke mana kalian pergi?). Ia segera menjawab, “innî dzâhibun ilâ rabbî sayahdîn” (sungguh hamba harus pergi menuju Tuhan. Dia akan memberi petunjuk padaku). Jawaban penuh kesadaran itu menunjukkan betapa pentingnya kumandang doa untuk pulang menuju-Nya. Kita akan kembali pada-Nya, tak mungkin datang tanpa bekal sama sekali. Walau bukan sebab bekal itu rahmat-Nya diberikan, tapi bekal itu sebagai bentuk ketaatan dan kepasrahan yang murni dari hamba. Betapa mustahilnya untuk ditukar. Kalimat tauhid-Nya saja jika ditimbang dengan catatan dosa seorang hamba yang tiap catatan itu dibentangkan sejauh mata memandang, maka kalimat tauhid-Nya masih lebih berat.
“Ada seseorang yang terpilih dari umatku pada hari kiamat dari kebanyakan orang ketika itu, lalu dibentangkan kartu catatan amalnya yang berjumlah 99 kartu. Setiap kartu jika dibentangkan sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, “apakah engkau mengingkari sedikit pun dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “tidak sama sekali wahai Tuhanku”. Allah bertanya lagi, “apakah yang mencatat hal ini berbuat zalim padamu?” Lalu ditanyakan pula, “Apakah engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?” Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, “tidak”.
Allah pun berfirman, “sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Sehingga kamu tidak termasuk orang zalim pada hari ini”. Lantas dikeluarkanlah satu kartu sakti yang bertuliskan syahadat “lâ ilâha ilallâh wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasûluh”. Lalu ia bertanya, “apa kartu ini yang bersama dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?”. Allah menjawab padanya, “sesungguhnya engkau tidaklah zalim”. Lantas diletakkanlah kartu-kartu dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ampuh “lâ ilâha illallâh” di daun timbangan lainnya. Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ampuh “lâ ilâha illallâh” tadi. Demikian riwayat sahih dituturkan secara populer.
Disini kesadaran kita seharusnya muncul. Kita semua ini sungguh lemah. Bangsa kita memerlukan kumandang doa yang murni bukan formalitas lahiriyah. Kumandang doa ini disebabkan problema yang kita pikul ini melampaui kekuatan yang kita miliki. Bahkan jika berkumpul sekalipun. Apalagi kalau kekuatannya terecer-ecer di tengah kondisi yang saling melemahkan. Kondisi ini menjadi bertolak belakang dari hakikat berpuasa yang kita jalani: mewujudkan kebersamaan yang hakiki, bergotong royong dan saling mendukung dalam hal kebaikan.
Ada yang bersuara di sebelah bilik rumah yang megah. Marilah kita kumpulkan satu persatu problema kita dan bangsa ini, kemudian kita hadapi dengan menuntaskannya satu persatu. Dalam proses pengumpulan, bukan lagi solusi yang ditemukannya, melainkan pikiran: sungguh mustahil kita melakukan “recovery” secara cepat dan memulihkan keadaan untuk stabil. Semuanya hanya bisa, jika adanya keterlibatan Tuhan dalam me-“recovery” keadaan yang serba ruwet ini. Campur tangan Tuhan (maunah-Nya) pastinya dinanti-nanti oleh penganut agama. Tapi kerap Tuhan memberikan setelah adanya usaha (ikhtiar) yang totalitas. Janji-janji Allah berupa keterlibatan-Nya dalam mengurusi segala aspek di alam semesta ini selalu bersyarat. Yang Dia iringi pula dengan rahmat-Nya yang selalu meminta tanggung jawab.
Ketika kesadaran kita bersama muncul, maka upaya mereorientasi diri menjadi kebutuhan hidup. Kemudian diikuti oleh perbaikan moral di segala sisi dan aspek; baik dalam beragama maupun bernegara. Moral—bagi yang beragama—merupakan fondasi sebuah tahta yang menyangga pilar-pilar negara. Ambruknya moral menjadi ambruknya pula pilar-pilar bangunan. Jika keduanya ambruk, mustahil sistem bisa tampil maksimal, alih-alih sistem yang diciptakan akan menolong. Mustahil!
Dalam bernegara, ambruknya moral telah pula menyebabkan terpelanting-pelantingnya pilar-pilar negara. Sebut saja hilangnya moral di aspek hukum, politik, ekonomi, pertahanan, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Sebagai pemantik kesadaran kita dalam soal politik. Moral dalam ruang politik hanya ada manakala ia berbanding lurus dengan kebutuhan rakyat. Jika itu terjadi, maka menurut Abah Hasyim Muzadi, tidak akan ada adagium “bukan dari rakyat oleh rakyat untuk pemimpin”. Lanjutnya, jika masalah terdapat pada aspek sistem politik, masih bisa didiskusikan secara bersama-sama. Tapi, ketika moral politik yang rusak, hendak ke siapa kita memperbaikinya?
Soal hukum pun demikian. Ketika seorang penegak hukum jiwanya tidak dialiri oleh moral, hukum yang dia miliki tidak lebih dari sekedar sebuah catatan dan informasi semata. Alih-alih hukum melahirkan keadilan, justru yang ada adalah kezaliman dan penindasan. Sampai-sampai pemeo, “kalau orang kecil kena perkara, dia tentu akan dikenakan pasal per-pasal tanpa mengelak dan menawar”, tapi “kalau orang besar kena perkara, dia akan bertanya, berapa harga pasal itu?”. Begitu seterusnya masalah jika moral tidak mengalir dalam diri setiap pemegang amanah.
Di penghujung Ramadan ini. Kita sudah seharusnya mengumandangkan doa, tidak saja ditujukan untuk sirnanya pandemi ini, tapi untuk negeri bumi pertiwi yang kita cintai bersama. Kumandang penuh kemurnian tanpa embel-embel apapun. Tak ada lagi doa penuh kepalsuan berkibar di penjuru bumi pertiwi. Kita mengetuk pintu-Nya dan berarap pintu itu dibuka oleh-Nya. Sembari mengabaikan, apakah kumandang doa ini didengar-Nya ataukah tidak. Tinggalkan pikiran itu yang menyebakan kejujuran dan keikhlasan kita akan berkurang. Sebelum bermunajat, akuilah bahwa kita telah bersalah pada-Nya dan kembali jujur ke zat Maha Tinggi. Maka tak mungkin Dia membiarkan kita dan menutup pintu-Nya secara terus menerus. Dia pasti akan malu jika Dia tidak membuka pintu-Nya. Semoga bangsa ini segera pulih dari segala-galanya.
You may like
-
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
-
Rektor Eduart Wolok: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Tantangan Baru
-
Uji Kedisiplinan, Adhan Dambea Temukan Banyak ASN Tak di Tempat
-
UNG Buktikan Kualitas, Raih Predikat Unggul SIMKATMAWA 2025
-
Dari 9.767 Peserta, UNG Buktikan Kapasitas Sebagai Pusat UTBK UKPPPG Berskala Besar
-
Bukan Cuma Soal Event, Komisi IV Sorot Serius Kinerja Dispora Gorontalo Sepanjang 2025
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Gorontalo
Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat
Published
2 weeks agoon
12/11/2025
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.
Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.
Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?
Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.
Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.
Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Rektor Eduart Wolok: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Tantangan Baru
Uji Kedisiplinan, Adhan Dambea Temukan Banyak ASN Tak di Tempat
UNG Buktikan Kualitas, Raih Predikat Unggul SIMKATMAWA 2025
Dari 9.767 Peserta, UNG Buktikan Kapasitas Sebagai Pusat UTBK UKPPPG Berskala Besar
Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Langkah Strategis Nasional! Bupati Saipul Hadiri Rakor Revitalisasi Pendidikan
Fotografer Wajib Izin: Perlindungan Data Pribadi Jadi Sorotan Regulasi Fotografi
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo3 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Gorontalo1 month agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
-
Hiburan2 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
