Connect with us

Ruang Literasi

Penerapan PSBB dan Akibat Hukum diterapkannya PSBB

Published

on

Oleh : Ardy Wiranata Arsyad – Bidang Pencegahan Crisis Center Covid-19 UNG

Melihat Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian yang semakin meningkat di Provinsi Gorontalo.

Pihak Pemerintah Provinsi telah mengajukan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan hari ini sudah diterima oleh Pihak Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Bahwa dalam upaya pemutusan rantai penyebaran Virus Corona, PSBB menjadi salah satu solusi yang perlu dilaksanakan. Minimal mengurangi atau bahkan menghindarkan masyarakat dari penyebarannya.

Selain provinsi Gorontalo, beberapa Daerah di Indonesia sudah lebih dulu menerapkannya. Sebut saja, Jakarta, Makassar dan Surabaya serta daerah lainnya.

Namun yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, pertama; apakah dengan diberlakukannya PSBB bisa memberikan dampak yang sangat signifikan bagi pemutusan rantai penyebaran Virus?
Melihat beberapa daerah yang sudah menerapkan PSBB masih banyak juga yang melanggar bahkan tidak peduli dgn diberlakukannya.

Kedua; hal-hal apa saja yang dilarang dan tidak dilarang saat pemberlakuan PSBB ?

Ketiga; apakah ada sanksi pidana bagi warga masyarakat yang tidak mengindahkan pemberlakuan PSBB ?

Penerapan PSBB

Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).

Untuk dapat ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi
kriteria sebagai berikut, yakni : jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit
meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke
beberapa wilayah; dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di
wilayah atau negara lain.

Selain dari pada hal-hal tersebut, penetapan PSBB juga mempertimbangkan kesiapan daerah dalam hal-hal yang terkait dengan ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan.

Hal-hal yang diatur dalam penerapan PSBB

Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan perundang-undangan, termasuk secara konsisten mendorong dan mensosialisasikan
pola hidup bersih dan sehat kepada warga masyarakat.

Pemerintah pun wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi; peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Penerapan PSBB dikecualikan untuk aktifitas supermarket, minimarket, pasar, toko atau tempat penjualan obat-obatan dan peralatan medis kebutuhan pangan, barang kebutuhan pokok, barang penting, bahan bakar minyak, gas, dan energi. Pengecualian itu pun tetap memperhatikan protokol pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku.

Selain dari beberapa hal diatas, apakah ada sanksi Hukum bagi masyarakat yang melanggar penerapan PSBB.

Dasar hukum pemberlakuan PSBB itu merujuk pada Pasal 59 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

Untuk Sanksi Pidana hal ini memang sudah diatur dalam Pasal 93 UU no 6 tahun 2018 “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”

Namun perlu diperhatikan bahwa, penerapan sanksi pidana tidak serta merta dapat diterapkan. Misalnya, dasar penerapan PSBB ini hanya merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 tentang PSBB.
Maka keliru ketika Sanksi pidana diterapkan hanya didasari oleh Peraturan Menteri.
Penerapan Sanksi Pidana hanya bisa didasari dengan UU.

Sanksi Pidana yang tertuang dalam Pasal 93 UU No 6 tahun 2018 itu hanya mengatur secara umum. Karena penerapan PSBB itu hanya satu instrumen karantina kesehatan.

Dalam Permenkes diatur tentang keharusan daerah bekerjasama dengan aparat keamanan dalam hal ini polisi. Tetapi, apa yang menjadi kewenangan polisi juga tidak diatur dalam UU, kecuali diberlakukan karantina wilayah.

Saat ini Kapolri sudah keluarkan maklumat, tetapi maklumat itu sejatinya adalah sebuah pengumuman tentang sesuatu, bukan berisi norma hukum yang mengatur kewenangan, hak dan kewajiban, dan seterusnya

Oleh karena itu, harusnya pihak Pemerintah Pusat lebih cermat lagi mengatur dasar hukum bagi penanggulangan Covid-19 ini. Apalagi saat ini Peraturan Pengganti UU (PerPPu) No 1 tahun 2020 yang diterbitkan hanya fokus pada stabilitas ekonomi negara, tidak terfokus pada Penanganan Covid-19.

Terakhir, penerapan PSBB bagi wilayah Provinsi Gorontalo perlu diapresiasi juga perlu sama-sama bekerjasama untuk memutus rantai penyebaran Virus Corona ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler