Connect with us

Ruang Literasi

Puasa Kebesaran

Published

on

 

Oleh : Moh. Makmun Rasyid

Konon manusia paling tidak tahu bagaimana merayu dan menyeru-Mu. Engkau datangkan Ramadan agar manusia berkhidmat pada hati. Hati yang penuh lumut, berkarang dan keras akan dikoyahkan oleh puasa. Di dalamnya ada peremajaan akal-pikiran, pelepasan tekanan hati, membebaskan jiwa raga dari rantai keakuan. Pangkal dari segala kehancuran, termasuk agama.

Agama—belakangan ini—mengeras, saling percaya meranggas dan saling membanggakan diri terjun bebas ke daratan. Sifat-sifat Tuhan yang dipakai berkisar kebesaran, ketinggian, keangkuhan, dan kesombongan. Misi agama-Mu yang semula cinta kasih dan kewarasan dalam beragama, sirna diterpa oleh badai keakuan dan hilangnya kontrol nafsu kebinatangan.

Misi agama yang universal, kini terasa sempit. Teks-teks ajaran telah diperkosa dan dipolitisir oleh mereka yang hilang kewarasannya. Ayat “dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” telah meredup di bumi pertiwi. Yang ada, agama menjadi kemasan dalam pemasaran, sebab-musabbab pertikaian dan perkelahian, di alam maya dan nyata.

Sebuah pandangan tidak popular yang direkam Abdul Halim Mahmud dalam kitab Al-Tafkîr Al-Falsafi fî Al-Islâm (1982) cukup menjadi bukti. Konon, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menggantikan khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menulis surat kepada Mughirah bin Syu’bah perihal doa. Ia bertanya, “apakah doa yang dibaca Nabi setiap habis salat?”
Mughirah menuliskan, “tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu.”
Munajat ini di sebagian pakar, digunakan Dinasti Umayyah untuk melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Sebab itu, tersebar munajat ini yang bermuatan politis. Sejak itu, lahir orang yang tidak setuju kemudian mengumandangkan “lâ qadar” (tidak ada takdir). Kedua-duanya salah. Munajat Nabi itu bukan teruntuk legitimasi kekuasaan dan bukan pula membuat manusia tidak menyakini adanya takdir. Penolakan akan menyalahi firman-Nya, “Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah sumbernya…” (Qs. Al-Hijr [15]: 21).

Jika Engkau menjadikan agama sebagai sumur moralitas, kini sumur itu mengering. Airnya ditimba oleh pemerkosa ajaran-Mu dan diperjual belikan dengan harga murah, demi kepuasan sesaat. Tak jamak, kita cepat menjumpai, dimana-mana ayat dan sifat-Mu kehilangan konteks dan kontekstualisasinya.


Dalam konteks bernegara, aku teringat ucapan Elnino M Husein Mohi. “Mengapa orang berebut kekuasaan, itu karena citra ketuhanan yang selalu ditiru manusia. Persoalannya, ketika yang ditiru hanya sifat-sifat kuasa Tuhan, kebesaran Tuhan, ketinggian Tuhan, keangkuhan Tuhan. Sembari mengabaikan sifat welas asih Tuhan, kesopanan Tuhan, penghargaan Tuhan terhadap makhluk lainnya. Maka kehancuran lah yang diderita umat manusia.” Demikianlah lebih kurang ucapan tokoh asal Gorontalo.

Disadari atau tidak, pengulangan kalimat penting dari surah Al-Fâtihah, “tunjukilah kami jalan yang lurus”, hingga terdaraskan minimal tujuh belas kali—sejumlah rakaat salat wajib dalam sehari semalam—tidak membekas sama sekali. Kesadaran bahwa istiqamah menjalankan ajaran-Mu dan meneladani sifat-Mu secara berimbang belum tumbuh. Sifat-Mu yang dipakai hanya untuk membanggakan kepemilikannya, yang itu Engkau titipkan pada setiap manusia. Kaidah beragama seperti ini, bertentangan dengan konsep “bilâ musammâ” atau “tidak tertipu pada jalan”. Di mana orang yang meniti jalan yang benar dan lurus harus keluar dari perangkap sikap yang mendewakan citra diri maupun medium yang mengitarinya secara berlebihan.

Tepatlah, Engkau menghadirkan puasa tiga puluh hari, sekali dalam setahun. Agar manusia bisa puasa kebesaran dan kebanggaan. Semuanya harus kembali ke akarnya; manusia yang taat kepada-Mu dan menyuburkan bumi dengan untaian-untaian indah nan elok. Caci maki dan sumpah serampah dalam alam raya sirna setelah ditempa selama sebulan penuh.


Keringnya sumur moralitas menjadi mustahil pembawa agama bisa menyuplai ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Slogan popular, “al-Mulk bi al-Dîn yabqâ wa al-Dîn bi al-Mulk yaqwâ” (kekuasaan dengan dibarengi agama akan kekal dan agama dibarengi dengan kekuasaan akan kuat) seakan tak berfungsi dengan sempurna.

Sebab mustahil dalam berkehidupan, berpolitik dan bernegara jika kehilangan landasan etik; semacam bahtera yang berlayar tanpa kompas. Fungsi ramadan tidak sekedar mengembalikan kesadaran diri secara personal, tapi kesadaran bernegara-berpolitik juga. Menyadarkan diri bahwa baju-baju kebesaran yang dipakai harus didapatkan dari hal-hal yang bersih.

Kebersihan (diri dan hati) akan melahirkan kebesaran, tapi kebesaran yang tidak bertanggung jawab, akan memukul balik ke si pemakai. Orang-orang yang sudah bersih, akan melahirkan putra-putri yang besar; tapi orang-orang yang sudah besar, belum tentu melahirkan putra-putri yang besar. Baju kebesaran kerap digunakan untuk memukul orang se-agama, se-negara dan sesama teman hidup.
Dengan begitu, jeda ramadan menjadi penyucian jiwa dan pemulihan rohani dari penyakit eksistensial, yang berawal dari ‘keterasingan akal’ dan ‘keterasingan hati’, kemudian merambat sampai pada ‘keterasingan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa’.


Penyucian jiwa dalam Ramadan ini agar manusia yang menelantarkan “spiritual space” yang ada dalam dirinya terpulihkan. Kesadaran eksistensi diri-Nya dalam kerja hidup kita dan menghadirkan-Nya dalam aktivitas apapun membuat-Nya memberikan kado ketersingkapan mata batin. Pemberian itu merupakan bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba yang taat dan patuh pada-Nya serta tidak menduakan-Nya dalam keadaan apapun dan di manapun.

Sekiranya semuanya mampu bersungguh-sungguh dalam berpuasa secara total, maka tak ada manusia yang menggunakan kebesaran—dengan meminjam sifat Tuhan—secara membabi buta. Dirinya mengerti, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban dan diadili di pengadilan tertinggi (kelak hari). Dan setelah berpuasa, menjadi pribadi yang “muttaqîn”. Salah satu wujudnya adalah mengaplikasikan welas asih, sopan santun dan menghargai manusia lainnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Gorontalo

Ariyanto Yunus: Tuduhan Serius Harus Disertai Bukti, Jangan Rusak Institusi

Published

on

Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus || Foto Istimewa

News – Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus, angkat bicara menanggapi pemberitaan di salah satu media online yang menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Popayato Grup.

Dalam pernyataannya, Ariyanto menegaskan bahwa dalam logika hukum, pihak yang mengemukakan suatu tuduhan bertanggung jawab untuk menyertakan bukti yang kuat.

“Bagi saya, menduga adalah hal biasa. Tapi dalam berita itu, arahnya bukan lagi menduga, melainkan menuduh. Karena ini sudah masuk ranah tuduhan, maka harus bisa dibuktikan,” ujar Ariyanto kepada awak media, Rabu (18/06/2025).

Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan tanpa dasar seperti ini rentan menimbulkan fitnah, yang bukan hanya mencemarkan nama baik individu, tetapi juga merusak citra institusi kepolisian secara keseluruhan.

“Sekali lagi, yang dirugikan nantinya bukan hanya individu yang disebut, tapi satu institusi. Ini tuduhan serius yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” tegasnya.

Ariyanto pun meminta kepada pihak yang menyampaikan tuduhan, dalam hal ini Ketua KPMP, agar segera menyampaikan bukti konkret jika memang memiliki dasar atas pernyataan yang disampaikan ke publik.

Dirinya berharap seluruh pihak dapat bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi, agar tidak menciptakan kegaduhan atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Popayato yang selama ini dikenal hidup dalam suasana damai.

Continue Reading

News

Tak Punya Banyak, Tapi Narapidana Ini Memberi Segalanya Untuk Gaza

Published

on

NEWS – Seorang narapidana di California telah menyentuh hati ribuan orang di seluruh dunia setelah menyumbangkan seluruh pendapatannya yang sangat kecil untuk bantuan kemanusiaan di Gaza. Pria tersebut, yang dikenal dengan nama “Hamza”, bekerja sebagai petugas kebersihan di dalam penjara dan menerima upah hanya sekitar 13 sen AS per jam. Dalam kurun waktu 21 hari pada Oktober 2023, ia bekerja selama lebih dari 130 jam dan memperoleh total gaji sebesar 17,74 dolar AS. Tanpa ragu, seluruh uang itu ia donasikan untuk membantu warga sipil Palestina yang terdampak konflik.

Kisah Hamza menjadi sorotan setelah slip gaji dan surat pengajuan donasinya diunggah oleh pembuat film asal Los Angeles, Justin Mashouf, ke platform media sosial X (dulu dikenal sebagai Twitter). Postingan tersebut langsung viral dan memicu gelombang dukungan luas dari warganet. Banyak yang tersentuh oleh tindakan penuh empati dari seseorang yang hidup dalam keterbatasan tetapi tetap berupaya memberi manfaat bagi sesama.

Respon positif dari publik tak berhenti di situ. Banyak orang bertanya bagaimana mereka bisa memberikan bantuan langsung kepada Hamza sebagai bentuk apresiasi atas niat mulianya. Justin Mashouf pun meluncurkan penggalangan dana melalui GoFundMe untuk mendukung Hamza setelah pembebasannya yang direncanakan pada akhir Maret 2024. Dana tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, transportasi, hingga pelatihan kerja. Dalam waktu singkat, lebih dari 100 ribu dolar AS berhasil dikumpulkan.

Hamza sendiri merupakan mantan terpidana pembunuhan tingkat dua yang dihukum pada tahun 1986, saat usianya masih remaja. Selama hampir 40 tahun, ia menjalani masa hukuman di balik jeruji dan beberapa kali ditolak dalam sidang pembebasan bersyarat. Setelah masa panjang itu, ia akhirnya akan dibebaskan tahun ini. Dalam sebuah pernyataan, Hamza menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh donatur, tetapi ia juga mengajak masyarakat agar tidak hanya fokus membantunya, melainkan turut memprioritaskan bantuan kepada keluarga-keluarga di Gaza, Yaman, dan Afrika yang hidup tanpa akses air bersih, makanan, atau layanan kesehatan.

Kisah Hamza bukan hanya tentang kemurahan hati, tetapi juga tentang harapan, kemanusiaan, dan solidaritas global yang bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga. Ia bahkan berjanji untuk menyumbangkan gaji terakhirnya sebelum bebas dan menyalurkan sebagian dari donasi yang ia terima kepada bantuan kemanusiaan di Gaza. Di tengah dunia yang sering kali penuh dengan ketidakadilan dan keputusasaan, tindakan kecil Hamza menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa datang dari mana saja—bahkan dari balik tembok penjara.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler