Connect with us

Ruang Literasi

Rektor Kenangan vs Rektor Prestasi untuk 8 Tahun ke Depan

Published

on

Oleh : Dr. Hafidz Olii, S.pi., M.si. ( Dekan Perikanan dan Kelautan )

Seperti biasa, dibangunkan dri lelap tidur yang barusan, merenung sdikit, untuk memastikan sudah pada posisi on menuju meja makan bersahur. Bersahur dalam rangka puasa sudah menjadi suatu rutinitas tahunan. Bertahun tahun bahkan, namun untuk puasa tahun ini agak berberbeda karena diramaikan dengan pandemi virus yang mencengangkan.

Tahun ini puasa awal dengan rektor yang baru, yang selama 10 tahun lebih dengan Rektor yang lain. Dijalani dengan banyaknya prestasi yang diakhiri dengan proses pergantian yang rumit, sehingga yang lalu adalah kenangan untuk Rektor kenangan.

Semua cerita ini di kampus peradaban terbuka dalam dekor yang indah dan rapi, dan semua civitas akademik bahkan orang luar kampus pun yang liar sangat tahu dan paham apa kejadian yang terjadi dan menjadi sebuah kenangan untuk Rektor kenangan masa lalu.

Rektor itu akan menceritakan dan menghadirkan sebuah peradaban pemikiran dan kemudian meniscayakan relitas (membuktikan prestasi). Amanah rektor merupakan posisi terhormat di institusi akademik, yang penuh dengan syarat perdebatan dan kritik, karena kampus adalah ruang yang tepat untuk saling menguji pemikiran. Kritik dan penggugatan paradigma nyaris terjadi di ruang kampus, sebab disinilah hegemoni dan oligarki intelektual diabaikan.

Berpretasi disaat dan di ruang rumit

Pandemi virus memberikan gejala yang tidak biasa di ruang kelas. Tdak sekedar itu, ruang ruang yang lain juga kena imbas dan bahkan gejalanya menjadi jadi. Mencengankan semua warga bumi yang tidak hanya sebatas pada ruang bagi yang sakit kena dampak tapi untuk semua ruangan yang tdak dan jauh kena dampak.

Mengawali tahun kepempinan dengan terpampangnya rencana-rencana besar, agenda besar, kegiatan terhormat, workshop penting untuk menghadirkan episode berderajat tinggi mengangkat UNG ke tempat yang terhormat. Bahu membahu dengan semua perangkatnya yang baru dicharge, dunia diperhadapkan dengan arus angin wuhan yg masuk dan tanpa kecuali menuju UNG.

Pada posisi rektor yang baru, gelombang pandemi ini menggemparkan. Meski ini runut dari tingkatan tertinggi pendidikan di negeri ini, rektor kita segera menyikapi. Episode ini penting untuk menunjukan kepada semua warga tanpa kecuali.
Sebagai warga Universitas/kampus (Mahasiswa dan Dosen) senantiasa mensupport di tengah peristiwa yang tidak dikehendaki namun tetap menjawab UNG ke episode-episode keemasaan.

Pembelajaran daring, penanganan mahasiswa, praktikum, KKS, riset riset, pengabdian masyarakat, pengelolaan administrasi, keuangan, tata kelola yang direncanakn saat visi misi, penyesuaian kondisi dengan kondisi sekitar, internal dan eksternal Gorontalo, kebijakan pemerintah tentang PSBB, dan semua target yang direncanakn dan diharapkan diolah agar tidak salah penanganan. Bantuan semabako mahasiswa, bantuan paket data, mengorganize yang potensi terpapar, semua dilakukan. Kepempinan dan pimpinan yang berprestasi jawabannya.

Segala prestasi menjadi cerita yang menyenangkan dan dituliskan dalam sejarah, ingatan publik tertanam rapi tentang prestasi yang ditorehkan dengan harapan do’a kebaikan menyertai orang-orang yang telah memberikan ini untuk masa depan UNG dan kita.

Berbagai interaksi dan dinamika pemikiran yang melahirkan kemajuan dan pembaharuan di sela-sela sulit menjadi suatu catatan sendiri yang dikenang dari rektor yang berprestasi. Ini awal langkah menuju ke waktu waktu yang akan datang.

Keheningan jati dan kerja keras pikiran untuk mengangkat derajat universitas dari titik terendah hingga titik tertinggi, kini dengan segala prestasi kita sedikit berani bicara kepada dunia tanpa kecuali menjadi hal yang tdak bisa ditawar untuk UNG.

Adakah prestasi di tengah suasana yg tidak mendukung sperti ini? Pretasi terbaik dalam kampus adalah mampu melahirkan kemapanan kita semua yang penuh manfaat. Ataukah kita harus menunggu setelah sang pengganggu pergi sambil tertawa? Orang hebat dan berprestasi akan dituliskan dalam sejarah. Mari tenang, tetap bekerja, biarkan yang lain menghitung dan menganalisa kejadian pandemi namun kita tetap ada dalam suasan tdak bersama karena pandemi dan satu nafas untuk UNG berdaya dan unggul.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli

Published

on

Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.

Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.

“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.

Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.

“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.

Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.

Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.

Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.

Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum

Published

on

Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.

Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.

Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.

Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.

Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.

“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.

Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Continue Reading

Gorontalo

Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo

Published

on

Oleh : Zulfikar M Tahuru

Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.

Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.

Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.

Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:

  • 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
  • 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
  • 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
  • 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
  • 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
  • 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
  • 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
  • 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
  • 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.

Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.

Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.

Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?

Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.

DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.

Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler