Connect with us

Gorontalo Utara

SIAPA YANG BERPELUANG MEMENANGKAN PSU GORUT?

Published

on

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A
(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Jika tak ada aral melintang, Pemungutan Suara Ulang di Gorontalo Utara (PSU Gorut) akan dilaksanakan tanggal 19 April 2025. Di media sosial, semenjak persidangan di MK dimulai, perdebatan dan sengketa terbuka sangat riuh. Ada yang meramalkan tidak akan dismissal, ada yang sebaliknya. Hasilnya kasus Gorut pun lolos dismissal, hingga pada ujung Februari, Pilkada Gorut diputuskan untuk “diulang seluruhnya” sebagaimana tercantum pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan Senin 24 Februari 2025. Keputusan MK tersebut berdasarkan permohonan dari pasangan Thariq Modanggu dan Nurjana Yusuf.

Akar persoalan dalam putusan MK, Ridwan Yasin dianggap tidak bisa memenuhi syarat calon sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Ridwan harus diganti. PDI P sebagai partai pengusung pun mengusulkan nama Mohammad Siddik Nur sebagai pengganti Ridwan.

Pada 23 Maret 2025, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Gorut menetapkan tiga pasangan calon beserta nomor urutnya yakni Roni Imran – Ramdhan Mapaliey (nomor urut 1), Thoriq Modanggu-Nurjana Hasan Yusuf (nomor urut 2) dan Mohammad Siddik Nur – Muksin Badar (nomor urut 3).

Walaupun hasil Pilkada 2024 harus diulang, dalam artian perolehan suara tanggal 27 lalu “dianggap nol” oleh MK, tapi basis ketiganya telah terakumulasi secara kuat.

Gorut dengan panjang pantai 317,39 kilometer memiliki 11 kecamatan dan 123 Desa serta 340 TPS, faktor geografis sangat mempengaruhi perilaku pemilih, apalagi Gorut memiliki pembagian basis berdasarkan domisili dari pasangan calon.

Jika dihitung dari data KPU Gorut, total DPT sejumlah 92.601 pemilih dan hanya sekitar 77.477 pemilih yang memberikan hak suaranya pada Pilkada 2024 lalu. Dari rincian jumlah pemilih diatas, ada sekitar 499 pemilih disabilitas. Pemilih pada Pilkada Gorut 2024 sebesar 77.477 pemilih hanya naik 5.493 pemilih dibandingkan jumlah pemilih pada Pilkada Gorut 2018 sebesar 71.984 pemilih.

Dari jumlah DPT diatas, lalu jika dikurangi pemilih yang memberikan suaranya, berarti ada sekitar 15.124 warga yang tidak datang ke TPS saat Pilkada 2024 lalu.

Pada 27 November 2024 lalu, pasangan 01 meraih 41.842 suara, pasangan 02 meraih 29.283 suara dan pasangan 03 meraih 5.104 suara. Beda perolehan suara antara pasangan 01 dan 02 sebesar 12.559 suara.

Jika dibandingkan dengan kemenangan Thariq Modanggu bersama Indra Yasin pada Pilkada tahun 2018, keduanya meraih 31.446 suara, Roni Imran yang saat itu berpasangan dengan Ismail Patamani hanya meraih 23.196 suara dan Thomas Mopili yang berpasangan dengan Suhela meraih 17.322 suara. Saat itu, total suara sah sebesar 71.984 suara,

Dari data hasil suara Pilkada tahun 2018 dan tahun 2024 terlihat jelas bahwa ada perbedaan mencolok pada perolehan suara Roni Imran, yakni ada ketambahan sebesar 18.646 suara. Thoriq Modanggu yang saat Pilkada 2018 berpasangan dengan bupati incumbent, dan pada Pilkada 2024 juga terhitung sebagai incumbent, malah berkurang sejumlah 2163, padahal saat Pilkada 2024 Thoriq berpasangan dengan Nurjana, yang juga istri dari Thomas Mopili yang pada 2018 mengoleksi 17.322 suara.

Pertanyaannya, mengapa Roni bisa menambah suaranya hingga 18.646 suara dan Thariq yang didukung Thomas malah menurun perolehan suaranya sebesar 2.163 suara?

Harus diakui bahwa perolehan suara adalah potret dari perilaku pemilih, yakni respon psikologis dan emosional dari persepsi dan sikap pemilih terhadap kandidat, yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik dalam mendukung kandidat dengan cara memberikan suara di tempat pemungutan suara. Sementara persepsi dan sikap dikosntruksi oleh banyak media termasuk lingkungan sosial, yaitu; kebijakan publik, partai politik, birokrasi, dan organisasi masyarakat (Agus, Jurnal Politik Islam Politea, 2018).

Bagi publik, incumbent adalah kumpulan dari persepsi tentang kepala daerah yang berhasil menjadi inovator pembangunan, pemimpin bersahaja, tegas membuat keputusan, dan pemimpin karismatik.

Pada periode Thariq Modanggu sebagai incumbent, menurunnya jumlah perolehan suara pada tahun 2024 dibandingkan dengan pilkada 2018 adalah potret dari opini masyarakat terhadap kebijakan publik selama periode pemerintahan dari 2018 hingga 2023. Publik mempersepsikan bahwa pemerintahan Thariq Modanggu tidak linier dengan harapan Gorut untuk menjadi lebih baik, yang keinginan tersebut cenderung berlabuh pada tawaran Roni dengan tagline “Kase Bae Gorut”.

Publik menilai dari penglihatan dan pendengarannya, dalam artian bahwa publik menilai apa yang telah dikerjakan oleh Thariq Modanggu selama masa jabatan lima tahun. Pandangan, pendengaran dan penglihatan lalu dicerna melalui daya pikir yang menghasilkan pemberian makna. Makna tersebut diakumulasi menjadi suara pada tempat pemungutan suara (TPS).

Padahal, publik juga belum melihat bukti kinerja Roni sebagai eksekutif, walaupun Roni pernah menjadi Wakil Bupati. Tetapi, penambahan suara Roni dari 2018 ke 2024 sebesar 18.646 suara menjadi fakta bahwa pemilih cenderung masih menaruh harapan yang lebih pada janji perubahan yang ditawarkan Roni dibandingkan misalnya memilih “memperpanjang” periode Thariq.

Dalam konteks PSU Gorut besok (19 April 2025), apakah akan ada perubahan secara revolusioner dari strategi pasangan 01, 02 dan 03? Apakah pasangan 01 mampu mempertahankan perolehan suara mereka sebesar 41.842 suara, ataukah malah perolehan suara mereka akan bertambah, dan bahkan jangan-jangan perolehan suara mereka akan berkurang signifikan?

Bagaimana pula strategi dari pasangan 02 dalam menaikkan perolehan suara mereka agar bisa melampaui pasangan 01? Atau jangan-jangan, jumlah perolehan suara mereka hanya bisa bertahan seperti Pilkada 2024 lalu? Dan bagaimana pula upaya pasangan 03 untuk menyusun strategi yang “harus 5 kali lebih canggih” dibandingkan pada 2024 lalu?

Untuk menjawab hal tersebut bisa dimulai dari menghitung basis dari pasangan 01, pasangan 02 dan pasangan 03. Dimanakah basis pemilih mereka?

Pada Pilkada 2024, Pasangan 01 misalnya berhasil menang di 9 kecamatan, tapi selisih suara besar berada di 4 kecamatan ; Atinggola, Kwandang, Gentuma Raya, dan Tomilito. Sederhananya, basis pemilih 01 berada di 4 kecamatan tersebut.

Pasangan 02 hanya menang di dua kecamatan yakni di Tolinggula dan Biau, basis dari calon Bupati. Di Sumalata, Monano dan Sumalata Timur, walaupun kalah, tapi hanya beda sekitar 500 an dengan pasangan 01. Dari data tersebut bisa diartikan bahwa basis kuat mereka berada di Tolinggula dan Biau. Di tiga kecamatan seperti Sumalata, Monano dan Sumalata Timur, pengaruh di tiga kecamatan tersebut hanya bersifat menengah.

Pasangan 03 hanya bisa meraih suara “agak besar” diatas 1000 pemilih di Monano dan Atinggola. Bahkan di Atinggola berhasil meraih suara terbesar kedua, melampaui pasangan 02. Sisanya hanya meraih suara dibawah 500 suara di 9 kecamatan. Basis 03 di Atinggola ini dikarenakan Ridwan Yasin adalah putra Atinggola.

Nah, jika pasangan 02 ingin menang, maka pasangan ini harus bisa “mencuri” suara dari pasangan 01 dan 03. Masalahnya, dengan perubahan calon, apakah pasangan 03 bisa mempertahankan jumlah suaranya sebesar 5.104 suara?. Juga perlu dipertanyakan, apakah pasangan 02 bisa “mencuri” suara dari pasangan 01?

Jika kita hitung secara matematis, selisih 12.559 suara antara pasangan 01 dan 02 sangatlah besar, apalagi hanya tiga pasangan calon yang berkontestasi di Gorut. Hal ini berarti bahwa jika pasangan 02 ingin melampaui perolehan suara 01, maka pasangan 02 harus bisa “mencuri” minimal 5 ribu suara dari pasangan 01 dan minimal 3 ribu suara dari pasangan 03, sehingga bisa diasumsikan perolehan suara dari pasangan 02 menjadi sebesar 37.283 suara, pasangan 01 menjadi 36.842 suara dan pasangan 03 menjadi 2.104 suara.

Tetapi, hal tersebut hanya hitungan matematis diatas kertas, secara praktis dan realistis, harus dihitung pula dari basis mana suara tersebut akan ditambah? Tentu saja jika dari mengambil dari basis pasangan 01, maka asumsi tersebut diatas akan sulit diwujudkan. Mau tidak mau, pasangan 02 harus fokus menambah suara di Sumalata, Tolinggula, Biau, Monano dan Sumalata Timur.

Bagaimana pasangan 02 menambah suara, dalam artian “mencuri 5000 ribu suara dari pasangan 01 dan 3000 suara dari pasangan 03?

Jika berdasarkan opini dan persepsi yang cenderung tidak “selaras dengan keinginan incumbent untuk memimpin Gorut seperti perilaku pemilih pada Pilkada Gorut tahun 2024, maka tampaknya pasangan 02 membutuhkan energi ekstra revolusioner untuk membalikkan persepsi sejumlah 8000 orang dalam satu hari untuk menyakinkan pemilih 01 dan 03 agar bisa berpindah haluan ke pasangan 02.

Perubahan persepsi dalam semalam membutuhkan kerja ekstra, walaupun misalnya pasangan 02 pada beberapa terakhir ini mendapatkan “backup resources” untuk bisa mencuri suara dari 01 dan 03. Tapi ada juga variabel lain, yang jika dilihat dari beberapa berita media, Ridwan Yasin yang sebelumnya adalah pasangan 03 kini telah mengalihkan dukungannya ke pasangan 01. Maka perebutan suara 03 tampaknya akan sangat ketat.

Pertanyaan berikut, apakah pasangan 01 akan rela jika sekitar 5000 pemilihnya beralih ke pasangan 02? Ataukah malahan pasangan 01 berupaya keras “mencuri” suara pasangan 02 dan pasangan 03 sebagaimana berbagai rilis yang dilansir media jika pasangan 01 berupaya menambah persentase suara menjadi 60 – 70 % suara.

Jika kita lihat dari pergerakan dan perubahan strategi dari pasangan 02 yang menjalankan “kampanye dari rumah ke rumah” secara represif, dengan variable “resources” yang maksimal, maka upaya menambah jumlah suara dari pasangan 01 menjadi diatas 60 %, tampaknya akan sulit. Pasangan 01 akan lebih realistis jika cukup mempertahankan perolahan suaranya seperti pada Pilkada 2024 sebesar 41.842 suara. Kalaupun jika bisa menambah, cukup hanya menambah sekitar 2000 – 5000 suara.

Lalu, apakah ada celah dari pasangan 01 dan 02 “mencuri” dan menambah suara jika misalnya kekentalan ideologis pada masing-masing pasangan sudah tidak beralih? Pasangan 01 dan 02 mesti memetakan kembali secara spesifik siapa dan dimana 15.124 warga yang tidak datang ke TPS saat Pilkada 2024 lalu, termasuk memberikan edukasi yang baik pada 1248 orang yang kertas suaranya dihitung tidak sah pada Pilkada 2024 lalu. Pada sejumlah warga tersebut, edukasi dan penetrasi menjadi celah tambahan suara baik pada pasangan 01 dan 02.

Bagaimana pasangan 03, apakah memungkinkan untuk bisa menjadi pemenang pada PSU Gorut besok? Jika melihat dari semua variable pemenangan yang tersedia pada pasangan 03, walaupun misalnya memiliki energi extra revolusioner, pasangan 03 harus menambah minimal 32 ribu suara untuk menjadi pemenang PSU Gorut nanti. Dan hal tersebut bisa terjadi jika terjadi “tsunami politik” pada pasangan 01 dan 02 dalam semalam.

Tulisan ini adalah “snapshot” dari pergerakan pasangan calon dan pemetaan basis pemilih berdasarkan data perolehan suara yang dirilis oleh KPU Gorut baik data Pilkada 2018 dan Pilkada 2024. Kemenangan ditentukan oleh semakin banyaknya variabel dalam strategi pemenangan dalam semalam. Semakin sedikit variabel dalam strategu, maka peluang untuk menang akan semakin tipis.

Jumlah “resources” yang hanya menjadi salah satu variabel, tidak bisa dijadikan jaminan untuk mengubah persepsi pemilih dalam semalam jika penetrasinya hanya sekedar “strategi transaksional”, sebab pemilih di Gorut telah berada dalam dua kutub yang terbelah secara ideologis yakni pemilih yang menginginkan perubahan dan pemilih yang masih ingin mempertahankan incumbent. Kekentalan basis ideologis ini tampaknya memerlukan metode pendekatan lain yang berbeda untuk bisa mengubah persepsi dan juga mampu memobilisasi pemilih (yang tidak datang ke TPS pada Pilkada 2024) hingga datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya.
Pada konteks itu, pasangan 01 pasti lebih memilih akan menjaga basis pemilihnya agar suaranya tidak diambil alih, pasangan 02 pasti akan berusaha mati-matian untuk membuktikan dirinya memiliki agenda yang bisa menyejaterahkan warga Gorut, hingga bisa mengambil alih suara dari 01 dan 03. Dan pasangan 03 harus mencari metode yang “tujuh kali lipat daya dobraknya” untuk bisa meyakinkan pemilih bahwa mereka juga layak dipilih.
Kita akan menunggu dan menyaksikan kontestasi PSU Gorut. Dalam perspektif yang tidak mainstream ; rupanya Gorut adalah salah satu daerah “istimewa” demokrasi di Indonesia, sebab dalam proses rekrutmen elit, memerlukan energi dan ketabahan yang luar biasa dalam menegakkan demokrasi, untuk menyejaterahkan rakyatnya.

Gorontalo

Alarm Bahaya! PLTU Anggrek Diduga Buang Limbah Berbahaya ke Udara

Published

on

Aktivis Provinsi Gorontalo, Isjayanto H. Doda.

Gorontalo – Aktivis Provinsi Gorontalo, Isjayanto H. Doda, memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut) agar segera mengambil langkah tegas terkait masalah Electrostatic Precipitator (ESP) di PLTU Anggrek yang diduga tidak berfungsi secara optimal.

Menurut penjelasan Isjayanto, limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) hasil pembakaran batu bara di PLTU tersebut diketahui mengandung zat logam berat yang membahayakan kesehatan manusia jika terpapar dalam jangka panjang.

“Jika sistem ESP PLTU Anggrek saat ini tidak berjalan baik, maka polusi udara dari FABA bisa dengan mudah terhirup oleh masyarakat sekitar. Ini sangat berbahaya jika partikel tersebut masuk ke paru-paru,” tegas Isjayanto dalam pernyataannya.

Ia menyoroti adanya ancaman serius yang mengintai masyarakat apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan. Menghirup FABA, lanjutnya, dapat menimbulkan gangguan pernapasan serta dampak kesehatan jangka panjang bagi warga sekitar.

“Pemerintah daerah harus menunjukkan langkah konkret demi menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat,” tegasnya lagi.

Isjayanto juga meminta Pemda Gorut untuk tidak berlindung di balik keterbatasan kewenangan dan justru mengabaikan tugas utama dalam melindungi masyarakat.

“Kalau dari sisi kewenangan dianggap kurang memadai, maka temukanlah solusi lain. Jangan hanya pasrah dan menyerah! Keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama — Salus Populi Suprema Lex Esto,” bebernya.

Ia bahkan menilai, jika hingga kini belum ada tindakan nyata dari pemerintah daerah, patut diduga ada ketidakberpihakan terhadap keselamatan publik.

“Bupati, OPD, hingga Forkopimda harus segera turun langsung ke lapangan. Jangan menunggu jatuhnya korban. Ancaman polusi udara akibat FABA ini nyata dan dampaknya bisa semakin buruk jika dibiarkan terus-menerus,” tutup Isjayanto.

Continue Reading

Gorontalo Utara

Angka Fantastis! 1000 Triliun Uang Negara Hilang Setiap Tahun dari Transaksi Gelap Ekspor

Published

on

Menguak tabir ekspor Indonesia, terkuak praktik manipulasi transaksi melalui under dan over invoicing yang menyebabkan kerugian negara hingga ribuan triliun rupiah setiap tahun. Dalam podcast Forum Keadilan TV, ekonom sekaligus peneliti Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra, mengurai bagaimana modus gelap ini terjadi.

Menjelaskan di hadapan host Margi Syarif, Gede Sandra menegaskan dua bentuk utama praktik: “Jadi ini dalam istilah resminya itu namanya misinicing. Misinvoicing iya artinya invoice yang tidak tepatlah kira-kira gitu. Oke. Dan kejadiannya itu ada dua jenis misinicing ini. Yang pertama under invoicing. Oke. Artinya nilainya di bawah dari nilai sebenarnya gitu. Under kan. Dimurah-murahin. Dimurah-murahin. Oke. Yang kedua, over invoicing. Dimahal-mahalin kebalikannya. Oke.”​

Modus under invoicing biasanya dipakai untuk mengurangi beban pajak dan kewajiban lainnya dengan cara melaporkan nilai ekspor lebih kecil dibandingkan nilai sesungguhnya di negara tujuan. Sementara over invoicing lekat dengan upaya memindahkan dana secara ilegal keluar negeri lewat transaksi yang nilainya justru dilebihkan. Praktik ini bukan barang baru, telah berlangsung secara konsisten selama 10 tahun terakhir di pemerintahan Presiden Joko Widodo menurut hasil penelitian LSP dan pendataan Next Indonesia.​

Pendekatan manipulasi ini kerap menyasar komoditas primadona seperti batu bara, minyak sawit, minyak bumi, hingga logam mulia. Data Dirjen Pajak Kemenkeu terbaru mengungkap temuan 25 wajib pajak pada 2025 menggunakan under invoicing pada ekspor limbah sawit (POME), dengan total transaksi Rp 2,08 triliun. Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 140 miliar hanya dari satu komoditas tersebut.​

Lebih jauh, peneliti menyatakan, Dua data ini dibandingkan dan selisihnya inilah yang dianggap ini gelap yang kemudian memunculkan Jadilah angka 1000 triliun. Indikasi klasik under invoicing adalah ketika catatan ekspor Indonesia jauh lebih kecil daripada data impor negara tujuan—hal ini kerap muncul di audit lembaga internasional seperti Global Financial Integrity.​​

Kekurangan koordinasi antarinstansi seperti Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Ditjen Pajak menajamkan celah manipulasi, sehingga pengawasan masih lemah dan potensi kebocoran makin besar. Bimo Wijayanto, Dirjen Pajak, menegaskan, “Kami deteksi di tahun 2025 itu ada sekitar 25 wajib pajak pelaku ekspor yang menggunakan modus yang sama. Ini masih dugaan dari 25 pelaku tersebut setidaknya total transaksinya itu sekitar Rp 2,08 triliun. Jadi, potensi kerugian negara kami estimasi dari Rp 2,08 triliun dari sisi pajak itu sekitar Rp 140 miliar,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Utara.​

Forum Keadilan TV dan LSP menegaskan urgensi reformasi agar Indonesia tak terus dirugikan melalui praktik manipulasi faktur transaksi lintas negara. Jika tak segera diatasi, kerugian negara bakal semakin menganga, menunda pembenahan ekonomi rakyat.

Continue Reading

Gorontalo Utara

Pakar Siber: “Yang Ditangkap Bukan Bjorka Asli”

Published

on

Penangkapan hacker kontroversial Bjorka oleh Polda Metro Jaya pada Kamis (2/10/2025) terus menuai keraguan warganet. Meski polisi mengumumkan penangkapan WFT (22), akun Instagram yang diklaim milik Bjorka masih aktif membantah dan bahkan membocorkan data Badan Gizi Nasional. Reaksi warganet di X (Twitter) pun langsung membanjiri linimasa.

“Ketika Bjorka up story IG, lalu siapa yang ditangkap???” tanya akun @Opposisi6890, mendapatkan ratusan like dan repost. Tidak sedikit yang menganggap penangkapan ini sekadar pengalihan isu. “@baratieee_ menulis, ‘Soal hengker bjorka yang ketangkap itu, filling gw sih cuman buat pengalihan isu. Yakin gw bukan hengker bjorka asli itu.'” Sementara, @yusabdul menyoroti, “Bjorka yang sesungguhnya adalah orang dalam yang berani bayar ke pemilik server database instansi/perusahaan, termasuk Dukcapil. Gak mungkin bocah umur belasan tahun.”

Pakarnya, Teguh Aprianto, pendiri Ethical Hacker Indonesia, juga angkat suara, “Polisi dengan pedenya bilang kalau mereka nangkap Bjorka terus konpers seakan-akan yang ditangkap itu kasus yang wah banget. Padahal yang ditangkap itu cuma bocah yang selama ini ngaku-ngaku jadi Bjorka dan bocah yang suka repost thread orang lain.”

Penangkapan berawal dari laporan bank swasta tentang pembocoran data 4,9 juta akun nasabah yang diunggah akun X @bjorkanesiaa. “Peran dari tersangka, yang bersangkutan adalah pemilik akun media sosial X dengan nama Bjorka dan @bjorkanesiaa,” jelas AKBP Reonald Simanjuntak, Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Metro Jaya.

Menurut AKBP Fian Yunus, penyelidikan terhadap WFT telah berjalan enam bulan. “Pelaku ini bermain di dark web sejak 2020, mengeksplor berbagai forum gelap tempat jual beli data,” ungkapnya.

AKBP Herman Edco menambahkan, “Selain data bank, WFT juga diduga memperoleh data ilegal dari sektor kesehatan dan perusahaan swasta di Indonesia. Data-data itu dijual di media sosial dengan harga mencapai puluhan juta rupiah. Motif pelaku adalah pemerasan, meski belum sempat terjadi. Barang bukti berupa komputer dan ponsel yang digunakan sudah diamankan.”

WFT kini dijerat Pasal 46 jo Pasal 30 dan/atau Pasal 48 jo Pasal 32 dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU ITE, dengan ancaman hingga 12 tahun penjara.

Namun, pihak kepolisian sendiri belum memastikan apakah WFT adalah Bjorka asli yang kerap membocorkan data pemerintah sejak 2022. “Everybody can be anybody on the internet,” kata AKBP Fian Yunus.

Kasus ini mengingatkan pada penangkapan serupa sebelumnya yang juga menimbulkan keraguan publik. Sebuah sumber internasional, The Jakarta Post, menulis bahwa identitas Bjorka tetap sulit dipastikan dan bahwa “identitas pelaku yang sebenarnya belum terkonfirmasi karena siapapun bisa mengatasnamakan Bjorka di internet”. banyak yang menyoroti aktivitas Bjorka di dark web sejak 2020 dan ancaman pidana maksimal yang kini dihadapinya.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler