Connect with us

Ruang Literasi

Teluk Tomini; Potensi Kekayaan yang Memiskinkan

Published

on

Oleh : Muh. Amier Arham (Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo)

Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di Indonesia, dengan luas lebih dari 6.000.000 hektare (ha) yang melingkupi tiga provinsi, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Menurut data BPS, Teluk Tomini memiliki sekitar 90 pulau, yang sebagian berada di bawah wilayah Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah. Kawasan Teluk Tomini terletak pada garis khatulistiwa serta pada garis batas penyebaran flora dan fauna Asia, yang kemudian ditentukan secara berbeda-beda berdasarkan pada tipe flora dan fauna, atau yang dikenal dengan garis Wallace-Weber. Selain itu, kawasan Teluk Tomini termasuk kawasan coral triangle initiative atau segitiga terumbu karang dunia (Pamudji, 2016).

Sebagai wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa memiliki potensi sumber daya perikanan, keanekaragaman hayati biota laut dan darat, Tidak itu saja, Teluk Tomini memiliki keindahan dibuktikan dengan tersebarnya 1.031 hektare kawasan terumbu karang dan 785,10 hektare hutan mangrove. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Disamping itu terdapat ratusan spot penyelaman seluruhnya world class, dari mulai terumbu jenis apollo, pinnacle, menara, dan barracuda, ikan warna warni, lumba-lumba, sehingga kawasan ini potensi dikembangkan sebagai wisata laut terluas di dunia. Perairan Teluk Tomini memiliki kekhasan karena gelombangnya relative kecil, peluang dikembangkannya perikanan budi daya sangat potensial. Kondisi pantai yang landai, Kawasan pesisir Teluk Tomini memiliki potensi budidaya pantai (tambak), tersebar dihampir seluruh kabupaten baik yang ada di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, selamat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya (ikan bandeng dan udang).

Secara sosio-kutural Kawasan Teluk Tomini memiliki keragaman budaya dan adat istiadat, dimana masyarakat multikulural memiliki peluang untuk lebih cepat maju dibanding mayarakat homogen. Heterogenitas (multikultural) prinsipnya dapat melahirkan ekosistem kompetisi untuk saling bersaing mencapai kemajuan, sekaligus memperkaya khazanah kebangsaan. Heterogenitas merupakan sosial kapital, dalam hal ini ia dapat menjadi faktor penentu kemajuan pembangunan ekonomi, modal sosial sejak tahun 70-an sudah menjadi konsep topikal dalam pembangunan ekonomi karena disadari modal fisik (uang dan sumber daya alam) tidak cukup menjadi faktor tunggal pendorong kemajuan. Torsvik (2000) dalam artikelnya –social capital and economic development: a plea for the mechanisms—menyatakan bahwa perbedaan keberhasilan ekonomi antar daerah dapat dijelaskan dari bentuk perbedaan berbagai variabel sosial yang disebut modal sosial yang melahirkan kepercayaan, dimana kepercayaan mengurangi biaya transaksi (efisiensi) sangat diperlukan dalam membangun.

Namun demikian, kendati Teluk Tomini memiliki potensi ekonomi dan modal sosial yang cukup besar ternyata kontras dengan kehidupan masyarakatnya, ini ditunjukkan oleh angka kemiskinan yang lumayan tinggi. Dari tiga provinsi yang berada dalam lingkup Teluk Tomini, masing-masing daerah (kabupaten) angka kemiskinannya tinggi justru berada di kawasan ini. Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan di tahun 2019 angka kemiskinan mencapai 13,27 persen tertinggi dari 15 kabupaten/kota di Sulawesi Utara, Kabupaten Boalemo 18,87 persen diantara 6 kabupaten/kota di Gorontalo paling tinggi dan Kabupaten Tojo Una-Una angka kemiskinannya sebesar 17,16 persen atau berada pada posisi kedua angka kemiskinan tertinggi di Sulawesi Tengah, dan di tahun sebelumnya berada posisi paling puncak. Di tingkat provinsi angka kemiskinan tertinggi Provinsi Gorontalo dan posisi berikutnya Provinsi Sulawesi Tengah, dan kemiskinan perdesaan kedua provinsi tersebut masing-masing sebesar 23,45 persen dan 14,69. Kualitas sumber daya manusia yang diukur dari tingkat IPM menunjukkan daerah-daerah yang ada di Kawasan Teluk Tomini cukup memprihatinkan karena angka IPM terendah dialami oleh Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Sulawesi Utara), yakni 65,28, di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Kabupaten Tojo Una-Una (64,52).

Bila mengacu data-data di atas, pembangunan secara parsial (sendiri-sendiri) tidak dapat diandalkan, butuh desain untuk melakukan Big Push pembangunan secara integratif dengan sistem pembangunan berbasis kawasan. Big Push merupakan dorongan besar untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain yang memanfaatkan dampak jaringan kerjasama antar daerah melalui economics of scale and scope,serta keluar dari perangkap keseimbangan yang rendah. Tidak dipungkiri karakteristik daerah di Kawasan Teluk Tomini relatif sama, dan interaksi masyarakatnya cukup kuat maka itu kemudian menjadi alasan lain pentingnya pembangunan berbasis kawasan.

Jauh sebelumnya Kemeneterian Desa dan PDT telah menetapkan rencana aksi untuk mengentaskan kemiskinan di daerah tertinggal, yaitu; 1) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran pedesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2) Meningkatnya pembangunan di daerah tertinggal, 3) Meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan, dan 4) Meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan.

Urgensi KEK Lintas Kawasan (Provinsi)

Dengan melihat kondisi yang ada, maka dalam rangka mencapai rencana aksi tersebut intervensinya bersifat spasial (kawasan), semisal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) lintas provinsi. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata dan perdagangan sehingga dapat meningkatkan lapangan pekerjaan.

KEK memiliki satu atau beberapa zona yang dapat dikembangkan diantaranya, pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, industri kreatif, pendidikan, kesehatan, olah raga, jasa keuangan dan ekonomi lainnya. Mengacu dari beberapa zona tersebut setidaknya KEK Kawasan Teluk Tomini memilih zona potensi yang dimiliki oleh kawasan lintas provinsi. Selama ini KEK sifatnya hanya berada dalam ruang lingkup provinsi sendiri, KEK berbasis potensi kawasan fokusnya percepatan pembangunan industri perdesaan yang memiliki lingkage antar wilayah ada dalam Kawasan Teluk Tomini, sekaligus lingkage dengan industri nasional. Salah satu zona potensi kawasan adalah pariwisata, khususnya wisata desa pesisir dan kepulauan. Dalam UU Omnibus Law (Cipta Kerja), KEK turut diperkuat keberadannya, namun KEK dalam perspektif UU ini pada penguatan kinerja industri. Jika model pengembangan KEK seperti itu maka wilayah timur Indonesia masih sulit untuk melakukan akselarasi, sebab beberapa KEK yang ditetapkan pada masa lalu di Kawasan Timur Indonesia nyatanya tidak mengalami kemajuan berarti.

Penetapan KEK Kawasan Teluk Tomini diharapkan dapat menarik investasi, khususnya pengembangan pariwisata bahari, di Kawasan Teluk Tomini potensi wisata bahari ada di Pulau Togean, Pantai Biluhu Gorontalo, Pulau Cinta, Taman bawah laut Olele membutuhkan sentuhan investor untuk memacu industri pariwisata. Dengan penetapan KEK Teluk Tomini akan memberikan eksternalitas positif bagi daerah dan masyarakat, sebab untuk menunjang aktivitas ekonomi yang semakin berkembang, pemerintah daerah dan pusat akan didorong untuk memperbaiki infrastruktur daerah, terutama yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas infrastruktur antara lain adalah perbaikan dan pembangunan jaringan jalan di bagian selatan Gorontalo dan Sulawesi Utara, bagian timur dan utara Sulawesi Tengah, pengembangan bandara internasional dan pembangunan pelabuhan berstandar internasional. Semua pembangunan tersebut umumnya ditujukan untuk membantu pertumbuhan KEK, sekaligus masyarakat sekitar meraih manfaat positif dari perbaikan infrastruktur.

Jika pembangunan kawasan diwujudkan dalam bentuk KEK berbasis potensi kawasan fokusnya percepatan pembangunan industri perdesaan maka niscaya masalah mendasar pembangunan daerah (kemiskinan) dapat diatasi lebih cepat dibanding model pembangunan non kolaboratif (parsial) seperti selama ini. Kenapa fokus pada industri perdesaan?, sebab angka kemiskinan tertinggi ada di wilayah tersebut, disana dibutuhkan transformasi ekonomi untuk mengubah cara produksi dan pengolahan agar produk-produk yang dihasilkan di Kawasan Teluk Tomini memiliki nilai tambah. Untuk mendesain rencana itu, keterlibatan dan inisiatif perguruan tinggi menjadi startegis. Jika inisiatif itu lahir dari Pemda, potensi konflik dan tarik menarik kepentingan terbuka lebar karena mereka akan lebih cenderung saling mengklaim siapa pemilik Teluk Tomini paling luas, dan itu sudah dialami pada masa lalu. Dan UNG memiliki kekuatan untuk menginisiasi dan bertanggung jawab memajukan kawasan, karena ia berada dibibir perairan Teluk Tomini dibanding perguruan tinggi yang ada di Sulawesi Utara (Unsrat) dan Sulawesi Tengah Untad) berada di pesisir utara dan barat Sulawesi. Semoga!

Gorontalo

Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan

Published

on

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo

Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.

Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.

Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.

Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.

Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.

Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.

Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.

Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan

Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.

Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.

Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.

Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.

Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.

Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.

Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.

Refleksi Sejarah untuk Masa Depan

Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.

Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.

Continue Reading

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Gorontalo

Ariyanto Yunus: Tuduhan Serius Harus Disertai Bukti, Jangan Rusak Institusi

Published

on

Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus || Foto Istimewa

News – Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus, angkat bicara menanggapi pemberitaan di salah satu media online yang menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Popayato Grup.

Dalam pernyataannya, Ariyanto menegaskan bahwa dalam logika hukum, pihak yang mengemukakan suatu tuduhan bertanggung jawab untuk menyertakan bukti yang kuat.

“Bagi saya, menduga adalah hal biasa. Tapi dalam berita itu, arahnya bukan lagi menduga, melainkan menuduh. Karena ini sudah masuk ranah tuduhan, maka harus bisa dibuktikan,” ujar Ariyanto kepada awak media, Rabu (18/06/2025).

Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan tanpa dasar seperti ini rentan menimbulkan fitnah, yang bukan hanya mencemarkan nama baik individu, tetapi juga merusak citra institusi kepolisian secara keseluruhan.

“Sekali lagi, yang dirugikan nantinya bukan hanya individu yang disebut, tapi satu institusi. Ini tuduhan serius yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” tegasnya.

Ariyanto pun meminta kepada pihak yang menyampaikan tuduhan, dalam hal ini Ketua KPMP, agar segera menyampaikan bukti konkret jika memang memiliki dasar atas pernyataan yang disampaikan ke publik.

Dirinya berharap seluruh pihak dapat bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi, agar tidak menciptakan kegaduhan atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Popayato yang selama ini dikenal hidup dalam suasana damai.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler