Connect with us

Ruang Literasi

Filosofi Bunyi Polopalo Gorontalo

Published

on

Oleh Rahmawati Ohi, S.Pd., M.Sn

Dosen di Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo

Seni, drama, tari dan musik atau disingkat Sendratasik merupakan sebuah ruang yang menempatkan domain kata “Musik” sebagai pintu masuk pertama dalam memahami ruang lingkup transmisi knowledgenya. Sebagai pintu pertama tentu memerlukan pemahaman mengenai apa itu musik,konsep musik dan nilai guna musik. Mengadopsi prinsip Meriam (1964) maka pemahaman tersebut dapat terdiri dari 3 tahapan klasterisasi yaitu conceptualization about music, behaviour in relation to music dan music sound itself. Tahapan conceptualization about music yang disampaikan adalah musik sebagai konsep, teori atau kognitif; tahapan behaviour in relation to music lebih mendefenisikan musik sebagai perilaku: perilaku fisik, verbal, sosial, pembelajaran dan simbolis sedangkan tahapan music sound itself adalah musik sebagai dirinya sendiri seperti desah, bunyi, nada. Merujuk pada konsep Meriam maka musik dapat didefinisilan sebagai sebuah teks dalam ruang konteks. Teks yang terletak pada music sound itself, maka esensi dasar musik yaitu bunyi merupakan dimensi diferensial yang merupakan kunci yang diperlukan untuk membuka pintu tersebut. Dalam tataran kebudayaan, Hui (2011); Hanslick (1994) menyatakan bahwa kontruksi bunyi selalu di pengaruhi oleh perilaku, faktor budaya, makna musik selalu berkaitan dengan sistem filosofi masyarakat yang terkandung dalam conceptualization abour music dan behaviour in relation to music.

Membicarakan bunyi dalam konteks kebudayaan maka terdapat sebuah alat musik tradisional yang berdasal dari Gorontalo, bernama Polopalao yang menarik untuk ditelaah dari substansi kontruksi bunyi, menejemen rupa dan nilai-nilai filosofi yang terdapat di dalamnya. Relasi bunyi nadanya bukan pentatonis atau diatonis, karena hanya terdiri dari empat bunyi nada. Konsep empat bunyi nada Polopalo menjadikan instrumen musik tersebut menjadi sebuah produk lokal jenius yang seharusnya mendapatkan ruang perhatian untuk dikaji lebih mendalam oleh masyarakat pemilik kebudayaan bukan untuk sementara dilupakan karena adanya persepsi yang keliru dalam memahami Polopalo sebagai sebuah produk kuanta yang bernilai adiluhung. Dewasa ini, transmisi mengenai Polopalo mengalami degradasi kualitas karena banyak generasi muda yang tidak tahu, tidak mengenal mengenai instrumen tersebut, bahkan ada upaya melatensikan dengan memaksa jati dirinya dengan alasan pengembangan kontruksi bunyinya pada sistem nada diatonis padahal latensi dengan pengembangan sistem bunyi nada secara nyata memberikan dampak terhadap nilai-nilai filosofi, melanggar ruang etis-emic-etic. Untuk menjernihkan dan mengupayakan konservasi maka sebuah pendekatan etno organologi akustik menjadi salah satu solusi untuk mempertahankan keberadaan dan nilai guna Polopalo bukan hanya sebagai sumber belajar di ruang sendratasik tetapi juga bagi masyarakat Gorontalo dan juga sebagai warisan lokal jenius Indonesia.

Perspektif organologi akustik mendefinisikan bahwa Polopalo merupakan alat musik yang terbuat dari bambu talilo huidu mempunyai bentuk seperti mulut buaya dimana sumber bunyinya dihasilkan dari getaran badannya.Aspek sains dalam pemilihan bambu talilo huidu sebagai bahan dasar membuat instrumen dikarenakan kadar airnya yang rendah dan alasan filosofi bambu yang merupakan tanaman mudah tumbuh, cepat beradaptasi, komunal sedangkan sudut pandang akustik bahwa Polopalo terdiri dari empat macam bunyi yaitu Motoliyongo, Modulodu’o, Mobulongo dan Moelenggengo. Konsep empat bunyi utama Polopalo merupakan hasil mimetik. Motoliyongo merupakan bunyi yang berkaitan dengan tata cara masyarakat berbicara, sifat halus dan karakteristik. Moelenggengo merupakan bunyi yang sering dipersepsikan berkaitan dengan tata cara masyarakat berbicara cepat menyerupai suara burung bunyi. Mobulongo adalah bunyi yang berhubungan dengan setiap kata yang berhubungan dengan huruf vokal O sedangkan bunyi Modulodu’o sebagai bunyi yang identik, erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang kuat dan mampu menghadapi segala tantangan. Proses mimesis pada bunyi Polopalo ternyata juga menarik dimana Motoliyongo merupakan memetik dari bunyi yang melengking seperti suara burung pipit yang mempunyai makna sifat jiwa besar, ingin dikenal orang, pemberani dan cerdik lincah, ditinjau dari suasana menggambarkan perasaan gembira karena awal datangnya hari. Bunyi Moduloduo yang berdetak detak sepeti burung gagak memberikan tanda tidak aman. Bunyi moduloduao berarti ingin berkuasa dan siap menantang. Bunyi mobulongo merupakan polopalo yang menggaung berarti berjiwa tenang, sederhana dan menghindari tantangan diibaratkan seperti kokok bunyi ayam jantan yang menandakan masyarakat tenang sedangkan bunyi moelengengo merupakan bunyi polopalo yang berdencing ibarat suara burung kakaktua yang bermakna hidup penuh persahabatan.

Perspektif etno memberikan sebuah ruang luas untuk didiskusikan karena transmisi knowledge mengalami prosesi yang stagnan bahkan cenderung terlupakan. Dalam Perspektif etno, Polopalo menjadi sebuah sumber kajian yang menarik karena informasi yang terkandung didalamnya merupakan sebuah ukuran pada sudut pandang pendidikan, ekologi dan sosial ekonomi terjalin dengan rapi dan berkesinambungan. Takaran pendidikan bisa dimulai dari role model sistem persepsi masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam menginterpretasikan bunyi Polopalo yang didengar dengan konsep nyaring atau tidak nyaring, berhubungan dengan elemen frekuensi. Kemampuan interpretasi bunyi yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sebuah rupa bagaimana potret pendidikan jaman dahulu yang merelasikan konsep obyektif-subyektif sebagai sebuah habitus dan modal dalam menjalani arena kehidupan. Data dukung lain adalah modal pengetahuan dalam membuat Polopalo merupakan sebuah gambaran bagaimana sistem pendidikan bekerja dengan baik, karena dengan modal berupa pengetahuan yang baik akan mampu menghasilkan Polopalo yang berkualitas. Sudut pandang ekologi, Polopalo yang terbuat dari bambu mengalami berbagai perubahan fungsional dalam aktivitas masyarakat dari sebuah fungsi komunikasi ketika pada abad 18, dimana bunyi dicitrakan sebagai sebuah bahasa yang menjadi alarm berupa tanda informasi dan ikon berburu. Fungsi ini tidak bisa lepas dari ruang ide, konsep yang mempunyai nilai atau motif ekonomi. Hal ini menarik karena pada abad 18, demografi dan sistem mata pencaharian masyarakat adalah peladang, petani maka ketika ada gangguan oleh binatang buas, maka bunyi polopalo bermain menggunakan konsep oposisi biner. Pentingnya memahami kontruksi sistem filosofi bunyi Polopalo akan memberikan nilai-nilai karakter kepada generasi milenial mengenai ekosistem musik dalam proses pendidikan yang bernilai sosial ekonomi sehingga budaya yang lahir dari local wisdom akan terus dapat hidup berdampingan dengan budaya baru, budaya luar bukan memaksa yang menyebabkan degradasi kualitas oleh ketidakpahaman. Konsep tak kenal maka tak sayang menjadikan pemahaman bahwa kalau kita mau menyayangi budaya lokal maka kenali dahulu seluk beluk atau ruang lingkup budaya tersebut.

Referensi
Alperson, Philip. 1994. What a Music? An Introduction to The Phylosophy of Music. Unversity Park, PA: Pensylvania State Uniersity Press.

Bay, Suwardi. 2013. Musik Tradisonal Polopalo; Sebuah catatan tulisan tangan, Tidak Terbit
Hui, Hung. 2011. One Music? Two Music? How Many Music? Etnomusicology Vocal and Instrument with FMRI. Ohio State University. Desertation.

Meriam, Alan. P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston II. Northwestern University Press.

Ohi, Rahmawati. 2014. Peran Poloalo Dalam Aktivitas Masyarakat Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Thesis S2. Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Ohi, Rahmawai 2014, fungsi bahasa pada bunyi Polopalo. Jurnal Bahasa, sastra dan Budaya Vol, Nomor 2: November 2014 Jurusan Pendidikan dan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Negeri Gorontalo.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Rosda Karya: Bandung

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Gorontalo

Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan

Published

on

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo

Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.

Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.

Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.

Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.

Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.

Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.

Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.

Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan

Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.

Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.

Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.

Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.

Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.

Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.

Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.

Refleksi Sejarah untuk Masa Depan

Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.

Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.

Continue Reading

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler