Connect with us

News

Jadi Suster Gadungan, Pegawai PTT Dukcapil Gorut Tipu Warga yang Ingin Buat KTP

Published

on

Foto : Ilustrasi Suster Gadungan

GORUT-Seorang oknum Pegawai Honorer di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut) berinisial EL, diduga telah melakukan penipuan kepada warga melalui program pembuatan KTP Elektronik (E-KTP).

Hal ini diketahui berdasarkan pengakuan OM, warga Desa Molantadu, kecamatan Tomilito, Gorut. OM mengaku telah ditipu EL melalui pemeriksaan golongan darah untuk pembuatan E-KTP dan memungut biaya sebesar Rp. 20.000 per orang. EL saat itu mengaku sebagai suster dari tim kesehatan Dukcapil yang ditugasi untuk mengambil sampel darah ke desa-desa.

“Waktu itu bulan November 2019. Katanya pengecekan tersebut sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus E-KTP,” ujar OM kepada wartawan, Sabtu (9/2/2020).

Namun, saat akan mengurus berkas, hasil pemeriksaan golongan darah OM ditolak oleh dinas Dukcapil. Petugas justru menanyakan kepada OM bukti golongan darahnya ia dapatkan dari mana.

“Dan saya menjawab pada saat program Dukcapil turun ke desa-desa,” ujar OM.

Mendengar jawaban OM, pegawai Dukcapil mengarahkan agar dirinya mengecek kembali. Karena menurut Dukcapil saat itu mereka tidak melakukan pengecekkan darah melainkan penjemputan perekaman data.

Usai menerima penjelasan dari Dukcapil, OM bergegas mencari EL ke PMI Gorut dan Dinas Kesehatan hingga ke Puskesmas akan tetapi tidak menemukan. Cek para cek, EL adalah PTT yang ada di Dinas Dukcapil yang sudah tidak lagi aktif bekerja.

“Pengecekan tersebut dikenai tarif 20 ribu rupiah perorang. Kartu Keluarga saya ada 3 orang, jadi total bayarnya 60 ribu rupiah,” tambah OM.

Sementara itu saat dimintai keterangan, Sekretaris Dinas Dukcapil Gorut Saleh Djafar membenarkan kasus itu. Yang mana oknum PTT dengan inisial EL telah melakukan pengambilan sampel darah masyarakat tanpa sepengetahuan Dinas Dukcapil. Pihaknya mengetahui hal tersebut dari laporan masyarakat.

“Dan saya telah diperintahkan Kepala Dinas untuk melakukan BAP kepada yang bersangkutan dan melaporkan ke Sekretaris Daerah,” terang Saleh

Sekdis menjelaskan, EL mengetahui cara mengecek golongan darah atas petunjuk petugas kesehatan yang pernah turun bersama-sama dia. EL juga turun ke desa-desa atas inisiative sendiri.

Menurut Sekdis, untuk pengambilan sampel harus dilakukan oleh orang kesehatan yang memiliki kompetensi dan STR kesehatan. Sementara EL hanya bergelar S.Ap. Pengambilan sampel dari Dukcapil juga gratis, tidak dipungut biaya.

“Kami mengetahuinya setelah mendapatkan informasi dari laporan masyarakat desa Masuru, Ilomata, dan desa Bubode,” ungkap Saleh Djafar.

Setelah mendapatkan aduan masyarakat pihak Dukcapil aku Sekdis, langsung memblok pengambilan sampel darah.

“Dan menurut pengakuan EL dirinya didampingi petugas, padahal saat di konfirmasi Puskesmas tidak ada satupun petugas yang melayani di luar jam kerja,” kata Sekdis.

“Setelah masyarakat menuntut, kami mengarahkan mereka untuk menghubungi oknum tersebut. Terakhir ia masuk di bulan Januari sebanyak dua kali,” sambungnya.

News

SUSNO & USMAN : PENANGKAPAN RIBUAN DEMONSTRAN DINILAI MELANGGAR HUKUM

Published

on

Jakarta – Penangkapan massal ribuan peserta aksi demonstrasi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia beberapa waktu terakhir menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Mantan Kepala Bareskrim Polri, Susno Duadji, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa banyak dari penangkapan tersebut tidak berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Seperti dikutip dari sesi wawancara mereka di Kompas Tv, Menurut Susno Duadji, “Hukum acara kita kalau dia tidak tertangkap tangan harus diawali dari penyelidikan. Nah, setelah terkumpul minimal dua alat bukti baru dijadikan tersangka. Ya.” Namun, dalam praktiknya, banyak penangkapan secara paksa terjadi tanpa surat perintah atau penjelasan yang memadai, bahkan ada yang dilakukan secara mendadak dini hari. Hal ini menimbulkan keresahan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Usman Hamid menambahkan bahwa “Mengajak unjuk rasa, termasuk terhadap anak itu dibolehkan. Ingat waktu 2019 ada perdebatan ketika anak-anak SMA turun ke jalan. Pemerintah dan jajaran kepolisian melarang. Tiba-tiba muncul pernyataan pers dari kantor PBB yang menegur pemerintah Indonesia mengatakan bahwa anak-anak pun berhak untuk berunjuk rasa. Justru negara wajib melindungi mereka.” Tuduhan penghasutan terhadap aktivis yang mengorganisasi demonstrasi tidak selalu berdasar, terutama bila ajakan tersebut tidak mengandung unsur kekerasan.

Kedua tokoh ini juga menyoroti bahwa tindakan represif terhadap demonstran justru dapat memperburuk situasi dan mengurangi kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Mereka mengajak pemerintah dan kepolisian untuk membentuk “tim gabungan pencari fakta… tim gabungan investigasi independen. Ada unsur kepolisian, ada unsur masyarakatnya, ada unsur tokoh-tokoh yang punya integritas, punya keahlian… sehingga kita sama-sama bisa mengetahui apa sih sebenarnya yang sesungguhnya terjadi.”

Data dari Amnesty International mencatat bahwa selama gelombang aksi demonstrasi, lebih dari 3.000 orang ditangkap di berbagai daerah dengan jumlah terbanyak di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Namun, banyak penangkapan yang dianggap tidak sesuai prosedur, seperti tidak adanya surat perintah penangkapan, intimidasi saat penangkapan, serta kurangnya akses hukum bagi para tahanan.

Susno dan Usman juga menegaskan pentingnya menghormati hak konstitusional masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dengan damai, serta menuntut penyelesaian akar masalah sosial yang memicu demonstrasi, seperti ketidakadilan sosial dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, serta Kritik terhadap institusi kepolisian dan pemerintah juga disuarakan agar segera melakukan evaluasi dan perbaikan prosedur agar tindakan hukum berjalan adil dan tidak menimbulkan kerugian lebih lanjut bagi demokrasi dan keamanan negara.

Continue Reading

News

Hotman Paris Tantang Presiden Prabowo: Buktikan Nadiem Tak Terima Selembar Rupiah Pun!

Published

on

Jakarta – Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea secara tegas membantah tuduhan bahwa kliennya, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, menerima uang satu sen pun dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kemendikbudristek. Hotman Paris bahkan meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk turun tangan secara langsung dalam kasus ini.

Dalam pernyataannya, Hotman Paris menyampaikan permohonan kepada Presiden Prabowo untuk memanggil Kejaksaan dan dirinya sebagai kuasa hukum Nadiem untuk menggelar perkara secara terbuka di Istana Presiden. Ia yakin dapat membuktikan bahwa Nadiem tidak melakukan tindak pidana korupsi hanya dalam waktu 10 menit.

“Tolong gelar perkaranya di Istana, saya akan buktikan: satu, Nadiem Makarim tidak menerima uang satu sen pun. Dua, tidak ada mark-up harga dalam pengadaan laptop. Tiga, tidak ada pihak yang diperkaya,” tegas Hotman Paris.

Hotman juga menegaskan bahwa dalam proses pengadaan laptop tersebut, tidak terdapat praktik mark-up harga, dan tidak ada pihak yang diuntungkan atau diperkaya dari pengadaan senilai Rp 9,3 triliun itu. Hotman menambahkan bahwa proyek tersebut menggunakan harga resmi e-catalog yang dikelola pemerintah sehingga tidak ada indikasi penggelembungan.

“Saya hanya membutuhkan 10 menit untuk membuktikan itu di depan Bapak Prabowo yang pernah menjadi klien saya selama 25 tahun,” kata Hotman Paris yang juga mempertanyakan alasan penahanan terhadap Nadiem.

Kasus ini tengah dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung yang menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka sejak 4 September 2025. Hotman Paris berpendapat bahwa kasus kliennya mirip dengan kasus mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong yang pernah divonis meskipun tidak menerima dana korupsi.

Hotman Paris menutup pernyataannya dengan mengingatkan hubungan panjangnya selama 25 tahun sebagai pengacara Presiden Prabowo dan mengharapkan agar keadilan ditegakkan secara transparan dan adil bagi Nadiem Makarim.

Continue Reading

Kesehatan

Ingatan Hilang, Aktor Bruce Willis Jalani Perawatan Secara Terpisah Bersama Keluarga

Published

on

Aktor legendaris Hollywood, Bruce Willis, kini tinggal di sebuah rumah satu lantai yang telah disesuaikan untuk kebutuhan medisnya. Keputusan ini diambil oleh istrinya, Emma Heming Willis, setelah kondisi kesehatan sang aktor memburuk akibat frontotemporal dementia (FTD) yang didiagnosis pada Februari 2023.

Emma menegaskan bahwa meski fisik suaminya masih “sangat sehat dan mobile”, kemampuan bahasa serta daya ingat Willis mengalami penurunan drastis. Willis, yang awalnya diumumkan menderita afasia pada 2022, kini kesulitan berbicara dan berkomunikasi. Namun, keluarganya tetap menemukan cara untuk berkomunikasi dengannya, termasuk melalui bahasa tubuh, senyuman, hingga tawa khas yang kadang muncul sekejap.

Keputusan memindahkan sang aktor ke rumah khusus bukan tanpa alasan. Emma menjelaskan, hal ini dilakukan demi menjaga stabilitas kehidupan dua putri mereka, Mabel (13) dan Evelyn (11). Meski Bruce berada di tempat terpisah dengan tim perawatan medis 24 jam, Emma tetap rutin membawa kedua putrinya untuk makan bersama ayah mereka di pagi dan malam hari. “Kami masih menikmati momen sederhana, seperti menonton film dan tertawa bersama,” ujar Emma.

Dalam wawancara eksklusif bersama Diane Sawyer di ABC News, Emma mengaku bahwa awalnya ia merasa sangat terisolasi dan sendirian setelah mendengar diagnosa suaminya. Ia bahkan sempat menutup diri dari dunia luar, hingga akhirnya menyadari bahwa dirinya juga membutuhkan dukungan. Dukungan itu datang dari keluarga besar, termasuk Demi Moore—mantan istri Bruce—yang juga menyerukan pentingnya kesadaran publik mengenai FTD.

Selain berperan sebagai pengasuh utama, Emma kini menulis buku berjudul The Unexpected Journey: Finding Strength, Hope and Yourself on the Caregiving Path, yang akan terbit pada 9 September 2025. Buku ini berisi pengalaman pribadinya merawat Bruce sekaligus panduan bagi keluarga lain yang menghadapi situasi serupa.

Meski FTD belum memiliki obat, keluarga Willis berharap perhatian media terhadap kondisi Bruce bisa mendorong riset lebih lanjut dan meningkatkan kesadaran publik. “Momen-momen kecil seperti tawa atau kilau mata Bruce adalah hadiah berharga bagi kami,” tutup Emma.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler