Connect with us

News

Kerelawanan; Potensi dan Ancaman

Published

on

Foto Istimewa

Oleh Funco Tanipu – Sosiolog UNG

GORONTALO – Berita mengenai isi rekening seorang pengemis di Kota Gorontalo cukup mencengangkan. Saldo rekeningnya cukup fantastis, hampir mencapai 500 juta rupiah.

Tapi, pada kasus ini, saya tidak melihat hanya pada kasus saldonya saja, tapi pada soal potensi kerelawanan manusia Gorontalo. Potensi kerelawanan ini semakin hari semakin meningkat.

Di Gorontalo, potensi kerelawanan cukup luar biasa. Banyak orang rela mencurahkan dana pribadi demi sesuatu yang bersifat luhur baginya. Banyak orang yang ikhlas mengucurkan dana untuk sesuatu yang dianggap “menyelamatkan” “nanti”. Apalagi di Gorontalo memiliki banyak kearifan lokal seperti “wowohiya”, “tuturungiya”, “depita”, dan banyak nilai-nilai lokal yang arif lainya.

Kerelawanan “tidak terstruktur” ini yang menjadi potensi sekaligus ancaman. Mengancam karena berhadapan dengan jejaring “pengemis” yang semakin terstruktur dengan “atas nama” Yayasan, Panti Asuhan, Masjid, hingga motif-motif lainnya.

Di tiap ruas jalan di Kota Goromtalo, banyak kita menyaksikan dentingan koin yang dilempar ke celengan pengemis, banyak pula anak-anak yang berjejer mengulurkan tangan di depan masjid setelah sholat selesai. Semua mengharapkan kerelawanan berbentuk uang.

Jika bisa dilakukan simulasi potensi rupiah yang berbasis kerelawanan ini, maka bisa triliunan rupiah dana terkumpul yang kelak bisa dikelola lebih baik (lagi).

Di banyak belahan dunia lain, model pengelolaan kerelawanan seperti ini sudah dilakukan secara terstruktur dan terlembaga. Chile adalah negara sukses mengelola potensi kerelawanan seperti ini, ada kelembagaan negara yang dibentuk dan bertugas mengelola dana kerelawanan.

Sayang, kerelawanan ini tidak dilihat sebagai sebuah potensi oleh pemerintah. Beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia telah berupaya dan sukses, misalnya Dompet Duafa, ada pula yang unik Makelar Sedekah, dan banyak lembaga masyarakat yang bergerak di bidang ini.

Di sektor lain, ada gerakan Berbagi Darah, Kelas Inspirasi, Indonesia Mengajar, dan seabrek gerakan sosial lainnya. Semua adalah gerakan sosial yang berasal dari kelompok masyarakat sipil yang tergerak dan prihatin dengan keadaan bangsa.

Potensi ini luar biasa jika bisa dikelola secara terstruktur dengan agenda yang tertata dan mekanisme transparansi/akuntabilitas yang baik. Desainnya mesti berbasis pada prinsip governance ; keadilan, efektif, efisien, akuntabel, transparan, partisipatif, yang bisa disebut dengan ; Volunterism Governance.

Tetapi, potensi kerelawanan yang berbasis pada suara hati, intuisi, tradisi dan moral ini jika tidak dikelola dengan baik tentu bisa saja menghasilkan potensi ancaman. Kerelawanan yang tidak didasari pada rasionalitas akan melahirkan kerelawanan yang bersifat “crowd”.

Bagi yang punya niat negatif, tentu akan memanfaatkan “celah” kebaikan dan juga kerelawanan warga untuk kepentingannya.

Di Kota Gorontalo, pengorganisiran anak-anak dan ibu-ibu (yang tidak memiliki pekerjaan) bermodal proposal masjid sudah bertahun-tahun tidak bisa diatasi, bahkan ada yang membekingi ini. Kasus yang sama pernah terjadi beberapa tahun silam yakni korupsi dana Zakat dan Sedekah di salah satu lembaga amil dan zakat.

Selain menimbulkan potensi kecurangan, juga akan melahirkan sifat dan mentalitas negatif bagi kaum yang tidak punya (harta, sikap dan pekerjaan). Walaupun di beberapa momentum politik, ini menjadi bagian dari program charity politisi yang terkesan mendompleng pada agenda pengentasan kemiskinan. Lebih buruknya, pemerintah malah mensponsori ini karena berkaitan dengan popularitas.

Sebagai penutup, momentum kehebohan rekening gendut milik pengemis di Kota Gorontalo yang memanfaatkan potensi kerelawanan mesti disikapi secara lebih maksimal, bukan untuk mengerem kerelawanan, tapi mengelola potensi kerelawanan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermaslahat pada umat dan warga secara umum.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli

Published

on

Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.

Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.

“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.

Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.

“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.

Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.

Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.

Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.

Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum

Published

on

Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.

Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.

Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.

Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.

Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.

“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.

Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Continue Reading

News

Sanksi MKD DPR RI : Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach Nonaktif, Uya Kuya dan Adies Kadier Bebas

Published

on

NEWS – Menghebohkan publik sejak aksi kontroversial di Sidang Tahunan MPR, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI akhirnya membacakan putusan etik untuk lima anggota dewan nonaktif pada Rabu (5/11). Dalam sidang yang dipimpin Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam bersama empat pimpinan lain dan dihadiri para teradu, hasilnya menjadi sorotan nasional.

Setelah melalui rangkaian pemeriksaan, MKD memutuskan Ahmad Sahroni dinonaktifkan sebagai anggota DPR selama enam bulan, Nafa Urbach selama tiga bulan, dan Eko Patrio selama empat bulan. Selama menjalani sanksi, mereka juga kehilangan hak keuangan sebagai anggota dewan. Keputusan ini dinilai sebagai bagian dari penegakan disiplin tanpa kompromi, apapun latar belakang para terlapor.

Mengutip Wakil Ketua MKD Gerindra, Imron Amin saat membacakan pertimbangannya, “Menghukum Dr Ahmad Sahroni nonaktif selama enam bulan terhitung sejak putusan dibacakan,” ucapnya. Sementara itu, Eko Patrio dinyatakan melanggar kode etik dan menerima penonaktifan selama empat bulan. Nafa Urbach mendapat hukuman serupa, namun dengan masa penonaktifan lebih singkat.

Di sisi lain, Adies Kadir dan Uya Kuya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran dan langsung diaktifkan kembali menjadi anggota DPR. Dalam putusan MKD, “Uya Kuya dianggap tidak melanggar kode etik dan statusnya sebagai anggota dewan langsung diaktifkan,” sebagaimana dicatat media. Data dari Kompas dan Tribunnews juga menunjukkan keputusan bebas etik bagi kedua anggota tersebut.

Aksi joget di Sidang Tahunan yang sempat viral menjadi pemicu utama sidang MKD. Berdasarkan kesaksian ahli hukum Satya Adianto dalam persidangan: “Pada masa Pak Jokowi itu ada yang lagu Ojo Dibandingke, itu semua ikut menari. Yang kemarin juga ada lagu Tabola Bale itu semua menari juga itu, ya. Jadi itu biasa sebagai ekspresi, kalau menurut saya,” jelasnya.

Ahli media sosial Ismail Fahmi menegaskan pentingnya klarifikasi isu di publik. “Ini yang harus kita perhatikan ke depan, ketika ada sebuah isu yang kita rasa tidak pas, kita harus segera klarifikasi,” katanya di sidang MKD. Aksi beberapa anggota yang viral disebut terjadi spontan tanpa motif kenaikan gaji, seperti ditegaskan Pembina Koordinator Orkestra Unhan, Letkol Suwarko: “Reaksi anggota DPR yang berjoget saat penampilan orkestra dalam rangkaian Sidang Tahunan MPR…murni karena terhibur, bukan karena adanya informasi kenaikan gaji anggota DPR. Saya tak mendengar adanya informasi kenaikan gaji selama persidangan berlangsung,” tegasnya.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler