Connect with us

Gorontalo

Kronik Pilkada : Dari Merawat Harapan, Hingga Mengelola Kekecewaan dan Penderitaan

Published

on

Oleh : Dr. Funco Tanipu, ST, M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Setiap ada keinginan, selalu ada penderitaan. Termasuk ingin menjadi baik. Tetapi, soal penderitaan, hanya soal takaran rasa. Bahwa tak ada yang disebut penderitaan, semua hanyalah ringkihnya mental kita dalam merasakan dampak dari yang kita perbuat.

Walaupun semua tujuan untuk kebaikan, namun dalam prosesnya tetap akan merasakan pedihnya perjuangan. Semisal negara ini didirikan, ada darah yang tumpah, ada ratusan ribu liter air mata yang meleleh, dan jutaan batang kepala yang ditebas.

Negeri ini didirikan atas niat baik, untuk tujuan yang luhur. Pada kebaikan dan keluhuran itu, semua penderitaan telah terlalui.

Hingga kita, selepas Orde Baru lewat, mulai bergairah untuk menaikkan bendera demokrasi. Dalam demokrasi yang sedang berlangsung, ada kehendak untuk satu orang, satu suara. Tak bisa diwakilkan.

Suara yang dimaksud adalah harapan, keinginan. Tentunya, ingin menjadi baik. Sayangnya, tak semua bisa terpenuhi dalam sejarah demokrasi, dimanapun demokrasi itu dicoba untuk ditegakkan. Selalu ada suara sumbang, ada juga protes hingga pemaksaan kehendak berupa pemakzulan pemimpin yang terpilih secara demokratis.

Orang protes dan bersuara lantang sebab harapannya, sekaligus keinginannya tak terpenuhi, tak berlaku. Di taraf itulah, banyak manusia tak mau menderita karena keinginannya diabaikan.

Hingga akhirnya, Pilkada layaknya lelucon lima tahunan yang beroperasi secara reguler. Setiap ada ketidakterpenuhan, selalu ada suara “mogandiyapo”. Semua ingin cepat mendapat hasil, ingin menjadi lebih baik, semua ingin tumbuh.

Lelucon lain, di setiap putaran lima tahunan, ada juga merasa mampu berbuat lebih baik, walaupun pada akhirnya terkapar dalam janji-janji yang disusun dalam ribuan halaman dokumen perencanaan yang biasa disebut RPJMD.

Pun demikian dengan sebagian rakyat yang menanti “diserang”, yang waktunya selalu dinanti-nantikan ; pada ambang subuh. Lahirlah istilah “kuti-kuti”, “jabome gaya, doyi paralu” dan banyak istilah baru yang mulai hidup sejak bendera demokrasi ini baru setengah tiang.

Di level yang lain, di kelompok abdi negara berseragam, momen lima tahunan ini menjadi momen dilematis, selalu ada ilmu baru yang dilahirkan, yakni ilmu “dua kaki”. Dalam bahasa lokal ; “teto-teeya”. Saat Pilkada berada di satu pihak, saat pihaknya terkapar buru-buru dan bergegas memasang wajah penuh semangat di pihak yang menang.

Semua, dalam momen lima tahunan ini, selalu ingin menjadi yang terdepan, walau gagasannya selalu dibelakang. Gagasan yang termaktub dalam visi-misi adalah perulangan dan copy-paste dari dokumen-dokumen yang telah menjemukan di kuping. Tak ada sesuatu resep baru, dengan masalah yang itu-itu saja.

Lain lagi terkait masalah, kini jumlah masalah semakin bertambah, jumlah solusi semakin sedikit. Menjadi pertanyaan bersama, masih adakah yang berpikir di tengah situasi yang darurat ini, apakah Pilkada berbanding lurus dengan kesejahteraan? Ataukah Pilkada “to teteiyo”, dan kesejahteraan “nafsi-nafsi” alias “olihiyo butuhiyo, landingiyo polangiyo”. Dua hal yang beriringan, tak bisa dilihat dari satu cara pandang, walaupu sering bertolak belakang.

Kini, hasil Pilkada telah terlihat, walaupun masih ada yang berupaya banding ke Mahkamah Konstitusi, sebagai jalan alternatif konstitusional untuk mencari lebih dalam penyebab kekalahan.

Pada Pilkada barusan, sudah mulai jarang terlihat orang memilih karena dia memiliki resep apa, bisa masak apa. Bahwa di antara semua kandidat yang hadir, ada yang memiliki resep manjur, namun tak ada keyakinan orang untuk memilihnya, karena orang realistis kalau seseorang yang memiliki resep manjur itu, tak mungkin terpilih. Terpilihpun tak mungkin didukung parlemen yang bukan dari gerbongnya. Hingga tak mungkin merealisasikannya.

Pilkada pada muaranya adalah penderitaan. Penderitaan bagi yang harus kecewa atas tidak terpenuhinya keinginan di lima tahun silam. Ada yang kecewa dengan jalanan depan rumahnya yang tak kunjung diperbaiki, ada juga yang tak pernah menerima bantuan selama periode berlangsung. Ada yang pernah ketemu yang pernah dipilihnya lalu di jalan lalu tak disapa, saat ketemu berpapasan dengan DM 1 apakah Gubernur, Walikota atau Bupati “kaca oto ta tutup terus”, berbeda waktu saat maju dan kampanye lalu. Hingga ada yang pernah duduk berjam-jam di rumah dinas sampai yang ia pilih lalu itu tak keluar dari kamar dengan asalan “Ti Pak lagi kurang sehat”. Ujungnya, mereka-mereka tersebut adalah barisan orang-orang kecewa, yang menderita atas konsekuensi dari apa yang ia pilih lalu. Dan pada Pilkada berikut, mereka adalah lawan-lawan baru yang sebelumnya adalah kawan.
Ada pula tim sukses yang semenjak pencalonan, pendaftaran hingga kampanye berbusa-busa meyakinkan pemilih di dapilnya, saat kandidat terpilih “sedang WA tinggal dia jaga read”. Dan pemilih di dapil tersebut masih yakin dengan harapan dan janji lalu, hingga menagih lewat tim sukses tersebut, hingga pada ujung kisah ; “ja delo omo’molu mayi am ti Pak boyito, bo pilo-pilo hisapatu liyo mao ito botiye”.

Tapi harus diakui, setiap yang terpilih memiliki keterbatasan, dan ada juga yang sengaja mulai membatasi diri. Di antara keterbatasan dan membatasi itulah, terumuskanlah penderitaan pemilihnya, apalagi tim sukses. Istilahnya “menang tapi kalah” hingga sumpah serapah “de modunggaya poli nandi wa”.

Sebagian besar pada akhirnya melihat Pilkada hingga proses pemerintahan menjadi momen akumulasi kekecewaan, hingga menjadi penderitaan. Ada yang sudah berharap mendapat pembagian jelang Hari H, ada yang sudah menghitung jumlah suara yang hendak ia perjualbelikan, dan di detik terakhir, tak ada yang mengucur. Padahal ia sudah menjanjikan pada orang-orang disekelilingnya bahwa “pokoknya aman, pam ba siram torang pe calon ini”. Biasanya hal ini dialami oleh tim sukses yang semenjak awal berbusung dada mengkampanyekan calonnya dengan iming-iming segepok rupiah, dan pada akhirnya “bolali silita, moo palata nyawa”.

Tim sukses pada umumnya, sedikit saja yang bahagia, sisanya menderita. Mereka menderita karena kandidat mereka tak terpilih. Sudah berbulan-bulan bekerja siang malam, hasilnya tak sesuai harapan, semua lepas. Tim sukses yang berhasil menang kandidatnya lain lagi kisahnya, ada yang mendapatkan proyek bagi tim sukses cum kontraktor, ada juga yang tidak. Bahkan ada tim sukses yang sudah mengeluarkan dana tak sedikit saat pilkada, pada akhirnya hasilnya tak sebanding dengan apa yang ia raih setelah kandidat menang.

Bagi kandidat yang terpilih, lebih menderita lagi. Mulai pagi harus bangun melayani tamu di rumah dinas yang tak putus-putus. Ada yang minta uang, ada yang pagar rusak, ada yang ingin dilantik jadi pejabat eselon, ada yang ingin anaknya jadi honorer, ada yang butuh beasiswa, dan banyak kisah lain yang harus ditanggung yang kandidat terpilih. Belum lagi saat memimpin, pejabat yang diharapkan bekerja maksimal, rupanya tidak sesuai harapan, di satu sisi banyak “tunggakan” dari pihak-pihak yang harus mendapat “jatah”.

Lain lagi bagi Wakil terpilih, saat awal pemerintahan begitu bahagia, seakan-akan memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah. Hingga mulai timbul kecemburuan, kenapa fasilitas berbeda, jumlah tamu di ruangan wakil sedikit demi sedikit mulai berkurang. Pejabat eselon sudah mulai tidak mengindahkan perintah, tim sukses wakil mendesak harus ada ini dan itu, hingga Wakil mulai merasa tidak nyaman dan ingin mendapatkan porsi kekuasaan yang sama. Dan pada titik itulah, saling tidak nyaman, saling curiga, kue tidak terbagi proporsional, dan pada ujungnya seperti yang sudah-sudah : pica kongsi.

Padahal, semasa sebelum Pilkada, semuanya berjuang secara “ideologis”, namun sejak yang terpilih dilantik, saat itulah mereka yang ideologis itu mulai menjadi pragmatis. Semua ingin segera tumbuh, maju, kaya, sejahtera.

Mereka-mereka yang telah terpilih melalui Pilkada, saking menderitanya harus banyak kali ganti nomor handphone. Selama periode ada yang bahkan mengganti puluhan kali nomor handphone untuk menghilangkan jejak, tak dikejar-kejar pendukung semasa pilkada lalu.

Belum lagi jika harus menghadapi masa-masa tender proyek, semua was-was. Siapa yang harus menang, dan dimenangkan. Ada tim sukses yang dulunya berdarah-darah saat Pilkada meminta untuk dimenangkan, tapi syarat administrasinya sangat minimal. Jika tak dimenangkan utang belum terbayar, menang pun beresiko hukum.

Mereka-mereka yang terpilih di pilkada jarang yang menggunakan dana pribadinya sendiri saat “berjuang” lalu, rata-rata ada yang mendapat sponsor, ada yang ngutang, ada yang harus jual rumah dan tanah serta aset-aset yang dimiliki. Yang lebih ekstrim bahkan ada yang tinggal “calana dalam” yang tidak dijual, semua dipertaruhkan. Kalau menang mungkin masih ada kesempatan untuk mengambalikan, tapi kalau kalah? Ada istilah lokal “bacirita deng tiang listrik”.

Yang menang pun tak menjamin dirinya bahagia, dia harus memulangkan hutang-hutang pilkada lalu selama periode. Ada yang dibarter dengan proyek, ada yang dibarter dengan konsesi-konsesi seperti izin wilayah pertambangan, apa itu mineral ataupun galian C. Di daerah-daerah subur dengan hutan yang luas, banyak yang membarternya dengan izin pengelolaan hutan, apakah untuk kelapa sawit atau yang lainnya.

Mereka yang terpilih di Pilkada juga saking menderitanya harus mengatur jabatan-jabatan strategis dalam birokrasinya. Di kursi-kursi “basah” yang anggaran dinasnya gemuk misalnya, pasti akan dilantik mereka-mereka yang dianggap loyalis dan siap pasang badan. Bagi yang ketahuan tak mendukung, pasti akan di non job atau diparkir di jabatan “kering”.

Biasanya, bagi mereka yang ingin menduduki jabatan tertentu, saat setelah ada yang terpilih, perlombaan “koprol” pun dimulai. Ada yang mengklaim telah memenangkan kampungnya, ada yang mengajak keluarganya, ada yang sambil memperlihatkan total dana yang ia pernah keluarkan. Macam-macam klaim-klaim saat pilkada lalu. Intinya ingin diamankan di jabatan strategis, atau minimal mendapat promosi ke eselon lebih tinggi.

Mereka yang terpilihpun siap-siap harus menerima orang-orang yang mengaku keluarga, satu marga atau hubungan apapun. Pernah satu sekolah, satu permainan bahkan pernah jadi mantan pacar. Semua ingin mendapatkan bagian. Pokoknya dekat dengan mereka yang terpilih. Karena dengan dekat, fasilitas termasuk akses dan kemewahan bisa didapatkan sekejap.

Alasan keinginan ingin enak dan mewah itulah yang menjadi sumber penderitaan tak terkira. Semua melakukan apapun walau itu melampaui batas norma dan etika, apalagi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuannya adalah nyaman dan aman hidup.

Lalu, mereka-mereka yang tak bisa mengakses kekuasaan, hidup di kantong-kantong kemiskinan dengan label Desil 1 dan seterusnya. Hanya bisa pasrah, kalaupun setelah memilih lalu tak mendapatkan apapun, mau tidak mau hanya bisa larut dalam kecewa, sambil menunggu Pilkada berikut untuk balas dendam.

Tentu, kronik ini tidak mengisahkan semua apa yang telah dan akan terjadi. Masih banyak kisah-kisah penderitaan yang belum terungkap.

Padahal, situasi saat ini sedang gawat-gawatnya. Selain menghadapi beratnya pertumbuhan ekonomi, juga problem keuangan negara yang belum terlalu stabil. Utang daerah (PEN) kini mulai harus dibayar, biaya P3K yang dibebankan pada daerah, belum lagi DAU semakin kecil untuk di utak atik karena skema peruntukan.

Setiap yang terpilih dan memilih, masing-masing memiliki keinginan yang berjibun saat menang, walaupun di setiap keinginan beriringan dengan resiko. Karena itu, keinginan dalam hal ini adalah niat baik, mesti diatur agar bisa menjadi kemasalahatan. Itupun dengan mengatur niat saja bisa tidak memberi maslahat, apalagi jika sebaliknya.

Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak pilkada tahun 2005 hingga tahun 2020, tercatat ada sekitar 300 kepala daerah yang telah menjadi tersangka kasus korupsi, 124 diantaranya ditangani KPK. Belum data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Semua itu adalah bagian dari berjubelnya keinginan yang berlebihan.

Pilkada menjadi momentum penderitaan jika membaca dari kronik diatas, tapi tidak sedikit pula ada yang menerapkan nilai-nilai keluhuran untuk menegakkan martabat demokrasi. Ada yang memang memantapkan jalannya untuk membangun kesejahteraan, ada yang memang mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang banyak.

Pada mereka yang berjuang dengan keluhuran budi tersebut, kita semua patut belajar. Sebagaimana mereka-mereka yang telah menegakkan tiang republik ini.

Semisal Haji Agussalim yang memiliki jas sangat sedikit, padahal ia adalah pejabat negara. Ada Sutami yang menjabat Menteri Pekerjaan Umum yang tak memiliki rumah. Padahal menjabat Menteri PU selama 14 tahun.

Leimena seorang Mentri saat itu bahkan hanya memiliki dua helai baju. Saat konferensi internasional, ia hanya bisa meminjam jas pada temannya untuk tampil mewakili Indonesia. Hingga banyak pejabat negara saat itu yang hidup dalam kesusahan.

Mereka bukannya tidak bisa membeli baju dan rumah, tapi mereka sadar bahwa itu bukan keinginan mereka yang utama. Ada hal yang lebih penting untuk diperjuangkan, yakni taraf kesejahteraan untuk rakyat.

Kala itu, banyak pejabat kita yang menderita, penderitaan mereka berkelas dan bermartabat. Mereka siap lahir batin menderita karena ada kesadaran hakiki yang tertanam dalam sanubarinya.

Seperti Mohammad Hatta, selepas ia menjadi Wakil Presiden, ia tak mampu melunasi air PAM saking kecilnya gaji pensiun yang ia miliki. Padahal, apa yang tidak bisa dilakukan oleh mereka? Dengan kewenangan yang luas dan aturan saat itu belum seketat sekarang. Tapi mereka memiliki dalih : menegakkan martabat bangsa untuk kesejahteraan rakyat.

Karena itu, tulisan ini mencoba menyuguhkan dua kesimpulan tentang penderitaan, penderitaan karena keinginan untuk memiliki semua dan penderitaan karena keinginan untuk tidak mau memiliki semua.

Apa yang akan terjadi pada hari-hari yang ada di depan sesungguhnya masih bisa kita kelola dengan baik. Bagaimana kita menata keinginan, merawat harapan, sekaligus bagainana kita mengelola kekecewaan atas peristiwa-peristiwa tragis yang akan terjadi di depan.

PILKADA : DARI MERAWAT HARAPAN, HINGGA MENGELOLA KEKECEWAAN DAN PENDERITAAN

Oleh : Dr. Funco Tanipu, ST, M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Setiap ada keinginan, selalu ada penderitaan. Termasuk ingin menjadi baik. Tetapi, soal penderitaan, hanya soal takaran rasa. Bahwa tak ada yang disebut penderitaan, semua hanyalah ringkihnya mental kita dalam merasakan dampak dari yang kita perbuat.

Walaupun semua tujuan untuk kebaikan, namun dalam prosesnya tetap akan merasakan pedihnya perjuangan. Semisal negara ini didirikan, ada darah yang tumpah, ada ratusan ribu liter air mata yang meleleh, dan jutaan batang kepala yang ditebas.

Negeri ini didirikan atas niat baik, untuk tujuan yang luhur. Pada kebaikan dan keluhuran itu, semua penderitaan telah terlalui.

Hingga kita, selepas Orde Baru lewat, mulai bergairah untuk menaikkan bendera demokrasi. Dalam demokrasi yang sedang berlangsung, ada kehendak untuk satu orang, satu suara. Tak bisa diwakilkan.

Suara yang dimaksud adalah harapan, keinginan. Tentunya, ingin menjadi baik. Sayangnya, tak semua bisa terpenuhi dalam sejarah demokrasi, dimanapun demokrasi itu dicoba untuk ditegakkan. Selalu ada suara sumbang, ada juga protes hingga pemaksaan kehendak berupa pemakzulan pemimpin yang terpilih secara demokratis.

Orang protes dan bersuara lantang sebab harapannya, sekaligus keinginannya tak terpenuhi, tak berlaku. Di taraf itulah, banyak manusia tak mau menderita karena keinginannya diabaikan.

Hingga akhirnya, Pilkada layaknya lelucon lima tahunan yang beroperasi secara reguler. Setiap ada ketidakterpenuhan, selalu ada suara “mogandiyapo”. Semua ingin cepat mendapat hasil, ingin menjadi lebih baik, semua ingin tumbuh.

Lelucon lain, di setiap putaran lima tahunan, ada juga merasa mampu berbuat lebih baik, walaupun pada akhirnya terkapar dalam janji-janji yang disusun dalam ribuan halaman dokumen perencanaan yang biasa disebut RPJMD.

Pun demikian dengan sebagian rakyat yang menanti “diserang”, yang waktunya selalu dinanti-nantikan ; pada ambang subuh. Lahirlah istilah “kuti-kuti”, “jabome gaya, doyi paralu” dan banyak istilah baru yang mulai hidup sejak bendera demokrasi ini baru setengah tiang.

Di level yang lain, di kelompok abdi negara berseragam, momen lima tahunan ini menjadi momen dilematis, selalu ada ilmu baru yang dilahirkan, yakni ilmu “dua kaki”. Dalam bahasa lokal ; “teto-teeya”. Saat Pilkada berada di satu pihak, saat pihaknya terkapar buru-buru dan bergegas memasang wajah penuh semangat di pihak yang menang.

Semua, dalam momen lima tahunan ini, selalu ingin menjadi yang terdepan, walau gagasannya selalu dibelakang. Gagasan yang termaktub dalam visi-misi adalah perulangan dan copy-paste dari dokumen-dokumen yang telah menjemukan di kuping. Tak ada sesuatu resep baru, dengan masalah yang itu-itu saja.

Lain lagi terkait masalah, kini jumlah masalah semakin bertambah, jumlah solusi semakin sedikit. Menjadi pertanyaan bersama, masih adakah yang berpikir di tengah situasi yang darurat ini, apakah Pilkada berbanding lurus dengan kesejahteraan? Ataukah Pilkada “to teteiyo”, dan kesejahteraan “nafsi-nafsi” alias “olihiyo butuhiyo, landingiyo polangiyo”. Dua hal yang beriringan, tak bisa dilihat dari satu cara pandang, walaupu sering bertolak belakang.

Kini, hasil Pilkada telah terlihat, walaupun masih ada yang berupaya banding ke Mahkamah Konstitusi, sebagai jalan alternatif konstitusional untuk mencari lebih dalam penyebab kekalahan.

Pada Pilkada barusan, sudah mulai jarang terlihat orang memilih karena dia memiliki resep apa, bisa masak apa. Bahwa di antara semua kandidat yang hadir, ada yang memiliki resep manjur, namun tak ada keyakinan orang untuk memilihnya, karena orang realistis kalau seseorang yang memiliki resep manjur itu, tak mungkin terpilih. Terpilihpun tak mungkin didukung parlemen yang bukan dari gerbongnya. Hingga tak mungkin merealisasikannya.

Pilkada pada muaranya adalah penderitaan. Penderitaan bagi yang harus kecewa atas tidak terpenuhinya keinginan di lima tahun silam. Ada yang kecewa dengan jalanan depan rumahnya yang tak kunjung diperbaiki, ada juga yang tak pernah menerima bantuan selama periode berlangsung. Ada yang pernah ketemu yang pernah dipilihnya lalu di jalan lalu tak disapa, saat ketemu berpapasan dengan DM 1 apakah Gubernur, Walikota atau Bupati “kaca oto ta tutup terus”, berbeda waktu saat maju dan kampanye lalu. Hingga ada yang pernah duduk berjam-jam di rumah dinas sampai yang ia pilih lalu itu tak keluar dari kamar dengan asalan “Ti Pak lagi kurang sehat”. Ujungnya, mereka-mereka tersebut adalah barisan orang-orang kecewa, yang menderita atas konsekuensi dari apa yang ia pilih lalu. Dan pada Pilkada berikut, mereka adalah lawan-lawan baru yang sebelumnya adalah kawan.
Ada pula tim sukses yang semenjak pencalonan, pendaftaran hingga kampanye berbusa-busa meyakinkan pemilih di dapilnya, saat kandidat terpilih “sedang WA tinggal dia jaga read”. Dan pemilih di dapil tersebut masih yakin dengan harapan dan janji lalu, hingga menagih lewat tim sukses tersebut, hingga pada ujung kisah ; “ja delo omo’molu mayi am ti Pak boyito, bo pilo-pilo hisapatu liyo mao ito botiye”.

Tapi harus diakui, setiap yang terpilih memiliki keterbatasan, dan ada juga yang sengaja mulai membatasi diri. Di antara keterbatasan dan membatasi itulah, terumuskanlah penderitaan pemilihnya, apalagi tim sukses. Istilahnya “menang tapi kalah” hingga sumpah serapah “de modunggaya poli nandi wa”.

Sebagian besar pada akhirnya melihat Pilkada hingga proses pemerintahan menjadi momen akumulasi kekecewaan, hingga menjadi penderitaan. Ada yang sudah berharap mendapat pembagian jelang Hari H, ada yang sudah menghitung jumlah suara yang hendak ia perjualbelikan, dan di detik terakhir, tak ada yang mengucur. Padahal ia sudah menjanjikan pada orang-orang disekelilingnya bahwa “pokoknya aman, pam ba siram torang pe calon ini”. Biasanya hal ini dialami oleh tim sukses yang semenjak awal berbusung dada mengkampanyekan calonnya dengan iming-iming segepok rupiah, dan pada akhirnya “bolali silita, moo palata nyawa”.

Tim sukses pada umumnya, sedikit saja yang bahagia, sisanya menderita. Mereka menderita karena kandidat mereka tak terpilih. Sudah berbulan-bulan bekerja siang malam, hasilnya tak sesuai harapan, semua lepas. Tim sukses yang berhasil menang kandidatnya lain lagi kisahnya, ada yang mendapatkan proyek bagi tim sukses cum kontraktor, ada juga yang tidak. Bahkan ada tim sukses yang sudah mengeluarkan dana tak sedikit saat pilkada, pada akhirnya hasilnya tak sebanding dengan apa yang ia raih setelah kandidat menang.

Bagi kandidat yang terpilih, lebih menderita lagi. Mulai pagi harus bangun melayani tamu di rumah dinas yang tak putus-putus. Ada yang minta uang, ada yang pagar rusak, ada yang ingin dilantik jadi pejabat eselon, ada yang ingin anaknya jadi honorer, ada yang butuh beasiswa, dan banyak kisah lain yang harus ditanggung yang kandidat terpilih. Belum lagi saat memimpin, pejabat yang diharapkan bekerja maksimal, rupanya tidak sesuai harapan, di satu sisi banyak “tunggakan” dari pihak-pihak yang harus mendapat “jatah”.

Lain lagi bagi Wakil terpilih, saat awal pemerintahan begitu bahagia, seakan-akan memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah. Hingga mulai timbul kecemburuan, kenapa fasilitas berbeda, jumlah tamu di ruangan wakil sedikit demi sedikit mulai berkurang. Pejabat eselon sudah mulai tidak mengindahkan perintah, tim sukses wakil mendesak harus ada ini dan itu, hingga Wakil mulai merasa tidak nyaman dan ingin mendapatkan porsi kekuasaan yang sama. Dan pada titik itulah, saling tidak nyaman, saling curiga, kue tidak terbagi proporsional, dan pada ujungnya seperti yang sudah-sudah : pica kongsi.

Padahal, semasa sebelum Pilkada, semuanya berjuang secara “ideologis”, namun sejak yang terpilih dilantik, saat itulah mereka yang ideologis itu mulai menjadi pragmatis. Semua ingin segera tumbuh, maju, kaya, sejahtera.

Mereka-mereka yang telah terpilih melalui Pilkada, saking menderitanya harus banyak kali ganti nomor handphone. Selama periode ada yang bahkan mengganti puluhan kali nomor handphone untuk menghilangkan jejak, tak dikejar-kejar pendukung semasa pilkada lalu.

Belum lagi jika harus menghadapi masa-masa tender proyek, semua was-was. Siapa yang harus menang, dan dimenangkan. Ada tim sukses yang dulunya berdarah-darah saat Pilkada meminta untuk dimenangkan, tapi syarat administrasinya sangat minimal. Jika tak dimenangkan utang belum terbayar, menang pun beresiko hukum.

Mereka-mereka yang terpilih di pilkada jarang yang menggunakan dana pribadinya sendiri saat “berjuang” lalu, rata-rata ada yang mendapat sponsor, ada yang ngutang, ada yang harus jual rumah dan tanah serta aset-aset yang dimiliki. Yang lebih ekstrim bahkan ada yang tinggal “calana dalam” yang tidak dijual, semua dipertaruhkan. Kalau menang mungkin masih ada kesempatan untuk mengambalikan, tapi kalau kalah? Ada istilah lokal “bacirita deng tiang listrik”.

Yang menang pun tak menjamin dirinya bahagia, dia harus memulangkan hutang-hutang pilkada lalu selama periode. Ada yang dibarter dengan proyek, ada yang dibarter dengan konsesi-konsesi seperti izin wilayah pertambangan, apa itu mineral ataupun galian C. Di daerah-daerah subur dengan hutan yang luas, banyak yang membarternya dengan izin pengelolaan hutan, apakah untuk kelapa sawit atau yang lainnya.

Mereka yang terpilih di Pilkada juga saking menderitanya harus mengatur jabatan-jabatan strategis dalam birokrasinya. Di kursi-kursi “basah” yang anggaran dinasnya gemuk misalnya, pasti akan dilantik mereka-mereka yang dianggap loyalis dan siap pasang badan. Bagi yang ketahuan tak mendukung, pasti akan di non job atau diparkir di jabatan “kering”.

Biasanya, bagi mereka yang ingin menduduki jabatan tertentu, saat setelah ada yang terpilih, perlombaan “koprol” pun dimulai. Ada yang mengklaim telah memenangkan kampungnya, ada yang mengajak keluarganya, ada yang sambil memperlihatkan total dana yang ia pernah keluarkan. Macam-macam klaim-klaim saat pilkada lalu. Intinya ingin diamankan di jabatan strategis, atau minimal mendapat promosi ke eselon lebih tinggi.

Mereka yang terpilihpun siap-siap harus menerima orang-orang yang mengaku keluarga, satu marga atau hubungan apapun. Pernah satu sekolah, satu permainan bahkan pernah jadi mantan pacar. Semua ingin mendapatkan bagian. Pokoknya dekat dengan mereka yang terpilih. Karena dengan dekat, fasilitas termasuk akses dan kemewahan bisa didapatkan sekejap.

Alasan keinginan ingin enak dan mewah itulah yang menjadi sumber penderitaan tak terkira. Semua melakukan apapun walau itu melampaui batas norma dan etika, apalagi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuannya adalah nyaman dan aman hidup.

Lalu, mereka-mereka yang tak bisa mengakses kekuasaan, hidup di kantong-kantong kemiskinan dengan label Desil 1 dan seterusnya. Hanya bisa pasrah, kalaupun setelah memilih lalu tak mendapatkan apapun, mau tidak mau hanya bisa larut dalam kecewa, sambil menunggu Pilkada berikut untuk balas dendam.

Tentu, kronik ini tidak mengisahkan semua apa yang telah dan akan terjadi. Masih banyak kisah-kisah penderitaan yang belum terungkap.

Padahal, situasi saat ini sedang gawat-gawatnya. Selain menghadapi beratnya pertumbuhan ekonomi, juga problem keuangan negara yang belum terlalu stabil. Utang daerah (PEN) kini mulai harus dibayar, biaya P3K yang dibebankan pada daerah, belum lagi DAU semakin kecil untuk di utak atik karena skema peruntukan.

Setiap yang terpilih dan memilih, masing-masing memiliki keinginan yang berjibun saat menang, walaupun di setiap keinginan beriringan dengan resiko. Karena itu, keinginan dalam hal ini adalah niat baik, mesti diatur agar bisa menjadi kemasalahatan. Itupun dengan mengatur niat saja bisa tidak memberi maslahat, apalagi jika sebaliknya.

Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak pilkada tahun 2005 hingga tahun 2020, tercatat ada sekitar 300 kepala daerah yang telah menjadi tersangka kasus korupsi, 124 diantaranya ditangani KPK. Belum data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Semua itu adalah bagian dari berjubelnya keinginan yang berlebihan.

Pilkada menjadi momentum penderitaan jika membaca dari kronik diatas, tapi tidak sedikit pula ada yang menerapkan nilai-nilai keluhuran untuk menegakkan martabat demokrasi. Ada yang memang memantapkan jalannya untuk membangun kesejahteraan, ada yang memang mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang banyak.

Pada mereka yang berjuang dengan keluhuran budi tersebut, kita semua patut belajar. Sebagaimana mereka-mereka yang telah menegakkan tiang republik ini.

Semisal Haji Agussalim yang memiliki jas sangat sedikit, padahal ia adalah pejabat negara. Ada Sutami yang menjabat Menteri Pekerjaan Umum yang tak memiliki rumah. Padahal menjabat Menteri PU selama 14 tahun.

Leimena seorang Mentri saat itu bahkan hanya memiliki dua helai baju. Saat konferensi internasional, ia hanya bisa meminjam jas pada temannya untuk tampil mewakili Indonesia. Hingga banyak pejabat negara saat itu yang hidup dalam kesusahan.

Mereka bukannya tidak bisa membeli baju dan rumah, tapi mereka sadar bahwa itu bukan keinginan mereka yang utama. Ada hal yang lebih penting untuk diperjuangkan, yakni taraf kesejahteraan untuk rakyat.

Kala itu, banyak pejabat kita yang menderita, penderitaan mereka berkelas dan bermartabat. Mereka siap lahir batin menderita karena ada kesadaran hakiki yang tertanam dalam sanubarinya.

Seperti Mohammad Hatta, selepas ia menjadi Wakil Presiden, ia tak mampu melunasi air PAM saking kecilnya gaji pensiun yang ia miliki. Padahal, apa yang tidak bisa dilakukan oleh mereka? Dengan kewenangan yang luas dan aturan saat itu belum seketat sekarang. Tapi mereka memiliki dalih : menegakkan martabat bangsa untuk kesejahteraan rakyat.

Karena itu, tulisan ini mencoba menyuguhkan dua kesimpulan tentang penderitaan, penderitaan karena keinginan untuk memiliki semua dan penderitaan karena keinginan untuk tidak mau memiliki semua.

Apa yang akan terjadi pada hari-hari yang ada di depan sesungguhnya masih bisa kita kelola dengan baik. Bagaimana kita menata keinginan, merawat harapan, sekaligus bagainana kita mengelola kekecewaan atas peristiwa-peristiwa tragis yang akan terjadi di depan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

Pembangunan Berwawasan Maritim dan Kearifan Lokal: Visi Hardiyanto Ali untuk Desa Pohuwato Timur

Published

on

Hardiyanto Ali, calon Kepala Desa Pohuwato Timur

Pohuwato – Salah satu calon Kepala Desa Pohuwato Timur, Hardiyanto Ali, resmi memaparkan visi dan misi yang akan menjadi arah pembangunan desa jika terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu (PAW). Pemilihan ini akan dilaksanakan dalam Musyawarah Desa (Musdes) Pra Penggantian Antar Waktu Kepala Desa pada tanggal 14 Oktober 2025 mendatang di Desa Pohuwato Timur, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.

Dalam dokumen yang diterima oleh redaksi, Hardiyanto Ali mengusung visi:
“Mewujudkan Desa Pohuwato Timur Mandiri, Sejahtera, dan Lestari berbasis potensi maritim dan kearifan lokal.”

Visi tersebut dijabarkan dalam empat misi utama, yakni:

  1. Peningkatan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha pesisir

  2. Pembangunan yang berwawasan lingkungan

  3. Peningkatan kualitas hidup masyarakat

  4. Mewujudkan pemerintahan yang baik, harmonis, dan agamis

Hardiyanto Ali mengusulkan lima prioritas utama dalam program kerja, yang meliputi:

  1. Distribusi dan pemerataan bantuan sesuai dengan klasifikasi kesejahteraan masyarakat.

  2. Optimalisasi peran pendidik dan tenaga kesehatan desa untuk meningkatkan layanan dasar.

  3. Pembangunan dan peningkatan infrastruktur dasar untuk menunjang kehidupan masyarakat.

  4. Penguatan peran BUMDes dan Koperasi Merah Putih sebagai mitra ekonomi desa.

  5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, religius, dan pemerintahan yang baik.

Dengan visi dan program berbasis potensi maritim serta kearifan lokal, Hardiyanto Ali berharap Desa Pohuwato Timur dapat berkembang menjadi desa yang mandiri dan sejahtera. Selain itu, ia juga menargetkan terciptanya pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang berdaya. Hardiyanto juga menekankan pentingnya transparansi dalam pemerintahan serta pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan dan pengambilan keputusan pembangunan desa.

Continue Reading

Gorontalo

Aliansi Mahasiswa Peduli Olahraga Soroti Kebijakan Pembatasan Cabor pada POPNAS 2025

Published

on

Gorontalo – Koordinator Lapangan Aliansi Mahasiswa Peduli Olahraga, Majid Mustaki, dengan tegas mempertanyakan kebijakan pembatasan cabang olahraga (cabor) yang akan diberangkatkan pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) 2025. Dalam informasi resmi yang beredar, hanya cabor sepak takraw, silat, karate, taekwondo, dan atletik yang diberangkatkan, sementara untuk Peparpenas hanya cabor atletik, bulutangkis, dan tenis meja.

Aliansi Mahasiswa Peduli Olahraga menilai keputusan ini tidak adil dan berpotensi merugikan para atlet muda Gorontalo yang telah berlatih keras untuk mendapatkan kesempatan tampil di ajang nasional. “Ini bukan sekadar soal anggaran, tapi soal komitmen pemerintah daerah terhadap masa depan olahraga di Gorontalo. Jangan sampai hanya karena keterbatasan, banyak potensi atlet kita terkubur tanpa pernah diberi kesempatan,” tegas Majid Mustaki.

Aliansi juga mendesak pemerintah provinsi dan instansi terkait untuk memberikan penjelasan terbuka mengenai alasan di balik pembatasan ini. Mereka menuntut adanya solusi konkret agar lebih banyak cabor bisa diberangkatkan. “Jika memang anggaran menjadi kendala, harus ada langkah alternatif. Pemerintah bisa menggandeng pihak swasta atau lembaga lain. Jangan hanya diam dan mengorbankan mimpi para atlet muda Gorontalo,” tambahnya.

Aliansi Mahasiswa Peduli Olahraga menegaskan bahwa olahraga adalah bagian penting dari pembangunan generasi. Kebijakan pembatasan tanpa alasan yang jelas hanya akan menimbulkan kekecewaan dan memadamkan semangat juang atlet.

Continue Reading

Gorontalo

Dugaan Setoran hingga Pembiaran Kasus, Tumulo Bongkar Masalah di Polres Pohuwato

Published

on

Pohuwato – Kritik pedas meledak dari Tunas Muda Holandalo (Tumulo) terhadap kepemimpinan Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni. Koordinator Tumulo, Kasmat Toliango, secara terbuka menuntut agar Kapolres segera dicopot dari jabatannya menyusul tragedi pembacokan yang melibatkan sesama anggota polisi di Pohuwato.

Menurut Kasmat, peristiwa tersebut merupakan tamparan keras bagi institusi kepolisian sekaligus bukti gagalnya Kapolres dalam membina anggotanya. Ia menegaskan, insiden itu bukan hanya mencoreng nama Polres Pohuwato, tetapi juga memperlihatkan lemahnya implementasi tagline Polisi Mopiyohu yang selama ini didengungkan.

“Tagline Polisi Mopiyohu itu apakah benar-benar ditanamkan atau hanya sekadar bungkusan manis agar terlihat baik? Faktanya, polisi bacok polisi terjadi di Pohuwato. Ini sangat memalukan!” tegas Kasmat.

Ia juga mengingatkan bahwa tragedi Afan Kurniawan belum usai, namun kini muncul kasus baru yang lebih brutal. “Belum selesai luka lama, sekarang muncul lagi. Lagi-lagi polisi bikin ulah,” ujarnya.

Selain itu, Tumulo menuding adanya persoalan lain yang dibiarkan Kapolres, mulai dari isu setoran hingga dugaan pembiaran tempat-tempat tertentu yang meresahkan masyarakat. Menurutnya, hal itu menimbulkan asumsi liar di tengah publik dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat.

Dengan sederet catatan hitam tersebut, Tumulo menilai Kapolres Pohuwato sudah tidak layak memimpin. “Ada banyak AKBP yang mau bekerja sungguh-sungguh di Pohuwato. Jadi sebaiknya Kapolres mundur saja. Faktanya, beliau gagal total dalam memimpin Polres Pohuwato,” tutup Kasmat.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler