Connect with us

Ruang Literasi

Menggosipkan Bujang Lapuk dan Duda Keren

Published

on

Oleh La Ode Gusman Nasiru, S.Pd., M.A.

Usia tiga puluhan kerap menjelma garis demarkasi yang abu-abu untuk menyebutkan masuk pada kelompok mana seorang individu: tua atau muda. Biasanya usia ini lantas menjadi komedi untuk mewadahi lelucon-lelucon garing berbasis umur. Dalam batasan yang lain bahkan sering dipakai untuk menentukan sejauh mana power atau otoritas seseorang terberi berdasarkan tahun kelahirannya.

Garis ini terus bergerak maju untuk selanjutnya membentur ruang-ruang lain dalam gejala sosial, terutama perihal berumah tangga. Seseorang yang berada pada rentang usia tertentu harusnya sudah menikah, sudah layak dipaksa untuk menikah, dan seharusnya malu jika belum menikah. Dari sini lantas tumbuh bibit pergunjingan yang akhirnya menjadi bahan obrolan yang sebenarnya sia-sia.

Di dalam kelompok masyarakat yang laki-laki sentris, perempuan tentu saja menjadi pihak yang paling sering terdengar menanggung dosa hidup selibat. Cacian seksis semacam perawan tua, perebut lelaki orang, atau janda gatal adalah refleksi kejamnya masyarakat terhadap pilihan atau takdir seorang perempuan. Terlepas dari hal tersebut lebih condong menjadi keputusan atau kebetulan.

Senyatanya, fakta itu tidak lantas menafikan kondisi lainnya bahwa laki-laki juga kerap menjadi korban dalam rangka memberi makan hasrat komunal tentang relasinya dengan orang lain dalam lembaga pernikahan. Hal ini menjadi lebih berat untuk mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap, stabil dalam pemasukan dan finansial, sehat secara fisik, dan memenuhi kriteria calon menantu idaman mertua. Meski tidak cakep-cakep banget, saya merasa tengah berada dalam lubang situasi yang sedang saya utarakan.

Bujang yang Tidak Maskulin

Guyonan satir yang tidak jarang menemukan bentuknya sebagai cemoohan kerap saya temui baik dalam lingkup keluarga besar, teman sejawat, maupun mereka yang merasa seolah akrab. Guyonan dan cemoohan ini mungkin bisa dengan sangat santai saya tanggapi karena kesadaran saya terhadap pilihan-pilihan, keputusan, pengalaman empirik, yang semuanya masih dilengkapi dengan kesadaran dan keintiman terhadap isu feminisme dan maskulinitas. Namun, di lain pihak ia segera berubah mnejadi kontestasi yang tidak jarang disadari terjadi antarpria.

Seorang laki-laki yang sudah menikah lantas merasa punya hak memberikan ceramah atau bahkan sabda kepada mereka yang belum menikah. Seorang teman yang sudah menikah lantas mendaku memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia karena didorong oleh kenyataan hidupnya yang tengah ditimang dalam bahtera rumah tangga. Sementara saya, hanya laki-laki malang karena tidak menggunakan penis dalam liang yang sesuai norma.

Sebuah asumsi yang terlalu lugu, tentu saja.
Menjadi bujang bagi seorang laki-laki usia tiga puluhan pada kenyataannya tidak begitu lebih baik dibandingkan laki-laki yang sama-sama masih sendiri tetapi sudah pernah menikah. Mereka yang menikah kemudian memutuskan (atau diputuskan) untuk hidup sendiri seperti terlepas dari dosa tuntutan pernikahan. Praktis ditempatkan pada strata yang lebih mulia tinimbang para jejaka. Para pemuda yang segera disebut “perjaka tua” karena belum punya pasangan.

Kacamata maskulinitas yang dipakai oleh masyarakat dalam melahirkan segregasi antarsesama laki-laki tanpa sadar melahirkan peringkat-peringkat sosial. Alih-alih diterima dengan lapang dada seperti lirik-lirik riang dan optimis dalam nomor Bujangan karya Koes Plus, mereka yang bujang harus berhadapan dengan hantu-hantu mata melotot, pikiran melayang/hidup tidak akan bisa tenang/suka jajan/gonta-ganti pasangan. Semua pandangan desktruktif tentang menjadi bujang itu bisa dengan mudah Anda temui dalam lirik Bujangan milik Rhoma Irama.

Anak kandung produk pemikiran sesat ini justru menyetir laki-laki untuk terus mempertanyakan nasibnya ketimbang mengoptimalisasi energi dan kinerjanya.

Bujang dan duda oleh masyarakat dirasa penting dibedakan dengan memanfaatkan indikasi linguistik semisal bujang lapuk dan duda keren. Lapuk karena seorang jejaka dipandang pincang tanpa kehadiran perempuan dan, di sisi lain, keren karena seorang duda dianggap setidaknya pernah menaklukkan perempuan lainnya. Sebuah upaya komparasi yang banal.

Situasi pengkultusan duda sekaligus cercaan bujang menggeser lokus saya pada sebuah kondisi lain yang masih relevan. Ingatan tiba-tiba melempar saya kembali sebuah cerita beberapa waktu lalu yang sempat viral di media massa. Seorang laki-laki berselingkuh dengan lelaki idamannya dan menceraikan istri sah.

Masyarakat komunitas dalam jaringan yang kerap disebut sebagai netizen lantas meradang. Mereka ramai-ramai melaknat peselingkuh dengan beragam tuduhan dan kutukan. Tindakannya dijustifikasi sebagai segala jenis keburukan yang lebih akbar dari dosa manapun.

Siapapun lantas bersepakat bahwa penjahat dalam kasus yang saya nukil adalah laki-laki homoseksual yang berselingkuh. Mereka yang mengamini adalah bagian dari masyarakat yang juga paling getol mendorong seseorang untuk terperangkap dalam lembaga pernikahan dan terjebak dalam kebahagiaan yang pura-pura. Masyarakat seperti sedang menelan gula-gula kepuasan setelah memaksakan seseorang menerobos ke dalamnya dengan harapan mampu menyembuhkan penyakitnya. Penyakit yang juga tidak diakui dalam dunia medis komtemporer.

Mitos maskulinitas seorang laki-laki terus ditiupkan oleh angin dikotomik. Seorang laki-laki yang dianggap maskulin haruslah mereka yang sehat, berbodi rambo, jago main bola, ahli dalam mesin, menikah, memiliki istri dan anak, pekerja kantoran, mampu secara finansial, memiliki karyawan, dan setumpuk standar maskulin lainnya. Senyatanya, tidak semua laki-laki dilahirkan dan ditakdirkan menjalani nasib yang demikian hitam putih.

Akan selalu ada grey area atau bidang yang abu-abu. Tidak jarang individu yang dilahirkan dengan penis dan jakun akan bekerja sebagai koki, berbadan kurus atau hidup dengan berat badang berlebih, payah dalam listrik dan pertukangan, miskin, impoten, mandul, dan sebagainya. Sehimpun pribadi yang masuk dalam katerogi tidak normatif ini segera diterjang oleh wacana sebagai orang yang “tidak laki-laki” dan “tidak maskulin”.

Peristiwa perselingkuhan yang saya nukil di atas adalah bukti bagaimana seorang laki-laki bisa menjadi korban dari buasnya polaritas gender yang fokus pada laki-laki dan perempuan. Tertutupnya akses ekspresi gender ketiga atau kesekian akhirnya memaksa laki-laki nonheteroseksual mengambil langkah untuk mengenyangkan ambisi masyarakat sekaligus mengingkari hasratnya terus-menerus. Bom waktu selanjutnya mengisi perannya untuk merusakkan bukan hanya laki-laki, melainkan juga perempuan yang menjadi korban dari keputusan-keputusan tanpa opsi lain.

Laki-laki tidak diberi kesempatan untuk tidak menikah, misalnya. Sebab kelak ia akan berbenturan dengan lingkungan sosial yang ganas. Mereka hanya diberi kesempatan untuk memilih membangun rumah tangga, tidak menyimpang secara seksual, atau dicemooh sebagai bujang lapuk.

Duda Hetero dan Glorifikasi Pernikahan

Fakta betapa opresifnya posisi duda homoseksual di atas berbeda dengan kondisi duda heteroseksual di lapangan. Mereka yang oleh nasib maupun pilihan memutuskan menjadi duda diasumsikan sebagai mereka yang telah purna dengan tugasnya sebagai laki-laki. Kalau mereka hidup dalam jubah kemiskinan, masyarakat akan menganggapnya sebagai seorang pejuang, pahlawan, refleksi maskulinitas yang sesungguhnya. Betapa tidak, dengan segala keterbatasan, ia tetap bisa menjaga harga diri dan kelaminnya dengan memilih vagina yang halal tempat ia bisa bersenggama. Pernikahan memberikan garansi dan sertifikat tersebut.

Apabila ia hidup dalam selimut kekayaan yang hangat, masyarakat lebih beringas lagi memberikan nilai tambah untuknya. Hal ini bisa dibaca sebagai keberhasilannya mempertahankan hidup berkecukupan meski telah ditinggal pujaan hati. Tidak ada cela untuk para duda, terlepas dari seberapa tipis kantong-kantong ekonomi mereka.

Glorifikasi status duda ini bahkan semakin menjadi-jadi. Jika laki-laki menjadi duda kerena cerai gugat, ia tetap masih berada di atas angin. Kita bisa mempersempit dengan memasukkan formula kekerasan dalam rumah tangga, misalnya. Betapapun keras dan mengerikannya kekerasan yang ia lakukan terhadap pasangannya, tidak akan ada cukup suara untuk mengutuknya. Laki-laki tetap akan melenggang di tengah udara puja-puji karena telah berhasil mempertahankan kelelakiannya melalui upaya yang “hanya sedikit keras” untuk mengarahkan istrinya pada jalan yang benar. Lagi pula, KDRT terjadi pasti karena kesalahan istri yang pembangkang dan tidak bisa menuruti mau suami. Demikian asumsi liar yang bergulir seperti bola salju.

Di tengah-tengah perputaran informasi media dan industri hiburan, pernikahan juga mendapat posisi termewah. Seluruh opera sabun tanah air pasti mengusung soalan cinta kasih dan seluk-beluknya yang berujung pada pernikahan. Napas kompleks cinderella terus diembuskan di depan layar kaca. Embun yang tercipta menjelaskan betapa pola pemikiran masyarakat tentang kebahagiaan hanya bisa dicapai oleh satu-satunya lorong sempit bernama pernikahan. Apakah sinetron yang bertebaran itu bisa dijustifikasi sebagai mimesis dari dinamika masyarakat? Pada beberapa bagian, sinetron bisa menjadi nirnilai. Akan tetapi, dalam soal lain, bukankah kita memang bisa bersepakat terkait relasinya dengan pernikahan?

Sinetron, film atau movie, pariwara dan iklan produk, terutama yang berhubungan dengan kecantikan dan perawatan tubuh, semuanya didorong untuk membuat seorang manusia lebih mudah menemui pasangannya dan segera tidur di atas ranjang pengantin. Lihat, betapa mudahnya melahirkan kebahagiaan.

Pernikahan adalah karpet merah dan duda hetero selalu mereka yang berjalan sebagai superhero.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Literasi

Kopi, Meditasi, dan Olahraga: Kombinasi Ampuh untuk Kesehatan Otak!

Published

on

Dr. Wendy Suzuki, profesor ilmu saraf dan psikologi di New York University, mengungkap hubungan erat antara olahraga dan kesehatan otak dalam wawancara terbarunya di kanal Youtube The Diary Of A CEO. Ia menjelaskan pentingnya menjaga brain health untuk mencapai kualitas hidup terbaik dan meningkatkan kemampuan kognitif.

Dalam pembukaannya, Dr. Wendy menegaskan, “Olahraga adalah alat paling kuat yang bisa kamu lakukan untuk melindungi otak dari penuaan dan penyakit neurodegeneratif.” Ia menyebutkan olahraga aerobik, seperti berjalan cepat dan sepak bola, sangat efektif meningkatkan fungsi hippocampus dan prefrontal cortex, yang berperan penting dalam memori dan konsentrasi.

Neuroplastisitas, konsep bahwa otak dapat berubah dan beradaptasi, menjadi bagian utama risetnya. “Otakmu bisa menjadi besar, gemuk, dan fluffy — artinya sehat dan penuh koneksi,” kata Dr. Wendy. Hal ini terbukti lewat studi pada pengemudi taksi London yang belajar ribuan rute kota dan akhirnya mengalami pertumbuhan signifikan pada bagian hippocampus mereka.

Dr. Wendy juga berbagi pengalamannya, “Ketika saya mulai berolahraga secara rutin, mood saya berubah drastis jadi lebih baik dan fungsi otak saya meningkat. Itu titik balik yang mengubah hidup saya.” Pengalaman pribadinya terinspirasi setelah menyaksikan penurunan kognitif ayahnya akibat Alzheimer.

Selain olahraga, ia menyarankan pola makan sehat ala Mediterania dan interaksi sosial yang aktif. “Saat kita memiliki sedikit teman atau kurang hubungan sosial, otak akan menyusut dan lebih rentan terhadap demensia,” ujarnya. Menjaga koneksi sosial tidak hanya membuat pasien lebih bahagia, tapi juga memperpanjang umur.

Video podcastnya juga mengupas teknik meningkatkan daya ingat seperti “Memory Palace”, dan menjelaskan cara kerja memori jangka panjang dan memori kerja di hippocampus dan prefrontal cortex. “Emosi memberi kekuatan pada memori lewat amygdala, jadi pengalaman yang emosional akan lebih mudah diingat,” tambah Dr. Wendy.

Mengenai demensia dan Alzheimer, ia menjelaskan, “Kita belum tahu penyebab pasti, namun berjalan kaki tiga kali seminggu bisa mengurangi risiko terkena demensia hingga 30%.” Jangan lupa dampak buruk kurang tidur, yang menghambat konsolidasi memori dan membersihkan racun otak, serta kecanduan media sosial yang berdampak negatif.

Tips hidup sehat lain yang ia berikan termasuk meditasi, kopi secukupnya, mandi air dingin, dan mengelola stres lewat mindfulness. Ia mengingatkan, “Setiap tetes keringat itu penting untuk membuat otakmu lebih sehat.”

Kesimpulannya, menjaga kesehatan otak bergantung pada gaya hidup aktif dan dukungan sosial yang kuat. Dr. Wendy mengajak semua orang untuk mulai berolahraga dan merawat otak demi kehidupan yang lebih produktif dan bahagia.

Continue Reading

Gorontalo

Bom Ikan di Perairan Desa Kalia: Alarm Keras untuk Selamatkan Laut Tojo Una-Una

Published

on

Penulis: Mohamad Rizki Kakilo S.Pi (Pemuda Tojo Una-Una)

Opini – Penangkapan dua pelaku bom ikan di perairan Desa Kalia, Kecamatan Talatako, pada 6 Agustus 2025 oleh Satpolairud Polres Tojo Una-Una bersama Dinas Perikanan menjadi sebuah momen penting dalam sejarah pengawasan laut di daerah ini. Aksi dramatis yang diwarnai pengejaran, tembakan peringatan, hingga penahanan saat mesin perahu pelaku rusak, bukan hanya menggambarkan keberanian aparat, tetapi juga menandai bahwa situasi laut Tojo Una-Una telah sampai pada titik kritis. Barang bukti berupa tiga botol bom ikan aktif dan peralatan selam yang diamankan menjadi bukti konkret bahwa praktik perusakan laut masih berlangsung.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penegakan hukum yang sifatnya represif saja cukup menghentikan fenomena ini? Atau justru kita membutuhkan strategi yang lebih holistik, yang mampu memutus siklus kerusakan dari akarnya?

Sejarah Panjang Bom Ikan: Luka Lama yang Belum Sembuh

Praktik destructive fishing di perairal laut Tojo Una-Una bukanlah fenomena baru. Catatan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Togean sejak 2019 menunjukkan adanya kasus berulang penggunaan bom ikan oleh warga lokal di wilayah konservasi. Bahkan, dalam sebuah patroli di tahun tersebut, petugas berhasil mengamankan pelaku beserta alat bukti bom ikan. Tak berhenti di situ, laporan dari National Geographic Indonesia pernah mengungkap praktik penangkapan ikan menggunakan kompresor di Reef Tangkubi, Desa Patoyan, yang juga berada di kawasan Togean. Fakta ini membuktikan bahwa Tojo Una-Una selama bertahun-tahun telah menjadi arena praktik penangkapan ikan ilegal dengan berbagai modus, dan setiap kali ada penindakan, pelaku baru seolah terus bermunculan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya soal lemahnya patroli, tetapi juga minimnya alternatif ekonomi bagi nelayan, rendahnya kesadaran ekologi, dan lemahnya sinergi antarinstansi.

Dari Represif Menuju Preventif: Jalan Menuju Laut yang Berkelanjutan

Penangkapan pada 6 Agustus 2025 yang lalu memang patut diapresiasi, tetapi momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kebijakan yang lebih menyentuh akar masalah. Beberapa langkah kunci yang bisa menjadi pijakan ke depan antara lain:

1. Penguatan patroli berbasis teknologi — Penggunaan drone, sensor laut, atau sistem pemantauan real-time yang dapat mendeteksi aktivitas mencurigakan sebelum kerusakan terjadi. Model ini telah diadopsi di beberapa negara kepulauan dan terbukti efektif .
2. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir — Mengubah pendekatan dari persuasif menjadi partisipatif, di mana nelayan menjadi bagian dari pengawasan dan pelestarian. Kesadaran bahwa bom ikan merusak terumbu karang dan memutus rantai ekosistem akan memperkuat komitmen lokal.
3. Penciptaan alternatif ekonomi — Ekowisata selam, snorkeling, budidaya laut berkelanjutan, atau pembentukan Marine Protected Area Center bisa menjadi sumber pendapatan yang ramah lingkungan.
4. Penegakan hukum berorientasi pemulihan — Restorative justice yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mengedukasi pelaku untuk menjadi agen perubahan di komunitasnya.

Dari Krisis ke Kesempatan

Kasus bom ikan di Desa Kalia adalah alarm keras sekaligus peluang emas. Alarm, karena menunjukkan bahwa ancaman terhadap ekosistem laut Tojo Una-Una masih nyata. Peluang, karena memberikan momen kebangkitan aparat dan publik untuk melakukan transformasi pengelolaan laut.

Sejarah panjang kerusakan laut di kawasan laut Tojo Un-Una mengajarkan bahwa solusi tidak bisa berhenti pada patroli dan penangkapan. Dibutuhkan kebijakan yang memadukan penegakan hukum, teknologi pengawasan, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Laut Tojo Una-Una bisa diselamatkan, tetapi hanya jika aparat dan masyarakat berjalan di jalur yang sama—bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra menjaga masa depan biru yang lestari.

Continue Reading

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler