Connect with us

Ruang Literasi

PERADILAN KHUSUS PILKADA SEBAGAI PILAR PENYELENGGARAAN PILKADA DI INDONESIA

Published

on

Foto : Shaqti Qhalbudien Yusuf

Oleh: Shaqti Qhalbudien Yusuf (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik – Universitas Paramadina, Jakarta)

Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada di Indonesia

Ketika kita berbicara tentang perselisihan dalam pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa lepas dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemilihan umum, atau yang biasa disebut Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, merupakan proses untuk memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa perselisihan hasil Pemilu hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas Pemilu, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting untuk menjamin keadilan dan kebenaran dalam proses demokrasi di Indonesia. Perselisihan hasil Pemilu harus diselesaikan dengan cara yang transparan, adil, dan akuntabel. Oleh karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk menjaga integritas dan stabilitas negara, serta kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia.

Apabila membandingkan konsepsi perumusan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman UUD 1945, kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan secara non-limitatif, karena sebagian kewenangannya masih dapat ditentukan lebih lanjut dengan Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, untuk menambah, melengkapi dan mereformulasikan ketentuan kewenangan Mahkamah Agung, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Berbeda halnya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dirumuskan secara tegas dan limitatif, sehingga pembentuk Undang-Undang tidak berwenang menambah, dan secara a contrario juga tidak berwenang mengurangi kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang yang dibentuk. Oleh karena itu, apa pun yang menjadi dasar pijakan penentuan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan berwenang atau tidaknya terhadap suatu pengujian perkara, haruslah didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Dasar dan bukan pada Undang-Undang.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tunggal penafsir konstitusi di Indonesia. Namun, seiring berjalannya praktek ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangannya melalui putusan nomor 72-73/PUU-II/2004. Putusan ini memperkuat konstitusionalitas bahwa pembentuk undang-undang dapat memastikan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) merupakan perluasan dari pengertian Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Meskipun Pilkada dan Pemilu dipisahkan secara tegas dalam undang-undang, namun penyelenggaraan Pilkada selalu berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013 juga menegaskan kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan hasil Pilkada. Putusan tersebut memastikan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan Pilkada akan terus berlaku selama belum ada undang-undang yang mengaturnya, demi menjaga integritas Pemilu dan Pilkada serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi di Indonesia

Badan Peradilan Khusus Pilkada

Pasca diterbitkannya UU Nomor 10 Tahun 2016

Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberwenangannya dalam memutus perselisihan tentang hasil Pilkada, kemudian diakomodir dalam beberapa Undang-Undang terkait, diantaranya:

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”; dan/atau
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”.

Ketentuan ini memberikan kepastian hukum dalam rangka penyelenggaraan kewenangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Namun, posisi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara limitiatif diberikan oleh UUD 1945 dinilai mencederai konstitusi itu sendiri. Perbedaan perumusan pemberian kewenangan kepada Mahkamah Agung yang jelas mengakomodir bahwa Mahkamah Agung “…mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”, tidak bisa dimaknai sama keberlakuannya terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara tegas dibatasi oleh UUD 1945.

Prof. Enny Nurbaningsih sebagai salah satu pakar ketatanegaraan Indonesia juga menyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, bahwa kewenangan dalam memutus perselisihan tentang hasil Pilkada yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, berpotensi menyebabkan Mahkamah Konstitusi kebanjiran perkara penyelesaian hasil Pilkada. Kondisi ini menyebabkan Mahkamah Konstitusi terpaksa berbagi fokus antara wewenang yang diberikan oleh UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya
batas waktu penyelesaian sengketa Pilkada yang diatur dalam Pasal 78 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Lebih lanjut, kepastian hukum yang seharusnya diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada, ternyata tidak dapat dimaknai kewenangannya akan berlaku secara terus menerus. Kewenangan ini dibatasi hingga Badan Peradilan Khusus Pilkada dibentuk. Namun, dalam pengaturan yang sama, Badan ini wajib dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional pada tahun 2024. Sayangnya, apabila berkaca dari negara-negara yang terlebih dahulu memiliki Badan Peradilan Khusus Pilkada, kompleksitas pembentukannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan koordinasi yang matang antara lembaga negara dan seluruh pihak terkait untuk memastikan pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada dapat berjalan efektif dan efisien demi terciptanya kepastian hukum dalam perselisihan hasil Pilkada.

Dikutip dari laman resmi Superior Electoral Court, Pengadilan Pilkada Brazil yang dibentuk pada tahun 1932 mengalami berbagai dinamika penyesuaian, baik dari sisi hukum maupun dinamika politik selama hampir 13 tahun. Selain itu, Tribunal de lo Contencioso Electoral sebagai pengadilan Pilkada di Mexico juga mengalami perjalanan panjang dari tahun 1987 dan baru menemui kestabilan penyelenggaraan penyelesaian perkara Pilkada setelah 20 tahun kemudian. Studi kasus dari 2 (dua) negara ini cukup menjelaskan bagaimana kompleksitas pembentukan suatu Badan Peradilan Khusus yang berwenang menyelesaikan perselisihan Pilkada di negaranya.

Kompleksitas ini wajib dimitigasi oleh Indonesia untuk menjamin penyelenggaraan negara yang memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Terlebih, pelaksanaan Pemilu di tahun 2024 tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan Pilkada semata, namun juga mencakup Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Kondisi ini akan menyebabkan Mahkamah Konstitusi akan menghadapi ratusan bahkan ribuan perkara di tahun tersebut.

Dalam konteks penyelenggaraan penyelesaian hasil Pilkada yang dapat mengakibatkan keraguan dan ketidakpuasan dari masyarakat, penulis berpendapat bahwa tindakan pencegahan yang paling efektif adalah dengan membentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada yang memiliki kewenangan yang sama dengan Badan Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Militer, dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai alternatif, lembaga negara yang sudah ada di bidang kepemiluan dapat diubah menjadi badan peradilan khusus Pilkada dengan memperhatikan keadilan yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif. Namun, perlu diingat bahwa pembentukan badan peradilan khusus Pilkada bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman negara lain yang mengalami kesulitan dalam membentuk badan peradilan khusus Pilkada. Oleh karena itu, upaya untuk membentuk badan peradilan khusus Pilkada perlu dipersiapkan secara matang agar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, diharapkan penyelenggaraan Pilkada di masa depan dapat berjalan dengan lebih adil dan transparan.

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Gorontalo

Ariyanto Yunus: Tuduhan Serius Harus Disertai Bukti, Jangan Rusak Institusi

Published

on

Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus || Foto Istimewa

News – Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus, angkat bicara menanggapi pemberitaan di salah satu media online yang menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Popayato Grup.

Dalam pernyataannya, Ariyanto menegaskan bahwa dalam logika hukum, pihak yang mengemukakan suatu tuduhan bertanggung jawab untuk menyertakan bukti yang kuat.

“Bagi saya, menduga adalah hal biasa. Tapi dalam berita itu, arahnya bukan lagi menduga, melainkan menuduh. Karena ini sudah masuk ranah tuduhan, maka harus bisa dibuktikan,” ujar Ariyanto kepada awak media, Rabu (18/06/2025).

Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan tanpa dasar seperti ini rentan menimbulkan fitnah, yang bukan hanya mencemarkan nama baik individu, tetapi juga merusak citra institusi kepolisian secara keseluruhan.

“Sekali lagi, yang dirugikan nantinya bukan hanya individu yang disebut, tapi satu institusi. Ini tuduhan serius yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” tegasnya.

Ariyanto pun meminta kepada pihak yang menyampaikan tuduhan, dalam hal ini Ketua KPMP, agar segera menyampaikan bukti konkret jika memang memiliki dasar atas pernyataan yang disampaikan ke publik.

Dirinya berharap seluruh pihak dapat bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi, agar tidak menciptakan kegaduhan atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Popayato yang selama ini dikenal hidup dalam suasana damai.

Continue Reading

News

Tak Punya Banyak, Tapi Narapidana Ini Memberi Segalanya Untuk Gaza

Published

on

NEWS – Seorang narapidana di California telah menyentuh hati ribuan orang di seluruh dunia setelah menyumbangkan seluruh pendapatannya yang sangat kecil untuk bantuan kemanusiaan di Gaza. Pria tersebut, yang dikenal dengan nama “Hamza”, bekerja sebagai petugas kebersihan di dalam penjara dan menerima upah hanya sekitar 13 sen AS per jam. Dalam kurun waktu 21 hari pada Oktober 2023, ia bekerja selama lebih dari 130 jam dan memperoleh total gaji sebesar 17,74 dolar AS. Tanpa ragu, seluruh uang itu ia donasikan untuk membantu warga sipil Palestina yang terdampak konflik.

Kisah Hamza menjadi sorotan setelah slip gaji dan surat pengajuan donasinya diunggah oleh pembuat film asal Los Angeles, Justin Mashouf, ke platform media sosial X (dulu dikenal sebagai Twitter). Postingan tersebut langsung viral dan memicu gelombang dukungan luas dari warganet. Banyak yang tersentuh oleh tindakan penuh empati dari seseorang yang hidup dalam keterbatasan tetapi tetap berupaya memberi manfaat bagi sesama.

Respon positif dari publik tak berhenti di situ. Banyak orang bertanya bagaimana mereka bisa memberikan bantuan langsung kepada Hamza sebagai bentuk apresiasi atas niat mulianya. Justin Mashouf pun meluncurkan penggalangan dana melalui GoFundMe untuk mendukung Hamza setelah pembebasannya yang direncanakan pada akhir Maret 2024. Dana tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, transportasi, hingga pelatihan kerja. Dalam waktu singkat, lebih dari 100 ribu dolar AS berhasil dikumpulkan.

Hamza sendiri merupakan mantan terpidana pembunuhan tingkat dua yang dihukum pada tahun 1986, saat usianya masih remaja. Selama hampir 40 tahun, ia menjalani masa hukuman di balik jeruji dan beberapa kali ditolak dalam sidang pembebasan bersyarat. Setelah masa panjang itu, ia akhirnya akan dibebaskan tahun ini. Dalam sebuah pernyataan, Hamza menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh donatur, tetapi ia juga mengajak masyarakat agar tidak hanya fokus membantunya, melainkan turut memprioritaskan bantuan kepada keluarga-keluarga di Gaza, Yaman, dan Afrika yang hidup tanpa akses air bersih, makanan, atau layanan kesehatan.

Kisah Hamza bukan hanya tentang kemurahan hati, tetapi juga tentang harapan, kemanusiaan, dan solidaritas global yang bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga. Ia bahkan berjanji untuk menyumbangkan gaji terakhirnya sebelum bebas dan menyalurkan sebagian dari donasi yang ia terima kepada bantuan kemanusiaan di Gaza. Di tengah dunia yang sering kali penuh dengan ketidakadilan dan keputusasaan, tindakan kecil Hamza menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa datang dari mana saja—bahkan dari balik tembok penjara.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler