Connect with us

Ruang Literasi

PERADILAN KHUSUS PILKADA SEBAGAI PILAR PENYELENGGARAAN PILKADA DI INDONESIA

Published

on

Foto : Shaqti Qhalbudien Yusuf

Oleh: Shaqti Qhalbudien Yusuf (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik – Universitas Paramadina, Jakarta)

Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada di Indonesia

Ketika kita berbicara tentang perselisihan dalam pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa lepas dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemilihan umum, atau yang biasa disebut Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, merupakan proses untuk memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa perselisihan hasil Pemilu hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas Pemilu, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting untuk menjamin keadilan dan kebenaran dalam proses demokrasi di Indonesia. Perselisihan hasil Pemilu harus diselesaikan dengan cara yang transparan, adil, dan akuntabel. Oleh karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk menjaga integritas dan stabilitas negara, serta kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia.

Apabila membandingkan konsepsi perumusan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman UUD 1945, kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan secara non-limitatif, karena sebagian kewenangannya masih dapat ditentukan lebih lanjut dengan Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, untuk menambah, melengkapi dan mereformulasikan ketentuan kewenangan Mahkamah Agung, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Berbeda halnya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dirumuskan secara tegas dan limitatif, sehingga pembentuk Undang-Undang tidak berwenang menambah, dan secara a contrario juga tidak berwenang mengurangi kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang yang dibentuk. Oleh karena itu, apa pun yang menjadi dasar pijakan penentuan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan berwenang atau tidaknya terhadap suatu pengujian perkara, haruslah didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Dasar dan bukan pada Undang-Undang.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tunggal penafsir konstitusi di Indonesia. Namun, seiring berjalannya praktek ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangannya melalui putusan nomor 72-73/PUU-II/2004. Putusan ini memperkuat konstitusionalitas bahwa pembentuk undang-undang dapat memastikan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) merupakan perluasan dari pengertian Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Meskipun Pilkada dan Pemilu dipisahkan secara tegas dalam undang-undang, namun penyelenggaraan Pilkada selalu berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013 juga menegaskan kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan hasil Pilkada. Putusan tersebut memastikan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan Pilkada akan terus berlaku selama belum ada undang-undang yang mengaturnya, demi menjaga integritas Pemilu dan Pilkada serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi di Indonesia

Badan Peradilan Khusus Pilkada

Pasca diterbitkannya UU Nomor 10 Tahun 2016

Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberwenangannya dalam memutus perselisihan tentang hasil Pilkada, kemudian diakomodir dalam beberapa Undang-Undang terkait, diantaranya:

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”; dan/atau
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”.

Ketentuan ini memberikan kepastian hukum dalam rangka penyelenggaraan kewenangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Namun, posisi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara limitiatif diberikan oleh UUD 1945 dinilai mencederai konstitusi itu sendiri. Perbedaan perumusan pemberian kewenangan kepada Mahkamah Agung yang jelas mengakomodir bahwa Mahkamah Agung “…mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”, tidak bisa dimaknai sama keberlakuannya terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara tegas dibatasi oleh UUD 1945.

Prof. Enny Nurbaningsih sebagai salah satu pakar ketatanegaraan Indonesia juga menyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, bahwa kewenangan dalam memutus perselisihan tentang hasil Pilkada yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, berpotensi menyebabkan Mahkamah Konstitusi kebanjiran perkara penyelesaian hasil Pilkada. Kondisi ini menyebabkan Mahkamah Konstitusi terpaksa berbagi fokus antara wewenang yang diberikan oleh UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya
batas waktu penyelesaian sengketa Pilkada yang diatur dalam Pasal 78 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Lebih lanjut, kepastian hukum yang seharusnya diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada, ternyata tidak dapat dimaknai kewenangannya akan berlaku secara terus menerus. Kewenangan ini dibatasi hingga Badan Peradilan Khusus Pilkada dibentuk. Namun, dalam pengaturan yang sama, Badan ini wajib dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional pada tahun 2024. Sayangnya, apabila berkaca dari negara-negara yang terlebih dahulu memiliki Badan Peradilan Khusus Pilkada, kompleksitas pembentukannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan koordinasi yang matang antara lembaga negara dan seluruh pihak terkait untuk memastikan pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada dapat berjalan efektif dan efisien demi terciptanya kepastian hukum dalam perselisihan hasil Pilkada.

Dikutip dari laman resmi Superior Electoral Court, Pengadilan Pilkada Brazil yang dibentuk pada tahun 1932 mengalami berbagai dinamika penyesuaian, baik dari sisi hukum maupun dinamika politik selama hampir 13 tahun. Selain itu, Tribunal de lo Contencioso Electoral sebagai pengadilan Pilkada di Mexico juga mengalami perjalanan panjang dari tahun 1987 dan baru menemui kestabilan penyelenggaraan penyelesaian perkara Pilkada setelah 20 tahun kemudian. Studi kasus dari 2 (dua) negara ini cukup menjelaskan bagaimana kompleksitas pembentukan suatu Badan Peradilan Khusus yang berwenang menyelesaikan perselisihan Pilkada di negaranya.

Kompleksitas ini wajib dimitigasi oleh Indonesia untuk menjamin penyelenggaraan negara yang memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Terlebih, pelaksanaan Pemilu di tahun 2024 tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan Pilkada semata, namun juga mencakup Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Kondisi ini akan menyebabkan Mahkamah Konstitusi akan menghadapi ratusan bahkan ribuan perkara di tahun tersebut.

Dalam konteks penyelenggaraan penyelesaian hasil Pilkada yang dapat mengakibatkan keraguan dan ketidakpuasan dari masyarakat, penulis berpendapat bahwa tindakan pencegahan yang paling efektif adalah dengan membentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada yang memiliki kewenangan yang sama dengan Badan Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Militer, dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai alternatif, lembaga negara yang sudah ada di bidang kepemiluan dapat diubah menjadi badan peradilan khusus Pilkada dengan memperhatikan keadilan yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif. Namun, perlu diingat bahwa pembentukan badan peradilan khusus Pilkada bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman negara lain yang mengalami kesulitan dalam membentuk badan peradilan khusus Pilkada. Oleh karena itu, upaya untuk membentuk badan peradilan khusus Pilkada perlu dipersiapkan secara matang agar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, diharapkan penyelenggaraan Pilkada di masa depan dapat berjalan dengan lebih adil dan transparan.

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Gorontalo

Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan

Published

on

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo

Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.

Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.

Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.

Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.

Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.

Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.

Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.

Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan

Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.

Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.

Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.

Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.

Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.

Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.

Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.

Refleksi Sejarah untuk Masa Depan

Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.

Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.

Continue Reading

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler