Connect with us

Ruang Literasi

Seberapa Besar Partisipasi Kaum Milenial Pada Pemilu 2024

Published

on

Oleh: Irfan Yasin, (Alumni Pascasarjana, Prodi Kependudukan dan Lingkungan Hidup UNG)

Menjelang pesta demokrasi euforianya akan terasa bilamana seluruh elemen masyarakat mulai membahasnya, ini bisa saja menjadi topik hangat yang sering dibicarakan. Kita bisa menjumpainya di kedai-kedai makan, warung-warung kopi bahkan bisa jadi di lingkungan keluarga kita.

Asyiknya lagi partisipasi kaum milenial dan masyarakat secara umum telah mulai membangun citra untuk menjadi bagian dalam peserta pemilihan umum yang akan berlangsung lima tahun sekali ini.

Hanya saja dengan beredarnya informasi sistem pemilihan umum bakal dilakukan menjadi proporsional tertutup, membuat segelintir orang khususnya kaum muda mulai memperhitungkan langkah mereka apakah akan turut terlibat langsung atau tidak.

Ada ketakutan yang menghantui jika proporsional tertutup benar-benar dilakukan, akan bermunculan asumsi-asumsi liar bahwa yang muda tidak akan terpakai. Tentunya hal ini membuat sebagian kaum muda merasa berat dan terkesan tak mau lagi terlibat dengan perhelatan pesta demokrasi yang bakal digelar pada tahun depan ini.

Issu pemilu porposional tertutup menggunakan metode pemilihan umum di mana alokasi kursi dalam sebuah badan legislatif didasarkan pada proporsi suara yang diperoleh oleh setiap partai politik.

Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem di mana pemilih memilih partai politik, bukan calon individual. Setiap partai politik memiliki daftar calon yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah pemilihan selesai, alokasi kursi didasarkan pada perolehan suara setiap partai dan calon dari daftar partai yang telah ditentukan sebelumnya akan mendapatkan kursi tersebut. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada partai politik dalam menentukan urutan calon yang terpilih.

Sistem pemilu proporsional tertutup memiliki stabilitas politik yang tinggi, karena partai politik memiliki kendali penuh atas daftar calon, mereka dapat memilih calon yang memiliki komitmen dan kesetiaan terhadap partai tersebut. Hal ini dapat mengurangi potensi konflik internal dalam badan legislatif. Selain itu, sistem ini juga mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan partai politik dan program mereka, bukan hanya karena popularitas seorang calon tertentu.

Namun, sistem pemilu proporsional tertutup memiliki kelemahan. Salah satunya adalah kurangnya keterwakilan yang memadai bagi kelompok minoritas atau independen. Karena calon yang terpilih berasal dari daftar partai yang telah ditentukan sebelumnya, sulit bagi individu atau kelompok yang tidak memiliki dukungan partai yang kuat untuk mendapatkan kursi. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya variasi pandangan dan suara dalam badan legislatif.

Melihat hal tersebut telah banyak mengurangi peminat terutama kaum milenial, karena dengan sistem porposional tertutup yang menjadi wakil rakyat ditetapkan oleh pimpinan partai politik. Sehingga kaum milenial menilai bahwa yang ditetapkan calon terpilih hanya orang-orang tertentu saja, yaitu pengurus inti atau pimpinan partai dimasing-masing wilayah yang ada dikabupaten/kota maupun provinsi.

Di sisi lain, sistem pemilu proporsional terbuka dapat memilih tidak hanya partai politik, tetapi juga calon individual dari partai tersebut. Pemilih memiliki pilihan untuk memberikan suara kepada calon yang mereka anggap paling kompoten atau sesuai dengan referensi mereka. Setelah pemilihan selesai, alokasi kursi didasarkan pada perolehan suara individu dan partai politik.

Akuntabilitas individu alam sistem terbuka, calon individu harus memperoleh dukungan langsung dari pemilih untuk terpilih. Ini dapat meningkatkan akuntabilitas individu terhadap pemilih dan meningkatkan tanggung jawab pribadi mereka sebagai wakil rakyat.

Meningkatkan partisipasi politik, Jadi sistem terbuka dapat mendorong partisipasi politik yang lebih aktif dari pemilih. Pemilih merasa memiliki kontrol lebih besar atas pilihan mereka, karena mereka dapat memilih calon individual yang mereka anggap paling sesuai

Dalam sejarahnya pelaksanaan pemilu di Indonesia, sistem proporsional terbuka dan tertutup pernah diterapkan dalam pemilihan umum. Untuk saat ini, sistem pemilu di Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, hal ini termuat dalam Pasal 168 UU No.7 Tahun 2017. Pada pasal 168 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2017 menyebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Diketahui penerapan sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia pada pemilu tahun 1955, pemilu orde baru (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan pemilu tahun 1999.

Sementara penerapan sistem proporsional terbuka, barulah indonesia menerapkannya pada pemilihan umum tahun 2004. Sebagaiman tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sejak tahun 2004, sistem pemilu proporsional terbuka masih diterapkan sampai saat ini. Penerapan sistem proporsional terbuka di Indonesia yakni pada pemilu 2004, pemilu 2009, pemilu 2015, dan pemilu 2019.

Jika kedepannya pada kontestasi pemilihan umum 2024 benar-benar diterapkan sistem proporsional terbuka, maka besar kemungkinan partisipasi kaum muda untuk menyukseskan akan sesuai harapan sebagaimana dalam UU 7 Tahun 2017 di BaB XVII Pasal 448 Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.

Gorontalo

Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli

Published

on

Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.

Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.

“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.

Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.

“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.

Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.

Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.

Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.

Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum

Published

on

Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.

Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.

Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.

Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.

Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.

“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.

Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Continue Reading

Gorontalo

Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo

Published

on

Oleh : Zulfikar M Tahuru

Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.

Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.

Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.

Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:

  • 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
  • 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
  • 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
  • 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
  • 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
  • 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
  • 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
  • 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
  • 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.

Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.

Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.

Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?

Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.

DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.

Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler