Connect with us

News

Sukses Menggelar Mubes, Ini Komposisi Baru Pengurus KMI-Balut Gorontalo

Published

on

Laimudi dan Filda, Pasangan Ketua Dan Sekretaris Umum terpilih, dalam Musyawarah Besar KMI Balut Gorontalo, Sabtu (21/12/2019)

Gorontalo-Lembaga kemahasiswaan Keluarga Mahasiswa Indonesia Banggai Laut (KMI-Balut) Gorontalo sukses menggelar Musyawarah Besar (Mubes) tahunan tahun 2019. Mubes yang diselenggarakan di Sekretariat KMI Balut melahirkan komposisi pengurus organisasi baru.

Mubes yang berlangsung selama dua hari berturut-turut 20-21 Desember 2019 tersebut melahirkan Laimudi sebagai Ketua Umum serta Filda selaku sekretaris Umum. Pasangan ini dipilih secara demokratis dalam sesi pemilihan Ketua dan Sekretaris Umum KMI Balut untuk masa kepengurusan tahun 2020.

Proses pemilihan berlangsung hikmad dan tertib. Ada dua pasangan yang sebelum itu muncul dalam tahapan penjaringan bakal calon. Di antaranya Jecky dan Abd. Hadi serta Laimudi dan Filda.

“Mubes kali ini kita laksanakan selama dua hari. Di mulai pada Jumat kemarin dengan beberapa agenda di antaranya pembentukan sejumlah aturan dasar organisasi, dan tadi (Sabtu,red) kita lanjutkan kembali untuk sesi pemilihan ketua dan sekum,” ujar Riksan Kiliu, Ketum Demisioner KMI Balut tahun 2019.

Sementara itu Ketua Umum terpilih Laimudi mengungkapkan rasa terimakasih kepada segenap anggota KMI Balut yang telah mempercayakan tampuk kepemimpinan padanya. Ia berjanji akan mewujudkan organisasi ke arah yang progresif serta meningkatkan kuantitas dan kwalitas kader yang berlandaskan ‘pomenggon noa’.

“Lembaga ini memiliki landasan pomenggon noa, yang mengandung arti setiap anggota harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan satu hati,” kata Laimudi.

News

Korupsi Lagi ! Adik Yusuf Kalla Resmi Jadi Tersangka. Nilai Kerugian Negara Capai 1,3 Triliun

Published

on

Adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Halim Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri. Halim selaku Presiden Direktur PT BRN diduga berperan dalam penyalahgunaan wewenang pada proyek senilai lebih dari Rp 1,3 triliun ini, yang akhirnya mangkrak sejak 2016. Selain Halim Kalla, tersangka lain yang dijerat antara lain mantan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN inisial RR, serta Dirut PT Praba, HYL.

Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menegaskan, “Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ujarnya dalam konferensi pers. Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, juga menjelaskan, “Sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam lelang PLTU 1 Kalbar.” Proyek ini didanai kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA), namun pelaksanaan dan progresnya bermasalah hingga menyebabkan kerugian negara besar-besaran.

Tercatat nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun akibat proyek mangkrak dan upaya persekongkolan dalam lelang antara oknum PLN dan pihak swasta terkait. Sampai saat ini proses hukum masih berjalan dan tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru berdasarkan pengembangan penyidikan lebih lanjut.

Continue Reading

News

Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital

Published

on

Zulfikar M. Tahuru Politisi muda Gorontalo || Foto istimewa

Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Politisi muda Gorontalo

Demokrasi Indonesia hari ini tampak seperti arena besar yang ramai, tapi kehilangan arah moralnya. Setiap kali pemilu datang, semua pihak ikut berebut memberi “penyadaran” — lembaga swadaya masyarakat dengan kampanye moralnya, media dengan liputan heroiknya, dan warganet dengan idealismenya di dunia maya. Semua merasa berperan dalam menjaga demokrasi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, satu kelompok yang justru paling senyap adalah kaum terpelajar.

Padahal, kalau menilik pemikiran klasik C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), kaum intelektual seharusnya menjadi kelompok yang memegang fungsi kontrol sosial dan moral terhadap kekuasaan. Mereka punya jarak kritis yang memungkinkan untuk menilai, mengingatkan, dan — bila perlu — menggugat. Namun, dalam praktiknya, banyak kaum terdidik justru memilih posisi aman: Mereka yang paham teori justru tidak banyak bicara. Mereka yang mengerti sistem justru takut dianggap berpihak.
Mereka lupa, netral di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan, Tapi pembiaran.

Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat kini makin dikuasai oleh kapital. Teori elite capture menjelaskan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi kerap disandera oleh kelompok ekonomi kuat yang mampu mengendalikan narasi publik, kebijakan, bahkan hasil pemilu. Fenomena ini tampak jelas di Indonesia: biaya politik yang mahal membuat demokrasi bergantung pada donatur besar. Alhasil, demokrasi berubah dari ruang partisipasi menjadi pasar transaksi.

Lantas, di mana peran kaum terpelajar ketika demokrasi dirampas oleh modal?
Apakah mereka masih punya keberanian untuk menulis, bersuara, atau sekadar mengingatkan publik tentang bahaya sistem yang dikendalikan uang?

Ironisnya, ketika hasil demokrasi mengecewakan, kita dengan mudah menuding partai politik. Seolah seluruh dosa demokrasi berhenti di sana. Padahal, partai hanyalah satu organ dari sistem yang lebih besar. Demokrasi adalah tanggung jawab kolektif: rakyat, media, akademisi, dan kelas menengah — semua punya andil dalam menjaga kesehatannya. Ketika kaum intelektual memilih diam, demokrasi kehilangan akal sehatnya. Ketika rakyat apatis, demokrasi kehilangan ruhnya.

Dalam konteks ini, teori public sphere dari Jürgen Habermas relevan untuk diingat. Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang rasional — tempat masyarakat berdialog secara setara, bukan berdasarkan uang atau kekuasaan. Kaum terpelajar seharusnya menjadi penjaga ruang itu: memastikan diskusi publik tidak tenggelam oleh propaganda, dan pengetahuan tetap menjadi cahaya bagi arah bangsa.

Demokrasi Indonesia tidak sedang kekurangan pemilih. Yang hilang justru para pendidik bangsa yang mau berpikir dan berbicara tanpa takut kehilangan posisi. Karena jika kaum terpelajar terus bungkam, maka suara nurani bangsa akan perlahan menghilang — dan demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan tanpa Ruh.

Continue Reading

News

Bongkar Skandal MBG! Aliansi Gizi Nasional : Dari Atas Minta Jatah, Verifikator Jahanam Iblis

Published

on

Persoalan carut-marut pada pelaksanaan program nasional makan gizi gratis memicu gelombang protes dari Aliansi Pemantau Program Badan Gizi Nasional (BGN). Dalam video berdurasi 13 menit di kanal STAR 7 CHANNEL, mereka menyoroti banyak kejanggalan soal pengelolaan dapur gizi—mulai dari dugaan korupsi, kebijakan rollback status dapur gizi, hingga rendahnya penyerapan anggaran oleh BGN.

Aliansi menerima puluhan keluhan dan laporan dari calon mitra pelaksana dapur gizi, bahkan menemukan fakta bahwa 6.018 dapur gizi diturunkan statusnya dari dapur persiapan menjadi pengusulan kembali, dan akhirnya banyak yang tertolak. Menurut Ketua Umum Aliansi Pemantau Program Badan Gizi Nasional (BGN) Ahmad Yazdi, SH,

“Nama-nama disebut adalah benalu yang jelas dan nyata di BGN. Itu yang pertama.”

Aliansi telah melayangkan surat tuntutan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, yang salah satunya meminta pencopotan pejabat fungsional utama di BGN. Nama-nama yang diusulkan untuk dicopot di antaranya Dadan Hidayana, Tigor Pangaribuan, Ari Santoso, Nicola Fedri, Red Hendra Gunawan, dan Sony Sanjaya. Mereka dianggap memiliki andil dalam praktik-praktik tidak sehat di tubuh BGN.

Terkait dugaan korupsi, narasumber menegaskan:

“Bukan dugaan, Mbak. Itu fakta terjadi di lapangan. Jadi masyarakat dan mitra memang dimintain duit kok. Itu fakta, real. Coba kalau di sini ada pengusaha-pengusaha yang lagi datang di mitra, tanyain aja kalau dia pada mau jujur, berapa tuh bayar satu titik gitu. Fakta itu. Saya enggak bicara itu. Kalau dia bilang fitnah, laporkan saya.”

Keluhan semakin memuncak karena mitra-mitra yang telah membangun dapur gizi ada yang progresnya sudah 100% namun akhirnya tertolak; dana rakyat dipertaruhkan. Laporan pelanggaran ini pun telah dibuat dan dikirim ke KPK, BPK, dan Kejaksaan untuk pemeriksaan serta audit rekening pejabat terkait.

Aliansi juga menyoroti rendahnya penyerapan anggaran BGN. Narasumber mengutip pernyataan dari pejabat lain yang menyebut, “BGN adalah salah satu badan yang paling rendah penyerapan anggarannya. Artinya apa? Enggak bisa kerja ini orang-orang di sini, gitu.”

Aliansi merekomendasikan pengawasan program dapur gizi tetap ditingkatkan—bukan dihentikan. Mereka menyerukan agar verifikasi dapur persiapan dilakukan secara adil dan transparan, serta kebijakan rollback dihapuskan.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler