Connect with us

Ruang Literasi

Teguh untuk Tangguh

Published

on

Oleh : Mohamad Makmun Rasyid – Penulis

Ramadan disebut bulan kebatinan (الباطن). Kesuksesan seorang yang telah berpuasa adalah memiliki kepekaan batin (اشعار الباطنية). Untuk menujunya, Nabi menuntun para penempuh jalan kebenaran atau manusia yang mencintai kebenaran dengan terlebih dahulu mengosongkan perutnya (بطون). Pengosongan ini untuk membakar dan memutus kerakusan syahwat (بطنة شهوتية) dan melipat selimutnya (بطانية). Keduanya menjadi penghalang tercapainya keinginan menuju-Nya. Dua godaan yang kerap melalaikan manusia, menjadi sebab manusia dididik sebulan penuh dalam Ramadan.

Begitu malam tiba dan gelap menyelimuti semesta, bahkan sajadah terhampar lebar di pojok ruangan, kita belum kunjung ‘menemui’-Nya. Dia telah menanti kehadiran kekasih-Nya. Anehnya, kita lebih cepat bergegas kala pemimpin kantor memanggil. Berpakaian rapi dan menyemprotkan wewangian yang menembus hidung-hidung lawan jenis. Saat Tuhan berkata, orang-orang bertakwa kelak nanti berada di taman-taman surga dan mata air yang mengalir jernih (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 15), sedikit sekali yang bergegas.

Mereka itulah yang di kegelapan malam, menyedikitkan tidurnya (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 18). Di sisian malam, ada seorang hamba-Nya tersimpuh dalam belai kuasa-Nya. Di pojok-pojok rumahnya, para pendosa menghamparkan sajadahnya sambil mengais doa dan memuja-Nya penuh pengharapan. Hamba-hamba itu tersungkur malu. Sebab, nikmat-Nya tidak sebanding dengan ketaatannya.

Kita sering lupa. Dia telah memberikan segalanya. Munajat kita dikabulkan-Nya. Permohonan kita selalu turun temurun. Tapi kita melupakan-Nya, hatta tak menyisihkan sedikit pun bergumul dengan-Nya. Ya, dalam kedua bola mata kita, yang tergambar masih sebatas kecintaan badaniyah-material. Keduniaan masih dianggap sesuatu yang melampaui segenap ekpektasi di dunia.

Pandangan di alam raya pun beragam. Mulai istri dicinta; anak disayang; orang tua dihormati. Dalam situasi Covid-19 ini, layar kaca media sosial dipenuhi oleh tayangan-tayangan seorang istri memberi kasih tak terhingga pada suaminya; anak-anak memberikan kebanggaan pada ayah-ibunya; dan orang tua memberi kehormatan pada anak laki-perempuannya yang patuh untuk “stay at home”.

Masihkah, di tengah keindahan itu semua, kita lantas tersadar bahwa Dialah Maha Pemberi segalanya. Kepedulian pada semuanya itu masih melampaui kepedulian kita atau menyeimbangkannya dengan mendekat pada-Nya? Semoga Tuhan tidak ‘membuang mukanya’ pada kita semua. Semoga!

Di tengah penghormatan kita yang tinggi kepada sesama manusia, seyogyanya kita pula teguh pada ketaatannya. Seseorang yang menyatakan dirinya beriman, kerap kurang waspada. Sehingga sesaat imannya lenyap, sinergi antara iman dan ilmu tidak lagi menjadi pemandu gerak. Tidak lagi menjadi cahaya pembebas dari belitan ego yang membutakannya.

Ketika sebagian salik mengibaratkan bahwa “shirât al-Mustaqîm” merupakan titian rambut yang dibelah tujuh, itu bertujuan sebagai pengingat dini. Begitu susahnya mendaraskan firman-Nya, mengaplikasikan ajaran-Nya, mengabdi pada-Nya dan memanusiakan hamba-Nya. Kesimpulan “pengingat” itu bisa dilihat dari frasa munajat seorang Muslim, berupa “tunjukilah kami jalan yang lurus” terletak setelah frasa “hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Teguh untuk tangguh sebagai pengabdi Tuhan tidaklah mudah. Frasa di atas yang didaras oleh mereka yang sadar pun akan masih diberikan ujian dari-Nya. Disinilah keharusan mengosongkan perut dan menyingkirkan selimut agar di sisian malam, kita menyibukkan diri semampunya. Dialah yang mengokohkan sebuah keteguhan. Hanya berkat taufik-Nya, seorang pegiat suluk tidak terhenti, terbelokkan dan terpalingkan ke kiblat lain. “Dan sekiranya Kami tidak memperteguh dirimu, niscaya engkau hampir saja mencondongkan dirimu sedikit kepada mereka” (Qs. Al-Isrâ’ [17]: 74).

Tanpa-Nya, seorang salik tidak akan berada di jalan-Nya. Dan tanpa-Nya pula, seorang yang telah menjadi salik (penapak jalan) tidak akan terpandu sepanjang jalan menuju tujuan yang sesungguhnya. Dalam Al-Fatihah ayat enam, kata “ihdina” pada ayat “ihdina al-Shirât al-Mustaqîm” menujukkan kebenaran pernyataan di atas. Kata “ihdi” yang bermakna tunjukilah, berakar pada kata “hidayah”, yang dalam pengertian orang Indonesia dipadankan dengan petunjuk.

Frasa “tunjukilah kami jalan yang lurus” memiliki tafsiran yang berbeda dengan frasa “tunjukilah kami ‘ke’/‘menuju’ jalan yang lurus”. Mengapa ayat enam dari surah Al-Fâtihah tidak diartikan “tunjukilah kami ‘ke’ jalan yang lurus”? itu menunjukkan bahwa seorang pendaras ayat ini “sedang” dan “telah” berada di jalan yang lurus. Kepastian tafsiran ini disebabkan, ayat sebelumnya bernarasikan adanya pengakuan ketauhidan dari seorang penapak jalan. “Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Pendaras Muslim seharusnya, dengan mengulang-ngulang ayat tersebut, tidak lagi mengedepankan dan menyondongkan dirinya ke selain-Nya. Dan yang telah tersadar pun, sikap jumawa tak boleh ditonjolkan. Sebab, perjalanan menuju-Nya masih panjang, juga berakhirnya dunia tak berkepastian serta tiupan sangkakala tak ditentukan kapan waktunya.

Tafsiran lainnya, sebab frasa itu digunakan sebab Allah sedang memandu salik itu. Mengantarkannya ke sebuah tujuan abadi; Tuhan. Teguh untuk tangguh dalam sebuah perjalanan bukan sehari dua hari dilakukan. Ramadan ini ibarat mobil yang di-“service”, agar setelah keluar dari bengkel, kebersihan dan kefitrian itu dibawa selama sebelas bulan berikutnya. Sebelas bulan bukanlah hal cepat. Banyak perkara terlarang kita lakukan yang membuat titik hitam ada di sekujur tubuh.

Tidak kurang apa seorang Abu Bakar berwasiat pada Umar sebelum menghembuskan napas terakhirnya. “Kebenaran itu berat namun berakibat nikmat. Sedangkan kebatilan itu mudah namun sesungguhnya ia wabah (penyakit)”. Nyatalah jika menapaki jalan menuju-Nya yang lama ini membutuhkan piranti spiritual. Piranti spiritual itulah yang saya sebut teguh—dalam Arabnya dikenal “istiqâmah”. Dalam keteguhan itu, ia akan bekerja keras membangun kembali jasad yang rusak, dikarenakan asupan dan tindakan terlarang layaknya kewajiban. Ibarat seorang panuan di sekujur tubuhnya, ia melihat orang panuan itu tampak putih dan menawan. Sejatinya, ia terkena penyakit.

Gorontalo

Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo

Published

on

Oleh : Zulfikar M Tahuru

Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.

Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.

Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.

Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:

  • 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
  • 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
  • 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
  • 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
  • 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
  • 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
  • 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
  • 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
  • 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.

Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.

Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.

Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?

Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.

DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.

Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.

Continue Reading

Gorontalo

Dari Gunung ke Kampus: MAPALA_STA Genap 30 Tahun Membumikan Nilai Ekologis

Published

on

Tiga dekade perjalanan Mahasiswa Pencinta Alam Sultan Amai (MAPALA_STA) bukan sekadar deretan angka, melainkan cermin nilai, perjuangan, dan eksistensi. Organisasi ini lahir dari semangat petualangan yang berpadu dengan kesadaran ekologis serta tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.

Dalam peringatan 30 tahun MAPALA_STA, Rahmat Djaba — Ketua NGO Tomini Initiative Indonesia (To_Innesia) sekaligus senior Mapala_STA IAIN Sultan Amai Gorontalo — menyampaikan pesan reflektif bertajuk “Menuju Terbangunnya Nilai Hakiki Pelestari Bumi.” Ia menegaskan bahwa gerakan pencinta alam harus melampaui romantika petualangan menuju kesadaran ilmiah, sosial, dan spiritual.

MAPALA Sebagai Pengusung Nilai Hakiki

Rahmat menekankan, Mahasiswa Pencinta Alam harus menjadi pelopor perubahan paradigma dari antroposentrisme menuju ekosentrisme — pandangan yang menempatkan seluruh unsur alam sebagai entitas bernilai intrinsik yang wajib dihormati dan dilindungi.

Menurutnya, ada tiga nilai hakiki yang perlu dihidupkan dalam gerakan pencinta alam:

  1. Kesadaran Ilmiah dan Kritis
    Menjaga bumi bukan sekadar idealisme, melainkan keharusan ilmiah. Sejalan dengan laporan IPCC 2023, krisis iklim merupakan konsekuensi dari perilaku manusia yang tidak berkelanjutan.

  2. Kesadaran Sosial dan Humanistik
    Kerusakan alam paling dirasakan oleh kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan komunitas adat. Karena itu, perjuangan ekologis harus berjalan seiring dengan perjuangan keadilan sosial. Paus Paulus VI (1971) menegaskan, “Ketidakadilan terhadap manusia adalah ketidakadilan terhadap ciptaan.”

  3. Kesadaran Spiritual Lintas Iman
    Alam adalah kitab suci terbuka. Rahmat menegaskan pandangan lintas agama terkait pelestarian bumi:

  • QS. Al-A’raf :56 menyerukan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.

  • Kejadian 2:15 menyebut bahwa Tuhan menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan dan memeliharanya.

  • Prinsip Ahimsa dalam Hindu dan ajaran Metta Sutta dalam Buddhisme menegaskan kasih universal terhadap seluruh makhluk hidup.

Tiga Dekade Refleksi Gerakan MAPALA_STA

Selama 30 tahun, MAPALA_STA telah berevolusi dari komunitas petualang menjadi laboratorium etika ekologis. Namun, Rahmat mengajak seluruh anggota untuk merefleksikan arah gerakan:
“Apakah kegiatan kita masih sebatas mendaki dan berpetualang, atau sudah menjadi gerakan ilmiah yang melahirkan solusi konkret bagi keberlanjutan lingkungan?”

MAPALA_STA, lanjutnya, harus menjadi agen perubahan ekologis di kampus dan masyarakat dengan mengintegrasikan riset, advokasi, dan aksi nyata. Kegiatan pendakian sebaiknya menghasilkan data konservasi, ekspedisi melahirkan riset biodiversitas, dan aktivitas sosial menumbuhkan kemandirian ekologis masyarakat.

Di tingkat kampus, Rahmat menegaskan pentingnya mewujudkan konsep Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Ilmiah secara terintegrasi. Salah satu langkah nyata yang ia contohkan adalah penanaman multi-purpose tree species (MPTS) — pohon yang menghasilkan buah, sayur, dan obat-obatan sekaligus menjaga kesuburan tanah dan keseimbangan air.

Menjadi Sentrum Perubahan dan Pelestari Bumi

Menurut Rahmat, menjadi pelestari bumi berarti membangun etos ekologis berkelanjutan yang menyatukan pengetahuan, moral, dan spiritualitas. Ia mengutip pemikiran Seyyed Hossein Nasr (1996) dalam Religion and the Order of Nature, yang menyebut krisis ekologis modern lahir dari hilangnya kesadaran sakral terhadap alam.

“Tugas kita adalah mengembalikan kesakralan itu melalui ilmu, iman, dan tindakan. Mapala harus menjadi ekologi moral bangsa, penjaga nilai, dan penggerak kesadaran ekologis lintas generasi,” ujarnya.

Menutup pesannya, Rahmat Djaba mengutip sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR. Muslim)

“Tiga puluh tahun ini menjadi momentum reflektif bagi kita untuk menegaskan jati diri, bukan sebagai penakluk alam, tetapi penjaga keseimbangannya,” imbuhnya.
Ia menutup dengan ajakan penuh makna: “Mari kita jawab amanah itu bukan dengan wacana, tetapi dengan aksi nyata untuk bumi kita.”

Continue Reading

Ruang Literasi

Perempuan yang Dilamar oleh Langit

Published

on

Sandy Syafrudin Nina

Gorontalo – Malam itu, air di Danau Limboto meluap, orang-orang tak menyangka Danau yang sekian tahun tenang, kini menampakkan amarahnya. Air danau Limboto sangat cepat masuk ke rumah-rumah warga, bahkan menyentuh hingga seng pemukiman nelayan. Orang-orang saling bahu membahu menolong. Para Relawan disetiap lembaga kemanusiaan ikut merespon. Berita menyebar di mana-mana, banjir besar Danau Limboto menjadi pusat perhatian.

Aku yang tergabung dalam barisan lembaga kemanusiaan Rumah Zakat segera ikut merespon dengan kawan-kawan lainnya; meng-evakuasi, membagikan makanan siap saji, hingga keputusan membangun Dapur Umum untuk warga yang terdampak banjir Danau Limboto. Banjir itu berlangsung lama, kira-kira 3-4 bulan air tersebut barulah surut total.

Dapur Umum menjadi bab baru bagi setiap orang yang terlibat sebagai relawan di sana; ada masyarakat umum yang ikut membantu, lalu meramaikan dapur umum, ada relawan baru yang bergabung, ada relawan lama yang bertugas. Dapur umum bukan sekadar dapur, ia adalah kumpulan kontribusi, perkenalkan, cerita, serta doa-doa kecil yang selalu didengar oleh langit. Itulah awal mula aku pribadi mengenal sosok adik Cindrawati Rahman; relawan baru di dapur umum, yang begitu mendedikasikan tenaganya untuk menopang makanan agar terbagikan dalam waktu dan jumlah yang telah ditetapkan.

Keseharian adik Cindrawati Rahman, ia selalu bermain dengan kucing dan memakai headset khas miliknya berwarna pink. Keseharian teman-teman relawan saling mengajak dalam kebaikan, saat adzan berkumandang semua saling mengingatkan untuk salat, begitupun para akhwat, termasuk dik Cindrawati Rahman.

Sampai kabar itu pun tiba. Tadi malam, satu provinsi Gorontalo digegerkan oleh berita lakalantas yang menewaskan satu wanita bercadar di tempat dengan kondisi kepala yang memprihatinkan karena terlindas konteiner. Setelah ditelusuri ternyata wanita bercadar itu punya history sebagai Relawan Rumah Zakat Gorontalo, ia terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan.

Orang-orang akhirnya ramai memperdebatkan, kalaulah dia bercadar dan baik kenapa kematiannya begitu tragis. Padahal kematian itu rahasia Allah, Allah yang memiliki kendali dan kehendak atas umur dan bagaimana kita meninggal di akhir nanti. Orang-orang ramai membicarakan itu, sampai mereka lupa, bahwa adik Cindrawati Rahman meninggal dunia di malam Jum’at, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah (azab) kubur.”

— HR. Ahmad (no. 6546), Tirmidzi (no. 1074)

Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
Syaikh Al-Albani juga mensahihkannya dalam Ahkamul Jana’iz (hal. 49).

Bukan hanya itu, Adik Cindrawati Rahman yang menggunakan cadar ini, saat pakaian di tubuh tersingkap, masyarakat berbondong-bondong dan bergegas memperbaiki pakaiannya tersebut. Beginilah cara Allah menjaga aurat wanita yang terbiasa menjaga auratnya.

Dan, entah apa amalan langit yang dilakukan oleh Adik Cindrawati Rahman ini, sampai-sampai wajahnya tak diizinkan untuk terlihat sedikitpun oleh laki-laki yang berkerumun di tempat itu, bahkan oleh laki-laki yang ada di tempatnya. Wajahnya disembunyikan oleh Allah hingga ia meninggal dunia.

Ingatlah, kematian itu rahasia Allah, ada orang yang meninggal dengan tubuh yang lengkap tetapi ia meninggal di tempat bermaksiat; club malam, tempat narkoba, dll. Jadi kejadian-kejadian menuju kematian itu sepenuhnya rahasia Allah. Dan kita doakan, semoga Adik Cindrawati Rahman dengan kebaikannya yang selalu membantu orang banyak, mendapat balasan yang indah di sisi Allah.

Ketika langit telah melamar seorang wanita, wajahnya pun disembunyikan hingga akhir hidupnya.

📝 Sandy Syafrudin Nina
Penulis Lepas, Yang Melepaskan Tulisan.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler