Connect with us

Ruang Literasi

Penerapan PSBB dan Proteksi Kelompok Lanjut Usia

Published

on

Funco Tanipu
(Crisis Covid-19 Center Universitas Negeri Gorontalo)

Hari ini tepat 20 hari Covid-19 terkonfirmasi ada di Gorontalo. Walaupun pergerakan agak lambat, namun kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi. Hari ini jumlah pasien yang terkonfirmasi positif sejumlah 15 orang, yang meninggal 1 orang dan yang pulih belum ada. Secara global per 28 April 2020, pengidap Covid-19 menembus angka 3,073,603, dengan kematian 211,768 orang dan yang pulih 924,643 orang. Di Indonesia sendiri, 9,096 terjangkit virus ini, diantaranya ada 765 yang mati dan 1,151 yang sembuh.

Gorontalo sendiri mengoleksi persentase 6.7 persen untuk fatality rate, Indonesia sendiri 8.4 persen, dan secara global 6.8 persen. Beda Gorontalo dengan global hanya 0.1 persen, dengan Indonesia bedanya 1.5 persen.

Secara global, fatality rate ini lebih besar dari orang lanjut usia. Kelompok usia ini memiliki risiko sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa angka kematian pada pasien berusia sekitar 65 tahun meningkat drastis. Di China, misalnya, angka mortalitas untuk orang yang terinfeksi yang berusia hingga 40 tahun hanya 0,2 persen. Namun, bagi yang berusia di antara 70 hingga 79 tahun angka kematian mencapai 8 persen, dan mencapai 14,8 persen bagi yang berusia 80 tahun atau lebih.

Terkait kebutuhan perawatan lanjut, menurut studi yang diterbitkan di jurnal Lancet Infectious Diseases, menunjukkan hanya 0,04 persen orang dari kelompok usia 10 – 19 tahun yang perlu dirawat di rumah sakit karena Covid-19, tapi 18 persen orang di atas 80 tahun sangat memerlukan pertolongan dari rumah sakit. Tren ini naik di kelompok usia paruh baya. Di kelompok usia 40 an tahun, jika terjangkit Covid-19, hanya 4 persen yang butuh perawatan rumah sakit, tetapi angka ini naik menjadi sekitar 8 persen di pasien berusia 50 an tahun. Data melonjak mencapai 7,8 persen di pasien berusia 80 tahun ke atas, 18 persen orang di atas 80 tahun sangat memerlukan pertolongan dari rumah sakit.

Kesimpulan dari data ini, bahwa semakin lanjut usia seseorang maka semakin rentan akan terjangkit Covid-19, demikian pula dengan angkat kematian yang rentan pada usia lanjut. Angka ini signifikan dengan kebutuhan perawatan bagi usia lanjut.

BAGAIMANA DI GORONTALO?

Jika kita merujuk pada data Gorontalo Dalam Angka pada tahun 2019, orang yang berusia lanjut diatas 50 tahun di Gorontalo berjumlah 202.951 jiwa. Adapun kelompok usia lanjut ini terdiri dari usia 50 – 60 tahun sejumlah 110.345 jiwa. Usia 60 – 70 tahun sekitar 61.755 jiwa, dan usia 70 tahun keatas sekitar 30.851. Dari total pasien yang terkofirmasi positif di Gorontalo ada 6 orang (40 %) yang berusia diatas 50 tahun dari 15 pasien positif.

Dalam studi yang dirilis dalam jurnal Lancet Infectious Diseases, bahwa pasien yang berusia di atas 50 tahun lebih butuh perawatan rumah sakit dan lebih terancam jika tidak ditangani.

Pertanyannya, bagaimana kebijakan daerah terkait kelompok usia diatas 50 tahun sejumlah 202.951 jiwa yang berada di Gorontalo? Apakah akan disikapi sama dengan kelompok usia lain, ataukah harus ada kebijakan khusus terkait itu?.

Per tanggal 28 April 2020, Gorontalo resmi memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), implikasi dari penerapan PSBB akan mengurangi penyebaran Covid-19. Harapannya, kebijakan ini bisa diikuti oleh semua kalangan.

Penerapan PSBB ini tidak bisa pukul rata untuk bagi semua masyarakat, harus ada pengecualian bagi kelompok yang usia lanjut dan rentan resikonya. Implikasi dari penerapan PSBB adalah memperkuat jaring pengaman sosial untuk bisa “diamankan” secara ekonomi. Dari data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), penerima bantuan pangan pokok Jaring Pengaman Sosial (JPS) di Gorontalo yang semula 34.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi 84.181 KPM. Bantuan pangan itu akan diserahkan sebanyak 3 kali. Bantuan KPM itu senilai Rp 178.150 per paketnya.

Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota perlu memikirkan kelompok yang rentan secara usia tersebut harus diberi porsi yang khusus dalam pemberian JPS. Artinya komponen bantuan sejumlah Rp. 178.150 tersebut tidak bisa sama dengan kelompok usia lainnya. Perlu dipikirkan dalam bantuan tersebut bisa dilebihkan untuk obat-obatan sebagai penguat imun dan bahan pangan khusus untuk yang lanjut usia.

Begitu pun dalam pengelompokkan secara lebih detail, penanganan kelompok usia lanjut ini perlu dihitung dan diidentifikasi by name dan by address agar penanganan serta “karantina” khusus bagi kelompok usia ini bisa dipantau secara real time. Karantina yang dimaksud adalah mulai dipikirkan untuk pemisahan dari kelompok usia yang berada di bawah 50 tahun dalam rumah masing-masing, khususnya bagi rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang banyak beraktifitas diluar rumah.

Dalam penerapan PSBB, penyediaan fasilitas kesehatan juga harus maksimal. Dari data kajian usulan PSBB Gorontalo, tempat tidur yang bersifat ready untuk isolasi sangat terbatas yakni Rumah Sakit Aloei Saboe 8 tempat tidur, Rumah Sakit Hasri Ainun Habibie 2 tempat tidur, Rumah Sakit Dunda 6 tempat tidur. Ketersediaan ini bisa mencapai 350 tempat tidur jika memaksimalkan ruangan alternatif di rumah sakit-rumah sakit tersebut dan Mess Haji Gorontalo.

Dari data diatas terlihat bahwa jika lonjakan kasus positif meningkat maka ketersediaan faskes akan sangat terbatas. Padahal fakta 40 persen pasien usia lanjut dari sejumlah pasien terkonfirmasi positif bisa menjadi data dasar mengenai kerentanan usia lanjut. Apalagi dari total jumlah tersebut belum ada yang sembuh (recovery rate 0 %).

Selain itu, kelompok usia lanjut yang rentan ini tidak bisa ditunggu “positif” dulu baru dilakukan penanganan. Harus ada skenario proteksi pada kelompok ini dengan memperhatikan status gizi kelompok ini. Termasuk melakukan pelarangan yang ketat bagi kelompok usia lanjut ini untuk beraktifitas di luar rumah, tentu dengan menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan dasar bagi mereka.

Terkait itu, refocussing anggaran tahap ketiga pasca penerapan PSBB (28/4) perlu memprioritaskan kebijakan khusus pada kelompok usia lanjut. Kebijakan ini membutuhkan data yang lebih rigid dan spesifik. Data yang dibutuhkan adalah nama, alamat, pendidikan, agama, penyakit bawaan, status ekonomi, dan status gizi (imunitas).

Data ini dibutuhkan untuk bisa memetakan secara lebih rigid kelompok usia lanjut agar bisa dilakukan pendekatan dengan kebijakan khusus lansia. Salah satu kebijakan yang harus dilakukan adalah melakukan Rapid Test secara massif kepada kelompok usia lanjut. Hal ini bisa memetakan secara lebih dalam mana yang memiliki imun rendah dan perlu penanganan khusus (untuk selanjutnya dilakukan Swab Test serta mana yang bisa diperkuat imun agar pada rapid test bisa negatif. Pun demikian bisa memetakan mana yang memiliki penyakit bawaan dan tidak, sehingga proses karantina lebih maksimal.

Kebijakan khusus ini mesti dibahas secara serius dan bisa diinternalisasikan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) serta Peraturan Bupati/Walikota (Perbub/Perwako) hingga perumusan Perdes (Peraturan Desa) terkait penanganan kelompok usia lanjut secara khusus. Dari regulasi ini, dapat disusun lebih rinci mengenai protokol pencegahan dan penanganan bagi kelompok usia ini.

Jika melihat kemungkinan penyebaran di Gorontalo yang masih bisa dikendalikan pasca penetapan PSBB, maka “menyelamatkan” angka 202.951 jiwa menjadi hal yang mendesak, walaupun mendesak pula bagi semua kelompok usia. Namun jika dilihat dari potensi kerentanan, 202.951 jiwa ini yang berpotensi tinggi dibanding kelompok usia lain. Karena itu, kebijakan khusus kelompok usia ini sangat penting untuk diprioritaskan dalam pencegahan Covid-19.

Secara lebih luas, hal ini adalah bagian dari proteksi terhadap “kebanggaan” kita bersama terhadap naiknya angka harapan hidup di Gorontalo. Jika kita “bangga” terhadap kenaikan angka harapan hidup, akan lebih membanggakan lagi jika kita bisa menyelamatkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi kelompok usia ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Tak Ada Lagi TikTok untuk Bocah, Australia Resmi Sapu Bersih Akun Medsos Remaja

Published

on

Perdana Menteri Australia Anthony Norman Albanese || Foto Istimewa

NEWS – Pemerintah Australia memberlakukan larangan bagi semua anak dan remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki atau mengakses akun di sedikitnya 10 platform besar seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dan lainnya. Undang-undang ini merupakan bagian dari perubahan aturan keamanan online dan mulai berlaku secara nasional pada 10 Desember 2025, setelah sebelumnya disahkan parlemen pada 2024.

Perusahaan yang tidak mengambil langkah “wajar” untuk menghapus atau mencegah akun pengguna di bawah 16 tahun terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar 33 juta dolar AS). Pemerintah juga mewajibkan platform menerapkan verifikasi usia dan mekanisme teknis lain untuk memastikan anak tidak lagi dapat membuat akun baru maupun mengakses akun lama mereka.

Data pemerintah menunjukkan ada ratusan ribu akun milik anak usia 13–15 tahun yang terdampak langsung oleh aturan baru ini. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebutkan terdapat sekitar 440.000 akun Snapchat, 350.000 akun Instagram, sekitar 150.000 akun Facebook, dan 200.000 akun TikTok yang dipegang anak berusia 13–15 tahun di Australia.

Secara keseluruhan, lebih dari satu juta akun milik pengguna di bawah 16 tahun diperkirakan harus dihapus atau dinonaktifkan oleh berbagai platform. Beberapa aplikasi perpesanan dan layanan tertentu seperti WhatsApp, Messenger, YouTube Kids, Discord, GitHub, dan sejenisnya dikecualikan dari larangan penuh, meski tetap berada di bawah pengawasan aturan keamanan online yang lebih ketat.

Pemerintah Australia menjustifikasi kebijakan ini sebagai langkah radikal untuk melindungi kesehatan mental dan keselamatan anak dari dampak algoritma media sosial yang dianggap adiktif dan sarat konten berbahaya. Lonjakan kasus perundungan siber, paparan konten kekerasan dan seksual, hingga kekhawatiran soal risiko grooming dan peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi muda menjadi dasar utama kebijakan ini.

Dalam berbagai kesempatan, Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkan hari berlakunya larangan ini sebagai momentum ketika keluarga Australia “merebut kembali kendali” dari perusahaan teknologi besar dan menyebut kebijakan tersebut sebagai perubahan sosial dan budaya besar bagi negaranya. Ia menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di Australia, tetapi juga berpotensi mendorong negara lain mengambil langkah serupa dalam beberapa bulan ke depan.

Media internasional seperti BBC, Reuters, Al Jazeera, Time, dan NPR menyoroti kebijakan ini sebagai larangan media sosial untuk anak yang pertama di dunia dengan cakupan sangat luas. Laporan mereka menekankan bahwa 10 platform terbesar dunia kini wajib memastikan tidak ada akun pengguna Australia di bawah 16 tahun di layanan mereka, atau berhadapan dengan denda besar dari otoritas Australia.

Negara lain mulai menimbang langkah serupa, dengan Malaysia sudah mengumumkan rencana melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun mulai 2026, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Denmark, Norwegia, serta Uni Eropa memantau atau menyiapkan kebijakan pembatasan usia yang lebih ketat. Di sisi lain, UNICEF dan sebagian pakar kebebasan berekspresi mengingatkan bahwa larangan usia saja tidak cukup dan bisa mendorong anak beralih ke ruang daring yang lebih sulit diawasi, sehingga perbaikan desain platform dan moderasi konten tetap mutlak diperlukan.

Tabel ringkas poin kebijakan

Aspek Rincian utama
Usia yang dilarang Anak dan remaja di bawah 16 tahun.
Platform utama TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dsb.
Dasar hukum UU/aturan perubahan keamanan online dan usia minimum media sosial 2024.
Mulai berlaku 10 Desember 2025.
Sanksi untuk platform Denda hingga 49,5 juta dolar Australia jika tak cegah akun di bawah 16.
Perkiraan jumlah akun Lebih dari satu juta akun anak terdampak.

Continue Reading

Ruang Literasi

“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni

Published

on

Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.

Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.

Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.

Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.

Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.

Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.

Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.

Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.

Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.

Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.

Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.

Continue Reading

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Facebook

Terpopuler