Connect with us

Ruang Literasi

Penerapan PSBB dan Proteksi Kelompok Lanjut Usia

Published

on

Funco Tanipu
(Crisis Covid-19 Center Universitas Negeri Gorontalo)

Hari ini tepat 20 hari Covid-19 terkonfirmasi ada di Gorontalo. Walaupun pergerakan agak lambat, namun kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi. Hari ini jumlah pasien yang terkonfirmasi positif sejumlah 15 orang, yang meninggal 1 orang dan yang pulih belum ada. Secara global per 28 April 2020, pengidap Covid-19 menembus angka 3,073,603, dengan kematian 211,768 orang dan yang pulih 924,643 orang. Di Indonesia sendiri, 9,096 terjangkit virus ini, diantaranya ada 765 yang mati dan 1,151 yang sembuh.

Gorontalo sendiri mengoleksi persentase 6.7 persen untuk fatality rate, Indonesia sendiri 8.4 persen, dan secara global 6.8 persen. Beda Gorontalo dengan global hanya 0.1 persen, dengan Indonesia bedanya 1.5 persen.

Secara global, fatality rate ini lebih besar dari orang lanjut usia. Kelompok usia ini memiliki risiko sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa angka kematian pada pasien berusia sekitar 65 tahun meningkat drastis. Di China, misalnya, angka mortalitas untuk orang yang terinfeksi yang berusia hingga 40 tahun hanya 0,2 persen. Namun, bagi yang berusia di antara 70 hingga 79 tahun angka kematian mencapai 8 persen, dan mencapai 14,8 persen bagi yang berusia 80 tahun atau lebih.

Terkait kebutuhan perawatan lanjut, menurut studi yang diterbitkan di jurnal Lancet Infectious Diseases, menunjukkan hanya 0,04 persen orang dari kelompok usia 10 – 19 tahun yang perlu dirawat di rumah sakit karena Covid-19, tapi 18 persen orang di atas 80 tahun sangat memerlukan pertolongan dari rumah sakit. Tren ini naik di kelompok usia paruh baya. Di kelompok usia 40 an tahun, jika terjangkit Covid-19, hanya 4 persen yang butuh perawatan rumah sakit, tetapi angka ini naik menjadi sekitar 8 persen di pasien berusia 50 an tahun. Data melonjak mencapai 7,8 persen di pasien berusia 80 tahun ke atas, 18 persen orang di atas 80 tahun sangat memerlukan pertolongan dari rumah sakit.

Kesimpulan dari data ini, bahwa semakin lanjut usia seseorang maka semakin rentan akan terjangkit Covid-19, demikian pula dengan angkat kematian yang rentan pada usia lanjut. Angka ini signifikan dengan kebutuhan perawatan bagi usia lanjut.

BAGAIMANA DI GORONTALO?

Jika kita merujuk pada data Gorontalo Dalam Angka pada tahun 2019, orang yang berusia lanjut diatas 50 tahun di Gorontalo berjumlah 202.951 jiwa. Adapun kelompok usia lanjut ini terdiri dari usia 50 – 60 tahun sejumlah 110.345 jiwa. Usia 60 – 70 tahun sekitar 61.755 jiwa, dan usia 70 tahun keatas sekitar 30.851. Dari total pasien yang terkofirmasi positif di Gorontalo ada 6 orang (40 %) yang berusia diatas 50 tahun dari 15 pasien positif.

Dalam studi yang dirilis dalam jurnal Lancet Infectious Diseases, bahwa pasien yang berusia di atas 50 tahun lebih butuh perawatan rumah sakit dan lebih terancam jika tidak ditangani.

Pertanyannya, bagaimana kebijakan daerah terkait kelompok usia diatas 50 tahun sejumlah 202.951 jiwa yang berada di Gorontalo? Apakah akan disikapi sama dengan kelompok usia lain, ataukah harus ada kebijakan khusus terkait itu?.

Per tanggal 28 April 2020, Gorontalo resmi memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), implikasi dari penerapan PSBB akan mengurangi penyebaran Covid-19. Harapannya, kebijakan ini bisa diikuti oleh semua kalangan.

Penerapan PSBB ini tidak bisa pukul rata untuk bagi semua masyarakat, harus ada pengecualian bagi kelompok yang usia lanjut dan rentan resikonya. Implikasi dari penerapan PSBB adalah memperkuat jaring pengaman sosial untuk bisa “diamankan” secara ekonomi. Dari data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), penerima bantuan pangan pokok Jaring Pengaman Sosial (JPS) di Gorontalo yang semula 34.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi 84.181 KPM. Bantuan pangan itu akan diserahkan sebanyak 3 kali. Bantuan KPM itu senilai Rp 178.150 per paketnya.

Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota perlu memikirkan kelompok yang rentan secara usia tersebut harus diberi porsi yang khusus dalam pemberian JPS. Artinya komponen bantuan sejumlah Rp. 178.150 tersebut tidak bisa sama dengan kelompok usia lainnya. Perlu dipikirkan dalam bantuan tersebut bisa dilebihkan untuk obat-obatan sebagai penguat imun dan bahan pangan khusus untuk yang lanjut usia.

Begitu pun dalam pengelompokkan secara lebih detail, penanganan kelompok usia lanjut ini perlu dihitung dan diidentifikasi by name dan by address agar penanganan serta “karantina” khusus bagi kelompok usia ini bisa dipantau secara real time. Karantina yang dimaksud adalah mulai dipikirkan untuk pemisahan dari kelompok usia yang berada di bawah 50 tahun dalam rumah masing-masing, khususnya bagi rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang banyak beraktifitas diluar rumah.

Dalam penerapan PSBB, penyediaan fasilitas kesehatan juga harus maksimal. Dari data kajian usulan PSBB Gorontalo, tempat tidur yang bersifat ready untuk isolasi sangat terbatas yakni Rumah Sakit Aloei Saboe 8 tempat tidur, Rumah Sakit Hasri Ainun Habibie 2 tempat tidur, Rumah Sakit Dunda 6 tempat tidur. Ketersediaan ini bisa mencapai 350 tempat tidur jika memaksimalkan ruangan alternatif di rumah sakit-rumah sakit tersebut dan Mess Haji Gorontalo.

Dari data diatas terlihat bahwa jika lonjakan kasus positif meningkat maka ketersediaan faskes akan sangat terbatas. Padahal fakta 40 persen pasien usia lanjut dari sejumlah pasien terkonfirmasi positif bisa menjadi data dasar mengenai kerentanan usia lanjut. Apalagi dari total jumlah tersebut belum ada yang sembuh (recovery rate 0 %).

Selain itu, kelompok usia lanjut yang rentan ini tidak bisa ditunggu “positif” dulu baru dilakukan penanganan. Harus ada skenario proteksi pada kelompok ini dengan memperhatikan status gizi kelompok ini. Termasuk melakukan pelarangan yang ketat bagi kelompok usia lanjut ini untuk beraktifitas di luar rumah, tentu dengan menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan dasar bagi mereka.

Terkait itu, refocussing anggaran tahap ketiga pasca penerapan PSBB (28/4) perlu memprioritaskan kebijakan khusus pada kelompok usia lanjut. Kebijakan ini membutuhkan data yang lebih rigid dan spesifik. Data yang dibutuhkan adalah nama, alamat, pendidikan, agama, penyakit bawaan, status ekonomi, dan status gizi (imunitas).

Data ini dibutuhkan untuk bisa memetakan secara lebih rigid kelompok usia lanjut agar bisa dilakukan pendekatan dengan kebijakan khusus lansia. Salah satu kebijakan yang harus dilakukan adalah melakukan Rapid Test secara massif kepada kelompok usia lanjut. Hal ini bisa memetakan secara lebih dalam mana yang memiliki imun rendah dan perlu penanganan khusus (untuk selanjutnya dilakukan Swab Test serta mana yang bisa diperkuat imun agar pada rapid test bisa negatif. Pun demikian bisa memetakan mana yang memiliki penyakit bawaan dan tidak, sehingga proses karantina lebih maksimal.

Kebijakan khusus ini mesti dibahas secara serius dan bisa diinternalisasikan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) serta Peraturan Bupati/Walikota (Perbub/Perwako) hingga perumusan Perdes (Peraturan Desa) terkait penanganan kelompok usia lanjut secara khusus. Dari regulasi ini, dapat disusun lebih rinci mengenai protokol pencegahan dan penanganan bagi kelompok usia ini.

Jika melihat kemungkinan penyebaran di Gorontalo yang masih bisa dikendalikan pasca penetapan PSBB, maka “menyelamatkan” angka 202.951 jiwa menjadi hal yang mendesak, walaupun mendesak pula bagi semua kelompok usia. Namun jika dilihat dari potensi kerentanan, 202.951 jiwa ini yang berpotensi tinggi dibanding kelompok usia lain. Karena itu, kebijakan khusus kelompok usia ini sangat penting untuk diprioritaskan dalam pencegahan Covid-19.

Secara lebih luas, hal ini adalah bagian dari proteksi terhadap “kebanggaan” kita bersama terhadap naiknya angka harapan hidup di Gorontalo. Jika kita “bangga” terhadap kenaikan angka harapan hidup, akan lebih membanggakan lagi jika kita bisa menyelamatkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi kelompok usia ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

Published

on

Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.

“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.

“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).

Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.

Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.

Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.

Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.

Continue Reading

Gorontalo

Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan

Published

on

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo

Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.

Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.

Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.

Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.

Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.

Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.

Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.

Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan

Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.

Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.

Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.

Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.

Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.

Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.

Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.

Refleksi Sejarah untuk Masa Depan

Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.

Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.

Continue Reading

News

Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan

Published

on

Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.

Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.

Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.

Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler