Ruang Literasi
Menjamu Hidangan-Nya
Published
5 years agoon

Oleh : Mohamad Makmun Rasyid – Penulis
Bulan puasa kembali hadir menyeruak di tengah badai pandemik. Ujian dalam berpuasa pun semakin bertambah. Dinyatakan dalam hadis qudsi, “siapa yang tidak bersabar atas bala-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak ridha atas keputusan-Ku, hendaknya dia keluar dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku!”. Apakah Allah marah kepada mereka yang tidak menerima keadaan? Tidak.
Setelah sebelas bulan lamanya kita bergemilang dosa; badan telah tertaburi makan-makanan “syubhat” bahkan haram; mata memandang hal-hal yang mengundang murka-Nya; telinga mendengarkan bunyian yang berbau maksiat; tangan dipergunakan untuk menindas, memeras, memukul dan menyebarkan berita bohong, kini tiba ‘hidangan Allah’ yang tidak semua manusia menggumulinya. Marahkah Allah pada kita?
Begitu sayang dan kasihnya Dia kepada kita, meski berjuta noda menumpuk dan serangkaian pengkhianatan pada-Nya, dan janji antara ruh (kita) dengan-Nya diingkari dan dilanggar secara berkali-kali, tapi Allah tidak bosa menyapa dan menyayangi kita. Terkhusus sapaannya dengan puasa Ramadan.
Lagi, begitu kasihnya Dia. Dia menaburkan kenikmatan setiap saat tapi setiap hari pula malaikat mengantarkan catatan buruk pada-Nya. Marahkah Dia? Tidak. Segudang perbuatan maksiat kita lakukan tiada henti, tapi ampunan Allah pun tidak henti. Ia terus mengucurkan kepada manusia, walau manusia tidak menyadari. Beruntunglah kita semua, sebab masih diberikan kenikmatan untuk mencicipi dan menikmati ‘hidangan-Nya’ tahun ini.
Dalam buku saya, “Ramadan (Dari Kesalihan Pribadi Menuju Kesalihan Sosial)” tertulis bahwa puasa ini ibarat ‘sepotong surga’ yang dihadiahi-Nya pada kita. Tujuannya? Membasuh diri dan membersihkan jiwa dari daki-daki. Ibarat hidangan (yang) termahal, puasa ini hidangan dari-Nya yang diantar oleh bidadari-bidadari tercantik milik-Nya. Ambillah hidangan termahal ini dan jangan sia-siakan.
Saat masuk dan menikmati hidangan-Nya, Tuhan pun menyediakan sebuah cermin. Fungsinya, kita membersihkan karat yang melekat di permukaan cermin. Ketika cerminan bersih, Anda bisa melihat jelas dosa-dosa, kekurangan dan sifat alpa. Cermin itu, menurut KH. Hasyim Muzadi, bagaikan sepotong kolam yang berair tenang hingga kita dapat melihat diri kita sejelas-jelasnya. Hapuslah secara perlahan-lahan dan bangunlah ketulusan serta mendekat pada-Nya.
Dalam melihat ke cermin, Imam Ali bertutur, jika perangaimu indah dan bagus, anggaplah buruk karena telah engkau coreng oleh perbuatan buruk; dan jika buruk, anggaplah buruk karena memang engkau menggabungkan kedua keburukan; buruk rupa dan amal. Disini kita mengambil pelajaran, kelemahan manusia atas-Nya jangan sampai membangga-banggakan kelebihan. Saat kelebihan itu dimunculkan, secara tak sadar Allah menutup keburukan yang telah diperbuat.
Dalam proses mendekat pada-Nya, maka kewajiban utama Muslim adalah membangun ketulusan sebagai buah tangan yang engkau jinjing untuk-Nya tanpa mengharapkan imbalan atau oleh-oleh dari-Nya. Dan perlu diingat! Sisihkan jenis-jenis yang berat dalam pendakian ke dalam. Sebab, Tuhan “lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri” (Qs. Qâf [50]: 16). Maka perjalanan menuju-Nya sendiri harus dibayangkan dengan mudah, ringan dan menyenangkan. Sampai tahap bahwa perintah-Nya adalah kebutuhan bukan pelepas seremonial belaka.
Cukuplah bagi siapa pun untuk menanam dan merawat dengan tekun keyakinan bahwa Dia amat dekat dengan siapa pun. Peralihan dari keterpaksaan menuju-Nya akan menjadi kenikmatan dan kesyahduan. Adalah kisah seorang salih dari Qazwin kala mengajar kepada santri-santrinya, ia mewejangkan “ketuklah pintu terus menerus, pada akhirnya pintu akan terbuka”. Mendengar ucapan ini, Rabi’ah Al-Adawiyah—sufi perempuan—menukas, “Hei! Kapankah pintu itu pernah ditutup-Nya?”
Pintu itu terus dibuka-Nya, sadar atau tidak. Dan puasa salah satunya. Maka pembagian dalam Ramadan berupa rahmat, ampunan dan keterlepasan dari siksaan haruslah ditempuh dengan penuh kenyamanan. Ibarat bertamu ke kediaman seseorang, maka puasa pun seperti kita berkunjung ke “kediaman”-Nya. Adapun tamu yang baik, bukanlah mengharapkan apa yang diberikan oleh tuan rumah, sedari awal keberangkatannya. Tapi menyajikan yang terbaik bagi tuan rumah yang dikunjunginya.
Maksudnya, kita persembahkan amal terbaik kita pada-Nya dan serahkanlah pada-Nya. Karena kita menghadap-Nya tidak sedang membawa proposal seperti kepada atasan kantor; yang bisa ditawar dan dilobi. Kita harus mengosongkan diri dari ragam pengharapan sambil berbuat yang terbaik pada-Nya. Pasca pembangunan ketulusan dan kenosis (pengosongan diri) dari kekeyangan dan kejumudan, maka berikanlah ruang demi masuk dan meresapnya cahaya dalam hati. Pada posisi inilah, horison penglihatan meluas. Dari semula yang tampak hanya pernik-pernik eksistensi, pasca masuknya cahaya akan tampak eksistensi kosmik yang tak terhingga.
Upaya kenosis ini merupakan pangkal pemulihan adi-krisis yang menimpa kita. Menyeruaknya basis spiritual di sana-sini. Sebab itu, Tuhan menyajikan pada kita, cukup sebulan di antara sebelas bulan dalam setiap tahun. Sebulan sungguh cukup lagi berat; menarik diri dari rutinitas duniawi demi memulihkan realitas dunia, dan memulihkan keadaan yang tidak subur akan kasih sayang, perdamaian dan kelemah lembutan.
Tidakkah engkau menyaksikan, betapa indah dan menakjubkan pohon yang dibonsai? Ada satu hal yang membuatnya sampai tampak indah dipandang: ia bersedia diatur, dirawat dan dibentuk dari hari ke hari oleh pemiliknya. Dan puasa inilah, cara Tuhan merawat diri dan jiwa kita agar kelak setelah keluar dari perawatan ini, kita kembali ke fitri (suci). Maka, pengosongan diri dalam rangka menunjukkan kesediaan untuk diubah dan dibentuk oleh-Nya.
You may like
-
UNG Klarifikasi dan Minta Maaf atas Candaan Berbau Kedaerahan yang Viral
-
Prof. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo Pastikan Keamanan Wilayah Hukum Kabila Tetap Kondusif
-
Bupati Pohuwato Ajak Pramuka Bangun Ketahanan Bangsa di Peringatan Hari Pramuka ke-64
-
Bupati dan BPJN Sepakat Percepat Perubahan Status Lahan untuk Pembangunan Jalan Taluditi–Tolinggula
-
FIS UNG Gelar Sosialisasi Tarif Layanan Akademik, Pastikan Civitas Paham Kebijakan Baru
Gorontalo
Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai
Published
2 days agoon
13/08/2025
Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.
Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.
Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.
Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.
“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.
Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.
“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.
Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).
Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.
Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.
Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.
Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.
Gorontalo
Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan
Published
3 weeks agoon
24/07/2025
Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo
Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.
Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.
Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.
Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.
Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.
Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.
Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.
Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan
Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.
Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.
Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.
Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.
Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.
Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.
Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.
Refleksi Sejarah untuk Masa Depan
Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.
Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.
Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.
News
Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan
Published
2 months agoon
26/06/2025
Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.
Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.
Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.
Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

UNG Klarifikasi dan Minta Maaf atas Candaan Berbau Kedaerahan yang Viral

Prof. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem

Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo Pastikan Keamanan Wilayah Hukum Kabila Tetap Kondusif

Bupati Pohuwato Ajak Pramuka Bangun Ketahanan Bangsa di Peringatan Hari Pramuka ke-64

Bupati dan BPJN Sepakat Percepat Perubahan Status Lahan untuk Pembangunan Jalan Taluditi–Tolinggula

Dugaan Kepanikan ESDM dan Kejanggalan Izin PT Gorontalo Minerals, Ini Buktinya!

DPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga

Sambut Mahasiswa Baru, UNG Tegaskan PKKMB Tanpa Perpeloncoan

DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah

Prof. Eduart Wolok Dorong UNG Masuk Peta Persaingan Global

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo2 months ago
Gerindra Sambut Tokoh Baru, Indra Gobel Resmi Bergabung
-
Gorontalo3 months ago
LSM Labrak Soroti Putusan Kasus Pupuk Subsidi: Diduga Ada Ketidaksesuaian Fakta dan Penanganan Tak Profesional
-
Gorontalo1 month ago
Warisan Budaya Terabaikan, Tim Langga Gorontalo Kesulitan Dana Menuju Ajang Nasional
-
Daerah3 months ago
SATRIA Provinsi Gorontalo Gelar Bakti Sosial dalam Rangka HUT ke-17
-
Gorontalo3 months ago
Seorang Suami di Randangan Tikam Istri Usai Mabuk, Keluarga Tuntut Proses Hukum Tegas
-
Gorontalo4 weeks ago
Dugaan Kepanikan ESDM dan Kejanggalan Izin PT Gorontalo Minerals, Ini Buktinya!
-
Gorontalo3 months ago
Wahidin: GERINDRA Adalah Partai Politik Khusus Bagi Orang yang Suka Becanda
-
Bone Bolango2 months ago
Rumah Hangus, Harapan Pupus: Warga Bonepantai Kehilangan Tempat Tinggal dan Pakaian Sekolah Anak