Ruang Literasi
Demonstrasi dan Gerakan Nirkekerasan
Published
5 years agoon
Halid Lemba Alumnus Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM.
Salah satu alasan menggunakan metode nirkekerasan adalah bisa meminimalisir kekerasan yang lebih besar lagi. Gene Sharp (1973) merumuskan sekitar 198 aksi nirkekerasan, dimana demonstrasi menjadi bagian dari aksi-aksi tersebut.
Demonstrasi atau lebih dikenal “unjuk rasa” telah digunakan dan secara sekaligus mewarnai aksi-aksi mahasiswa selama beberapa dekade terakhir, misalnya saja yang paling terkenal adalah aksi-aksi yang berlansung dalam kurun waktu 1998-1999 untuk menggulingkan rejim orde baru, alhasil aksi-aksi tersebut berhasil.
Dalam rumusan Sharp (1973)membagi aksi-aksi nirkekrasan ini menjadi tiga kelompok utama, salah satunya adalah protes dan persuasi dimana pelaku sekedar mengeksplorasikan dukungan atau ketidaksetujuan terhadap hal tertentu, dengan menggunakan cara demonstrasi, pawai, petisi, poster, deklarasi dan sebagainya.
Barangkali kita masih ingat, beberapa tahun lalu, sekitar 2017 silam terdapat aksi nirkekerasan yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu di depan istana negara dengan mengecor kaki dengan semen. Aksi ibu-ibu dari Kendeng, Rembang, Jawa Tengah ini memprotes dan mempertahankan tanahnya dari ancaman pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan (baca, kompas.com maret 2017).
Atau kita juga bisa merujuk, aksi yang dilakukan oleh Mama Aleta Baun dan Ibu-ibu di Molo Nusa Tenggara Timur. Aksi ini dilakukan dengan cara duduk menenun di atas bukit, untuk menghentikan aktifitas perusahaan di Gunung Mutis. Aksi tersebut berakhir pada tahun 2007 dengan menghentikan perusakan tanah dan aktifitas Perusahaan dari daerah yang diperjuangkan Mama Aleta sejak tahun 1996 (Baca, Mangobay, April 2013).
Rentetan aksi-aksi nirkekerasan di atas, adalah bagian kecil dari aksi-aksi nirkekerasan yang pernah hadir di negeri ini, sebagai upaya meminimalisir bahkan menghilangkan kekerasan. Lalu, pertanyaannya,kekerasan seperti apa yang harus diminimalisir ?
Meminimalisir kekerasan
Sebelum pembahasan ini akan dilanjudkan, penting kiranya kita mengetahui apa itu kekerasan. Johan Galtung seorang Sosiologmembagi kekerasan menjadi tiga bagian penting, pertama kekerasan lansung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya.
Kekerasan lansung yakni kekerasan yang sering nampak di depan mata kita, seperti perkelahian, pemukulan dan pembunuhan. Sementara kekerasan struktural adalah kekerasan yang disebabkan oleh sistem yang membuat seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya seperti kelaparan, kemiskinan dan lain sebagainya.
sementara kekerasan budaya, yakni kekerasan yang dilakukan atas nama atau dasar legitimasi ideologi, agama, kepercayaan tertentu. Jenis kekerasan ini, acapkali terjadi di Indonesia dan sering menimbulkan problem yang cukup serius.
Mari kembali ke Laptop !
Jika melihat beberapa contoh gerakan nirkekerasan di atas, seperti demonstrasi, aksi mengecor kaki dengan semen dan aksi menenun di atas bukit adalah rangkaian meminimalisir kekerasan.
Kita tidak bisa membayangkan, berapa banyak lagi korban jiwa yang hilang atas legitimasi ideologi tertentu, jika tidak terjadi demosntasi yang berlansung ditahun 1998-1999 untuk menghentikan rejim Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Atau dalam contoh kasus saat ini, dengan disahkannya Undang-undang cipta lapangan kerja, kita tidak bisa membayangkan berapa banyak jiwa akan mengalami kelaparan dan kemiskinan yang diakibatkan ketidakadilan ?
Dalam konsepsi Galtung Semuanya itu adalah kekerasan. Karena pada dasarnya, seseorang yang “terhalang” dalam memperoleh sesuatu, itu disebut kekerasan.
Tidak ada alternatif lain untuk memutus rantai kekeraasan, selain aksi-aksi nirkekerasan.
Hanya saja dalam beberapa persoalan,nirkekerasan tidak bisa diupayakan karena akibat dari sebuah “dominasi” yang berkelindan dimana-mana juga kurangnya pemahaman kita terhadap “arti kekerasan”. Bahkan, kekerasan sering hadir disekitar kita dan tampa sadar kita sering melakukan tindak kekerasan.
Kesimpulan
Nirkekerasan yang diperjuangkan adalah untuk mengakhiri kekerasan ; kisah Mama Aleta Baun dan Ibu-ibu di Molo Nusa Tenggara Timur yang berhadap-hadapan dengan negara dan perusahaan sekian tahun lamanya dan kisah menginspirasi dari ibu-ibu yang mengecor kaki dengan semen di depan Istana Negara. Memberi kita simpulan, bahwa aksi-aksi nir kekerasan harus dan terus diperjuangkan.
Bahwa kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan ; sebab utama menghindari hal ini yakni keterjebakan kita pada “lingkaran kekerasan”.Asumsi ini dibangun atas dasar bahwa lingkaran kekerasan merebak secara sistemik dan struktural (lihat, Micheal Crosby 1966).
Begitupun dengan demonstrasi yang berlansung saat ini dalam agenda penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang mungkin akan berlansung diwaktu-waktu yang akan datang. Penting kiranya sembari diingat bahwa penyampaian unjuk rasa harus menghindari unsur-unsur kekerasan, karena apapun alasannya “misi penolakan Undang-Undang ini, adalah sebuah misi kemanusiaan yang diwujudkan dengan cara-cara yang lebih beradab”
Sekian !
You may like
Gorontalo
Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli
Published
3 days agoon
05/11/2025
Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.
Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.
“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.
Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.
“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.
Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.
Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.
Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.
Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.
Gorontalo
PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum
Published
3 days agoon
05/11/2025
Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.
Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.
Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.
Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.
Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.
Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.
“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.
Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.
Oleh : Zulfikar M Tahuru
Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.
Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.
Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.
Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:
- 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
- 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
- 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
- 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
- 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
- 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
- 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
- 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
- 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.
Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.
Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.
Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?
Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.
DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.
Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.
PNS (ASN) Pria Bisa Berpoligami, Bagaimana Dengan Perempuan? Begini Aturannya
Diserang Fitnah Hutang, PT Annahl Abadi Ambil Sikap Tegas
Saat Darurat Mengancam, UNG Siapkan Pelatih Tangguh
Budie Ary Mo Masuk GERINDRA, Kader di Gorontalo: Jangan Dia Lah….
Dari Kampus untuk Daerah, UNG Siap Jadi Mitra Strategis Gorontalo Utara
Warga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
Fakta Mengejutkan dari Mantan Menteri Jokowi : Freeport Dilindungi Pasal Tersembunyi
Prestasi Luar Biasa! Kota Gorontalo Raih 6 Medali Emas dan Perak di Germas SAPA 2025
Pemerintah Korea Selatan kasih warganya yang pacaran uang 5 Juta, lamaran 23 Juta, menikah 230 Juta
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo1 month agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
News1 month agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Daerah3 months agoDPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
Gorontalo3 months agoDPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial3 months agoProf. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Advertorial1 month agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
