Connect with us

Ruang Literasi

Kebijakan “Pener”, Serius? (Tanggapan atas Tulisan Makmun Rasyid)

Published

on

Arief Abbas

Mahasiswa Pascasarjana Centre for Religious and Cross-cultural Studies, UGM. Pengurus LAKPESDAM NU Kota Gorontalo, GUSDURian Gorontalo.

Tulisan Makmun Rasyid berjudul “Kebijakan Yang Bener dan ‘Pener’” yang diterbitkan di salah satu media online Gorontalo pada hari Minggu, 8 Maret 2019 tentang pemberian Beasiswa Khusus bagi para penghapal al-Quran menarik untuk dicermati. Tulisan tersebut berangkat dari kritiknya terhadap Press Release GUSDURIan Gorontalo yang mempersoalkan pemberian Beasiswa Khusus kepada ‘penghafal al-Quran’ karena “berpotensi” diskriminatif terhadap agama lain. Bagi Makmun, pernyataan GUSDURian itu terburu-buru karena dinilainya tidak beraras pada data dan pengetahuan terhadap dunia para penghafal. Di titik ini, posisi Makmun jelas-jelas menunjukkan keberpihakannya kepada kebijakan tersebut.

Namun bagi saya, kritik Makmun ini tidak lebih dari memperlihatkan betapa abainya dia terhadap tujuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan pemerintah agar dapat “memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya penddidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Apa sebenarnya “diskriminasi” yang dimaksud di sini? Sederhana. Di dalam institusi Pendidikan Tinggi—sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah—diskriminasi berarti setiap tindakan yang berpotensi untuk mengesampingkan golongan tertentu dan meninggikan golongan lainnya. Sebaliknya, Pendidikan Tinggi harusnya melaksanakan pelayanan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan. Apa makna demokratis dan berkeadilan? Juga sederhana. Anda bisa lihat pada UU No. 12 Tahun 2012 Bab II pada poin (6) yakni “menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

Apakah pemberian Beasiswa Khusus terhadap para penghapal al-Quran ini “berpotensi” diskriminatif? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika kebijakan ini dikeluarkan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Islam, maka “tidak diskriminatif” karena semua mahasiswanya adalah Muslim. Berbeda jika kebijakan ini dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Tinggi Negeri yang, notabenenya tidak hanya direpresentasikan oleh mahasiswa Muslim, tapi juga non-Muslim, maka kebijakan ini “berpotensi” diskriminatif. Itu sebabnya, dari ratusan perguruan tinggi yang mengaplikasikan kebijakan ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) justru menolaknya lantaran dinilai menyebabkan disparitas di antara mahasiswa yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Pendek kalimat, kalimat “berpotensi diskriminatif” ini dialamatkan pada sikap yang kurang “representatif” bagi lembaga pendidikan tinggi dalam mengakomodir kepentingan non-Muslim.

Lantas, apakah argumentasi ini lalu menunjukkan ketidakberpihakan saya, terlebih GUSDURian, pada para penghafal al-Quran? Tidak bisa dipahami sesempit itu juga. Bagi saya, ini terobosan cemerlang dan secara langsung mendukung kebijakan daerah Gorontalo untuk memperbanyak generasi penghapal al-Quran. Pengalaman Makmun sendiri sebagai Hafiz 30 Juz yang memberinya privilese dalam mengenyam pendidikan Strata 1 & 2 juga mengilhami saya betapa pentingnya posisi penghapal al-Quran di mata publik Indonesia saat ini, khususnya Gorontalo. Untuk dua poin ini, saya setuju dengan Makmun. Namun kemudian, ketika kita membicarakan hal ini dalam level kebijakan “potensi” diskriminasi tetap ada. Lebih dari itu, Makmun hanya melihat problem ini pada tingkatan pemangku kepentingan dan abai terhadap realitas sosiologis di lapangan. Maka, pertanyaan saya pada Makmun: pernahkah Anda bertanya—sebagaimana GUSDURian melakukannya—pada mahasiswa non-Muslim yang merasakan betapa berpotensi “diskriminatifnya” kebijakan ini? Saya kira tidak.

Selanjutnya, Makmun mengandaikan bahwa pemberian Beasiswa Khusus ini adalah kebijakan ‘pener’ dalam artian “bijaksana”, karena meskipun seseorang hafal al-Quran, mereka tetap diikat oleh prosedur dan mekanisme penerimaan MABA yang bersifat administratif. Tapi sudahkah Makmun membaca statement rektor UNG, Dr. Edwart Wolok, di salah satu media saat menghadiri penyerahan bantuan di salah satu pondok pesantren di Gorontalo bahwa “pengafal al-Quran pantas mendapatkan beasiswa tanpa test dan bebas biaya kuliah”? Bukankah statement tersebut secara tidak langsung mengafirmasi bahwa ini adalah privilese yang tidak bisa diperoleh bagi non-Muslim? Tentu saja, privilese yang saya maksud di sini memiliki cakupan yang luas.

Privilese itu, mau diraih dalam keadaan susah atau senang; terjal-berbatu atau bahkan menggunakan orang dalam sekalipun, tetaplah sebuah keistimewaan. Dengan privilese, kehidupan Anda menjadi berbeda dengan orang lain dalam artian memiliki akses yang lebih baik. Apa korelasinya dengan pemberian beasiswa bagi penghafal al-Quran? Sederhana: mereka mendapatkan “jalur khusus” untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Tetapi, hal ini secara tidak langsung juga membuktikan bahwa privilese itu nyata dalam artian menguntungkan kelas tertentu. Alhasil, jika privilese seperti ini dijadikan standar yang kita gunakan dalam mendefinisikan kebijakan, maka di mana letak “kebijaksanaan” di dalamnya?

Seharusnya, jika kebijakan ini otonom, sebagai peraturan turunan dalam potongan kalimat “memperoleh prestasi dalam bidang keagamaan” (lihat bagian (C) Persyaratan Khusus pada poin (1.a)), maka jangkauannya perlu diperluas dan tidak hanya berfokus pada satu kelas saja. Ini sebenarnya argumen kunci di dalam Press Release GUSDURian itu. Bahwa GUSDURian, sebagai proyektil ide-ide Gus Dur, dalam konteks ini hanya ingin adanya kesetaraan di dalam setiap kebijakan yang diambil oleh institusi pendidikan tinggi. Sayang, bagi Makmun, sikap GUSDURian ini justru dilihat sebagai problem insekuritas atau kecendrungan bagi seseorang yang hidup dalam ketakutan. Bahkan, Makmun menilai kalimat “berpotensi diskriminatif” ini sebagai sikap para demonian, yakni sebuah terminologi untuk menyasar kelompok orang yang merasa tidak nyaman akibat keterkejutannya berinteraksi dengan dunia luar.

Tapi sebenarnya, saya bingung; apa sebenarnya yang dimaksud Makmun dengan “dunia luar” di sini? Apakah dunia luar ini dimaksud untuk merujuk pada cara pandang seseorang dalam memandang dunia yang berbeda dari dunianya? Jika benar demikian, maka seharusnya yang telah bersikap insecure itu bukanah GUSDURian, melainkan Makmun sendiri. Sebab ia mengabaikan realitas psikologis mahasiswa non-Muslim seturut diusungnya kebijakan ini. Sebaliknya, jika kita menggunakan pertanyaan yang sama pada GUSDURian, maka jawabannya: tidak ada “dunia luar” di mata GUSDURian, sebab “aku” dan “mereka” yang selama ini diandaikan bagai oposisi biner yang saling bersebrangan itu telah cair menjadi “kita” dalam pemikiran Gus Dur, wabilkhusus pada konsep kesetaraan yang diusungnya. Bahwa “manusia memiliki martabat yang sama di mata Tuhan, maka kesetaraan ini meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat”. Sampai di sini, di mana letak insekuritas GUSDURian?

Lebih dari itu, apakah GUSDURian “membajak pikiran” orang lain dengan keterwakilannya sendiri? Saya kurang ngeh dengan dua kata yang Anda tandaskan itu. Anda terlalu tendensius. Bagaimana bisa GUSDURian yang berlatar belakang sebagai komunitas perwujudan ide-ide GUSDUR yang egaliter, inklusif, dan setara, bisa dikatakan sebagai perilaku “membajak”? Justru, dengan munculnya GUSDURian ke permukaan untuk mempertanyakan kebijakan ini merupakan hasil ijtihad untuk memberikan ruang bagi kelompok minor agar suara-suara mereka terwakili.

Lantas, apakah GUSDURian di sisi lain juga berusaha “menihilkan” jerih payah orang-orang yang ingin menghidupkan semangat beragama di internal Islam? Sepertinya Anda juga terlalu jauh. Inti dari release ini adalah meneropong “potensi” diskriminasi yang dihasilkan dari kebijakan pemberian Beasiswa Khusus kepada para penghapal al-Quran. Tujuannya juga tidak muluk-muluk: memberikan akses terhadap non-Muslim untuk mendapatkan privilese yang sama di mata pemangku kepentingan institusi, khususnya dalam pemberian Beasiswa Khusus dalam bidang keagamaan.

Jika demikian, apakah standar yang digunakan untuk memberikan beasiswa ini harus berporos pada mereka yang “hafal” kitab suci? Tidak juga. Asbab, Anda tidak bisa memberi standar ganda untuk melegitimasi sebuah kebijakan pada mahasiswa yang heterogen dalam konteks agama yang mereka yakini. Toh saya juga percaya Anda mahfum bahwa sedikit sekali—untuk tidak menyebut ‘tidak ada’—mahasiswa non-Muslim yang bisa menghafal kitab sucinya. Untuk itu, seandainya release GUSDURian ini dapat menjadi bahan pertimbangan, pihak kampus dapat memberikan ketentuan-ketentuan lain bagi mahasiswa non-Muslim agar mendapat Beasiswa Khusus dalam bidang keagamaan tersebut dan tidak termasuk dalam daftar katagori “Beasiswa Penghafal al-Quran”.

Terakhir, bagi saya, privilese itu sekali lagi nyata dan membentuk rantai kesenjangan. Tapi saya kira pemangku kepentingan kita bisa mencoba memangkasnya dengan memberikan kesempatan pada warga negara yang tidak memilikinya agar bisa memperoleh akses setara dengan yang memilikinya dan, tentu saja, tidak harus dengan standar yang sama. Jika ada yang perlu diminta untuk bersikap adil, maka itu adalah pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, bisa dengan langkah sederhana, misalnya: dengarkan mereka mahasiswa non-Muslim yang ada di UNG. Apakah kebijakan ini diskriminatif atau tidak. Bukan mengarahkan istilah “diskriminatif” pada kelompok sendiri. Itu tidak fair.***

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Tak Ada Lagi TikTok untuk Bocah, Australia Resmi Sapu Bersih Akun Medsos Remaja

Published

on

Perdana Menteri Australia Anthony Norman Albanese || Foto Istimewa

NEWS – Pemerintah Australia memberlakukan larangan bagi semua anak dan remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki atau mengakses akun di sedikitnya 10 platform besar seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dan lainnya. Undang-undang ini merupakan bagian dari perubahan aturan keamanan online dan mulai berlaku secara nasional pada 10 Desember 2025, setelah sebelumnya disahkan parlemen pada 2024.

Perusahaan yang tidak mengambil langkah “wajar” untuk menghapus atau mencegah akun pengguna di bawah 16 tahun terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar 33 juta dolar AS). Pemerintah juga mewajibkan platform menerapkan verifikasi usia dan mekanisme teknis lain untuk memastikan anak tidak lagi dapat membuat akun baru maupun mengakses akun lama mereka.

Data pemerintah menunjukkan ada ratusan ribu akun milik anak usia 13–15 tahun yang terdampak langsung oleh aturan baru ini. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebutkan terdapat sekitar 440.000 akun Snapchat, 350.000 akun Instagram, sekitar 150.000 akun Facebook, dan 200.000 akun TikTok yang dipegang anak berusia 13–15 tahun di Australia.

Secara keseluruhan, lebih dari satu juta akun milik pengguna di bawah 16 tahun diperkirakan harus dihapus atau dinonaktifkan oleh berbagai platform. Beberapa aplikasi perpesanan dan layanan tertentu seperti WhatsApp, Messenger, YouTube Kids, Discord, GitHub, dan sejenisnya dikecualikan dari larangan penuh, meski tetap berada di bawah pengawasan aturan keamanan online yang lebih ketat.

Pemerintah Australia menjustifikasi kebijakan ini sebagai langkah radikal untuk melindungi kesehatan mental dan keselamatan anak dari dampak algoritma media sosial yang dianggap adiktif dan sarat konten berbahaya. Lonjakan kasus perundungan siber, paparan konten kekerasan dan seksual, hingga kekhawatiran soal risiko grooming dan peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi muda menjadi dasar utama kebijakan ini.

Dalam berbagai kesempatan, Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkan hari berlakunya larangan ini sebagai momentum ketika keluarga Australia “merebut kembali kendali” dari perusahaan teknologi besar dan menyebut kebijakan tersebut sebagai perubahan sosial dan budaya besar bagi negaranya. Ia menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di Australia, tetapi juga berpotensi mendorong negara lain mengambil langkah serupa dalam beberapa bulan ke depan.

Media internasional seperti BBC, Reuters, Al Jazeera, Time, dan NPR menyoroti kebijakan ini sebagai larangan media sosial untuk anak yang pertama di dunia dengan cakupan sangat luas. Laporan mereka menekankan bahwa 10 platform terbesar dunia kini wajib memastikan tidak ada akun pengguna Australia di bawah 16 tahun di layanan mereka, atau berhadapan dengan denda besar dari otoritas Australia.

Negara lain mulai menimbang langkah serupa, dengan Malaysia sudah mengumumkan rencana melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun mulai 2026, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Denmark, Norwegia, serta Uni Eropa memantau atau menyiapkan kebijakan pembatasan usia yang lebih ketat. Di sisi lain, UNICEF dan sebagian pakar kebebasan berekspresi mengingatkan bahwa larangan usia saja tidak cukup dan bisa mendorong anak beralih ke ruang daring yang lebih sulit diawasi, sehingga perbaikan desain platform dan moderasi konten tetap mutlak diperlukan.

Tabel ringkas poin kebijakan

Aspek Rincian utama
Usia yang dilarang Anak dan remaja di bawah 16 tahun.
Platform utama TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dsb.
Dasar hukum UU/aturan perubahan keamanan online dan usia minimum media sosial 2024.
Mulai berlaku 10 Desember 2025.
Sanksi untuk platform Denda hingga 49,5 juta dolar Australia jika tak cegah akun di bawah 16.
Perkiraan jumlah akun Lebih dari satu juta akun anak terdampak.

Continue Reading

Ruang Literasi

“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni

Published

on

Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.

Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.

Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.

Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.

Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.

Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.

Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.

Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.

Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.

Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.

Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.

Continue Reading

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Facebook

Terpopuler