Ruang Literasi
Kebijakan “Pener”, Serius? (Tanggapan atas Tulisan Makmun Rasyid)
Published
6 years agoon
Arief Abbas
Mahasiswa Pascasarjana Centre for Religious and Cross-cultural Studies, UGM. Pengurus LAKPESDAM NU Kota Gorontalo, GUSDURian Gorontalo.
Tulisan Makmun Rasyid berjudul “Kebijakan Yang Bener dan ‘Pener’” yang diterbitkan di salah satu media online Gorontalo pada hari Minggu, 8 Maret 2019 tentang pemberian Beasiswa Khusus bagi para penghapal al-Quran menarik untuk dicermati. Tulisan tersebut berangkat dari kritiknya terhadap Press Release GUSDURIan Gorontalo yang mempersoalkan pemberian Beasiswa Khusus kepada ‘penghafal al-Quran’ karena “berpotensi” diskriminatif terhadap agama lain. Bagi Makmun, pernyataan GUSDURian itu terburu-buru karena dinilainya tidak beraras pada data dan pengetahuan terhadap dunia para penghafal. Di titik ini, posisi Makmun jelas-jelas menunjukkan keberpihakannya kepada kebijakan tersebut.
Namun bagi saya, kritik Makmun ini tidak lebih dari memperlihatkan betapa abainya dia terhadap tujuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan pemerintah agar dapat “memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya penddidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Apa sebenarnya “diskriminasi” yang dimaksud di sini? Sederhana. Di dalam institusi Pendidikan Tinggi—sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah—diskriminasi berarti setiap tindakan yang berpotensi untuk mengesampingkan golongan tertentu dan meninggikan golongan lainnya. Sebaliknya, Pendidikan Tinggi harusnya melaksanakan pelayanan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan. Apa makna demokratis dan berkeadilan? Juga sederhana. Anda bisa lihat pada UU No. 12 Tahun 2012 Bab II pada poin (6) yakni “menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Apakah pemberian Beasiswa Khusus terhadap para penghapal al-Quran ini “berpotensi” diskriminatif? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika kebijakan ini dikeluarkan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Islam, maka “tidak diskriminatif” karena semua mahasiswanya adalah Muslim. Berbeda jika kebijakan ini dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Tinggi Negeri yang, notabenenya tidak hanya direpresentasikan oleh mahasiswa Muslim, tapi juga non-Muslim, maka kebijakan ini “berpotensi” diskriminatif. Itu sebabnya, dari ratusan perguruan tinggi yang mengaplikasikan kebijakan ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) justru menolaknya lantaran dinilai menyebabkan disparitas di antara mahasiswa yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Pendek kalimat, kalimat “berpotensi diskriminatif” ini dialamatkan pada sikap yang kurang “representatif” bagi lembaga pendidikan tinggi dalam mengakomodir kepentingan non-Muslim.
Lantas, apakah argumentasi ini lalu menunjukkan ketidakberpihakan saya, terlebih GUSDURian, pada para penghafal al-Quran? Tidak bisa dipahami sesempit itu juga. Bagi saya, ini terobosan cemerlang dan secara langsung mendukung kebijakan daerah Gorontalo untuk memperbanyak generasi penghapal al-Quran. Pengalaman Makmun sendiri sebagai Hafiz 30 Juz yang memberinya privilese dalam mengenyam pendidikan Strata 1 & 2 juga mengilhami saya betapa pentingnya posisi penghapal al-Quran di mata publik Indonesia saat ini, khususnya Gorontalo. Untuk dua poin ini, saya setuju dengan Makmun. Namun kemudian, ketika kita membicarakan hal ini dalam level kebijakan “potensi” diskriminasi tetap ada. Lebih dari itu, Makmun hanya melihat problem ini pada tingkatan pemangku kepentingan dan abai terhadap realitas sosiologis di lapangan. Maka, pertanyaan saya pada Makmun: pernahkah Anda bertanya—sebagaimana GUSDURian melakukannya—pada mahasiswa non-Muslim yang merasakan betapa berpotensi “diskriminatifnya” kebijakan ini? Saya kira tidak.
Selanjutnya, Makmun mengandaikan bahwa pemberian Beasiswa Khusus ini adalah kebijakan ‘pener’ dalam artian “bijaksana”, karena meskipun seseorang hafal al-Quran, mereka tetap diikat oleh prosedur dan mekanisme penerimaan MABA yang bersifat administratif. Tapi sudahkah Makmun membaca statement rektor UNG, Dr. Edwart Wolok, di salah satu media saat menghadiri penyerahan bantuan di salah satu pondok pesantren di Gorontalo bahwa “pengafal al-Quran pantas mendapatkan beasiswa tanpa test dan bebas biaya kuliah”? Bukankah statement tersebut secara tidak langsung mengafirmasi bahwa ini adalah privilese yang tidak bisa diperoleh bagi non-Muslim? Tentu saja, privilese yang saya maksud di sini memiliki cakupan yang luas.
Privilese itu, mau diraih dalam keadaan susah atau senang; terjal-berbatu atau bahkan menggunakan orang dalam sekalipun, tetaplah sebuah keistimewaan. Dengan privilese, kehidupan Anda menjadi berbeda dengan orang lain dalam artian memiliki akses yang lebih baik. Apa korelasinya dengan pemberian beasiswa bagi penghafal al-Quran? Sederhana: mereka mendapatkan “jalur khusus” untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Tetapi, hal ini secara tidak langsung juga membuktikan bahwa privilese itu nyata dalam artian menguntungkan kelas tertentu. Alhasil, jika privilese seperti ini dijadikan standar yang kita gunakan dalam mendefinisikan kebijakan, maka di mana letak “kebijaksanaan” di dalamnya?
Seharusnya, jika kebijakan ini otonom, sebagai peraturan turunan dalam potongan kalimat “memperoleh prestasi dalam bidang keagamaan” (lihat bagian (C) Persyaratan Khusus pada poin (1.a)), maka jangkauannya perlu diperluas dan tidak hanya berfokus pada satu kelas saja. Ini sebenarnya argumen kunci di dalam Press Release GUSDURian itu. Bahwa GUSDURian, sebagai proyektil ide-ide Gus Dur, dalam konteks ini hanya ingin adanya kesetaraan di dalam setiap kebijakan yang diambil oleh institusi pendidikan tinggi. Sayang, bagi Makmun, sikap GUSDURian ini justru dilihat sebagai problem insekuritas atau kecendrungan bagi seseorang yang hidup dalam ketakutan. Bahkan, Makmun menilai kalimat “berpotensi diskriminatif” ini sebagai sikap para demonian, yakni sebuah terminologi untuk menyasar kelompok orang yang merasa tidak nyaman akibat keterkejutannya berinteraksi dengan dunia luar.
Tapi sebenarnya, saya bingung; apa sebenarnya yang dimaksud Makmun dengan “dunia luar” di sini? Apakah dunia luar ini dimaksud untuk merujuk pada cara pandang seseorang dalam memandang dunia yang berbeda dari dunianya? Jika benar demikian, maka seharusnya yang telah bersikap insecure itu bukanah GUSDURian, melainkan Makmun sendiri. Sebab ia mengabaikan realitas psikologis mahasiswa non-Muslim seturut diusungnya kebijakan ini. Sebaliknya, jika kita menggunakan pertanyaan yang sama pada GUSDURian, maka jawabannya: tidak ada “dunia luar” di mata GUSDURian, sebab “aku” dan “mereka” yang selama ini diandaikan bagai oposisi biner yang saling bersebrangan itu telah cair menjadi “kita” dalam pemikiran Gus Dur, wabilkhusus pada konsep kesetaraan yang diusungnya. Bahwa “manusia memiliki martabat yang sama di mata Tuhan, maka kesetaraan ini meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat”. Sampai di sini, di mana letak insekuritas GUSDURian?
Lebih dari itu, apakah GUSDURian “membajak pikiran” orang lain dengan keterwakilannya sendiri? Saya kurang ngeh dengan dua kata yang Anda tandaskan itu. Anda terlalu tendensius. Bagaimana bisa GUSDURian yang berlatar belakang sebagai komunitas perwujudan ide-ide GUSDUR yang egaliter, inklusif, dan setara, bisa dikatakan sebagai perilaku “membajak”? Justru, dengan munculnya GUSDURian ke permukaan untuk mempertanyakan kebijakan ini merupakan hasil ijtihad untuk memberikan ruang bagi kelompok minor agar suara-suara mereka terwakili.
Lantas, apakah GUSDURian di sisi lain juga berusaha “menihilkan” jerih payah orang-orang yang ingin menghidupkan semangat beragama di internal Islam? Sepertinya Anda juga terlalu jauh. Inti dari release ini adalah meneropong “potensi” diskriminasi yang dihasilkan dari kebijakan pemberian Beasiswa Khusus kepada para penghapal al-Quran. Tujuannya juga tidak muluk-muluk: memberikan akses terhadap non-Muslim untuk mendapatkan privilese yang sama di mata pemangku kepentingan institusi, khususnya dalam pemberian Beasiswa Khusus dalam bidang keagamaan.
Jika demikian, apakah standar yang digunakan untuk memberikan beasiswa ini harus berporos pada mereka yang “hafal” kitab suci? Tidak juga. Asbab, Anda tidak bisa memberi standar ganda untuk melegitimasi sebuah kebijakan pada mahasiswa yang heterogen dalam konteks agama yang mereka yakini. Toh saya juga percaya Anda mahfum bahwa sedikit sekali—untuk tidak menyebut ‘tidak ada’—mahasiswa non-Muslim yang bisa menghafal kitab sucinya. Untuk itu, seandainya release GUSDURian ini dapat menjadi bahan pertimbangan, pihak kampus dapat memberikan ketentuan-ketentuan lain bagi mahasiswa non-Muslim agar mendapat Beasiswa Khusus dalam bidang keagamaan tersebut dan tidak termasuk dalam daftar katagori “Beasiswa Penghafal al-Quran”.
Terakhir, bagi saya, privilese itu sekali lagi nyata dan membentuk rantai kesenjangan. Tapi saya kira pemangku kepentingan kita bisa mencoba memangkasnya dengan memberikan kesempatan pada warga negara yang tidak memilikinya agar bisa memperoleh akses setara dengan yang memilikinya dan, tentu saja, tidak harus dengan standar yang sama. Jika ada yang perlu diminta untuk bersikap adil, maka itu adalah pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, bisa dengan langkah sederhana, misalnya: dengarkan mereka mahasiswa non-Muslim yang ada di UNG. Apakah kebijakan ini diskriminatif atau tidak. Bukan mengarahkan istilah “diskriminatif” pada kelompok sendiri. Itu tidak fair.***
Oleh : Zulfikar M Tahuru
Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.
Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.
Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.
Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:
- 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
- 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
- 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
- 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
- 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
- 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
- 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
- 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
- 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.
Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.
Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.
Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?
Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.
DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.
Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.
Gorontalo
Dari Gunung ke Kampus: MAPALA_STA Genap 30 Tahun Membumikan Nilai Ekologis
Published
2 days agoon
01/11/2025
Tiga dekade perjalanan Mahasiswa Pencinta Alam Sultan Amai (MAPALA_STA) bukan sekadar deretan angka, melainkan cermin nilai, perjuangan, dan eksistensi. Organisasi ini lahir dari semangat petualangan yang berpadu dengan kesadaran ekologis serta tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.
Dalam peringatan 30 tahun MAPALA_STA, Rahmat Djaba — Ketua NGO Tomini Initiative Indonesia (To_Innesia) sekaligus senior Mapala_STA IAIN Sultan Amai Gorontalo — menyampaikan pesan reflektif bertajuk “Menuju Terbangunnya Nilai Hakiki Pelestari Bumi.” Ia menegaskan bahwa gerakan pencinta alam harus melampaui romantika petualangan menuju kesadaran ilmiah, sosial, dan spiritual.
MAPALA Sebagai Pengusung Nilai Hakiki
Rahmat menekankan, Mahasiswa Pencinta Alam harus menjadi pelopor perubahan paradigma dari antroposentrisme menuju ekosentrisme — pandangan yang menempatkan seluruh unsur alam sebagai entitas bernilai intrinsik yang wajib dihormati dan dilindungi.
Menurutnya, ada tiga nilai hakiki yang perlu dihidupkan dalam gerakan pencinta alam:
-
Kesadaran Ilmiah dan Kritis
Menjaga bumi bukan sekadar idealisme, melainkan keharusan ilmiah. Sejalan dengan laporan IPCC 2023, krisis iklim merupakan konsekuensi dari perilaku manusia yang tidak berkelanjutan. -
Kesadaran Sosial dan Humanistik
Kerusakan alam paling dirasakan oleh kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan komunitas adat. Karena itu, perjuangan ekologis harus berjalan seiring dengan perjuangan keadilan sosial. Paus Paulus VI (1971) menegaskan, “Ketidakadilan terhadap manusia adalah ketidakadilan terhadap ciptaan.” -
Kesadaran Spiritual Lintas Iman
Alam adalah kitab suci terbuka. Rahmat menegaskan pandangan lintas agama terkait pelestarian bumi:
-
QS. Al-A’raf :56 menyerukan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.
-
Kejadian 2:15 menyebut bahwa Tuhan menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan dan memeliharanya.
-
Prinsip Ahimsa dalam Hindu dan ajaran Metta Sutta dalam Buddhisme menegaskan kasih universal terhadap seluruh makhluk hidup.
Tiga Dekade Refleksi Gerakan MAPALA_STA
Selama 30 tahun, MAPALA_STA telah berevolusi dari komunitas petualang menjadi laboratorium etika ekologis. Namun, Rahmat mengajak seluruh anggota untuk merefleksikan arah gerakan:
“Apakah kegiatan kita masih sebatas mendaki dan berpetualang, atau sudah menjadi gerakan ilmiah yang melahirkan solusi konkret bagi keberlanjutan lingkungan?”
MAPALA_STA, lanjutnya, harus menjadi agen perubahan ekologis di kampus dan masyarakat dengan mengintegrasikan riset, advokasi, dan aksi nyata. Kegiatan pendakian sebaiknya menghasilkan data konservasi, ekspedisi melahirkan riset biodiversitas, dan aktivitas sosial menumbuhkan kemandirian ekologis masyarakat.
Di tingkat kampus, Rahmat menegaskan pentingnya mewujudkan konsep Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Ilmiah secara terintegrasi. Salah satu langkah nyata yang ia contohkan adalah penanaman multi-purpose tree species (MPTS) — pohon yang menghasilkan buah, sayur, dan obat-obatan sekaligus menjaga kesuburan tanah dan keseimbangan air.
Menjadi Sentrum Perubahan dan Pelestari Bumi
Menurut Rahmat, menjadi pelestari bumi berarti membangun etos ekologis berkelanjutan yang menyatukan pengetahuan, moral, dan spiritualitas. Ia mengutip pemikiran Seyyed Hossein Nasr (1996) dalam Religion and the Order of Nature, yang menyebut krisis ekologis modern lahir dari hilangnya kesadaran sakral terhadap alam.
“Tugas kita adalah mengembalikan kesakralan itu melalui ilmu, iman, dan tindakan. Mapala harus menjadi ekologi moral bangsa, penjaga nilai, dan penggerak kesadaran ekologis lintas generasi,” ujarnya.
Menutup pesannya, Rahmat Djaba mengutip sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR. Muslim)
“Tiga puluh tahun ini menjadi momentum reflektif bagi kita untuk menegaskan jati diri, bukan sebagai penakluk alam, tetapi penjaga keseimbangannya,” imbuhnya.
Ia menutup dengan ajakan penuh makna: “Mari kita jawab amanah itu bukan dengan wacana, tetapi dengan aksi nyata untuk bumi kita.”
Gorontalo – Malam itu, air di Danau Limboto meluap, orang-orang tak menyangka Danau yang sekian tahun tenang, kini menampakkan amarahnya. Air danau Limboto sangat cepat masuk ke rumah-rumah warga, bahkan menyentuh hingga seng pemukiman nelayan. Orang-orang saling bahu membahu menolong. Para Relawan disetiap lembaga kemanusiaan ikut merespon. Berita menyebar di mana-mana, banjir besar Danau Limboto menjadi pusat perhatian.
Aku yang tergabung dalam barisan lembaga kemanusiaan Rumah Zakat segera ikut merespon dengan kawan-kawan lainnya; meng-evakuasi, membagikan makanan siap saji, hingga keputusan membangun Dapur Umum untuk warga yang terdampak banjir Danau Limboto. Banjir itu berlangsung lama, kira-kira 3-4 bulan air tersebut barulah surut total.
Dapur Umum menjadi bab baru bagi setiap orang yang terlibat sebagai relawan di sana; ada masyarakat umum yang ikut membantu, lalu meramaikan dapur umum, ada relawan baru yang bergabung, ada relawan lama yang bertugas. Dapur umum bukan sekadar dapur, ia adalah kumpulan kontribusi, perkenalkan, cerita, serta doa-doa kecil yang selalu didengar oleh langit. Itulah awal mula aku pribadi mengenal sosok adik Cindrawati Rahman; relawan baru di dapur umum, yang begitu mendedikasikan tenaganya untuk menopang makanan agar terbagikan dalam waktu dan jumlah yang telah ditetapkan.
Keseharian adik Cindrawati Rahman, ia selalu bermain dengan kucing dan memakai headset khas miliknya berwarna pink. Keseharian teman-teman relawan saling mengajak dalam kebaikan, saat adzan berkumandang semua saling mengingatkan untuk salat, begitupun para akhwat, termasuk dik Cindrawati Rahman.
Sampai kabar itu pun tiba. Tadi malam, satu provinsi Gorontalo digegerkan oleh berita lakalantas yang menewaskan satu wanita bercadar di tempat dengan kondisi kepala yang memprihatinkan karena terlindas konteiner. Setelah ditelusuri ternyata wanita bercadar itu punya history sebagai Relawan Rumah Zakat Gorontalo, ia terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan.
Orang-orang akhirnya ramai memperdebatkan, kalaulah dia bercadar dan baik kenapa kematiannya begitu tragis. Padahal kematian itu rahasia Allah, Allah yang memiliki kendali dan kehendak atas umur dan bagaimana kita meninggal di akhir nanti. Orang-orang ramai membicarakan itu, sampai mereka lupa, bahwa adik Cindrawati Rahman meninggal dunia di malam Jum’at, Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah (azab) kubur.”
— HR. Ahmad (no. 6546), Tirmidzi (no. 1074)
Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
Syaikh Al-Albani juga mensahihkannya dalam Ahkamul Jana’iz (hal. 49).
Bukan hanya itu, Adik Cindrawati Rahman yang menggunakan cadar ini, saat pakaian di tubuh tersingkap, masyarakat berbondong-bondong dan bergegas memperbaiki pakaiannya tersebut. Beginilah cara Allah menjaga aurat wanita yang terbiasa menjaga auratnya.
Dan, entah apa amalan langit yang dilakukan oleh Adik Cindrawati Rahman ini, sampai-sampai wajahnya tak diizinkan untuk terlihat sedikitpun oleh laki-laki yang berkerumun di tempat itu, bahkan oleh laki-laki yang ada di tempatnya. Wajahnya disembunyikan oleh Allah hingga ia meninggal dunia.
Ingatlah, kematian itu rahasia Allah, ada orang yang meninggal dengan tubuh yang lengkap tetapi ia meninggal di tempat bermaksiat; club malam, tempat narkoba, dll. Jadi kejadian-kejadian menuju kematian itu sepenuhnya rahasia Allah. Dan kita doakan, semoga Adik Cindrawati Rahman dengan kebaikannya yang selalu membantu orang banyak, mendapat balasan yang indah di sisi Allah.
Ketika langit telah melamar seorang wanita, wajahnya pun disembunyikan hingga akhir hidupnya.
📝 Sandy Syafrudin Nina
Penulis Lepas, Yang Melepaskan Tulisan.
Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
Dari Ejekan Jadi Kekerasan: Siswa SMP Diintimidasi dan Dipukul Kakak Kelas
Menyongsong Peran Saka 2025: Kwarnas Kukuhkan Sangker sebagai Garda Utama Kegiatan
Nyaman & Murah! Ini Daya Tarik wisata Botu Motolioluwo (sungai longalo) Gorontalo
Heboh! Pasutri ini Kembalikan Amplop Pernikahan di Acara Perceraian
Menggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
Warga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
Dukung Palestina, Bandar Besar Ganja Maroko Boikot Pengedar Narkoba Israel
Kabar Baik ! TVRI Pegang Hak Siar Piala Dunia 2026, Nobar aman untuk Seluruh Masyarakat
Pembenahan di RSUD Aloei Saboe: Staf Bermasalah Dipindah Tugas Demi Perbaikan Pelayanan
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo1 month agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
News4 weeks agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Daerah3 months agoDPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
Gorontalo3 months agoDPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial3 months agoProf. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Gorontalo2 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Advertorial1 month agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
