Connect with us

Ruang Literasi

Kebijakan Yang Bener dan ‘Pener’ (Tanggapan Terhadap Gusdurian Gorontalo)

Published

on

Muhammad Makmun Rasyid
Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Gorontalo; Fouder The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR); Direktur Litbang Pesantren Investa Cendekia Amanah; Direktur ID-Republikan

Gorontalo kembali ‘diributkan’ oleh tanggapan Koordinator Gusdurian Gorontalo, Djemi Radji. Secara pribadi, saya tidak mengenal dirinya. Maka tulisan ini saya rasa tanggapan objektif dari saya, sebagai praktisi atas topik yang sedang dipermasalahkan: “beasiswa menghafal Qur’an”.

Saya kuliah S1 berkat hafal 30 juz. Saya mendapatkan beasiswa penuh, tanpa pungutan apapun; dari pendidikan sampai penginapan. Strata dua saya pun demikian. Berkat menghafal, kucuran dana untuk studi pendidikan diselesaikan oleh orang-orang yang baik hati. Mengapa perlu saya buka dengan pengalaman pribadi? Saya ingin bertanya secara to the point pada Djemi; “bisakah mencarikan saya seorang penghafal Qur’an 30 juz dari Gorontalo sebanyak 10 orang?”. Saya yakin, tidak akan bisa mendapatkan sebanyak itu. Maka wajah kala MTQ untuk bidang 10 sampai 30 juz, berputar-putar saja. Produk kita minim.

Korelasinya apa dengan pernyataan sikap Gusdurian? Sederhana. Kebijakan yang dibuat rektor, hemat saya, dalam rangka memupuk para penghafal al-Qur’an yang akademisi, berwawasan dan berpengetahuan luas, dan memiliki kecakapan dalam ilmu umum atau sejenisnya. Dia tidak saja sedang diproyeksikan menjadi “ilmiah yang amaliah, tapi amaliah yang ilmiah”. Karena para penghafal di Indonesia banyak, tapi yang akademisi Anda bisa hitung jari. Ini sebuah kemirisan, tidak saja di Gorontalo, tapi di Indonesia. Oleh karena itulah, kampus-kampus ternama di Indonesia membuat kebijakan yang sama dengan Rektor UNG tentang beasiswa menghafal Qur’an, dengan syarat hafalan dan ketentuan yang beragam.

Apakah diskriminatif? Tunggu dulu. Anda jangan terburu-buru sebelum memegang data dan mengetahui dunia penghafal Qur’an. Gorontalo, secara jelas, “miskin” akan penghafal Qur’an. Maka banyak pejabat dan praktisi yang bertemu dengan saya atau diwacanakan oleh orang-orang tertentu agar menghafal Qur’an di Gorontalo digalakkan kembali. Salahkah? Tidak. Jika tidak dipikirkan, maka generasi Qur’ani (dalam aspek luas) akan habis. Generasi Qur’ani itu dimulai dari wilayah menghafal Qur’an sampai yang mengamalkannya. Artinya, menarik sebuah pembicaraan bahwa yang penting mengerti Qur’an itu juga salah. Karena banyak yang bisa menafsirkan, tapi tidak memiliki sanad dan tali sambungan kepada mufassir yang otoritatif. Sebagai praktisi Qur’an, barang tentu sanad itu saya cari kemana saja.

Kebijakan Yang ‘Pener’
Benar belum tentu ‘pener’, tapi ‘pener’ sudah pasti bener. ‘Pener’ disini bermakna “bijaksana”. Dari mana kita tau, kebijakan itu bijaksana? Anda bisa baca di SK “Mekanisme Penerimaan MABA Seleksi Jalur Seleksi Mandiri Berbasis Prestasi Unggul UNG” pada bagian “persyaratan khusus”. Disana jelas dikatakan, yang maksudnya, seseorang yang hafal Qur’an dan ingin masuk ke kedokteran, maka dia tetap mengikuti prosedur yang mengikat. Karena program ini jelas berbeda dengan program studi ilmu politik, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Artinya, masih ada pengecualian, yang dalam bahasa kitabnya; segala sesuatu itu “mustatsnayat”-nya.

Di samping itu pula, coba kita lihat redaksi lengkapnya: “Keahlian/kemampuan luar biasa atau prestasi luar biasa lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat atau surat keterangan dari lembaga resmi”. Redaksi ini bukan barang mudah didapatkan di Gorontalo. Sepengetahuan saya, surat resmi dalam kaitannya penghafal Qur’an adalah “syahadah”. Jika saya ibaratkan seperti saya, saya memiliki “syahadah” (ijazah) resmi yang harus saya dapatkan melalui ujian “membaca 30 juz tanpa melihat selama sehari semalam”, kemudian diikuti ijazah umum dari sebuah pesantren Tahfidzul Qur’an.

Anda bayangkan perjuangan penghafal Qur’an. Menghafalnya saja butuh perjuangan dan pengorbanan, apalagi mendapatkan ijazah resmi yang silsilahnya sampai ke Nabi Muhammad SAW. Maka wajar, keputusan rektor itu tidak menjelaskan kata “resmi” secara lugas.

Lebih-lebih para penghafal Qur’an di Gorontalo itu banyak yang tidak memiliki ijazah Qur’an resmi, seperti yang ideal yang saya katakan di atas. Masihkah Anda mengatakan itu diskriminatif? Baiklah. Saya akan tanggapi beberapa poin Anda dari sikap yang tercantum dalam laman Facebook.

Pertama, “kampus peradaban”. Salah satu aspek kampus peradaban itu apa? Tolak ukurnya dan parameternya apa?. Mari kita bicara tentang Gus Dur dalam aspek ini. Kita sepakat bahwa Gus Dur merupakan oase di tengah dahaga akan pikiran-pikiran yang segar dan otentik. Ia obat segala zaman dan ruang. Oleh karena itu, yang dibumikan Gus Dur kemudian adalah “pluralisme sosiologis” bukan “pluralisme teologis”.

Saya kerap mengibaratkan Gorontalo sebagai berandanya Madinah, kota sucinya umat Islam, sekaligus kota penerang dan pencerah bagi masyarakat yang membutuhkannya. Sebagai berandanya Madinah, maka Gorontalo harus memiliki konsep “reformasi bumi” sebagaimana yang tertuang dalam Qur’an. Reformasi bumi menghendaki adanya sebuah perbaikan menuju masyarakat yang religius, dibutuhkan semangat beragama yang baik dan perwujudan konsepsi kesejahteraan dan berkeadilan. Perkembangan alam semesta, termasuk di dalamnya tumbuh kembangnya ekonomi dan upaya mensejahterakan harus mellibatkan agama sebagai panduan dasarnya. Dalam kajian antropologi budaya, agama sangat memainkan peranan untuk menentukan keadaan dunia yang stabil. Aspek duniawi dan ukhrawi bersatu padu saling memperkuat.

Konstelasi dan peran agama itu salah satunya, peningkatan mutu daya para penghafal al-Qur’an, dari yang sekedar menghafal menuju kepada pemahaman dan pengkajian mendalam. Selama ini, al-Qur’an selalu diorientasikan hanya pada hal-hal ibadah, tapi sejatinya al-Qur’an memuat segala ilmu pengetahuan. Dan harus dijelaskan dari segi sains dan teknologi. Dengan demikian, para penghafal al-Qur’an yang mendapatkan beasiswa di UNG akan mampu menjelaskan bidang dan keahliannya dengan menyambungkan pada al-Qur’an.

Dalam aspek sosiologi Gorontalo pula, ia daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Maka kebijakannya akan banyak mengenai umat Islam. Bagaimana agama lainnya? Dalam masalah beasiswa UNG, ia diikat oleh redaksi lain, seperti yang tertuang dalam “persyaratan khusus”. Kenapa menghafal Qur’an? Jika Anda punya jawaban selain Muslim di Gorontalo yang hafal (sekali lagi, hafal yah, bukan memahami) kitabnya, Anda bisa ajukan untuk dipertimbangkan pihak kampus. Saya menyakini sulit, maka redaksi untuk agama lain adalah prestasi luar biasa lainnya dengan tanpa mengurangi eksistensi penganut agama lainnya. Inilah pluralisme sosiologis dalam pemaknaan kebijakan.

Kedua, “berpotensi diskriminatif”. Lagi-lagi narasi ini kerap dimainkan oleh mereka-mereka yang menggunakan teori “demonisasi” atau orang yang membajak pikiran orang lain dengan keterwakilan dirinya. Padahal belum tentu demikian! Sikap demonisasi ini juga kerap menghinggapi orang-orang yang insecure, akibat keterkejutannya berinteraki dengan alam sekitarnya. Maka reaksi kebijakan yang dianggap berpotensi diskriminatif pun tidak bisa dilepaskan dari lata belakang penulisnya. Dalam aspek dan dunia religius pun banyak kita jumpai. Dimana orang-orang yang merasa memiliki missi suci dan ingin menyelamatkan bumi dari kebobrokan moralitas. Misalnya, Sayyid Qutb dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq. Penulisan kitab ini dihantui teori demonisasi yang menyisipkan setiap diksinya agar orang takut pada kebijakan dari Barat. Dari sini bisa dipahami bahwa umumnya orang yang menggunakan teori itu bukan sebab kebenaran yang diutarakannya, melainkan sebagai signal pembeda dirinya dari yang lain; “saya” dan “dia”.

Ketiga, “beasiswa penghafal”. Beasiswa ini telah bergulir lama di Indonesia, dan UNG bukan yang pertama kalinya. Kenapa baru dipermasalahkan? Saya kurang lebih telah mengelilingi 100-an kampus di seluruh Indonesia. Dan dengan mudah saya bisa menjumpai beasiswa serupa. Karena ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi dunia. Jadi diksi “diskriminasi” bukan diksi yang tepat untuk diajukan ke pihak UNG. Jika bicara sejarah kampus di Indonesia, kenapa KH. Hasyim Muzadi membuat kampus “Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam” di Depok. Karena banyak penghafal Qur’an di Indonesia ini tergolong dari keluarga yang berada di kelas menengah ke bawah. Sebab itulah, KH. Hasyim Muzadi menggratiskan kampusnya dengan syarat hafal 30 juz. Apakah diskriminasi? Tidak. Justru pemerintah mendorong terwujudnya kampus sejenis. Dan masjid kampus ini dihadiri langsung oleh Gus Dur.

Keempat, “kampus merdeka”. Saya tidak memahami korelasi antara kebijakan beasiswa menghafal dengan “kampus merdeka dalam paradigma Kemendikbud RI”. Jika menggunakan paradigma Mendikbud Nadiem, tolak ukur kampus merdeka ada empat: otonomi pembukaan program studi baru untuk PT; reakreditasi PT dan Prodi; mahasiswa bebas belajar dan syarat PTN-BH dipermudah. Marilah kita perluas lagi bahasan “kampus merdeka”. Setidaknya kebijakan “merdeka di PT” itu kaitannya dengan upaya kampus mendorong proses pembelajaran yang otonom dan fleksibel demi terciptanya inovasi dan kreatifitas seorang dosen dalam mengajar.

Dengan demikian, harapannya kepada Gusdurian untuk lebih fokus ke tupoksinya. Dan jangan sampai, Anda lebih Gus Dur dari Gus Dur itu sendiri, dan berpayung di bawah narasi “ejawantah pemikiran Gus Dur”. Maksudnya, membela agama lain tidak berarti “menihilkan” jerih payah orang-orang yang ingin menghidupkan semangat beragama di internal Islam. Kebijakan yang dikeluarkan oleh UNG, hemat saya, sudah mewadahi seluruh agama-agama dan kelompok di Gorontalo dengan ikatan narasi yang berbeda-beda. Berbeda halnya, jika ada penganut non-Muslim dan dia hafal Injil atau kitab sucinya, kemudian ditolak oleh UNG. Maka kita perlu mengkritik kebijakan itu dan mengatakan bahwa itu diskriminatif. Sekian!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler