Connect with us

Ruang Literasi

Kebijakan Yang Bener dan ‘Pener’ (Tanggapan Terhadap Gusdurian Gorontalo)

Published

on

Muhammad Makmun Rasyid
Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Gorontalo; Fouder The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR); Direktur Litbang Pesantren Investa Cendekia Amanah; Direktur ID-Republikan

Gorontalo kembali ‘diributkan’ oleh tanggapan Koordinator Gusdurian Gorontalo, Djemi Radji. Secara pribadi, saya tidak mengenal dirinya. Maka tulisan ini saya rasa tanggapan objektif dari saya, sebagai praktisi atas topik yang sedang dipermasalahkan: “beasiswa menghafal Qur’an”.

Saya kuliah S1 berkat hafal 30 juz. Saya mendapatkan beasiswa penuh, tanpa pungutan apapun; dari pendidikan sampai penginapan. Strata dua saya pun demikian. Berkat menghafal, kucuran dana untuk studi pendidikan diselesaikan oleh orang-orang yang baik hati. Mengapa perlu saya buka dengan pengalaman pribadi? Saya ingin bertanya secara to the point pada Djemi; “bisakah mencarikan saya seorang penghafal Qur’an 30 juz dari Gorontalo sebanyak 10 orang?”. Saya yakin, tidak akan bisa mendapatkan sebanyak itu. Maka wajah kala MTQ untuk bidang 10 sampai 30 juz, berputar-putar saja. Produk kita minim.

Korelasinya apa dengan pernyataan sikap Gusdurian? Sederhana. Kebijakan yang dibuat rektor, hemat saya, dalam rangka memupuk para penghafal al-Qur’an yang akademisi, berwawasan dan berpengetahuan luas, dan memiliki kecakapan dalam ilmu umum atau sejenisnya. Dia tidak saja sedang diproyeksikan menjadi “ilmiah yang amaliah, tapi amaliah yang ilmiah”. Karena para penghafal di Indonesia banyak, tapi yang akademisi Anda bisa hitung jari. Ini sebuah kemirisan, tidak saja di Gorontalo, tapi di Indonesia. Oleh karena itulah, kampus-kampus ternama di Indonesia membuat kebijakan yang sama dengan Rektor UNG tentang beasiswa menghafal Qur’an, dengan syarat hafalan dan ketentuan yang beragam.

Apakah diskriminatif? Tunggu dulu. Anda jangan terburu-buru sebelum memegang data dan mengetahui dunia penghafal Qur’an. Gorontalo, secara jelas, “miskin” akan penghafal Qur’an. Maka banyak pejabat dan praktisi yang bertemu dengan saya atau diwacanakan oleh orang-orang tertentu agar menghafal Qur’an di Gorontalo digalakkan kembali. Salahkah? Tidak. Jika tidak dipikirkan, maka generasi Qur’ani (dalam aspek luas) akan habis. Generasi Qur’ani itu dimulai dari wilayah menghafal Qur’an sampai yang mengamalkannya. Artinya, menarik sebuah pembicaraan bahwa yang penting mengerti Qur’an itu juga salah. Karena banyak yang bisa menafsirkan, tapi tidak memiliki sanad dan tali sambungan kepada mufassir yang otoritatif. Sebagai praktisi Qur’an, barang tentu sanad itu saya cari kemana saja.

Kebijakan Yang ‘Pener’
Benar belum tentu ‘pener’, tapi ‘pener’ sudah pasti bener. ‘Pener’ disini bermakna “bijaksana”. Dari mana kita tau, kebijakan itu bijaksana? Anda bisa baca di SK “Mekanisme Penerimaan MABA Seleksi Jalur Seleksi Mandiri Berbasis Prestasi Unggul UNG” pada bagian “persyaratan khusus”. Disana jelas dikatakan, yang maksudnya, seseorang yang hafal Qur’an dan ingin masuk ke kedokteran, maka dia tetap mengikuti prosedur yang mengikat. Karena program ini jelas berbeda dengan program studi ilmu politik, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Artinya, masih ada pengecualian, yang dalam bahasa kitabnya; segala sesuatu itu “mustatsnayat”-nya.

Di samping itu pula, coba kita lihat redaksi lengkapnya: “Keahlian/kemampuan luar biasa atau prestasi luar biasa lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat atau surat keterangan dari lembaga resmi”. Redaksi ini bukan barang mudah didapatkan di Gorontalo. Sepengetahuan saya, surat resmi dalam kaitannya penghafal Qur’an adalah “syahadah”. Jika saya ibaratkan seperti saya, saya memiliki “syahadah” (ijazah) resmi yang harus saya dapatkan melalui ujian “membaca 30 juz tanpa melihat selama sehari semalam”, kemudian diikuti ijazah umum dari sebuah pesantren Tahfidzul Qur’an.

Anda bayangkan perjuangan penghafal Qur’an. Menghafalnya saja butuh perjuangan dan pengorbanan, apalagi mendapatkan ijazah resmi yang silsilahnya sampai ke Nabi Muhammad SAW. Maka wajar, keputusan rektor itu tidak menjelaskan kata “resmi” secara lugas.

Lebih-lebih para penghafal Qur’an di Gorontalo itu banyak yang tidak memiliki ijazah Qur’an resmi, seperti yang ideal yang saya katakan di atas. Masihkah Anda mengatakan itu diskriminatif? Baiklah. Saya akan tanggapi beberapa poin Anda dari sikap yang tercantum dalam laman Facebook.

Pertama, “kampus peradaban”. Salah satu aspek kampus peradaban itu apa? Tolak ukurnya dan parameternya apa?. Mari kita bicara tentang Gus Dur dalam aspek ini. Kita sepakat bahwa Gus Dur merupakan oase di tengah dahaga akan pikiran-pikiran yang segar dan otentik. Ia obat segala zaman dan ruang. Oleh karena itu, yang dibumikan Gus Dur kemudian adalah “pluralisme sosiologis” bukan “pluralisme teologis”.

Saya kerap mengibaratkan Gorontalo sebagai berandanya Madinah, kota sucinya umat Islam, sekaligus kota penerang dan pencerah bagi masyarakat yang membutuhkannya. Sebagai berandanya Madinah, maka Gorontalo harus memiliki konsep “reformasi bumi” sebagaimana yang tertuang dalam Qur’an. Reformasi bumi menghendaki adanya sebuah perbaikan menuju masyarakat yang religius, dibutuhkan semangat beragama yang baik dan perwujudan konsepsi kesejahteraan dan berkeadilan. Perkembangan alam semesta, termasuk di dalamnya tumbuh kembangnya ekonomi dan upaya mensejahterakan harus mellibatkan agama sebagai panduan dasarnya. Dalam kajian antropologi budaya, agama sangat memainkan peranan untuk menentukan keadaan dunia yang stabil. Aspek duniawi dan ukhrawi bersatu padu saling memperkuat.

Konstelasi dan peran agama itu salah satunya, peningkatan mutu daya para penghafal al-Qur’an, dari yang sekedar menghafal menuju kepada pemahaman dan pengkajian mendalam. Selama ini, al-Qur’an selalu diorientasikan hanya pada hal-hal ibadah, tapi sejatinya al-Qur’an memuat segala ilmu pengetahuan. Dan harus dijelaskan dari segi sains dan teknologi. Dengan demikian, para penghafal al-Qur’an yang mendapatkan beasiswa di UNG akan mampu menjelaskan bidang dan keahliannya dengan menyambungkan pada al-Qur’an.

Dalam aspek sosiologi Gorontalo pula, ia daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Maka kebijakannya akan banyak mengenai umat Islam. Bagaimana agama lainnya? Dalam masalah beasiswa UNG, ia diikat oleh redaksi lain, seperti yang tertuang dalam “persyaratan khusus”. Kenapa menghafal Qur’an? Jika Anda punya jawaban selain Muslim di Gorontalo yang hafal (sekali lagi, hafal yah, bukan memahami) kitabnya, Anda bisa ajukan untuk dipertimbangkan pihak kampus. Saya menyakini sulit, maka redaksi untuk agama lain adalah prestasi luar biasa lainnya dengan tanpa mengurangi eksistensi penganut agama lainnya. Inilah pluralisme sosiologis dalam pemaknaan kebijakan.

Kedua, “berpotensi diskriminatif”. Lagi-lagi narasi ini kerap dimainkan oleh mereka-mereka yang menggunakan teori “demonisasi” atau orang yang membajak pikiran orang lain dengan keterwakilan dirinya. Padahal belum tentu demikian! Sikap demonisasi ini juga kerap menghinggapi orang-orang yang insecure, akibat keterkejutannya berinteraki dengan alam sekitarnya. Maka reaksi kebijakan yang dianggap berpotensi diskriminatif pun tidak bisa dilepaskan dari lata belakang penulisnya. Dalam aspek dan dunia religius pun banyak kita jumpai. Dimana orang-orang yang merasa memiliki missi suci dan ingin menyelamatkan bumi dari kebobrokan moralitas. Misalnya, Sayyid Qutb dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq. Penulisan kitab ini dihantui teori demonisasi yang menyisipkan setiap diksinya agar orang takut pada kebijakan dari Barat. Dari sini bisa dipahami bahwa umumnya orang yang menggunakan teori itu bukan sebab kebenaran yang diutarakannya, melainkan sebagai signal pembeda dirinya dari yang lain; “saya” dan “dia”.

Ketiga, “beasiswa penghafal”. Beasiswa ini telah bergulir lama di Indonesia, dan UNG bukan yang pertama kalinya. Kenapa baru dipermasalahkan? Saya kurang lebih telah mengelilingi 100-an kampus di seluruh Indonesia. Dan dengan mudah saya bisa menjumpai beasiswa serupa. Karena ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi dunia. Jadi diksi “diskriminasi” bukan diksi yang tepat untuk diajukan ke pihak UNG. Jika bicara sejarah kampus di Indonesia, kenapa KH. Hasyim Muzadi membuat kampus “Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam” di Depok. Karena banyak penghafal Qur’an di Indonesia ini tergolong dari keluarga yang berada di kelas menengah ke bawah. Sebab itulah, KH. Hasyim Muzadi menggratiskan kampusnya dengan syarat hafal 30 juz. Apakah diskriminasi? Tidak. Justru pemerintah mendorong terwujudnya kampus sejenis. Dan masjid kampus ini dihadiri langsung oleh Gus Dur.

Keempat, “kampus merdeka”. Saya tidak memahami korelasi antara kebijakan beasiswa menghafal dengan “kampus merdeka dalam paradigma Kemendikbud RI”. Jika menggunakan paradigma Mendikbud Nadiem, tolak ukur kampus merdeka ada empat: otonomi pembukaan program studi baru untuk PT; reakreditasi PT dan Prodi; mahasiswa bebas belajar dan syarat PTN-BH dipermudah. Marilah kita perluas lagi bahasan “kampus merdeka”. Setidaknya kebijakan “merdeka di PT” itu kaitannya dengan upaya kampus mendorong proses pembelajaran yang otonom dan fleksibel demi terciptanya inovasi dan kreatifitas seorang dosen dalam mengajar.

Dengan demikian, harapannya kepada Gusdurian untuk lebih fokus ke tupoksinya. Dan jangan sampai, Anda lebih Gus Dur dari Gus Dur itu sendiri, dan berpayung di bawah narasi “ejawantah pemikiran Gus Dur”. Maksudnya, membela agama lain tidak berarti “menihilkan” jerih payah orang-orang yang ingin menghidupkan semangat beragama di internal Islam. Kebijakan yang dikeluarkan oleh UNG, hemat saya, sudah mewadahi seluruh agama-agama dan kelompok di Gorontalo dengan ikatan narasi yang berbeda-beda. Berbeda halnya, jika ada penganut non-Muslim dan dia hafal Injil atau kitab sucinya, kemudian ditolak oleh UNG. Maka kita perlu mengkritik kebijakan itu dan mengatakan bahwa itu diskriminatif. Sekian!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Kisruh Biaya Kuliah

Published

on

Penulis : Rierind Koniyo

barakati.id – Kisruh biaya kuliah di Indonesia mencerminkan krisis yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia, meningkatkan kemampuan, dan mengembangkan kepribadian. Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, data dari Dataindonesia.id dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA dan SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari sekitar 10,2 juta siswa yang lulus pada tahun 2023, hanya 7,8 juta yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Kesenjangan ini disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya. Bagi sebagian mahasiswa yang beruntung, biaya kuliah dapat ditanggung oleh orang tua atau melalui beasiswa KIP. Namun, ada banyak mahasiswa yang harus berjuang sendiri, mengatasi berbagai kesulitan keuangan demi meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bekerja sambilan, mengikat perut agar hemat, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa kuliah.

Pemerintah sering kali dianggap gagal memahami urgensi mahalnya biaya kuliah. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi sebagai kunci peradaban yang maju. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membentuk masyarakat yang lebih cerdas, inovatif, dan kompetitif di tingkat global.

Banyak warga negara yang ingin maju, menggantungkan mimpi dan cita-citanya pada pendidikan tinggi. Mereka rela berkorban demi masa depan yang lebih baik, meskipun harus menjalani kehidupan yang keras dan penuh perjuangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan yang ada, memastikan bahwa bantuan pendidikan dan beasiswa mencapai sasaran yang tepat. Harus ada mekanisme yang adil dan transparan untuk mendukung mereka yang benar-benar membutuhkan, agar semua warga negara, terutama yang miskin, memiliki harapan untuk memperbaiki kualitas hidup melalui pendidikan.

Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Dengan memberikan akses yang lebih luas dan terjangkau, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, berpengetahuan, dan mampu bersaing di tingkat internasional. Pemerintah harus berkomitmen untuk tidak hanya meningkatkan jumlah penerima beasiswa tetapi juga memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi penghalang bagi mereka yang memiliki semangat dan kemampuan untuk belajar. Dengan demikian, harapan untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua lapisan masyarakat dapat terwujud.

Continue Reading

Gorontalo

Trio Barbie, Lalu Bagaimana?

Published

on

Funco Tanipu || Foto Istimewa

Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi FIS UNG)

GORONTALO – Bahwa ada peristiwa yang terjadi akibat dari aktifitas berlebihan salah satu personal Trio Barbie adalah fakta bahwa perlu adanya aturan yang lebih tegas terkait pagelaran musik termasuk aktifitas didalamnya, dan tentu saja bagaimana memeriksa kembali sistem sosial masyarakat Gorontalo pada era kekinian. Bukan hanya itu saja, kejadian saat malam Tumbilotohe di Ipilo lalu menjadi sasaran kemarahan warga. Bahkan sudah ada upaya menariknya pada konteks politik lokal.

Pada konteks Trio Barbie, mesti kita dudukkan secara proporsional secara lebih jernih. Bahwa ada hal-hal yang tidak mengenakkan adalah fakta, tetapi harus diingat bahwa mereka bertiga adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga, dalam artian segala fasilitas dan juga jaminan warga harus sama dengan yang lain. Bahwa ada yang mengganggu kenyamanan, ada jalur hukum yang menjadi kanal penyelesaian.

Demikian pula terkait mereka yang telah dijadikan bahan candaan bahkan sudah mengarah pada kekurangan fisik dan sebagainya pada salah satu anggota Trio Barbie, saya kira hal tersebut telah melampaui, sebab menghina fisik dan perundungan pada sesama warga bukanlah sesuatu yang bijak. Karena, kekurangan fisik seseorang bukanlah keinginannya, tapi aturanNya.

Tentu saja, kita akan menunggu proses yang sedang berlangsung, yang terinformasi ada pelaporan ke pihak kepolisian, pihak kepolisian pun pasti profesional dalam melakukan proses hukum ini.

Bahwa masyakarat marah dan menyesalkan hal tersebut adalah wajar, karena tentu mereka menginginkan Gorontalo terus menjadi daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah.

Sebagai niat dan cita-cita, Serambi Madinah bukan saja dua suku kata saja, tapi juga doa, sekaligus pembatas. Mendoakan agar jazirah Gorontalo agar mendapat keberkahan, warganya beroleh syafaat Madinah dalam hal ini Baginda Nabi. Pembatas dimaksud adalah dengan jargon identitas ini bisa menjadi penghalang sekaligus batas pada hal-hal yang diluar prinsip-prinsip kebudayaan Gorontalo sebagai daerah Islam.

Tetapi, perlu diingat bahwa Serambi Madinah bukan sesuatu yang statis, namun ada aktifitas yang dinamis dan harus diperjuangkan. Dalam konteks perjuangan, tentu saja ada hal-hal yang harus diluruskan dan ditegakkan, bukan saja soal niat tapi hingga perilaku. Apakah perilaku bermasyarakat hingga tata kelola pemerintahan.

Sebagai daerah yang dicita-citakan sebagai Serambi Madinah, tentu saja banyak yang perlu diperbaiki, semisal terkait bagaimana peran lembaga keagamaan yang ada di Gorontalo bisa berkontribusi secara aktif baik pada level struktural dan kultural.

Hal-hal yang terjadi pada peristiwa Trio Barbie bukan hal yang harus dihindari lembaga keagamaan, tetapi harus diseriusi bahkan perlu mendapatkan pendampingan sehijgga bisa diarahkan dan pembinaan, karena bagaimanapun hal tersebut menjadi hal yang “umum” terjadi di masyarakat kita.

Peristiwa Trio Barbie adalah hikmah bagi kita sekalian, bahwa jangan sampai “momentum” ini lewat begitu saja tanpa menjadi proses refleksi bersama. Memang ada yang dianggap negatif, dan bersama-sama melakukan perundungan, tetapi hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah. Perlu ada skema pendampingan secara komprehensif oleh lembaga-lembaga terkait. Momentum ini penting untuk menjadi refleksi bagi diri masing-masing sebagai warga untuk tidak melakukan bully, penghinaan dan bahkan perundungan. Perlu diingat bahwa dalam prinsip Serambi Madinah ada nilai-nilai kearifan seperti tolianga, tolopani, dulohupa dan hal-hal yang mengedepankan penguatan Ngala’a sebagai basis kemasyarakatan Gorontalo. Hal ini pula menjadi bahan refleksi bagi lembaga keagamaan hingga lembaga keluarga pada tingkat mikro karena ada pergeseran nilai di tingkat masyarakat agar buhuta lo Hulondalo bisa dipertahankan.

Continue Reading

Gorontalo

Pilkada 2024 Tinggal 1000 Jam

Published

on

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Founder The Gorontalo Institute, Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Politik di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo).

GORONTALO – Pilkada 2024 menyisakan waktu sekitar 112 hari lagi atau 1000 jam. Tapi, jika dihitung secara lebih efektif, waktu “kerja” politisi termasuk Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah, praktis tinggal 112 hari.

Bukannya Pilkada nanti tanggal 27 November 2024? Yang berarti masih 210 hari lagi? Tapi kok hanya dihitung “110 an Hari” lagi? Kenapa 112 hari, karena tiap minggu tidak mungkin ada yang kerja bisa 24/7 atau 24 jam dalam 7 hari. Itu tidak mungkin.

Jelang Pilkada yang waktu kalender masih sekitar 210 hari, tetapi waktu efektif hanya 112 hari. Itu bisa didapatkan dengan menghitung sederhana ; seminggu itu hanya bisa sekitar 4 hari efektif. 3 hari untuk keluarga dan diri sendiri. Artinya dari April sampai November ada sekitar 28 minggu. Jika seminggu hanya bisa 4 hari efektif maka tersisa hanya 112 hari

Sisa waktu hari pun tidak mungkin 24 jam sehari dihabiskan untuk kerja politik. Pasti ada agenda pribadi, misalnya tidur, makan, mandi, main hp, termasuk rebahan. Belum ditambah “mager” alias malas gerak.

Dalam sehari, aktifitas untuk agenda pribadi, paling tidak memakan waktu 10 jam sehari. Berarti tinggal 14 jam yang efektif per hari.

Jika sisa waktu 112 hari dikalikan 14 jam efektif berarti ada sekitar 1568 jam efektif yang tersisa sebelum Pilkada 2024.

1568 jam itu sangat tipis, karena anda (jika misalnya baru kali ini ikut Pilkada) berarti harus mencari “sumber daya” untuk bergerak, harus membangun jaringan baru, membangun popularitas, memperkuat likeabilitas (ketersukaan, atau bagaimana anda bisa disukai) hingga keterpilihan anda.

Syarat-syarat diatas tidak bisa kualitatif atau sekedar dapat masukan dari tim sukses, ring satu, tangan kanan, dan circle anda ; “pokoknya, aman ti pak/ibu pa saya sana, warga itu bolo ba tunggu saya pe perintah”, atau “hi iyoma ju ti tati to kambungu loodungohe tanggulo li pak”, atau “he du’a li tatiye to tihi lo kambungu turusi ti pak botiye, bo atie dipo le dingingo tihi lingoliyo”, ada juga “ali tatiey boyito penu bo pulsa, modungohu tingoliyo”, dan yang unik “ma ilo tohilopa li tatiye ngo kambungu ti pak boti, iyo-iyomo pake pake jas, madelo ma polantikan”.

Ukuran-ukuran kualitatif seperti diatas, bagi pemula lumayan “beken sanang talinga”. Dan, ada “kaidah umum” ; harus “ba lucur” dengan “ba siram”. Kalo tidak, akan keluar jawaban ancaman pamungkas : “ti tatiye to kambungu boyito mahe nao mao lo calon uwewo, bo pilele mao latiya, pohulata kode”.

Nah, 1000 an jam itu, akan ada model dan gaya dari “penyintas” politik, yang biasa main “dua kaki, “lima kaki” hingga “kaki saribu”. Yang ilmu tersebut sudah diupdate selama beberapa kali Pilkada yang semakin canggih, apalagi pengalaman Pemilu barusan.

Tapi, Pilkada butuh angka pasti, sangat kuantiatif. Selain ilmu dasar dalam politik lokal harus disesuaikan : “jangan cuma bisa kali-kali, tambah-tambah, dengan kurang-kurang, tapi juga debo harus tau bagi-bagi”.

Walaupun kategorinya sudah “pragmatis”, tapi itu fakta kontestasi politik pada ranah lokal. Jika popularitas anda dibawah, apalagi ketersukaan rendah, gagasan anda “taap”, jaringan anda cuma hanya dalam satu marga “baku kanal” itupun cuma karena “dorang hitung” keluarga. Maka, “resources” untuk cost harus anda siapkan. Butuh energi maksimal dalam 1000 an jam dalam meningkatkan itu.

Waktu 1000 an jam itu sangat tipis. Dan saya yakin, tidak semua kandidat punya hitungan detail soal jumlah pemilih, nama, alamat, keyakinan pemilih tersebut sudah berapa persen memilih anda, berapa banyak keluarga atau teman yang bisa dia ajak, hingga bagaimana dia mentransfer gagasan anda pada lingkungannya.

Jangan sampai narasi yang didistribusi itu hanya sekedar “orang bae dia”. Narasi “orang bae” apalagi “kancang te rajal” pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktek “pragmatis” di masyarakat karena berasal dari konstruksi wacana “orang bae”, “kancang”.

Oleh karena itu, harus ada keseimbangan dalam agenda 1000 an jam. Tidak boleh tunggal, apalagi cuma modal “kuti-kuti” pada saat serangan fajar. Harus diingat, bukan cuma anda yang siap “bakuti-kuti”, yang lain juga. Karenanya, membangun narasi, personal branding harus hati-hati.

Membangun reputasi penting, tapi tidak sekedar anda membagikan “quote”, “kata-kata mutiara” yang entah anda copot dari mana, ditambah gambar anda sebagai pemanis, yang itu anda bagikan di whatsapp story, facebook, instagram story, dll, yang itu terus terang sangat membosankan.

Oleh karena itu, waktu 1000 an jam yang sangat pendek, membuat anda harus kurangi “mager”, dan hal-hal tidak produktif lainnya.

Selamat memasuki etape 1000 jam, rencanakan dengan baik, persiapkan mental, perbaiki hubungan yang telah rusak, perbanyak modal sosial, dan pada intinya sejauh dan sekeras apapun anda, Allah sebagai penentu, serahkan padaNya setiap urusan dalam setiap tarikan nafas dan gerak ikhtiar anda.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler