Ruang Literasi
Kebijakan Yang Bener dan ‘Pener’ (Tanggapan Terhadap Gusdurian Gorontalo)
Published
5 years agoon

Muhammad Makmun Rasyid
Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Gorontalo; Fouder The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR); Direktur Litbang Pesantren Investa Cendekia Amanah; Direktur ID-Republikan
Gorontalo kembali ‘diributkan’ oleh tanggapan Koordinator Gusdurian Gorontalo, Djemi Radji. Secara pribadi, saya tidak mengenal dirinya. Maka tulisan ini saya rasa tanggapan objektif dari saya, sebagai praktisi atas topik yang sedang dipermasalahkan: “beasiswa menghafal Qur’an”.
Saya kuliah S1 berkat hafal 30 juz. Saya mendapatkan beasiswa penuh, tanpa pungutan apapun; dari pendidikan sampai penginapan. Strata dua saya pun demikian. Berkat menghafal, kucuran dana untuk studi pendidikan diselesaikan oleh orang-orang yang baik hati. Mengapa perlu saya buka dengan pengalaman pribadi? Saya ingin bertanya secara to the point pada Djemi; “bisakah mencarikan saya seorang penghafal Qur’an 30 juz dari Gorontalo sebanyak 10 orang?”. Saya yakin, tidak akan bisa mendapatkan sebanyak itu. Maka wajah kala MTQ untuk bidang 10 sampai 30 juz, berputar-putar saja. Produk kita minim.
Korelasinya apa dengan pernyataan sikap Gusdurian? Sederhana. Kebijakan yang dibuat rektor, hemat saya, dalam rangka memupuk para penghafal al-Qur’an yang akademisi, berwawasan dan berpengetahuan luas, dan memiliki kecakapan dalam ilmu umum atau sejenisnya. Dia tidak saja sedang diproyeksikan menjadi “ilmiah yang amaliah, tapi amaliah yang ilmiah”. Karena para penghafal di Indonesia banyak, tapi yang akademisi Anda bisa hitung jari. Ini sebuah kemirisan, tidak saja di Gorontalo, tapi di Indonesia. Oleh karena itulah, kampus-kampus ternama di Indonesia membuat kebijakan yang sama dengan Rektor UNG tentang beasiswa menghafal Qur’an, dengan syarat hafalan dan ketentuan yang beragam.
Apakah diskriminatif? Tunggu dulu. Anda jangan terburu-buru sebelum memegang data dan mengetahui dunia penghafal Qur’an. Gorontalo, secara jelas, “miskin” akan penghafal Qur’an. Maka banyak pejabat dan praktisi yang bertemu dengan saya atau diwacanakan oleh orang-orang tertentu agar menghafal Qur’an di Gorontalo digalakkan kembali. Salahkah? Tidak. Jika tidak dipikirkan, maka generasi Qur’ani (dalam aspek luas) akan habis. Generasi Qur’ani itu dimulai dari wilayah menghafal Qur’an sampai yang mengamalkannya. Artinya, menarik sebuah pembicaraan bahwa yang penting mengerti Qur’an itu juga salah. Karena banyak yang bisa menafsirkan, tapi tidak memiliki sanad dan tali sambungan kepada mufassir yang otoritatif. Sebagai praktisi Qur’an, barang tentu sanad itu saya cari kemana saja.
Kebijakan Yang ‘Pener’
Benar belum tentu ‘pener’, tapi ‘pener’ sudah pasti bener. ‘Pener’ disini bermakna “bijaksana”. Dari mana kita tau, kebijakan itu bijaksana? Anda bisa baca di SK “Mekanisme Penerimaan MABA Seleksi Jalur Seleksi Mandiri Berbasis Prestasi Unggul UNG” pada bagian “persyaratan khusus”. Disana jelas dikatakan, yang maksudnya, seseorang yang hafal Qur’an dan ingin masuk ke kedokteran, maka dia tetap mengikuti prosedur yang mengikat. Karena program ini jelas berbeda dengan program studi ilmu politik, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Artinya, masih ada pengecualian, yang dalam bahasa kitabnya; segala sesuatu itu “mustatsnayat”-nya.
Di samping itu pula, coba kita lihat redaksi lengkapnya: “Keahlian/kemampuan luar biasa atau prestasi luar biasa lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat atau surat keterangan dari lembaga resmi”. Redaksi ini bukan barang mudah didapatkan di Gorontalo. Sepengetahuan saya, surat resmi dalam kaitannya penghafal Qur’an adalah “syahadah”. Jika saya ibaratkan seperti saya, saya memiliki “syahadah” (ijazah) resmi yang harus saya dapatkan melalui ujian “membaca 30 juz tanpa melihat selama sehari semalam”, kemudian diikuti ijazah umum dari sebuah pesantren Tahfidzul Qur’an.
Anda bayangkan perjuangan penghafal Qur’an. Menghafalnya saja butuh perjuangan dan pengorbanan, apalagi mendapatkan ijazah resmi yang silsilahnya sampai ke Nabi Muhammad SAW. Maka wajar, keputusan rektor itu tidak menjelaskan kata “resmi” secara lugas.
Lebih-lebih para penghafal Qur’an di Gorontalo itu banyak yang tidak memiliki ijazah Qur’an resmi, seperti yang ideal yang saya katakan di atas. Masihkah Anda mengatakan itu diskriminatif? Baiklah. Saya akan tanggapi beberapa poin Anda dari sikap yang tercantum dalam laman Facebook.
Pertama, “kampus peradaban”. Salah satu aspek kampus peradaban itu apa? Tolak ukurnya dan parameternya apa?. Mari kita bicara tentang Gus Dur dalam aspek ini. Kita sepakat bahwa Gus Dur merupakan oase di tengah dahaga akan pikiran-pikiran yang segar dan otentik. Ia obat segala zaman dan ruang. Oleh karena itu, yang dibumikan Gus Dur kemudian adalah “pluralisme sosiologis” bukan “pluralisme teologis”.
Saya kerap mengibaratkan Gorontalo sebagai berandanya Madinah, kota sucinya umat Islam, sekaligus kota penerang dan pencerah bagi masyarakat yang membutuhkannya. Sebagai berandanya Madinah, maka Gorontalo harus memiliki konsep “reformasi bumi” sebagaimana yang tertuang dalam Qur’an. Reformasi bumi menghendaki adanya sebuah perbaikan menuju masyarakat yang religius, dibutuhkan semangat beragama yang baik dan perwujudan konsepsi kesejahteraan dan berkeadilan. Perkembangan alam semesta, termasuk di dalamnya tumbuh kembangnya ekonomi dan upaya mensejahterakan harus mellibatkan agama sebagai panduan dasarnya. Dalam kajian antropologi budaya, agama sangat memainkan peranan untuk menentukan keadaan dunia yang stabil. Aspek duniawi dan ukhrawi bersatu padu saling memperkuat.
Konstelasi dan peran agama itu salah satunya, peningkatan mutu daya para penghafal al-Qur’an, dari yang sekedar menghafal menuju kepada pemahaman dan pengkajian mendalam. Selama ini, al-Qur’an selalu diorientasikan hanya pada hal-hal ibadah, tapi sejatinya al-Qur’an memuat segala ilmu pengetahuan. Dan harus dijelaskan dari segi sains dan teknologi. Dengan demikian, para penghafal al-Qur’an yang mendapatkan beasiswa di UNG akan mampu menjelaskan bidang dan keahliannya dengan menyambungkan pada al-Qur’an.
Dalam aspek sosiologi Gorontalo pula, ia daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Maka kebijakannya akan banyak mengenai umat Islam. Bagaimana agama lainnya? Dalam masalah beasiswa UNG, ia diikat oleh redaksi lain, seperti yang tertuang dalam “persyaratan khusus”. Kenapa menghafal Qur’an? Jika Anda punya jawaban selain Muslim di Gorontalo yang hafal (sekali lagi, hafal yah, bukan memahami) kitabnya, Anda bisa ajukan untuk dipertimbangkan pihak kampus. Saya menyakini sulit, maka redaksi untuk agama lain adalah prestasi luar biasa lainnya dengan tanpa mengurangi eksistensi penganut agama lainnya. Inilah pluralisme sosiologis dalam pemaknaan kebijakan.
Kedua, “berpotensi diskriminatif”. Lagi-lagi narasi ini kerap dimainkan oleh mereka-mereka yang menggunakan teori “demonisasi” atau orang yang membajak pikiran orang lain dengan keterwakilan dirinya. Padahal belum tentu demikian! Sikap demonisasi ini juga kerap menghinggapi orang-orang yang insecure, akibat keterkejutannya berinteraki dengan alam sekitarnya. Maka reaksi kebijakan yang dianggap berpotensi diskriminatif pun tidak bisa dilepaskan dari lata belakang penulisnya. Dalam aspek dan dunia religius pun banyak kita jumpai. Dimana orang-orang yang merasa memiliki missi suci dan ingin menyelamatkan bumi dari kebobrokan moralitas. Misalnya, Sayyid Qutb dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq. Penulisan kitab ini dihantui teori demonisasi yang menyisipkan setiap diksinya agar orang takut pada kebijakan dari Barat. Dari sini bisa dipahami bahwa umumnya orang yang menggunakan teori itu bukan sebab kebenaran yang diutarakannya, melainkan sebagai signal pembeda dirinya dari yang lain; “saya” dan “dia”.
Ketiga, “beasiswa penghafal”. Beasiswa ini telah bergulir lama di Indonesia, dan UNG bukan yang pertama kalinya. Kenapa baru dipermasalahkan? Saya kurang lebih telah mengelilingi 100-an kampus di seluruh Indonesia. Dan dengan mudah saya bisa menjumpai beasiswa serupa. Karena ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi dunia. Jadi diksi “diskriminasi” bukan diksi yang tepat untuk diajukan ke pihak UNG. Jika bicara sejarah kampus di Indonesia, kenapa KH. Hasyim Muzadi membuat kampus “Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam” di Depok. Karena banyak penghafal Qur’an di Indonesia ini tergolong dari keluarga yang berada di kelas menengah ke bawah. Sebab itulah, KH. Hasyim Muzadi menggratiskan kampusnya dengan syarat hafal 30 juz. Apakah diskriminasi? Tidak. Justru pemerintah mendorong terwujudnya kampus sejenis. Dan masjid kampus ini dihadiri langsung oleh Gus Dur.
Keempat, “kampus merdeka”. Saya tidak memahami korelasi antara kebijakan beasiswa menghafal dengan “kampus merdeka dalam paradigma Kemendikbud RI”. Jika menggunakan paradigma Mendikbud Nadiem, tolak ukur kampus merdeka ada empat: otonomi pembukaan program studi baru untuk PT; reakreditasi PT dan Prodi; mahasiswa bebas belajar dan syarat PTN-BH dipermudah. Marilah kita perluas lagi bahasan “kampus merdeka”. Setidaknya kebijakan “merdeka di PT” itu kaitannya dengan upaya kampus mendorong proses pembelajaran yang otonom dan fleksibel demi terciptanya inovasi dan kreatifitas seorang dosen dalam mengajar.
Dengan demikian, harapannya kepada Gusdurian untuk lebih fokus ke tupoksinya. Dan jangan sampai, Anda lebih Gus Dur dari Gus Dur itu sendiri, dan berpayung di bawah narasi “ejawantah pemikiran Gus Dur”. Maksudnya, membela agama lain tidak berarti “menihilkan” jerih payah orang-orang yang ingin menghidupkan semangat beragama di internal Islam. Kebijakan yang dikeluarkan oleh UNG, hemat saya, sudah mewadahi seluruh agama-agama dan kelompok di Gorontalo dengan ikatan narasi yang berbeda-beda. Berbeda halnya, jika ada penganut non-Muslim dan dia hafal Injil atau kitab sucinya, kemudian ditolak oleh UNG. Maka kita perlu mengkritik kebijakan itu dan mengatakan bahwa itu diskriminatif. Sekian!
You may like
News
Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan
Published
5 days agoon
26/06/2025
Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.
Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.
Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.
Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.
Gorontalo
Ariyanto Yunus: Tuduhan Serius Harus Disertai Bukti, Jangan Rusak Institusi
Published
2 weeks agoon
17/06/2025
News – Tokoh Pemuda Kecamatan Popayato, Ariyanto Yunus, angkat bicara menanggapi pemberitaan di salah satu media online yang menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Popayato Grup.
Dalam pernyataannya, Ariyanto menegaskan bahwa dalam logika hukum, pihak yang mengemukakan suatu tuduhan bertanggung jawab untuk menyertakan bukti yang kuat.
“Bagi saya, menduga adalah hal biasa. Tapi dalam berita itu, arahnya bukan lagi menduga, melainkan menuduh. Karena ini sudah masuk ranah tuduhan, maka harus bisa dibuktikan,” ujar Ariyanto kepada awak media, Rabu (18/06/2025).
Lebih lanjut, ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan tanpa dasar seperti ini rentan menimbulkan fitnah, yang bukan hanya mencemarkan nama baik individu, tetapi juga merusak citra institusi kepolisian secara keseluruhan.
“Sekali lagi, yang dirugikan nantinya bukan hanya individu yang disebut, tapi satu institusi. Ini tuduhan serius yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” tegasnya.
Ariyanto pun meminta kepada pihak yang menyampaikan tuduhan, dalam hal ini Ketua KPMP, agar segera menyampaikan bukti konkret jika memang memiliki dasar atas pernyataan yang disampaikan ke publik.
Dirinya berharap seluruh pihak dapat bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi, agar tidak menciptakan kegaduhan atau menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Popayato yang selama ini dikenal hidup dalam suasana damai.
News
Tak Punya Banyak, Tapi Narapidana Ini Memberi Segalanya Untuk Gaza
Published
2 weeks agoon
17/06/2025
NEWS – Seorang narapidana di California telah menyentuh hati ribuan orang di seluruh dunia setelah menyumbangkan seluruh pendapatannya yang sangat kecil untuk bantuan kemanusiaan di Gaza. Pria tersebut, yang dikenal dengan nama “Hamza”, bekerja sebagai petugas kebersihan di dalam penjara dan menerima upah hanya sekitar 13 sen AS per jam. Dalam kurun waktu 21 hari pada Oktober 2023, ia bekerja selama lebih dari 130 jam dan memperoleh total gaji sebesar 17,74 dolar AS. Tanpa ragu, seluruh uang itu ia donasikan untuk membantu warga sipil Palestina yang terdampak konflik.
Kisah Hamza menjadi sorotan setelah slip gaji dan surat pengajuan donasinya diunggah oleh pembuat film asal Los Angeles, Justin Mashouf, ke platform media sosial X (dulu dikenal sebagai Twitter). Postingan tersebut langsung viral dan memicu gelombang dukungan luas dari warganet. Banyak yang tersentuh oleh tindakan penuh empati dari seseorang yang hidup dalam keterbatasan tetapi tetap berupaya memberi manfaat bagi sesama.
Respon positif dari publik tak berhenti di situ. Banyak orang bertanya bagaimana mereka bisa memberikan bantuan langsung kepada Hamza sebagai bentuk apresiasi atas niat mulianya. Justin Mashouf pun meluncurkan penggalangan dana melalui GoFundMe untuk mendukung Hamza setelah pembebasannya yang direncanakan pada akhir Maret 2024. Dana tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, transportasi, hingga pelatihan kerja. Dalam waktu singkat, lebih dari 100 ribu dolar AS berhasil dikumpulkan.
Hamza sendiri merupakan mantan terpidana pembunuhan tingkat dua yang dihukum pada tahun 1986, saat usianya masih remaja. Selama hampir 40 tahun, ia menjalani masa hukuman di balik jeruji dan beberapa kali ditolak dalam sidang pembebasan bersyarat. Setelah masa panjang itu, ia akhirnya akan dibebaskan tahun ini. Dalam sebuah pernyataan, Hamza menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh donatur, tetapi ia juga mengajak masyarakat agar tidak hanya fokus membantunya, melainkan turut memprioritaskan bantuan kepada keluarga-keluarga di Gaza, Yaman, dan Afrika yang hidup tanpa akses air bersih, makanan, atau layanan kesehatan.
Kisah Hamza bukan hanya tentang kemurahan hati, tetapi juga tentang harapan, kemanusiaan, dan solidaritas global yang bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga. Ia bahkan berjanji untuk menyumbangkan gaji terakhirnya sebelum bebas dan menyalurkan sebagian dari donasi yang ia terima kepada bantuan kemanusiaan di Gaza. Di tengah dunia yang sering kali penuh dengan ketidakadilan dan keputusasaan, tindakan kecil Hamza menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa datang dari mana saja—bahkan dari balik tembok penjara.

Pengamen Gorontalo Ini Siap Ukir Prestasi di Indonesian Idol 2025

Genangan Air dan Jalan Rusak Jadi Sorotan Reses Fikran Salilama di Kota Gorontalo

Infrastruktur dan Pariwisata Jadi Fokus Komisi I Saat Tinjau Desa Tualango

Humas dan Protokol UNG Siap Unjuk Kinerja di Ajang Bergengsi Kemdiktisaintek 2025

Aktivis Lingkungan Tolak Revisi Palsu UU Kehutanan: “Jangan Jadikan Bioenergi Kedok Perampasan

Gerindra Sambut Tokoh Baru, Indra Gobel Resmi Bergabung

SATRIA Provinsi Gorontalo Gelar Bakti Sosial dalam Rangka HUT ke-17

Rumah Hangus, Harapan Pupus: Warga Bonepantai Kehilangan Tempat Tinggal dan Pakaian Sekolah Anak

Limonu Hippy: “Petani Ditipu, Lahannya Dijadikan Jaminan Bank oleh Perusahaan Sawit”

Desak Evaluasi Polres Boalemo, Marten Basaur Lapor Langsung ke Bambang Soesatyo

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo3 weeks ago
Gerindra Sambut Tokoh Baru, Indra Gobel Resmi Bergabung
-
Gorontalo2 months ago
Aleg DPR RI Rusli Habibie Nyatakan Dukungan Penuh untuk Pelaksanaan CSP XVIII di Gorontalo
-
DPRD PROVINSI2 months ago
Limonu Hippy : Digitalisasi dan harga Gabah yang stabil kunci Swasembada Pangan di Gorontalo
-
Bone Bolango3 months ago
Sungai Bilungala Tak Kunjung Dinormalisasi, Warga Bonepantai Terus Diteror Banjir Bandang
-
DPRD PROVINSI2 months ago
Iqbal Al Idrus Desak Pemprov Gorontalo rampungkan kesiapan Lahan Sekolah Rakyat
-
Bone Bolango3 months ago
Evakuasi Mahasiswa Terjebak: Lima Selamat, Tiga Dinyatakan Meninggal Dunia
-
Daerah3 months ago
Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo Soroti Ketimpangan RUPS Bank SulutGo: “Ini Bentuk Arogansi Korporasi
-
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO3 months ago
Rektor UNG Eduart Wolok: Belasungkawa untuk Mahasiswa Geologi Korban Musibah di Bulawa