Gorontalo
Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan
Published
2 months agoon

Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo
Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.
Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.
Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.
Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.
Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.
Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.
Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.
Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan
Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.
Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.
Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.
Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.
Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.
Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.
Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.
Refleksi Sejarah untuk Masa Depan
Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.
Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.
Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.
You may like
-
Polsek Suwawa dan TNI Amankan 168 Botol Miras dari Ojek di Jalur Tambang Bone Bolango
-
Sulyanto Pateda Siap Tandatangani Aspirasi Mahasiswa Soal UU TNI dan RUU Polri
-
Polri Umumkan Mutasi Besar: 6 Irjen Pol Promosi, 205 Kapolres Baru Ditunjuk
-
Bupati Pohuwato Pada Peringatan ke-78 Hari Bhayangkara
-
Fauzia Noorchaliza Tantu Dilantik sebagai Ketua Kohati HMI Cabang Bogor Periode 2024/2025
-
Oknum Polri Diminta Untuk Tidak Intimidasi Kerja-kerja Wartawan di Lapangan
Gorontalo
Resmi Dilantik, Susanto Liputo Komitmen Lanjutkan Pengabdian Alm. Hardi Sidiki
Published
2 days agoon
23/09/2025
Kota Gorontalo – Susanto Liputo resmi dilantik sebagai Anggota DPRD Kota Gorontalo melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan almarhum Hardi Sidiki. Pelantikan digelar dalam rapat paripurna di Aula I DPRD, Selasa (23/9/2025), dihadiri 29 anggota DPRD, Wali Kota Adhan Dambea, dan mantan Wali Kota Marten Taha.
Dalam suasana khidmat, Susanto menyampaikan rasa duka atas wafatnya Hardi Sidiki. “Saya turut berduka cita atas meninggalnya Pak Hardi Sidiki,” ucap Susanto Liputo. Selanjutnya ia berterima kasih atas kepercayaan masyarakat Gorontalo. “Saya optimis akan menjalankan fungsi DPRD dengan baik, dan memperjuangkan aspirasi masyarakat,” tegas Susanto dalam wawancara seusai pelantikan.
Pelantikan Susanto menjadi momentum regenerasi di DPRD, mengembalikan komposisi anggota dewan yang sempat kosong. Ketua DPRD Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, memimpin pelantikan yang sekaligus menegaskan komitmen lembaga legislatif memperjuangkan aspirasi rakyat secara optimal. Susanto menggantikan kursi yang ditinggalkan seniornya dari Fraksi Golkar dan menyampaikan komitmen melanjutkan pengabdian almarhum Hardi Sidiki demi masyarakat Kota Gorontalo.
Perjalanan politik Susanto memang tidak mudah. Melalui beberapa kali pemilu sebelum akhirnya terpilih melalui mekanisme PAW. “Saya sudah tiga sampai empat kali maju, dengan suara yang stagnan. Pada Pemilu terakhir, saya memperoleh 637 suara. Dan hari ini, setelah 16 tahun menunggu, akhirnya saya dilantik,” terang Susanto. Dengan pelantikan Susanto, kerja DPRD Kota Gorontalo di bidang legislasi, penganggaran, dan pengawasan kini kembali berjalan penuh dan optimal.
Daerah
Tragis! Mahasiswa FIS UNG Meninggal Usai Diksar Mapala, begini kronologinya
Published
3 days agoon
22/09/2025
Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Muhammad Jeksen (MJ), meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Butaiyo Nusa, Senin (22/09/2025). MJ, mahasiswa semester 3 Jurusan Pendidikan Sejarah, berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Korban sempat mengeluhkan sakit dan meminta dilarikan ke rumah sakit, namun diduga panitia tak mengizinkan. MJ akhirnya dijemput dan dibawa ke RS Aloei Saboe oleh teman paguyubannya, tapi nyawa korban tak tertolong.
Menurut keterangan keluarga, MJ mengalami sakit dan pembengkakan di bagian leher usai diduga terkena benturan saat Diksar. Kakak korban, Hikayat, menjelaskan adiknya memiliki riwayat penyakit bawaan di leher yang akan kambuh apabila terkena benturan. “Saya lihat di foto mukanya sudah bengkak setelah penerimaan Diksar. Indikasinya dia sempat dipukul,” ungkap Hikayat. Sebelum meninggal, MJ sempat mengirim pesan meminta dijemput untuk dibawa ke rumah sakit. Proses penanganan jenazah MJ sampai sore masih terjadi tarik ulur terkait autopsi antara keluarga, pihak kampus, dan kepolisian.
Fakta lain yang terungkap, kegiatan Diksar Mapala FIS UNG ini tidak mengantongi izin resmi dari kampus maupun kepolisian, menimbulkan kritik terhadap pengawasan dan tanggung jawab penyelenggara kegiatan kemahasiswaan. Media nasional juga memberitakan bahwa jenazah korban ditemukan dengan kondisi lebam di bagian leher dan darah keluar dari mulut serta telinga, sehingga dugaan kekerasan semakin menguat. Proses hukum menunggu kepastian autopsi demi mengusut tuntas kasus kematian tragis ini.
Daerah
Tok.. DPRD Provinsi Gorontalo resmi berhentikan Wahyudin Moridu dari kursi Anggota DPRD
Published
3 days agoon
22/09/2025
DEPROV – DPRD Provinsi Gorontalo secara resmi memberhentikan Wahyudin Moridu dari kursinya sebagai anggota legislatif melalui Rapat Paripurna DPRD Ke-4g, Senin (22/09/2025). Keputusan ini diambil setelah seluruh rangkaian sidang kode etik yang digelar oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo menyikapi polemik besar yang melibatkan Wahyudin Moridu. Hasil pembacaan keputusan disampaikan langsung oleh Wakil Ketua BK DPRD Gorontalo, Umar Karim, pada rapat paripurna pengumuman masa sidang ketiga tahun 2024-2025.
“Memutuskan, Memberhentikan saudara Wahyudin Moridu Sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo,” ujar Umar Karim dalam forum paripurna, menegaskan sanksi tertinggi yang diberikan setelah rangkaian pemeriksaan kode etik secara terukur dan terbuka.
Proses ini merupakan klimaks dari gejolak panjang di publik dan internal DPRD setelah video viral Wahyudin Moridu, yang secara terang-terangan menyatakan ingin “merampok uang negara” saat berkendara bersama seorang perempuan yang diduga “hubungan gelap”. Dalam video tersebut, Wahyudin mengaku menggunakan uang negara untuk membiayai perjalanannya dan berseloroh mengenai masa jabatannya di kursi DPRD. Video itu menimbulkan kemarahan luas, berujung pada aksi unjuk rasa besar mahasiswa dan masyarakat yang menuntut pemecatan Wahyudin dan pemulihan marwah lembaga legislatif daerah.
Langkah cepat juga diambil oleh DPP PDIP, yang segera mengeluarkan surat keputusan pemecatan Wahyudin Moridu dari keanggotaan partai dan dari kursi DPRD. Surat keputusan bernomor 12/KPTS/DPP/IX/2025 ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto—selaras dengan komitmen partai untuk menjaga kehormatan, disiplin, dan integritas kader.
Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili, dalam keterangannya menegaskan bahwa keputusan pemecatan ini juga diambil setelah konsultasi dengan perwakilan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, pihak pimpinan DPRD telah menerima aspirasi masyarakat serta surat resmi dari DPD PDIP untuk mendukung proses penggantian antarwaktu (PAW) guna mengisi kekosongan kursi legislatif yang ditinggalkan Wahyudin.
Ketua Badan Kehormatan, Fikran Salilama, memastikan bahwa hasil sidang kode etik telah disampaikan kepada pimpinan dan diparipurnakan dengan sanksi terberat sesuai aturan. DPD PDIP Gorontalo pun akan segera memproses PAW untuk legislator baru melalui mekanisme internal partai.
Putusan tersebut menjadi perhatian besar oleh media-media yang menyoroti transparansi sidang kode etik, keterlibatan Mendagri, hingga komitmen DPRD dan partai dalam menjaga integritas legislatif di Gorontalo.DPRD Provinsi Gorontalo secara resmi memberhentikan Wahyudin Moridu dari kursi anggota legislatif Provinsi Gorontalo dalam Paripurna Ke-4g, Senin (22/09/2025), menyusul serangkaian sidang kode etik oleh Badan Kehormatan DPRD. Putusan ini dibacakan oleh Wakil Ketua BK, Umar Karim, sebagai bentuk akuntabilitas lembaga terhadap polemik besar yang melibatkan Wahyudin Moridu.
“Memutuskan, Memberhentikan saudara Wahyudin Moridu Sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo,” ujar Umar Karim dalam forum resmi paripurna, menandai akhir perjalanan politik Moridu di parlemen daerah.
Pemberhentian ini adalah puncak reaksi atas video kontroversial Wahyudin Moridu yang viral di media sosial, memperlihatkan dirinya bersama seorang perempuan dan mengucapkan kalimat hendak “merampok uang negara”. Pernyataan ini memicu kemarahan publik serta aksi protes mahasiswa dan masyarakat, menuntut sanksi tegas dan pemulihan marwah DPRD.
Menjawab gonjang-ganjing tersebut, DPP PDIP langsung mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 12/KPTS/DPP/IX/2025 yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto, memecat Wahyudin Moridu dari keanggotaan partai dan jabatannya sebagai wakil rakyat. Keputusan keras ini diambil untuk menjaga martabat partai dan legislator serta selanjutnya akan diikuti mekanisme pergantian antar waktu (PAW) oleh DPD PDIP Gorontalo.
Ketua DPRD Provinsi Gorontalo Thomas Mopili menegaskan komitmen memulihkan citra lembaga dan menjalankan segala proses sesuai aturan, bekerja sama dengan perwakilan Kementerian Dalam Negeri. Sementara Ketua BK DPRD, Fikran Salilama, menyatakan hasil sidang sudah diserahkan pada pimpinan dan diparipurnakan dengan hukuman yang sangat berat, mencerminkan semangat disiplin dan integritas DPRD.

700 Wisudawan UNG Dikukuhkan, Rektor: ‘Kelulusan adalah Awal Pengabdian’

Prodi PGSD dan Pendidikan Sejarah UNG Raih Akreditasi Unggul: Bukti Kualitas Pendidikan yang Tak Terbantahkan

Masa Usia Emas Anak, PIAD Gorontalo Ajak Ibu Bangun Anak Sehat dan Cerdas

Wabup Pohuwato Tinjau Kebakaran Kantor Desa, Pastikan Pelayanan Masyarakat Tidak Terganggu

Ironi kades di aceh dibui karena mengedarkan benih yang dikembangkan sendiri dan bikin hasil panen melimpah

Dugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi

Terendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak

Jasa Raharja Salurkan Rp1,1 Miliar Santunan Kecelakaan di Pohuwato

Harson Ali: Mafia Batu Hitam Sedot Kekayaan Daerah, Rakyat Jadi Penonton

Rongki Cs Siap Buka-Bukaan, Bongkar Dalang Maladministrasi Perizinan PT GM

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo2 months ago
Warisan Budaya Terabaikan, Tim Langga Gorontalo Kesulitan Dana Menuju Ajang Nasional
-
Gorontalo2 months ago
Dugaan Kepanikan ESDM dan Kejanggalan Izin PT Gorontalo Minerals, Ini Buktinya!
-
Gorontalo3 months ago
CSP XVIII 2025 Sukses Digelar: Ribuan Scooterist Ramaikan Bone Bolango
-
Daerah1 month ago
DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah
-
Gorontalo1 month ago
DPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga
-
Advertorial1 month ago
Prof. Eduart Wolok Tegaskan UNG Siap di Garis Depan Lawan Kemiskinan Ekstrem
-
Gorontalo6 days ago
Dugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Gorontalo3 weeks ago
Terendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak